
Laporan Perjalanan Rm. Nani (26)
Ketika saya menuju kamar makan pukul 05.00 pagi, Jumat (21/3/2025) banyak teman sudah berada di sana. Beberapa mengepak roti untuk persiapan santap siang, sebagian sedang menikmati makan pagi tanpa banyak bercanda. Kami harus berangkat tepat pukul 6.00 pagi.
Bus meluncur saat hari masih gelap. Kami melantunkan doa syukur dan setelahnya semua tenggelam dalam keheningan. Dua minggu berada di Steyl sesuatu yang berharga sekali, once in a life time. Ingin rasanya lebih lama berada di Rumah Induk Steyl untuk membenamkan diri dalam atmosfir rohani yang tenang, hangat, mendalam, penuh intimitas, dan berkesan.
Tahu-tahu kami sudah melewati perbatasan Belanda dan Jerman. Steyl lenyap dari pandangan mata. Kami menjadi musafir lagi, membiarkan diri dibawa ke belahan Eropa yang lain.
Tanah Belanda dan Jerman itu hampir tidak ada bedanya. Datar dan rata sejauh-jauh mata memandang.
Masuk ke jalan utama di wilayah Jerman, itu seluruhnya jalan tol. Beberapa hal jadi kesan utama.
Pertama, keteraturan. Semua terasa terorganisi dengan baik sekali. Berangkat tepat waktu, pakai menit dan detik. Kalau sudah di jalan, tidak sembarangan berhenti. Hanya bisa berhenti di halte, di area istirahat yang sudah disiapkan.
Kedua, tidak ada lampu lalu lintas, karena tidak ada perempatan seperti di tempat kita. Kalau ada yang harus menyeberang, pasti menggunakan jalur fly over – jalan layang. Biasanya kalau ada kota atau desa di sisi kiri atau kanan, pasti akan ada fly over. Kota atau desa di sebelah kiri kanan jalan itu tidak dibangun sembarangan. Tidak ada yang dibangun di dekat jalan.
Ketiga, jalan utama itu lurus, berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kilometer. Sampai kami berhenti untuk makan siang, setelah meluncur sejak jam 06.00 pagi dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam, tidak ada belokan sama sekali.
Saya menghitung hanya ada dua belokan halus sepanjang jalan utama di wilayah Jerman sebelum memasuki Austria.
Jadi insfrastruktur luar biasa sekali. Badan jalan yang lebar, fly over yang kokoh, jalur untuk sepeda, jembatan.
Suplai energi berlimpah, dan terkesan sedang sungguh menuju green energy, energi hijau. “60% negara kami sudah energi hijau,” kata P. Thomas Heck, SVD, salah seorang pendamping program tersiat berkewarganegaraan Jerman.
Di mana-mana dipasang kincir angin. Bahkan beberapa tempat tertentu menjelma menjadi padang kincir angin. Kincir angin berfungsi untuk pasokan Listrik. Di mana-mana juga ada hamparan panel surya. Rumah atau desa di pojok mana pun pasti ada tiang-tiang dan kabel listriknya.
Lapangan udara Frankfurt misalnya, mengagumkan sekali. Kami tidak masuk ke dalam, tapi ketika kami lewat, kami seperti melewati jalan bawah. Di atas kami itu landasan pacu dan pesawat sedang berjalan di atasnya.
Itulah kehebatan rekayasa teknologi dan pembangunan. Keadaan alamnya? Tidak ada pemandangan alam yang mengagumkan. Hutannya sebagian masih kering, sebagian sudah menghijau, tapi pohonnya rata-rata sama, seperti pohon natal. Mungkin hanya pohon sejenis itu yang bisa bertahan dalam iklim ekstrem seperti di Eropa. Jadi membosankan.
Namun, ketika memasuki perbatasan Austria, pemandangan berbeda. Dari jauh sudah kelihatan gunung yang menjulang dengan balutan salju putih di puncak atau di lereng-lerengnya.
Kampung atau desa-desa menyebar di lereng-lereng bukit, dengan rumah-rumah nyaris berbentuk pondok yang kecil-kecil. Terkadang satu rumah terlihat berjauhan dengan rumah lain. Kota-kota atau desa-desa besar pada umumnya berada di lembah-lembah, di dekat aliran sungai.
Saat ini teknologi memudahkan segalanya. Terowongan demi terowongan kami lewati. Sering kali, tahu-tahu kita sudah berada di sebelah bukit.
Bayangkan itu kehidupan satu abad yang lalu. Betapa sulitnya. Orang harus mendaki gunung, melewati batu-batu karang, berkebun di lereng-lereng yang cukup terjal, mencari air, atau kayu bakar. Apalagi kalau itu terjadi pada musim dingin yang sering ekstrem.