RAMBUT, RELIKWI SATU-SATUNYA

Laporan Perjalanan Rm. Nani (28)

Teman-teman tidak langsung masuk ke kamar makan pagi ini, Minggu (23/3/2025). Di luar kamar makan di Seminari Brixen sudah disiapkan makanan untuk di-pak sebagai menu makan siang. Saya mengambil dua ketul roti, sebuah apel, dan dua botol air.

“Jangan lupa bawa baju hangat. Udara di sana dingin. Ketinggiannya 1500 m di atas permukaan laut,” kata Thomas Heck, SVD mengingatkan kami, begitu kami selesai makan pagi. Kami berziarah ke kampung kelahiran Santo Yosef Freinademetz, Oies.

Oies letaknya di Tyrol Selatan, Badia, Italia utara, di rentang pegunungan Alpen. Dulunya tidak dikenal sama sekali, karena lebih berupa pondok-pondok para petani. Kini Oies banyak dikunjungi khususnya para peziarah mancanegara.

Perjalanan ke Oies ditempuh selama dua jam. Pagi cerah. Sinar matahari menghangatkan suhu. Namun, lebih dari itu, cuaca yang sangat bersahabat memanjakan mata kami untuk menikmati panorama wilayah pegunungan yang istimewa.

Musim belum sepenuhnya berganti. Namun, pemandangan hutan dengan pohon pinus yang mulai menghijau, rumput segar yang membentang rapi bagai permadani hijau di depan rumah atau perkampungan di lereng-lereng gunung, panorama gunung di kejauhan dengan salju putih di sana-sini di balik kabut tipis, kebun-kebun gandum yang subur dan segar menghijau, semua itu membuat kami dipenuhi decak kagum.

‘Lihat Nani, perkampungan sebelah itu, indah sekali. Lihat, sungainya jernih. Aduh, gerejanya menjulang tinggi. Lihat, ada rumah di atas puncak bukit!” Kata-kata ini mengalir begitu saja dari bibir hitam Mukabi Ngalile, SVD, misionaris asal Kongo, Afrika yang duduk di samping saya.

Kami berkelok-kelok, memasuki terowongan demi terowongan. Jarak antara terowongan yang satu dengan yang lain kadang berdekatan. Setiap kali melewati satu terowongan selalu ada pemandangan yang mengejutkan.

Kami mendaki semakin tinggi, ketika memasuki wilayah Oies di lereng gunung. Kami turun dari bus persis di samping rumah tempat kelahiran Santo Yosef Freinademetz. Panorama alam di sekeliling lereng itu tak terkatakan. “Magnificent!” kata Mukabi berkali-kali.

Dalam perjalanan, Thomas Heck, SVD membacakan sebuah surat yang ditulis Yosef Freinademetz dari Steyl, setelah dia meninggalkan kampung halamannya Oies, untuk bergabung dengan Arnold Janssen di rumah misi SVD.

Dalam surat itu, Yosef Freinademetz mengungkapkan betapa berat dan sedih hatinya meninggalkan kampung halaman dan orang-orang yang dia cintai. Namun, ia ingat kata-kata seorang teman, “Semakin kita jauh dari orang yang kita cintai dan semakin kita sendirian, kita menjadi semakin dekat dengan Tuhan”.

Keindahan kampung halamannya itu anugerah. Ibu-ibu di kampungnya sering berucap, “Berterima kasihlah anak-anak bahwa kamu berasal dari daerah pegunungan yang indah. Kalau bukan karena panggilan Tuhan, tidak pernah boleh kalian meninggalkan pegunungan yang indah itu”. Yosef rela meninggalkan kampung halamannya yang indah karena Tuhan memanggilnya.

“Silahkan jalan-jalan selama setengah jam. Setelah itu kita berkumpul kembali di tempat ini. Jangan lupa membawa bekal masing-masing,” perintah Samy, koordinator program tersiat.

Tempat pertama yang kami tuju adalah lereng bersalju di belakang rumah dan kapela. Kami menggenggam salju, saling melempar, menenggelamkan kaki, tertawa dan berteriak, berfoto ria penuh kegembiraan. God is playful! – Tuhan suka bermain. Saya baca tulisan itu pada sebuah dinding di sebelah meja pingpong di Steyl suatu malam saat hendak bermain tenis meja.

