Renzo

EUFEMISME: BERKAT ATAU KUTUK?

Menurut Kamus Be­sar Bahasa Indonesia,  eu­femisme adalah ung­kap­an yang lebih halus seba­gai pengganti ung­kap­­an yang dirasa ka­sar, yang dianggap me­rugi­kan atau tidak menye­nangkan.

Dilansir dari Wikipe­dia, ka­ta eufemisme ber­asal dari bahasa Yunani “eu” (bagus) dan “phe­­mo­o” (berbicara). E­u­­­­fe­mis­me berarti ber­bicara dengan ungkapan yang baik dan sopan.

Eufemisme bertujuan untuk tidak menyakiti/ menyinggung orang la­in. Dalam hal ini, kita ambil con­toh, “Pen­curi di­aman­kan oleh kepoli­si­an.” Kata “diamankan” me­rupakan salah satu con­toh eufemisme yang memiliki arti sebenar­nya, yaitu di­tang­kap.

Tidak semua penang­kapan dilakukan pa­da orang yang tepat. Ada kalanya, pihak ber­we­nang salah menang­kap pe­laku. Mengguna­kan ka­ta diamankan ter­kesan akseptabel.

Namun, apabila ko­rup­tor yang di­amankan, apakah itu pan­tas? Le­bih baik koruptor dise­but maling atau rampok, agar terasa efek jera dan ra­sa malu yang diterima.

Ironisnya, budaya In­do­­ne­sia memiliki istilah “Di atas tumpul, di ba­wah lancip”. Pejabat-pe­jabat bermasalah, di­be­ri­ta­kan secara halus. Se­dangkan orang kecil, ha­nya mencuri sandal, ter­da­pat dramatisasi.

Budaya hormat kepa­da orang yang tinggi statusnya sangat kentara dalam Indonesia. Ka­­re­na itu, banyak berita ko­rupsi pejabat yang justru menyembunyikan se­sua­tu.

Sebenarnya itu tidak perlu. Pihak berwenang pasti memiliki bukti  ob­jektif melalui penyi­dik­an dan penyelidikan se­ca­ra komprehensif da­lam menangani sebuah ka­sus, agar khalayak da­pat mengetahuinya.

Undang-Undang Pa­sal 6 No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menya­ta­kan, peran pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berda­sar­kan informasi yang te­pat, akurat, dan benar.

Oleh karena itu, para jurnalis perlu menyam­paikan berita secara eks­plisit.

Namun, kata-kata da­lam berita juga perlu di­kemas dengan baik. Po­tensi menimbulkan ge­jo­lak yang merusak na­ma keluarga pelaku me­rupakan salah satu per­tim­bangannya.

Era Soeharto

Pada Rezim Orde Ba­ru, eufemisme memiliki fungsi pengendalian, ke­cu­­ri­gaan, penipuan, dan ke­­­­­­kerasan yang bergaya topeng. Maksudnya, ada arti tersembunyi yang ji­ka diketahui menjadi le­bih riskan bagi korban/ ma­syarakat.

Pemerintah memun­cul­­kan istilah represi li­nguistik, yaitu penekan­an dan pembatasan atas kebebasan rakyat me­nya­takan pikiran dan pe­rasaannnya dengan ber­ba­ha­sa. Hal ini menu­run­kan sikap kritis dan pem­ba­tas­an masyarakat untuk me­­­nyuarakan as­pirasi.

Masyarakat terpaksa harus mengikuti segala perintah dan kebijakan yang dibuat oleh pe­me­rintah.

Disfemisme

Allan dan Bur­­­­­­ridge (1991) men­je­las­­kan “dis­femisme ada­lah kata atau frasa yang berkonotasi menya­kit­kan atau mengganggu ba­ik bagi orang yang di­ajak bicara atau orang yang dibicarakan, serta orang yang mendengar­kan ungkapan tersebut”.

Disfemisme dapat di­sebut sebagai lawan ka­ta atau antonim dari eufe­misme. Namun, Bukan ber­arti disfemisme tidak dibutuhkan.

Penulisan judul berita di me­dia massa kadang me­merlukan disfemisme. Contoh, “Kabar Gem­bi­ra untuk Guru di Pelo­sok”. Kata pelosok me­nya­takan tempat ter­pen­cil yang jauh dari kera­maian kota dan meng­alami keterbatasan fasi­li­tas.

Alasan tersebut mem­buat banyak orang ti­dak mau mengabdi di tempat ini. Oleh karena itu, disfemisme berfungsi untuk menarik minat pembaca.

Bagi seminaris

Di Seminari, eufemis­me sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh para guru dan pem­bina ke­­pa­da seminaris mau­pun di antara semi-na­ris seba­gai bentuk ko­munikasi.

