Renzo

EUFEMISME: BERKAT ATAU KUTUK?

Menurut Kamus Be­sar Bahasa Indonesia,  eu­femisme adalah ung­kap­an yang lebih halus seba­gai pengganti ung­kap­­an yang dirasa ka­sar, yang dianggap me­rugi­kan atau tidak menye­nangkan.

Dilansir dari Wikipe­dia, ka­ta eufemisme ber­asal dari bahasa Yunani “eu” (bagus) dan “phe­­mo­o” (berbicara). E­u­­­­fe­mis­me berarti ber­bicara dengan ungkapan yang baik dan sopan.

Eufemisme bertujuan untuk tidak menyakiti/ menyinggung orang la­in. Dalam hal ini, kita ambil con­toh, “Pen­curi di­aman­kan oleh kepoli­si­an.” Kata “diamankan” me­rupakan salah satu con­toh eufemisme yang memiliki arti sebenar­nya, yaitu di­tang­kap.

Tidak semua penang­kapan dilakukan pa­da orang yang tepat. Ada kalanya, pihak ber­we­nang salah menang­kap pe­laku. Mengguna­kan ka­ta diamankan ter­kesan akseptabel.

Namun, apabila ko­rup­tor yang di­amankan, apakah itu pan­tas? Le­bih baik koruptor dise­but maling atau rampok, agar terasa efek jera dan ra­sa malu yang diterima.

Ironisnya, budaya In­do­­ne­sia memiliki istilah “Di atas tumpul, di ba­wah lancip”. Pejabat-pe­jabat bermasalah, di­be­ri­ta­kan secara halus. Se­dangkan orang kecil, ha­nya mencuri sandal, ter­da­pat dramatisasi.

Budaya hormat kepa­da orang yang tinggi statusnya sangat kentara dalam Indonesia. Ka­­re­na itu, banyak berita ko­rupsi pejabat yang justru menyembunyikan se­sua­tu.

Sebenarnya itu tidak perlu. Pihak berwenang pasti memiliki bukti  ob­jektif melalui penyi­dik­an dan penyelidikan se­ca­ra komprehensif da­lam menangani sebuah ka­sus, agar khalayak da­pat mengetahuinya.

Undang-Undang Pa­sal 6 No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menya­ta­kan, peran pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berda­sar­kan informasi yang te­pat, akurat, dan benar.

Oleh karena itu, para jurnalis perlu menyam­paikan berita secara eks­plisit.

Namun, kata-kata da­lam berita juga perlu di­kemas dengan baik. Po­tensi menimbulkan ge­jo­lak yang merusak na­ma keluarga pelaku me­rupakan salah satu per­tim­bangannya.

Era Soeharto

Pada Rezim Orde Ba­ru, eufemisme memiliki fungsi pengendalian, ke­cu­­ri­gaan, penipuan, dan ke­­­­­­kerasan yang bergaya topeng. Maksudnya, ada arti tersembunyi yang ji­ka diketahui menjadi le­bih riskan bagi korban/ ma­syarakat.

Pemerintah memun­cul­­kan istilah represi li­nguistik, yaitu penekan­an dan pembatasan atas kebebasan rakyat me­nya­takan pikiran dan pe­rasaannnya dengan ber­ba­ha­sa. Hal ini menu­run­kan sikap kritis dan pem­ba­tas­an masyarakat untuk me­­­nyuarakan as­pirasi.

Masyarakat terpaksa harus mengikuti segala perintah dan kebijakan yang dibuat oleh pe­me­rintah.

Disfemisme

Allan dan Bur­­­­­­ridge (1991) men­je­las­­kan “dis­femisme ada­lah kata atau frasa yang berkonotasi menya­kit­kan atau mengganggu ba­ik bagi orang yang di­ajak bicara atau orang yang dibicarakan, serta orang yang mendengar­kan ungkapan tersebut”.

