
Laporan Perjalanan Rm. Nani (31)
Seorang imam terjebak dalam sebuah sungai. Dia kelelahan dan hampir tenggelam. Lalu dia berdoa, “Tuhan, tolong saya. Aku ini imam-Mu yang mengabdikan hidup sepenuhnya bagi Dikau dan umat-Mu.”
Kebetulan ada orang yang sedang bersepeda lewat, dan hendak membantu. “Terima kasih, tapi saya sudah meminta bantuan Tuhan. Kamu teruskan perjalananmu!” katanya menampik tawaran bantuan.
Beberapa waktu kemudian, seorang polisi lewat dan menawarkan bantuan, tapi imam itu menolaknya. “Aku teguh pada keyakinanku” katanya meyakinkan sang polisi.
Dan terakhir bantuan coba diberikan oleh seorang petugas pemadam kebakaran, tapi juga ditolak. “Tuhan, saya berdoa dengan sepenuh hati. Datanglah membantu, datanglah!”
Dia meninggal. Jiwanya melayang ke surga. Di pintu gerbang surga, dia menggerutu kepada Santo Petrus, tapi rasul itu menimpal, “Bukankah Tuhan datang tiga kali membantumu?”
“Kita mungkin sering sibuk dengan urusan iman kita sendiri, dengan liturgi dan doa-doa, dan kita tidak peka terhadap berbagai bantuan yang ditawarkan di tengah dunia ini agar kita bertumbuh,” kata Thomas Heck, SVD, yang mengantar kami pada perbincangan mengenai teologi quantum.
Kata-katanya mengingatkan kami semua atas jeritan seorang pastor paroki di Kota Issum, Jerman, beberapa waktu lalu, ketika kami berkunjung ke sana. “Gereja kosong, anak-anak muda katakan tidak ada yang menarik di sini,” kata Romo Stefen Keller, nama pastor itu.
Thomas tidak percaya bahwa dunia sedang meninggalkan Tuhan, digilas sekularisme. “Gereja sedang kehilangan kapasitas menyapa umat dengan kebutuhan-kebutuhannya saat ini,” tegasnya.
Mungkin kita tidak bisa secara ekstrem mengatakan tidak ada sekularisme. Sekularisme itu ada, tapi dia tidak bisa mendiamkan pencarian jiwa manusia akan Tuhan. Itu nyata sekali.
Karena itu, Thomas mengulangi kembali kata-kata Paus Fransiskus yang digemakan oleh Superior General SVD, P. Anselmo Ricardo Ribeiro, SVD, “Do not be afraid of the confusion of today’s culture – Jangan takut menghadapi kebingungan budaya saat ini,”.
“So many times in confusing situations, the Spirit takes the Church forward – Banyak kali dalam situasi yang membingungkan, Roh membawa Gereja maju.” Thomas mengutip kata-kata Paus untuk mengawali pemaparannya mengenai teologi quantum. “Roh Kuduslah protagonisnya, pemeran utama,” tegasnya menggarisbawahi sipiritualitas Trinitaris yang diwariskan Arnold Janssen. “Arnold Janssen hanya alatnya yang meningatkan kita akan peran Roh Kudus.”
Manurut Thomas, masyarakat modern menaruh minat besar pada fisika quantum untuk mempelajari apa yang paling mendasar dalam alam semesta. Alam semesta ini sebetulnya terdiri dari partikel-partikel yang lebih kecil dari atom yang pergerakannya tidak bisa dipahami oleh hukum-hukum fisika.
Dia bisa bergerak dalam bentuk partikel, tapi juga dalam bentuk gelombang, dia bisa ada serentak dalam tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Partikel dan sub-sub atom sambung menyambung sehingga pergerakan yang satu akan berpengaruh pada yang lain di tempat yang sangat berbeda, jauh sekalipun. Interkonektivitas tinggi sekali.
Pendek kata, ada satu kekuatan yang beroperasi secara serentak dan misterius yang saling bertalian. Itu yang secara dangkal bisa saya tangkap. Selebihnya, saya bingung sendiri.
Yang penting bagi kita adalah implikasinya bagi hidup beriman kita. “Gambaran Tuhan seperti apa yang sedang beroperasi dalam hidup beriman kita? Tuhan sebagai kekuatan eksternal yang mengontrol kita, atau Tuhan yang bekerja di dalam diri kita, an Incarnated God?” Pertanyaan ini terus diulang Thomas sepanjang pemaparannya.