Bagi para guru/pem­bina, eufemisme men­­ja­di suatu kebijakan pen­didikan. Bagi seminaris meng­gu­na­kan kata yang halus berguna dalam men­jaga perasaan orang lain.

Namun, jika kondi­si­nya merujuk kepada de­viasi yang terbukti kebe­narannya, eufenisme se­baiknya dihilangkan.

Seminaris suka mem­bunga-bungakan sebuah kata demi suatu pem­be­naran dan keinginan ter­tentu yang belum tentu ba­ik. Oleh karena itu, ka­ta­kan saja dengan te­gas dan terbuka terha­dap pe­laku ketika mela­kukan pe­nyimpangan agar ada rasa malu dan efek jera baginya. Se­minaris pun harus men­jaga eufemis­me.

Lorenzo Puling

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu

eDGAR

BERLARI MENGEJAR MIMPI

Wajahnya lesu kelelahan. Keringat ber­cu­curan deras di seluruh tubuhnya, membuat pakaiannya basah dan bau. Ia tak kenal lelah mengejar mimpinya. Dialah aku yang mengejar mimpi.

Aku adalah anak desa yang serba berke­ku­ra­ngan. Untuk makan se­hari-hari saja sulit. Be­gi­­tupun dengan uang se­kolahku. Kepala sekolah sering mengejarku keli­li­ng kampung karena aku tidak membayarnya. Namun, aku mampu mem­buat kepala seko­lah­ku masuk ke rumah sakit. Beberapa hari ke­mudian, kepala sekolah­ku itu sakit jiwa dan ak­hirnya meninggal dunia.

Kehidupanku berubah ketika pamanku menga­jak­­ku untuk belajar di kota. Akhirnya, aku pin­dah ke kota dan ber­se­ko­lah di salah satu SMA bergengsi. Di sana, aku ber­temu dengan dua orang baik, yaitu Ucok dan Siwa. Mereka me­mi­liki kepribadian yang unik. Hal itulah yang mem­buatku tertarik un­tuk berteman dengan mereka.

 “Anak-anak, hari ini adalah hari pemilihan ekstrakurikuler. Mohon dipilih dengan bijak,” kata Pak Dodo sembari mem­bagi-bagikan sele­baran kepada para sis­wa.

Aku, Ucok, dan Si­wa sama-sama memilih ekskul lari. Kami segera pergi ke ruangan olah­raga dan mem­per­si­a­p­kan diri untuk lomba la­ri.

Awalnya, aku sangat gugup. Tak disangka, ha­silnya sangat me­mu­as­­kan. Aku berhasil men­jadi pelari tercepat. Tak berselang lama, aku langsung ditunjuk seba­gai anggota inti yang baru.

Menjadi tim inti lari memang tidaklah mu­dah. Aku harus berlari setiap sore. Semakin ha­ri aku semakin cepat sa­ja. Pada suatu sore, aku men­dengar berita dari kedua temanku bahwa akan ada perlombaan la­ri antar kabupaten.

Ucok dengan semangat berkata, “Tino, kalau kau menang ni kita bisa dapat uang jajan selama setahun.” “Benar tu, ini beli satu oto sudah lumayan,” tambah Siwa. “Molo sudah, ja’o ikut,” jawabku dengan yakin. Di bawah bimbingan mereka, aku berlatih de­n­g­an tekun setiap sore. Program latihan mereka yang tidak manusiawi membuatku nyaris mati. Namun, hasilnya me­mang di luar nalar. Kini, aku memiliki kekuatan, kecepatan, dan kelin-cahan yang patut dia-cungi jempol.

 Hari demi hari ber­lalu. Akhirnya, hari per­lombaan telah tiba. Aku, Ucok, dan Siwa mela­kukan sedikit pemana­san dengan jogging keli­ling sekolah. Namun, aku tak sengaja mena­b­rak segerombol preman. Para preman itu tampak kuat dan garang.

Salah satu dari mereka mendo­rongku hingga terjatuh dan berkata, “Eh azi, ja­lan pakai mata.” Aku lang­sung bangkit. Ku­ta­tap matanya dengan ta­jam dan ber­ka­ta,” Ka’e, orang jalan pakai kaki. Ka­lau pakai mata mau lihat apa?”

Preman itu seketika geram dan melototiku dengan tajam. “Kamu ini, sudah salah, mela­wan orang tua, protes la­gi. Bro, urus mereka.” “Siap bos,” jawab re­kan-rekan premannya.