Disfemisme dapat di­sebut sebagai lawan ka­ta atau antonim dari eufe­misme. Namun, Bukan ber­arti disfemisme tidak dibutuhkan.

Penulisan judul berita di me­dia massa kadang me­merlukan disfemisme. Contoh, “Kabar Gem­bi­ra untuk Guru di Pelo­sok”. Kata pelosok me­nya­takan tempat ter­pen­cil yang jauh dari kera­maian kota dan meng­alami keterbatasan fasi­li­tas.

Alasan tersebut mem­buat banyak orang ti­dak mau mengabdi di tempat ini. Oleh karena itu, disfemisme berfungsi untuk menarik minat pembaca.

Bagi seminaris

Di Seminari, eufemis­me sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh para guru dan pem­bina ke­­pa­da seminaris mau­pun di antara semi-na­ris seba­gai bentuk ko­munikasi.

Bagi para guru/pem­bina, eufemisme men­­ja­di suatu kebijakan pen­didikan. Bagi seminaris meng­gu­na­kan kata yang halus berguna dalam men­jaga perasaan orang lain.

Namun, jika kondi­si­nya merujuk kepada de­viasi yang terbukti kebe­narannya, eufenisme se­baiknya dihilangkan.

Seminaris suka mem­bunga-bungakan sebuah kata demi suatu pem­be­naran dan keinginan ter­tentu yang belum tentu ba­ik. Oleh karena itu, ka­ta­kan saja dengan te­gas dan terbuka terha­dap pe­laku ketika mela­kukan pe­nyimpangan agar ada rasa malu dan efek jera baginya. Se­minaris pun harus men­jaga eufemis­me.

Lorenzo Puling

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu

Ibu Merlin

MERLIN: BUKU JENDELA ILMU

Dengan mem­baca buku kita dapat me­ngetahui banyak hal, menambah wa­wasan, dan menda­patkan banyak ilmu sehingga kita semakin tertarik untuk mem­baca buku.

Maria V. Uta Djadja atau yang kerap disapa ibu Merlin adalah wa­nita kelahiran Mataloko 11 April 1980. Saat ini, ia menjadi pengajar di SMA Seminari St. Yoh. Berkh­­­mans Todabelu dan me­ngampuh mata pelajaran Kimia.

Merlin adalah so­sok yang patut di­con­tohi da­lam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat kita lihat dari ber­bagai aspek yang mele­kat da­lam dirinya.

Merlin di­kenal sebagai guru yang ramah dan ce­ria da­lam menjalani akti­vitas se­hari-hari. Se­lain itu, ia juga dikenal se­bagai sosok yang di­sip­lin dan tekun dengan tu­gas yang diberikan. Ini­lah keung­gulan yang di­mili­ki­nya.

Riwayat pendidikan

 Wanita kelahiran Ma­taloko 11 April 1980 ini memulai dunia pendi­di­kan­nya di SDK Mata­lo­ko. Sesudah menamat­kan pendidikannya di se­kolah dasar, ia melan­jutkan pendidikannya ke SMP Kartini.

Sehabis da­ri Kartini ia me­ne­rus­kan pendidikannya di SMA Negeri I Bajawa. Selanjutnya ia melang­kah ke perguruan tinggi Undana Kupang.

Merlin me­ngambil jurusan MI­PA (Program Studi Ki­mia) sesuai dengan mi­natnya. Setelah 5 tahun ber­gelut sebagai maha­sis­wi, akhirnya ia ber­ha­sil meraih gelar serjana.

Cinta buku

 Membaca buku ada­lah suatu hal yang pa­ling digemari oleh  Mer­lin. Dalam kesen­di­ri­­­­­­annya ia selalu me­neng­gelamkan diri de­ng­an membaca.

