Sepenggal Kisah sebelum Masuk Seminari

St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko
Tulisan Eman Pitamini

Setelah menamatkan sekolah dasar Manasari, Mimika, Papua, sa­ya belum berpikir ke ma­na saya akan melanjut­kan sekolah menengah pertama. Suatu ketika, bapa memanggil saya saat pulang dari pantai. “Eman, bapa mau bi­cara dengan ko se­bentar malam,” kata ba­pa. “Ko tra bole ke ­mana-mana malam ini,” lanjut bapak. “Io bapa” jawabku singkat. Saya berpikir sejenak. “Apa yang mau bapak bi­ca­rakan dengan saya?” gu­mamku dalam hati.

Karena hari masih sore, saya per­gi bermain bola dengan te­man-teman. Kami me­nu­ju lapangan bola un­tuk bermain bersama. Saya sangat menikmati pengalaman sore itu.

 “Main makan daging­lah”, teriak teman saya. Sepenggal kalimat itu bi­asa kami ucapkan saat bermain bola.  Maksudnya, kami menendang bola ke tubuh teman. “Jai” (Papua Fanamo: Mari!) ba­las teman-temanku yang lain. Kami bermain   de­­­­ngan gembira. Perma­in­an ini membuat saya melupakan pertanyaan bapak di kepala saya.

Malam tiba. Saya tidak keluar rumah, kare­na saya harus menuruti permintaan bapak saya. Saya pun menikmati su­su di depan teras rumah.   “Eman, ko mari dolo, makan sama-sama deng bapa,” pang­gil bapa saya. “Iyo ba­pa” jawab saya singkat.

Eman Pitamini, siswa kelas XI, asal Timika, Papua

Bapa memimpin doa makan. Dia mengambil na­si dan lauk serta sayur yang tersedia. Begitu pula mama, kakak, lalu sa­ya yang di urutan te­rakhir.  

“Anak”, bapa mem­buka percakapan sambil mengarahkan pan­dang­annya kepadaku. “Ko mau lan­jut SMP di mana?” Sejenak saya terdi­am. Tidak tahu harus menjawab bagaimana. “Sa­ya mau lanjut di Manado,” kata sa­ya. Nama kota itu keluar begitu saja, kebetulan terlintas di kepala.  “Ibu guru ada tawar ko untuk sekolah di Semi­nari di Flores”, kata ba­pa dengan hati-hati. Saya terdiam.

Di sekolah kami ada dua ibu guru dari Flores, Ibu Lian dan Ibu Vivin. Jadi nama Flores sudah akrab di telinga saya. Namun Seminari tidak saya ketahui sama sekali. Saya belum tahu jika Semi­nari adalah sekolah un­tuk men­jadi ca­lon imam.  Ba­pa me­n­gajak saya untuk ber­dialog terlebih dahu­lu de­ngan kedua ibu guru itu.

Saya disarankan tinggal di rumah Se­kretaris Keuskupan Timika. “Supaya ko belajar berdoa, juga cuci pakaian sendiri, dan merapikan tempat tidur,” begitu kata Ibu Lian. Di sana, saya mendapatkan tambahan pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.

Eman (kedua dari kiri) aktif dalam kegian EAGLE Seminari

 Suatu waktu, saya diberi­tahu untuk mengerjakan soal-soal Bahasa Indo­ne­sia ser­ta Matematika. Soal Bahasa Indo­nesia bermacam-macam, antara lain, membuat sebuah cerita. Saya mengerjakannya sebisaku. Ma­lam harinya, saya me­nyerahkan semua ha­sil jawaban saya kepada Bapak Beni, Se­kretaris Keuskupan.  Dia bapa asuh saya. Dia ber­asal dari Maupong­go, Nage­keo, NTT. Dari Pak Beni, saya kemudian mendapat berita, diterima di Seminari Mataloko.

Kami berangkat dari Timika menuju Makasar menggunakan pesawat. Pak Beni mengantar saya, bersama istri dan anak perempuannya. Dalam perjalanan, saya terdiam. Terpaku sendiri. Banyak pertanyaan yang muncul dan ingin saya sampaikan kepada Bapa Beni. Namun saya tidak berani mengungkapkannya. Flores itu seperti apa? Mataloko itu bagaimana? Siapa yang mengasuh saya kalau Bapak Beni dan keluarganya kembali ke Timika? Bagaimana saya bisa berkontak dengan bapa dan mama, kakak, dan adik.  Saya sedih, dan galau, tapi saya simpan rapat-rapat dalam hati.

 Kami tiba di Makasar pada siang hari. Bapa Beni meme­san hotel Vave yang ada di tepi pantai Makasar. Bapa Beni memesan dua kamar.  Se­telah menik­mati makan ma­lam ber­sama, kami berja­lan-jalan di pantai Lo­sari. Di situ ada festival yang di­se­lenggarakan oleh pe­me­rintah setempat. Sejenak saya melupakan kegalauan saya.

Saat perjalanan pu­lang pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya lagi. Saya tidak me­nyadari bahwa di depan saya ada saluran air. Saya terperosok ke dalam saluran ter­sebut. Orang-orang di se­kitar saya sontak me­man­dangi saya. Lalu saya bangkit berdiri dan pergi dengan rasa malu.

Di hotel saya bergegas menuju kamar saya lalu menelepon ba­pa saya. Saya menceri­takan pengalaman saya. Bapa sangat se­nang mendengarkan suara saya. Dia membesarkan hati saya. “Ko tra pa pa. Pasti ada yang membantu,” katanya. Dia tertawa. Namun sa­ya tahu bahwa di balik tawa tersebut ada rasa sedih yang tersembunyi. Saya berjanji kepada bapa bahwa saya akan belajar dengan baik di Seminari nanti.

Kisah awal saya masuk Seminari sederhana. Namun ini telah mengantar saya sampai di kelas XI di Seminari ini. Saya masih bertahan di sini. Dan kata-kata bapa benar. “Ko tra pa pa. Pasti ada yang membantu”. Bukan hanya itu. Saya merasa berkembang di sini, di Mataloko, di Flores.

Saya bertekad menyelesaikan pendidikan saya. Tuhan membimbing saya melalui hal-hal yang sederhana, sampai bertahun-tahun di Seminari Mataloko. Dia pasti akan terus membimbing saya ke jalan yang Dia tunjukkan (Eman Pitamini, siswa kelas XI Seminari Mataloko).