Tan­­pa pikir panjang la­gi, kami langsung lari da­ri mereka. Kami ber­lari, berlari, dan terus ber­lari tanpa henti. La­ma-kelamaan tenaga ka­mi makin terkuras. Di belakang kami, para pre­­man itu mengejar ka­mi seperti anjing rabies yang sedang mengejar kucing garong.

  “Tino, ja’o ti mau mati eee……Ema!!!” te­riak Ucok.

  “Benar, mati sebentar ja’o buat kau jadi masakan,” ancam Siwa.

  “Aman eja, kalau mati pasti hidup lagi,” jawab­ku.

  “Bodoh, orang yang sudah mati tidak bisa hidup lagi,” bantah Si­wa.

  “Bisa eja. Di Surga.”

 “Ema!!!” Anjing-an­jing rabies itu semakin ga­nas saja. Aku segera memutar otak. Aku ber­lari ke dalam pasar. Degan ceka­tan aku me­lompati ba­rang­-barang pasar seper­ti gaya park­hour saja.   Aku segera men­gobrak-abrik isi pa­sar untuk meng­halangi para preman itu.

Namun, lumayan lincah juga. Akhir­nya, aku me­lempar ba­rang pasar se­cara sem­barangan ke­arah mere­ka. Aki­­batnya, mereka terjatuh dan bahkan ma­suk ke got. Kami tak menyia-nyia­kan kesem­patan. Aku dan ke­dua te­manku se­gera ber­lari ke stadion.

Saat su­dah sampai, aku se­ge­ra ma­suk ke dalam sta­di­on. Suasana di da­lam sta­dion sangat ra­mai dan riuh. Aku se­gera meng­ambil ­po­sisi, mu­lai ber­lari secepat yang aku bisa. Tiba-tiba,   arghh…Aku jatuh. Kakiku panas rasanya. Namun, aku kembali bangkit dan mulai berlari lagi, mengejar mimpi.

Edgar Sebo

Siswa kelas X SMA Seminari Todabelu, Mataloko

IMG_7840

PROYEK KERAJINAN BAMBU: YANG TERBUANG MENJADI UANG

Kurikulum Merdeka dengan proyek-pro­yek yang me­ngesankan membuat pem­belajaran menjadi semakin seru. Salah satu tantangan yang dihadapi melalui pembelajaran proyek adalah  memanfaatkan yang terbuang di lingkungan sekitar menjadi uang.

SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu  menjadi salah satu da­­­­ri sekian banyak seko­­­­lah yang menjalani Ku­rikulum Merdeka Be­­lajar. Kurikulum ter­se­but dijalani  oleh sis­wa ke­­­las X sedangkan sis­wa kelas XI dan XII te­tap melaksanakan kuriku­lum 2013. 

Hal baru dalam kurikulum ini adalah mewa­jibkan sis­­­­­­­­­­­­­­­­­­­wa un­tuk me­nye­le­sai­kan pro­yek yang ditetapkan bersama dalam sekolah. Salah satu pro­yek yang disepakati di sekolah ini yaitu  ke­wi­­ra­usa­haan yang ber­tema­kan ‘ya­ng terbu­ang men­­­­­­­­­ja­di ua­­ng’.  Tujuan pro­­­­­yek ini ada­­­­­­­­­­lah, siswa harus bi­­sa meng­­hasilkan se­su­atu yang bernilai jual  dan berku­alitas, mi­­­sal­nya dari lim­bah bam­­bu.

Peran Kampus Bambu

Agar bisa menghasil­kan produk yang berku­alitas maka seminaris ber­­­sama para pendam­ping proyek ini, yaitu The­­resia Emilia Wo­ghe, S.Pd, Rm. Drs. Sil­vinus Fe, Pr, S.Pd, FX Lin­­dawati, M.Pd, Do­mi­nikus Damu, S.Pd, dan Rm. Yustinus Oc­ta­vian­ney Dua, M.Th, berkunjung ke Ka­­m­­­­­pus Desa Bam­­bu Ag­­­­­­­­­rofes­tari. Kampus tersebut ter­letak di dae­­­­rah Tu­­re­to­go, Desa Ra­­­­­­­­to­­­­­gesa, ke­­­­­ca­ma­tan Go­­­­­­­­­­­­­­­lewa, Ka­bu­paten Nga­­­­­­­­da., Flores.

 Kam­­­­pus Ba­m­­bu ini per­tama kali dire­s­­­mi­kan oleh Guber­nur NTT Vic­­­­­­­tor Bung­tilu Lais­kodat pada hari Se­­­nin (24/5/2021) pagi. Kampus ini berada di ba­­wah  naungan Yayas­an Bam­bu Les­­­tari (YBL) yang di­dirikan oleh Linda Ga­­r­­land pada ta­hun 1993 se­bagai orga­ni­sasi nir­­­­laba.