Saya membayangkan, betapa Santo Yosef merasakan sukacita yang besar bersama seluruh keluarganya karena keindahan alam. Kemenyatuan dengan alam membuatnya dekat secara natural dengan pencipta-Nya. Alam membantu Santo Yosef bertumbuh dalam kebeningan batin, dalam kontemplasi, dalam melodi jiwa. Ada getaran nada batin yang membantu jiwa menyapa pencipta-Nya.

Kami masuk ke dalam rumah tempat Santo Yosef dilahirkan. Di ruang tengah tempat pertemuan keluarga, ada gambar Bunda Maria yang ditahtakan di sebuah sudut. Di depan gambar itu, seluruh keluarga berkumpul setiap hari setelah bangun pagi. Doa pertama yang dilantunkan adalah Doa Anjelus. Doa ini juga menjadi doa pertama yang dilantunkan di malam hari sebelum beristirahat setelah seharian bekerja berat. Tuhan menjadi tiang penopang utama keluarga.

Kami masuk juga ke kamar pribadi Santo Yosef, yang khusus disiapkan orang tuanya setelah dia masuk Seminari, sebuah kamar dari papan dan kayu berukuran kecil dan hangat. Saat dia berlibur, dia akan tinggal di kamar itu.

Dia sangat suka membantu saudara/i-nya bekerja di kebun. “Saudara/i-nya sering mengejeknya kalau kedapatan merusakkan peralatan kerja atau tidak terlalu terampil bekerja karena lebih banyak berada di Seminari. Mereka akan minta Santo Yosef untuk pulang kembali ke kamarnya dan membaca atau belajar. Tentu, Santo Yosef tetap bekerja bersama keluarganya,” jelas Thomas.

Hidup di Oies pada zaman itu keras. Dingin menggigit sum-sum. Saya mencoba menuruni lereng, membiarkan diri diterpa angin. Dingin sekali. Hidung serta merta berair.  “Kalau Anda nekat, pasti akan rasakan banjir dari hidung,” ejek Mukabi.

Mencari kayu bakar, mencari rumput untuk kuda, turun ke sekolah, mengunjungi tetangga, itu semua dilakukan dengan berjalan kaki. “Setiap hari Santo Yosef akan bersama ayahnya ke kapela yang berada di puncak bukit. Perjalanan ke sana lebih dari satu jam. Setiap Minggu mereka turun ke paroki yang jaraknya jauh,” kisah Thomas.

Alam mengajarkannya untuk tahan menderita, untuk tabah, dan tangguh. “Namun, alam juga mengajarkannya untuk bermurah hati. Kalau mereka mengalami kesulitan, mereka pasti mengandalkan bantuan tetangga. Mereka terbiasa saling menolong,” jelas Thomas yang setia memandu kami semua.

Thomas berkisah tentang seorang penenun atau penjahit yang prihatin karena melihat si kecil Yosef murung. Yosef menceritakan impian hatinya untuk masuk Seminari tapi tidak mungkin bisa karena keluarganya tidak sanggup membiayai. Sang penenun bersedia membantu pendidikan Yosef di Seminari, bahkan bersedia mengantarnya ke Seminari Brixen. Yosef merasakan kemurahan hati orang-orang sederhana di kampungnya. “Love is the language that all people understand,” kata Santo Yosef sendiri suatu waktu.

Setelah sejenak beristirahat sambil menikmati minuman dan aneka snack yang disiapkan Br. Paul, misionaris yang pernah bekerja puluhan tahun di Paraguay dan kini dipercayakan untuk menangani tempat perziarahan di Oies ini, kami diajak ke Gereja Santo Yosef Freinademetz untuk merayakan Ekaristi. Gereja itu letaknya persis di lantai atas tempat kami minum.

Gereja itu terbuat dari kayu. Untuk memasukinya kita harus melewati jembatan kayu yang menghubungkan rumah tempat kelahiran Yosef dan gereja. Jembatan penyeberangan itu mengungkapkan kehidupan Yosef yang menyeberang ke Cina untuk melaksanakan karya misi.