Sosok yang satu ini menjadi peng­gemar buku sejak men­duduki sekolah da­sar. Ku­nang-kunang me­ru­pakan salah satu ma­jalah favoritnya, karena di dalamnya terdapat cerpen dan puisi. Selain Kunang-Kunang, ia se­nang membaca bu­ku-buku novel dan ilmi­ah.

Mer­lin adalah contoh pe­ngguna Ba­­ha­sa Indo­ne­sia yang baik. Dengan membaca buku, kosaka­ta dan wawa­san­nya se­ma­kin bertambah. Me­nu­rutnya, membaca bu­­kanlah suatu hal yang membosankan. Mem­ba­ca justru membuat diri­nya   tertarik untuk te­rus membaca.

Dengan mem­baca bu­ku kita da­pat menge­tahui banyak hal. De­ngan demikian, wa­wa­san kita akan bertambah banyak. Hal inilah yang dapat mem­buat kita ter­tarik untuk membaca buku.

Kemala­san mem­baca mun­cul ketika kita meng­­­­ang­gap membaca ada­lah ke­­giatan yang mem­­­­bo­sankan. Jika kita peng­gemar bu­ku, kita akan membaca tanpa rasa bo­san karena semua pikir­an kita akan ter­bawa ke dalam isi buku.

“Kita harus merasa bah­wa buku adalah sa­lah satu jalan untuk men­dapa­t­kan il­mu,” ungkap Korrdinator Pembelajaran Berbasis Proyek SMA Seminari ini saat di­wa­wan­­carai.

Me­nurut­nya, membaca bu­kan­lah suatu hal yang sulit. Kita dapat memu­lainya dari buku-buku yang sederhana dan mu­dah.

Semangat mem­ba­­­ca yang dimiliki oleh Merlin patut di­tiru oleh para seminaris, agar mem­baca dijadikan se­bagai suatu hobi.

Selain membaca, gu­ru yang satu ini juga suka be­r­main voli dan gitar. Hal inilah yang mem­­buat ia sering me­ng­­am­bil bagi­an dalam ber­­ba­gai ke­giatan di Se­minari se­jak bekerja di sini.

Pesan

Karena cintanya akan buku, ia berpesan kepa­da para seminaris agar selalu setia dalam mem­­baca dan jangan som­bong akan pengetahuan yang kita miliki. Katanya, “Per­pustakaan menyedia­­kan banyak buku, mulai dari buku cerita hingga pen­didikan.”

Dengan me­manfa­at­kan perpustakaan secara baik, kita akan mem­per­oleh banyak pengetahu­an. Ada banyak infor­masi yang bisa kita da­patkan dari perpusta­ka­an. Kita bisa meman­fa­atkan berbagai sumber dan referensi yang ter­se­dia di sana. Perpus­ta­ka­an harus dilihat se­­bagai gudang ilmu bagi kita.

Mendekatkan diri de­ngan perpustakaan ada­lah salah satu cara yang bisa kita gunakan agar ilmu yang berada dalam gudang itu dapat kita peroleh, sehingga wa­wa­san kita menjadi luas.

 Cintailah buku, ka­rena buku itu jendela dunia,” demikian Merlin menutup obrolan.

Trino Mitan

Siswa kelas X, SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko

imun

IMUN: SARANA PENGEMBANGAN DIRI

International Model United Nations (IMUN) sa­ngat mem­­bantu seminaris dalam mengem­bang­kan kemampuan dirinya. Mulai da­ri kemampuan berbahasa Inggris hing­ga kemampuan lainnya. IMUN terbuka untuk semua siswa.

IMUN merupakan suatu pro­gram yang menyatukan pe­muda seluruh du­­nia dengan ber­bagai peng­alaman dan latar bela­kang untuk belajar dan ber­bagi ide. Di sini, de­le­gasi memperoleh wa­w­asan tentang Perse­rikatan Bangsa-Bangsa dan dinamika hubungan internasional.