Kehadir­an Kam­­­­­­­­­pus Bam­bu ini un­tuk me­ng­kampanye­kan dan me­man­faatkan bam­bu se­bagai solusi eko­nomi dan ekologi ba­gi mas­­­­yarakat pede­sa­an di In­­­­do­­­nesia. Kam­­pus Bam­bu juga menerima dan men­­di­dik siapa pun yang mau be­lajar ke tempat ini, ter­masuk para siswa da­­ri Se­m­inari.

 Pada 21 Januari 2023, ke­­­­las XC ber­kunjung ke Kampus Bambu un­tuk belajar membuat ke­ra­jinan dari limbah bam­bu dalam rangka me­lak­sa­na­­­kan proyek kewira­usa­­haan yang te­lah di­rancangkan.

 “Awal targetnya ada­lah pengolahan bebera­pa jenis sampah men­jadi pro­­­­­­duk kerajinan yang berkualitas. Na­mun da­lam perjalanan, di­putus­kan mengolah limbah bam­bu yang  cukup banyak tersedia di sekitar kita. Di daerah ki­­­­­­­ta juga ada Kampus Bambu yang ten­­­tunya sangat mem­ban­tu pelak­sana­an pro­yek ini,” jelas Rm. Silvinus Fe, Pr, salah seorang pendamping proyek ini.

Kampus bambu sen­diri terbuka mene­rima sis­­wa seminari yang da­tang ke sana. “Saya me­rasa gembira karena ke­da­tangan Seminari ke sini.” Ucap Stefanus Ra­si atau kerap disapa om Ep­hend saat diwa­wan­carai, Rabu (15/2/2023).  Om Ephend adalah salah seorang pengrajin bambu sekaligus pengemudi di Kampung Bambu.

Proses dan Produk

Para semina­ris dibagi da­lam 6 kelompok. Se­ti­ap dua kelompok didam­pi­ngi  satu pengrajin da­ri Ka­m­­­­pus Bambu. Tiap ke­lo­­­­­­mpok boleh memi­lih pro­­duk yang ingin diha­­­sil­kan. Para pen­dam­­­­­ping  men­gajarkan seminaris untuk mulai dengan me­milah bambu yang baik juga proses pem­buatan­nya.

 Selama berlatih, para se­mi­­­naris antusias dan bertekun dalam kegiatannya. Kam­pus Bambu te­lah mem­­be­ri­­kan sema­ngat untuk be­­lajar sesuatu yang ba­ru dan mampu membuat pa­ra seminaris merasa gem­­bira.

 “Awalnya mereka ku­rang mengenal pro­ses pembuatannya. Na­mun setelah berproses se­ma­ngat mulai muncul dan mereka mulai berk­rea­tivitas. Terbukti dengan de­­sain baru dari produk yang dihasilkan. Me­mang beberapa sis­wa ter­lihat kurang displin. Mun­­­gkin ini bukan bi­dangnya. Tapi saya ya­kin bahwa mereka bisa menggunakan ke­teram­pi­lan ini di masa depan me­reka dan saya ber­harap agar kerja sama ini bisa berlanjut dan se­ma­kin banyak orang yang mau memerhatikan bam­bu secara khusus,” kata Om Ephend.

Para siswa mempu­nyai semangat belajar ting­­­­­­­gi. Hasilnya pun memuaskan. Produk yang dihasilkan antara lain, kerajinan lampu hias, mok atau gelas bambu, replika kapal Finisi, dan replika helikopter.

Om Ephend dan seorang pendamping lain dari Kampus Bambu memuji hasil kerja para seminaris. “Kami tidak menyangka, produknya bagus sekali. Seminaris mempunyai kreativitas yang tinggi,” puji Om Ephend.

Se­mi­naris sendiri ba­ha­gia saat belajar ber­sama para pen­dam­ping di kampus bambu. “Ke­giatannya berman­faat, sa­ngat se­­ru serta me­­­­­­nambah wa­wasan te­ru­­­tama da­lam pe­­­­­­­­­m­an­faatan lim­bah ba­m­­­­­­­bu,” ucap Erton Wo­­da siswa kelas XC.

Produk-produk seminaris sendiri dipajangkan di Kampus Bambu. Beberapanya laku terjual. Para seminaris mengalami bahwa yang terbuang ternyata bisa menghasilkan uang. Proyek ini membantu pengem­bangan krea­ti­vi­tas dan jiwa kewirausahaan seminaris.