Tahun 1879, Santo Yosef ke Cina, dan dia tidak pernah kembali lagi. Dia putuskan jembatan yang menghubungkan dirinya dan kampung halaman serta keluarganya untuk selamanya. Dia menjadi salah satu warga Cina.

Tiang-tiang merah yang menyangga atap gereja mengingatkan orang akan arsitektur kuil-kuil  Cina. Warna merah bagi orang Cina berarti symbol keberuntungan. Nama Cina dari Santo Yosef sendiri adalah ‘Fung Shenfu’, yang berarti ‘Imam yang beruntung’. Karakternya yang penyayang dan semangat misionernya yang bernyala-nyala sungguh membawa keberuntungan dalam Tuhan bagi masyarakat Cina.

Gereja St. Yosef Freinademetz di Oies

Di sebelah kanan altar ada patung Santo Yosef berpakaian tradisional Cina dengan tatapan ke depan yang teduh sambil tangannya terentang. Kakinya siap melangkah merangkul kita dan menemani perjalanan hidup dan iman kita.

Misa siang itu syahdu sekali. Kami diajak berdiam sejenak, dan dengan semangat mindfulness ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi. Tidak pernah dibayangkan sama sekali bahwa dari tempat yang sunyi dan terpencil seperti Oies, lahir seorang misionaris ulung dan suci. Kita hanya bisa mengagumi karya besar Tuhan dan memuji-Nya. Kami semua diajak membangun kepekaan hati melalui sikap hidup kontemplatif untuk mendengarkan panggilan Tuhan dan menaatinya dengan sepenuh hati.

Beberapa jam kami berada di lereng Oies. Saya sempatkan diri berdoa di depan patung Santo Yosef di luar gereja, kurang lebih 40-an meter ke sebelah kiri. Patung itu menarik perhatian saya, karena Santo Yosef berada bersama beberapa anak kecil yang gembira menggenggam tangan atau jubahnya.

Ternyata Santo Yosef itu pencinta anak. Kami berkunjung ke paroki Martin de Tours jauh di bawah lembah di pusat pemukiman, paroki dimana Santo Yosef menjadi pastor pembantu selama dua tahun sebagai imam diosesan, sebelum bergabung dengan SVD. Tugasnya saat itu mengajar anak-anak.

Dia amat menyayangi anak-anak. Kehadirannya sangat disukai dan ditunggu anak-anak. Dia suka sekali membantu anak-anak yang mengalami kesulitan belajar, atau yang dilecehkan oleh teman-temannya.

Perpisahannya dengan umat dan terutama anak-anak begitu menyedihkan, sehingga seisi gereja menangis. 30 tahun setelah dia menjadi misionaris di Cina, seorang anak bernama Maria yang sudah menikah dan mempunyai anak menulis surat kepada gurunya yang tidak pernah dilupakannya. Surat itu dibacakan lagi oleh Thomas kepada kami semua. Betapa mengharukan! Betapa membekasnya! Betapa luar biasanya!

Penggunting rambut yang biasa memotong rambut Romo Yosef saat masih imam diosesan iseng-iseng mengumpulkan beberapa utas rambut Santo Yosef setiap kali mengguntingnya. Dia berangan-angan, siapa tahu imam yang rambutnya digunting ini menjadi santo kelak. Rambut itu disimpan di rumah Santo Yosef sebagai satu-satunya relikwi dari Santo yang istimewa ini.

Perjalanan hari ini indah sekali – ada penyegaran batin yang tak terlukiskan. Puji Tuhan.

  • Related Posts

    VULTURE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (40) Seorang gadis kecil dari Sudan yang kelaparan tertelungkup jatuh tanpa tenaga lagi. Dia sudah berhari-hari tidak makan dan sedang berusaha ke pos makanan terdekat. Apa…

    MEMPERTANYAKAN MODEL FORMASI KITA

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (39) “Seorang imam muda dikirim keluar negeri untuk menjadi misionaris. Namun, hanya dalam 10 bulan dia sudah minta pulang. Dia mengeluh tentang bahasa. Dia mengeluh tentang…