“Belajarlah dari kisah satir imam yang sedang berdoa karena mau tenggelam. Mari kita membuka diri pada pikiran baru yang mungkin mengganggu, tapi boleh jadi menolong kita. Jangan hanya sibuk dengan urusan liturgi, urusan iman, dan hukum-hukum. Kalau itu membingungkan dan mengganggu, beri dia waktu. Jangan cepat menilai. Itulah salah satu maksud dari program renewal, ada pembaharuan holistik,” ajaknya.
Dia menjelaskan, di banyak tempat kita membawa serta, tanpa banyak mempertanyakan, gambaran Tuhan yang kita warisi dari Abad Pertengahan, yakni Tuhan sebagai kekuatan eksternal yang mengontrol kita. Ada institusi, dan standar-standar moral absolut, ada hukum yang harus kita patuhi.
Saat ini orang semakin tertarik pada the God Within, Tuhan yang bekerja dari dalam, yang ada dalam pengalaman kita. Spiritualitasnya menjadi lebih personal. Moralitasnya adalah hidup dalam harmoni dengan kehadiran Ilahi yang esensial di dalam diri kita. Ada God-Zone dalam diri masing-masing orang yang terus setia bekerja. God Zone itulah esensi terdalam dari diri kita, dari alam semesta, yang menyatukan semua kita.
“Kita terbiasa dengan original sin – dosa asal, padahal manusia baru hadir berjuta-juta tahun setelah alam tercipta. Orang sekarang banyak berbicara tentang original blessing yang hadir dalam alam semesta jauh sebelum adanya original sin,” tantangnya.
“Hukum Taurat diberikan oleh Musa, tapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus,” demikian kata Injil (Yoh. 1:17). Kasih karunia, original blessing itu bekerja dalam diri setiap orang.

Semua pergumulan mengenai teologi quantum ini kami dapatkan pada pagi hari. Pada siang harinya, kami mencoba mengalami secara pribadi bagaimana Kitab Suci itu berbicara dalam pengalaman hidup kita.
Kami menggunakan dua metode, yakni bibliolog dan bibliodrama untuk lebih menggali pengalaman personal masing-masing kami. Teks yang kami pakai adalah kisah mengenai Anak yang Hilang dalam Lukas 15:11-32.
Dalam bibliolog kami diminta secara imajinatif masuk ke zaman Yesus dan para rasul, dan mengambil bagian dalam kisah yang disampaikan Yesus sesuai peran yang dipilih. Misalnya, saat anak yang hilang minta harta dari orang tuanya, masing-masing secara bebas bisa memilih peran, entah sebagai anak hilang, atau sebagai bapa, atau anak sulung. lalu berdialog.
Dalam dialog itu diungkapkan apa yang muncul begitu saja dalam hati masing-masing orang. Hindari penilaian salah benar. Percaya kepada kemunculan itu. Dia berbicara sesuatu.
Saya sendiri masuk ke dalam peran anak yang hilang, yang kelaparan. “Aduh, saya bisa jatuh serendah ini kah? Bisa sama dengan babi, bahkan ebih rendah dari babi, karena babi ada makanan sementara saya tidak ada. Saya harus pulang ke rumah… tapi, tidak. Saya tidak berani. Saya sudah mempermalukan diri dan keluarga serendah ini…saya tidak berani!”
Ada nuansa-nuansa personal yang berbeda-beda yang terungkap lewat percakapan-percakapan imajinatif antartokoh. Kitab Suci tiba-tiba jadi hidup dan kaya.
Sore hari, kami mulai dengan bernyanyi bersama lagu Taize, Oh Lord, hear my prayer. Namun, lagu itu kami nyanyikan sambil menari, bergerak bersama secara berirama, dan menjadikan tarian sebagai doa. Oh, mencengangkan. Ada doa yang tidak sepenuhnya terungkap lewat kata-kata, tapi bisa lewat gerak tubuh, lewat tarian.
Dalam sharing lanjutan, banyak teman dari India berbicara tentang tarian sebagai doa yang banyak dilakukan umat Hindu di daerahnya. “Sangat devosional,” kata Gregory Mintz.
Selanjutnya kami masuk ke bibliodrama. Kami duduk melingkar, dengan ruang tengah yang bulat memanjang di depan kami.
Thomas menyiapkan setting kisah. Pada satu ujung ruang tengah yang bulat memanjang, dia meletakkan kertas-kertas berisi tulisan Yesus (yang diletakkan di tengah), orang Farisi, ahli Taurat (di sisi kanan), pemungut cukai (di tengah sedikit menjauh dari Yesus), pelacur, pencuri, pelanggar hukum (di sisi kiri).