Refleksi

Proyek ini tidak hanya mengasah kreativitas dan jiwa kewirausahaan. Banyak sekali nilai yang dipelajari. Dibutuhkan kolaborasi dan kerja sama dengan berbagai pihak. Karena itu seminaris perlu memiliki keterbukaan. Dibutuhkan kerelaan mendengar dan kerelaan berbagi. Seminaris harus mendengarkan pembimbing yang memberikan pengarahan, dan mau menolong teman yang mengalami kesusahan saat berproses. Juga dibutuhkan ketelitian dalam mengerjakan produk yang dibuat agar mendapat hasil yang maksimal dan memuaskan.

Akhirnya, proyek ini meyakinkan kami bahwa apa yang tampaknya terbuang dan tak berarti dapat menjadi sangat berguna, karena hal-hal itu bisa mengungkapkan kedalaman kreativitas dan jiwa kami.

Alino Tolla

Siswa Kelas X SMA Seminari Todabelu, Mataloko

Ikan-Ikan Kerinduan

ikan-ikan kerinduan

ada …
ada yang putih
yang itam … yang abu-abu
yang belang … yang kuning

ikan-ikan kerinduan pukul 13.00
ngap-ngap pada bibir sjuta harap
pada kerinduan yang tak pernah sia-sia
nantikan bulir-bulir cinta
dari tangan terulur
yang slalu rindu berbagi tabur

pukul 13
heiii … ikan-ikan kerinduan
membagi telah selesai,
kembali OPA pada tahta segala
tempat smua bertaut harap
‘tuk slalu merindu
pada maha samudra
yang empunya segala

Tak pernah ada yang tahu, semuanya akan berakhir begini. Ada yang datang, ada pula yang pergi. Hidup memang merupakan “suatu datang dan pergi yang terus”. Karena itulah, ia selalu menyambung generasi dan membawa angkatan. Mengalami yang ada, meninggalkannya, lalu merindukan yang akan datang. Bermula dari yang sementara, lalu menuju dan menetap pada yang paripurna dan kekal, Sementara itu fana, sedangkan yang paripurna dan kekal adalah tujuan. Ketika itu menjadi sebuah keyakinan, kekekalan lalu menjadi pilihan untuk senantiasa diper¬juang¬kan dalam menata hidup.

Tidak pernah juga ada yang tahu, pikiran ini singgah di benak dan nurani Opa. Begitulah sapaan akrab setiap anggota komunitas Berkhmawan saat berjumpa Romo Domi Balo. Namun, saya yakin sekali, Opa pasti mengangkat sedikit kacamatanya, mengusap-usap kening, mengelus-elus rambutnya yang memutih, lalu tersenyum tanda setuju. Namun saya tahu, matanya pasti lebih terpaut pada kolam Yobermans di hadapan kami. Pada ikan-ikan kerinduan yang menanti taburan bulir-bulir santap siang dari tangan sang Opa.

Tidak pernah saya duga bahwa kolam Yobermans itu telah menjadi saksi berlangsungnya sebuah keyakinan bahwa “hidup adalah suatu datang dan pergi yang terus … tapak-tapak yang menyambung generasi dan membawa angkatan.” Dari Kolam Yobermans, perisai air tempat pijak St. Yohanes Berkhmans, kita bertolak mengikuti jejak-jejak hidup Opa yang masih tersimpan.

 

Pukul 13.00
Setelah Opa pensiun melaksanakan tugas regular sebagai guru di kelas bagi para seminaris, pukul 13.00 jadi saat unik. Awalnya, saya anggap biasa karena Opa “Pensiun” selalu mengunjungi penghuni kolam. Saudara-saudara ikan(bahasa St. Fransiskus Asisi” sudah menjadi teman akrab Opa. Memang tidak setiap hari saya mengikuti aktivitas Opa yang satu ini. Suatu saat, pukul 13.00, sambil “seret-seret langkah” dengan segelas penuh makanan ikan, Opa melangkah menuju kolam Yobermans, lalu berhenti tepat di belakang patung Orang Kudus itu. Saya mengikuti Opa dan berdiri di sampingnya. Opa tidak segera memberi makan ikan-ikan kesayangannya. Hal pertama yang Opa lakukan adalah bersiul-siul mendendangkan not “do re do re do re” dengan halus beberapa saat. Sementara saya memperhatikan kolam yang sejak tadi tenang dengan sedikit riak kecil. Awalnya, saya pikir Opa sekadar bersiul karena baru selesai santap siang. Ternyata “doredore” yang unik itu, cara Opa mengundang sobat-sobat ikannya santap siang. Riak-riak kolam semakin besar karena ikan-ikan Opa meluncur berebutan makan siang. Tak lama berselang gelas makanan ikan pun kosong, laris manis santap siang bawaan Opa buat sobat-sobatnya. Cukup banyak kali, Opa tidak langsung kembali. Saya dan Opa masih melanjutkan bincang-bicang kami tentang banyak hal.

