
Laporan Perjalanan Rm. Nani (17)
Pintu saya diketuk pada Minggu siang (03/03/2025) . Begitu saya buka, tiga pendekar Mataloko ada di depan pintu: Johan Paji, Vinsen Wejo, dan Surya Gabhe. Betapa gembiranya! Kami berpelukan. Pingin berteriak tapi takut mengganggu teman-teman imam yang sedang beristirahat.
Mereka itu para frater SVD yang sedang menempuh pendidikan teologi di Sankt. Augustin, Jerman. Mereka dipilih teman-temannya untuk melanjutkan studi di Jerman.
Kami segera turun ke kamar makan minum kopi. “Kita jalan-jalan ko. Saya ingin ke pekuburan para misionaris kita,” pinta saya. “Siap Romo. Ada Mgr. Noyen dan Mgr. Leven. Katanya ada banyak misionaris Flores di sana, tapi kami tidak tahu!” kata Vinsen dengan sigap. “Romo tidak pakai topi? Dingin sekali di luar,” sambung Johan.
Betul juga. Pagi ini matahari pagi menyengat. Saya menutup tirai jendela karena kepanasan. Namun, begitu keluar, udara dingin sekali. “Temperatur lagi turun,” P. Samy, SVD, salah seorang fasilitator program renewal ini saat makan siang untuk mengingatkan kami.
Saya segera kembali ke kamar di lantai 3 untuk mengambil topi. Kami lalu keluar dari rumah induk sambil tak henti-henti tertawa. Ada-ada saja pembicaraan yang muncrat dari mulut. Tentang tingkah laku saya sebagai guru, kekonyolan-kekonyolan yang mereka lakukan. Saban kali kami berhenti untuk berfoto bersama. “Romo, ini kenangan. Tidak sangka bisa berjumpa dengan Romo di sini,” cetus Johan.
“Romo Beny bagaimana?” “Romo Alex masih terus urus air kah?” “Rm. Sil Edo katanya sudah ke Malanuza?” “Romo Seli bagaimana?” “Mereka sehat-sehat kah?” “Guru-guru siapa-siapa saja sekarang?” “Romo mengajar di SMP juga kah?” “Frater TOP berapa orang?” Pertanyaan-pertanyaan itu mengungkapkan besarnya kerindyan mereka akan alma mater.
Kami menelusuri jalan setapak sambil terus bercengkerama. Vinsen Wejo di barisan paling depan. “Dia tahu semua seluk-beluk di sini, Romo. Dia praktik tiga bulan di rumah induk,” kisah Surya. Tak lama kemudian, Vinsen menyapa seorang bapa. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jerman. Fasih sekali. “Ini hasil pelajaran bersama Romo Beny dulu,” kenangnya.
Mereka bercerita tentang kehidupan mereka di Sankt Augustin, Jerman. Sahabat-sahabat mereka berasal dari mancanegara. Mereka diasah untuk terampil berdialog dan berkomunikasi agar mereka bisa saling memahami dan menghargai. Mereka diajak membangun solidaritas dalam keberbedaan, ikatan kekeluargaan yang multikultural, saudara walau bukan sedarah.
Mereka bercerita tentang keikutsertaan mereka dalam World Youth Day di Lisbon, Portugal. Di antara kaum muda dari Jerman yang ikut serta dalam kegiatan itu, mereka bertiga dianggap paling luwes dan cepat menyesuaikan diri. “Nanti omong sama anak-anak ee Romo, kami di sini tu live in-nya di Spanyol, bukan di Wolowaru, atau Soa,” canda Vinsen.
Sebentar kemudian, kami sudah berada di pekuburan para misionaris. Saya terpana menatap ratusan salib yang berjejer rapi. Ini para pahlawan yang rela meninggalkan segala-galanya untuk masuk ke medan misi. Mereka berani ambil risiko untuk mewartakan iman dengan seluruh hidup mereka.
Kami ke kubur Mgr. Piet Noyen, SVD, misionaris pertama dari Serikat Sabda Allah yang masuk ke Flores dengan Keputusan-keputusan besar yang mendahului zaman. Pemilihan pusat-pusat misi yang strategis seperti Ndona atau Mataloko adalah hasil keputusannya.
Kami mengunjungi kubur Mgr. Henricus Leven, SVD, misionaris besar lainnya yang dengan kewibawaan rohani yang besar merawat Gereja Katolik di Flores selama Perang Dunia II. Dia mendirikan Kongregasi CIJ yang sampai kini terus berkembang.
Di tempat ketinggian di belakang pekuburan ada kapela kecil. Di situlah Santo Arnoldus Janssen, SVD dimakamkan. Sejak beatifikasinya tahun 1975 jasadnya dipindahkan ke dalam gereja bagian bawah dari rumah induk SVD. Kami masuk ke dalam kapel kecil di perkuburan itu untuk memberi penghormatan dan berdoa sejenak.
Keluar dari kapela mungil itu, saya memandang ratusan salib yang berjejer. Ada blok untuk para superior general, para uskup, imam, dan bruder. Dalam hati saya bertanya, bagaimana api misioner bisa begitu berkobar-kobar pada suatu masa tertentu saat para misionaris ini masih muda? Terjadi percakapan yang terbuka dan hangat. Tidak ada jarak antara guru dan murid, senior dan yunior. Pasti ada pengaruh perang dunia I dan II, ada pengaruh politik etis yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda, tapi di atas segala-galanya iman yang bernyala, yang tidak padam walaupun ada seribu penderitaan yang menghadang.
Dialog merambah ke banyak hal. Mereka berbicara dengan elokuen tentang para misionaris Eropa Timur yang suatu waktu datang ke Indonesia dalam jumlah besar. Mereka berbicara tentang budaya menulis tangan yang masih kuat terasa dalam pendidikan di Eropa, tentang kedisiplinan yang mengajarkan ketangguhan, atau tentang karnival yang sedang dan akan berlangsung, dengan berbagai manfaatnya.
Dari pekuburan kami menuju biara SSpSAP. Kami tidak bisa masuk ke dalam biara, tapi kami bisa masuk ke dalam kapela melalui pintu samping. Kami melihat Sakramen Mahakudus ditahtakan dan sejumlah suster yang sedang berdoa.
Kami menghabiskan waktu dua setengah jam untuk berjalan dan bersenda gurau. “Anak-anak, saya bangga pada kamu!”
Johan, Vinsen, dan Surya. Karena jumlahnya tiga, saya teringat buku Alexandre Dumas berjudul The Three Musketeers. Rasanya mereka itu pengawal. Setiap kali saya berjalan, mereka mengapiti. Kalau mereka mengambil foto, saya pasti berada di tengah.
Tidak ada salahnya menitipkan harapan, semoga mereka belajar like never before. Semoga mereka Tangguh dan layak menjadi pendekar dan pengawal iman dan kemajuan yang rendah hati.