Pada ujung yang lain dari lingkaran bulat itu ada Bapa dan Mama (mama tidak muncul dalam kisah Kitab Suci tapia da dalam lakon yang kami perankan), Anak yang Hilang, Anak Sulung.
Kami semua diminta berdiri mendekati tokoh-tokoh itu dalam keadaan diam, lalu kemudian masing-masing berhenti pada tokoh yang terasa menyapa dirinya secara pribadi. Maka terbentuklah kelompok-kelompok. Ada kelompok orang Farisi, ahli taurat, pemungut cukai, pendosa, pemungut pajak. Ada kelompok papa dan mama, anak yang hilang, anak yang Sulung.
Kami coba masuk dalam lakon masing-masing tokoh yang dipilih, dan menyampaikan apa yang dirasakan. Menarik dan hidup sekali.
Seorang teman yang memilih melakonkan ahli taurat mengatakan, “Tugas kami mengajar. Umat harus tahu aturan dan hukum, dan kami harus jelaskan mengapa semua itu ada. Bayangkan kalau tidak ada aturan yang berlaku, situasi kacau”.
Teman yang memilih lakon orang Farisi mengatakan, “Sekarang ini seni menampilkan diri penting sekali. Kau harus bisa diakui dan diterima. Perkara apakah yang kau lakukan itu benar, itu urusanmu sendiri. Sering kali saya harus bekerja sama dengan pemungut cukai, karena kalau tidak ada uang, tidak ada fasilitas, kau tidak akan dianggap. Orang yang berdosa di sana dikesampingkan dulu. Kalau mereka merusak wibawa dan kehormatan kita, singkirkan mereka”.
Saya sendiri memilih posisi sebagai Anak yang Sulung, karena terasa nyambung dengan apa yang saya alami dalam keluarga.
Saya imam, belajar di Seminari, menyukai filsafat dan teologi, tinggalnya di Seminari, di rumah Tuhan. Hari-hari omongnya ya tentang Tuhan, tentang doa, baca Kitab Suci, Misa.
Saya teringat saudari saya Angang. Dalam keluarga, dia putus sekolah. Tidak tamat SMP. Sejak kecil ganjil dan menderita. Kata-katanya sering tidak didengar, dia dianggap banyak menipu. Penampilannya sering kotor. Kerjanya pembantu rumah. Dia pendosa.
Namun, saat dia meninggal, ribuan orang datang, menangisi kepergiannya, mendoakannya. Dia meninggal dengan wajah tersenyum penuh kedamaian.
Saya seperti anak sulung itu. Punya keistimewaan yang Angang tidak peroleh sepanjang hidupnya. Namun, wajah Angang yang damai, kehadiran ribuan orang yang luar biasa, cetusan hati murni anaknya Mang saat Angang berulang tahun membuat saya iri. Angang memperoleh apa yang saya tidak dapatkan.
Saya tinggal di rumah Tuhan, di Seminari, mempunyai segalanya seperti yang dialami anak sulung, tapi saya tidak mengalami seperti Angang kedamaian yang begitu indah, karena disentuh kasih Tuhan. Saya iri.
Saya menyampaikan ini kepada teman-teman di kelompok untuk mengungkapkan bahwa kedatangan saya ke Nemi adalah sebuah bentuk pencarian spiritualitas.
Dengan masuk ke bibliolog dan bibliodrama, saya mulai merasakan, apa yang dimaksudkan dengan kerohanian yang dialami (experienced spirituality), kerohanian yang menyentuh penghayatan hidup yang nyata, yang tentu berbeda dari kerohanian yang terinstitusionalisasi.
Wah, ini sisi lain dari keindahan Nemi yang sedang saya rasakan. Saya menulis ini pada hari Rabu (2/2/2025). Hari Rabu kami jadikan personal day, hari untuk refleksi pribadi.
Ada tiga pertanyaan yang dibagikan kepada kami untuk direnungkan. 1) Am I happy with my image of God or do I need to change? 2) What hinders me going toward the best person of myself? 3) What are the resources that give me support on the way?
Saya mencatat pertanyaan-pertanyaan yang bagus ini untuk saya ingat setiap kali membaca kisah ini lagi.
Kami mengakhiri Bibliodrama dengan menyanyikan lagi Oh Lord hear my prayer, oh Lord hear my prayer sambil menari. Sebuah bentuk doa yang pengungkapkannya lebih dalam dari jeritan hati.