Saat Opa sudah tidak bisa lagi menemui sobat-sobatnya karena tidak sanggup melangkah karena sakitnya, saya merasa perlu memasuki waktu uniknya “pukul 13”. Gelas pakan ikan saya isi penuh, melangkah ke kolam, lalu berdiri di belakang patung Orang Kudus itu. Seperti Opa, saya mendendangkan “doredore-nya”. “Lihat! Ikan-ikan sobat Opa bermunculan berebutan santap siang, yang saya taburkan sambil terus ber-doredore.”

Persahabatan yang istimewa. Ikan-ikan itu telah menyatu dengan siul – senandung Sang Opa. Taburan kasih sayang Opa telah memberi mereka hidup. Kebiasaan Opa yang indah telah membuat ikan-ikan itu mengenal dan berebutan kasih yang ditaburkan melalui tangan hatinya dengan cinta. Sobat-sobat itu tak akan pernah lagi mendengar senandung “doredore”. Namun, habitus cinta dan persahabatan yang abadi telah menyatu dalam komunitas kolam Yobermans. Riak-riak kecil itu meninggalkan kenangan manis. Pernah terjalin kisah persahabatan Sang Opa dengan ikan-ikannya melalui senandung siul “doredore”-mu dengan tangan yang selalu siap menabur. Selamat jalan OPA. Selamat memasuki kolam abadi bersama Ikan-ikan kerinduanmu akan selalu menanti taburan kasih.

Rm. Alex Dae Laba, Pr

Rekoleksi: Momen Pembaharuan Komitmen

Rekoleksi: Momen Pembaharuan Komitmen

Jelang Perayaan Puncak Dies Natalis ke-89

 

Tiga hari menjelang perayaan puncak Dies Natalis ke-89, Seminari Mataloko  menyelenggarakan rekoleksi komunitas (12/09/2018). Rekoleksi menjadi momen yang istimewa bagi segenap anggota komunitas guna memaknai hari-hari persiapan menjelang perayaan puncak 15 September mendatang.

Ketua Panitia Pesfam 2018, RD. Beny Lalo dalam kata pengantarnya, menyebutkan bahwa rekoleksi bukan sekadar menjadi bagian dari rangkaian perayaan Pesfam (Pesta famili) melainkan lebih dari pada itu, menjadi hari yang istimewa untuk merenungkan tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota komunitas “Dari sekian banyaknya  hari yang kita habiskan untuk pertandingan dan perlombaan, hari ini menjadi hari yang spesial bagi kita untuk bermenung sepanjang hari,” tegasnya.

Kegiatan rekoleksi diawali dengan adorasi bergilir  dari beberapa kelompok kelas yang dimulai dari pukul 06.30. Di sela-sela adorasi, pada pukul 08.00-09.15, semua anggota komunitas yang terdiri atas para imam, suster, frater, guru dan pegawai serta seminaris SMP dan SMA mengikuti renungan dan sharing yang dibawakan oleh Romo Praeses, RD. Gabriel Idrus di Kapela St. Alfonsus Maria de Liguori, Kapela SMA Seminari.

Adapun RD. Idrus pada tahun ini merayakan Perak, 25 tahun Imamatnya. Momen Dies Natalis ke-89 pada tahun ini menjadi kian semarak lantaran adanya perayaan perak imamat Romo Praeses. Rekoleksi pada hari ini bernaung di bawah tema umum Pesfam 2018 yakni “Menabur kasih menuai panggilan”.

Napak Tilas Panggilan Sang Gembala

Romo Idrus mengawali rekoleksi dengan mencoba kembali bernapak tilas, melihat ke masa-masa awal ketika panggilan hidup menjadi imam mulai bertumbuh. “Keinginan untuk menjadi imam hanyalah keinginan kecil dari sekian banyak keinginan yang ada ketika saya berada di bangku Sekolah Dasar,” demikian Romo Idrus mengawali kisahnya.

“Keinginan itu tumbuh tatkala menyaksikan pastor Paroki Lela dan pastor misionaris Belanda lainnya duduk bersama di pastoran Paroki Lela. Selain itu, kontak dengan imam pribumi dan kehadiran Para Frater dari Ritapiret dan Ledalero juga membangkitkan rasa senang saya terhadap mereka. Kehadiran para Frater menjadi kesempatan bagi kami yang masih kanak-kanak untuk menyaksikan orang-orang hebat di lapangan bola kaki, lapangan bola voli dan basket. Selain itu, keterampilan memainkan drama dan alat musik menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang pada saat itu masih kecil. Akan tetapi, setelah menamatkan pendidikan SD saya berniat untuk melanjutkan pendidikan di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) selain karena belum ada niat masuk seminari juga karena sang ayah tidak setuju karena sebagaimana pendapat umum, sekolah di seminari itu mahal. Namun, karena didesak oleh Wakil Kepala Sekolah, bapak mengiyakan saya untuk masuk seminari.”

Begitulah awal kisah panggilan Sang Gembala ketika mulai memasuki kehidupan sebagai seorang seminaris. Dalam refleksinya, Romo Idrus menginsafi bahwa sesungguhnya keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar di awal panggilannya. Jawaban yang sederhana itu ternyata mempunyai konsekuensi yang besar bagi dirinya pribadi dan bagi keluarganya. Banyak hal yang berubah ketika ia mulai masuk ke seminari dan ketika ia perlahan-lahan mulai menapaki ziarah sebagai orang yang terpanggil hingga menjadi seorang gembala yang telah berziarah selama 25 tahun dalam tapak Imamat.

Panggilan Imamat sebagai Rahmat dan Tanda Keselamatan

Imamat bagi Romo Idrus pertama-tama adalah rahmat Allah yang menyelamatkan bahwasannya, cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam dirinya dengan segala keberadaannya sebagai seorang manusia. Merefkleksikan keselamatan Allah yang telah lama dimulai ini, Romo Idrus mengambil inspirasi dari sosok Nabi Yeremia. Seperti Allah mengenal Yeremia dengan segala keberadaan dirinya bahkan sejak Yeremia berada dalam kandungan ibunya dan dalamnya karya keselamatan Allah terlaksana, demikianpun cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam diri Romo Idrus. Keselamatan Allah nyata dalam diri pribadi yang terpanggil.

“Bagi seorang imam, imamat sebagai rahmat yang menyelamatkan bukan hanya tejadi dalam diri orang yang dilayani melainkan pertama-tama terjadi dalam dirinya sebagai orang yang terpanggil. Sebab bagaimana mungkin ia dapat menghayati tritugas panggilan Kristus sebagai imam, nabi dan raja kalau ia tidak merasa ada rahmat keselamatan dalam panggilan hidupnya. Kesadaran akan rahmat Allah yang menyelamatkan terasa nyata dalam panggilan saya sebagai imam dan bahkan rahmat itu menjadi nyata dalam pengalaman dilematis.”

Imam kelahiran 24 Maret 1965 ini menambahkan bahwa rahmat Allah bekerja di saat-saat yang tepat dan rahmat itulah yang membawa keselamatan bagi dirinya sendiri dan bagi orang yang dilayaninya. Karena itu, dalam tugas pengabdiannya sebagai seorang gembala, ia mempunyai prinsip yakni menempatkan karya pelayanan imamat di atas kepentingan keluarga. Menjadi imam berarti menjadi pribadi yang lepas bebas dari berbagai ikatan. Prinsip inilah yang selalu dipegang teguh ketika ia berhadapan dengan pengalaman dilematis yang memaksanya untuk mengambil keputusan dengan cepat.

Romo Idrus percaya bahwa ketika menjadi pribadi yang lepas bebas, maka ia akan mendapatkan banyak saudara seperti sabda Tuhan dalam Injil. Pengalamanan pengembaraan 25 tahun imamat sudah menunjukkan bahwa Sabda Tuhan dalam Kitab Suci itu hidup, nyata dan berdaya guna “Tuhan selalu punya cara dan bahkan di saat-saat yang sulit dan tak ada harapan sekalipun, sabda Tuhan menjadi nyata,” demikian imam yang mengambil moto imamat dari Sir. 42:15 ini melanjutkan refleksi imamatnya.

Bertahan dalam Pelayanan Kasih

Imamat menurut RD. Idrus adalah jabatan dan profesi yang mengedepankan pelayanan kasih. Dengan ini hendak ditunjukkan wajah personal dan sosial dari sebuah karya pelayanan. Ketika merayakan Kurban Ekaristi dan sakramen serta hadir dalam karya pelayanan kasih, imam hadir dalam dua wajah yaitu personal dan sosial. Karya pelayanan inilah yang dihidupinya dalam hidup imamatnya.

Lebih lanjut, Romo Idrus membagikan tiga hal pokok yang membuatnya setia dan bertahan selama 25 tahun dalam hidup imamatnya. “Seandainya ditanya, apa yang membuat saya setia dan bertahan hingga usia perak ini, maka saya akan menjawab, pertama-tama adalah selalu berusaha membangun hidup rohani yang baik melalui doa, ibadat dan Ekaristi. Lalai dalam melaksanakan hal ini akan menimbulkan rasa cemas dari dalam diri dan saya bersyukur atas rasa cemas yang kudus ini. Kedua, kesadaran akan keseimbangan antara ora et labora. Doa dan bekerja bagi saya adalah mata rantai yang mengikat imamat. Kata Aristoteles, musuh kehidupan rohani yang baik adalah terlalu banyak melakukan sesuatu. Jika saya hanya bekerja dan lupa berdoa, atau menggantikan doa dengan kerja, apa bedanya saya yang imam dengan para pekerja sosial. Ketiga, selain karena kekuatan Allah, saya juga percaya pada kekuatan manusia yang adalah sahabat dan rekan kerja saya. Saya percaya bahwa masing-masing orang adalah pribadi yang unik dan karena itu, saya selalu berusaha sedapat mungkin menghindari kerja sendiri dan lebih mementingkan kerja tim.”

Sebagai seorang imam, Romo Idrus berusaha untuk menghidupi spritualitas hidup Yesus sendiri yang selalu menyeimbangkan antara doa dan bekerja. Bekerja keras tidak boleh sampai melupakan doa demikianpun sebaliknya, doa yang tekun jangan sampai mengabaikan waktu kerja. Doa dan bekerja harus berjalan seimbang. Itulah perisai yang menjaga tubuh imamat tetap bertahan hingga seperempat abad ini.

Menabur Kasih, Menuai Panggilan

Di akhir rekoleksinya, Romo Gabriel Idrus mencoba merefleksikan tema Pesfam 2018, Menabur kasih Menuai Panggilan. “Jika yang menabur kasih di tempat ini adalah para pembina, guru dan pegawai maka yang menuai panggilan pada akhirnya adalah orang tua, masyarakat dan Gereja. Bagi saya, yang menabur kasih dan yang menuai panggilan adalah kita semua yang dengan caranya masing-masing turut memberi warna pada setiap proses formasi yang ada di Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko ini,” demikian katanya.

Ada beberapa refleksi sederhana yang kiranya diberikan seandainya yang dimaksudkan dengan penabur dan penuai adalah semua anggota komunitas Seminari Mataloko. Pertama, Semua anggota komunitas harus aktif dan bukan menjadi pribadi yang pasif. Itu berarti adalah tidak ada komponen yang lebih tinggi dari yang lain. masing-masing orang menabur dengan penuh tanggung jawab sehingga produk yang dihasilkan betul-betul bermutu dan pada akhirnya, banyak orang yang mencarinya.

Jika Proses formasi di seminari Mataloko adalah proses menabur maka produk yang bermutu harus dapat dihasilkan pada tahun-tahun mendatang sebab wajah Gereja 30/40 tahun mendatang berada di pundak-pundak semua komponen baik sebagai  formator maupun formandi. Untuk itu perlu ada rasa optimisme yang tinggi bahwasannya, masing-masing pihak adalah pribadi yang besar untuk sebuah karya besar bukan sebaliknya merasa diri kecil dan tidak layak untuk sebuah karya besar. Karena itu, menabur kasih, menuai panggilan tidak akan berarti jika tidak ada kesungguhan dan tanggung jawab serta rasa sakit dan bahkan korban nyawa seperti Yesus yang telah mengorbankan nyawanya.

Kasih Yesus dalam karya pelayanan mestinya menjadi contoh kasih yang kita tabur, sebab, kataNya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang sahabat yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya.” Setiap anggota komunitas diajak untuk mencari kasih yang sempurna dalam pengalaman hidupnya masing-masing.

Hening dalam Doa dan Refleksi

Rekoleksi yang berlangsung sepanjang hari ini diwarnai dengan suasana hening. Seminaris diundang untuk berdiam dalam doa dan refleksi di hadapan Sakramen Maha Kudus. Doa menyadarkan seminaris untuk menyadari hakikat panggilannya sebagai pribadi pendoa sementara refleksi menjadikan mereka pribadi yang bijak dengan melihat diri dan pengalaman hidupnya. Staf Liturgi OSIS membagi kelompok kecil untuk kemudian beradorasi secara bergilir hingga pukul 18.00. Seluruh rangkaian rekoleksi pada hari ini ditutup dengan adorasi bersama di Kapela SMA Seminari. Adorasi penutupan dipimpin oleh RD Bene Baghi.

Akhirnya, suasana khusuk dalam doa memampukan seminaris dan para formator guna menelusuri pengalaman hidup masing-masing dalam melaksanakan tema menabur kasih, menuai panggilan. Pasca adorasi penutupan, rutinitas harian seminaris kembali berlangsung seperti biasa.

Fr. Deni Galus, SVD