  Ada dua bentuk kon­ferensi IMUN, yakni tatap muka dan online. Kon­ferensi IMUN secara on­­line dirancang untuk memberi kesempatan ke­­­­­­pada peserta me­­rasakan peng­alaman IMUN yang sebenar­nya dari kenyamanan ru­mah mereka.

 Untuk kon­­­ferensi on­line, kita harus mem­­­­­­­­bayarnya. Bia­­ya konfe­rensi selama se­ming­gu Rp160.000, se­dangkan sebulan Rp320.000. Per­­­­temuan diadakan dua ka­­li seminggu, yakni Sabtu dan Minggu.

 Hari pertama dibuka dengan pengenalan ten­tang per­aturan dan ba­gaimana pertemuannya ber­langsung. Bagian ini me­makan waktu  sete­ngah jam lebih, diikuti roll call, untuk memastikan kehadiran.

Selanjutnya, para de­le­­­gasi akan diberi ke­­sempatan untuk me­nyam­paikan pendapat pa­da bagian general speak­ers list, atau pandangan umum.

Delegasi akan berbicara satu per satu, dilanjutkan dengan moderated caucus atau unmoderated caucus. Di sesi ini, delegasi akan diberikan kesempatan un­tuk mengajukan topik yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Tahap ini akan dilanjutkan dengan dis­kusi dalam kelompok.

Pada hari kedua, per­temuan dimulai dengan roll call, lalu general speaker list, moderated caucus atau unmo­de­rat­ed caucus.

Bagian yang terpenting adalah draft resulution. Para peserta diminta me­nyim­pulkan solusi akhir mengatasi masa­lah yang sedang di­bahas. Para delegasi ha­rus membuat kesimpul­an secara tulis.

Bagian ini dilanjutkan dengan presentasi. Dele­gasi bersangkutan akan membacakan hasilnya. Delegasi lain diberi ke­sempatan untuk berta­nya. Presentasi dan dis­ku­si ditutup dengan vo­ting untuk memilih draft resolution mana yang di­terima.

Pada akhir konferen­si, biasanya ada upacara penutup. Pada bagian ini, akan ada pembacaan penghargaan bagi delega­si-delegasi yang aktif.

IMUN dan semi­naris

Saat pertama kali IMUN diperkenalkan, hanya bebe­rapa seminaris menco­ba­nya. Sekarang sudah banyak seminaris yang terlibat dalam pertemuan yang  dilakukan di English Ro­om. Untuk itu, semi­naris harus menggu­na­kan lap­top masing-ma­sing ka­re­na konfe­rensi berlang­sung secara zoom pada pkl. 15.00 – 21.00.

Seminaris yang baru pertama kali mengikuti  konferensi ini, merasa gugup dan takut karena mesti berhadapan de­ngan banyak orang dari mancanegara. “Awal­nya saya gugup, takut, dan grogi karena baru kali ini saya bertemu dengan orang banyak dari ne­gara lain,” ucap Alino, seminaris kelas X.

Sementara, para semi­na­ris yang sudah lama meng­­ikuti konferensi akan merasa tertan­tang untuk terlibat aktif dalam diskusi yang berlangsung.

Banyak manfaat yang diperoleh dari konfe­ren­si online IMUN. Yang paling dirasakan adalah kemampu­an bahasa Inggris me­ningkat. Misalnya, kete­patan pengucapan, pe­nam­bahan kosakata, dan kemampuan berkomu­ni­kasi dalam bahasa Ing­gris.

Dampak positif ikut­annya adalah  ber­tum­buhnya rasa per­caya diri. Mereka tidak takut lagi berbicara dan ber­pendapat di depan pu­blik dari berbagai negara dengan budaya yang berbeda-beda.

Pengetahuan se­mi­naris pun semakin lu­as karena mereka harus mencari informasi dari berbagai sumber. Mereka juga mendapat inspirasi dari banyak delegasi. 

“Dari IMUN, saya dapatkan pengetahuan baru. Contohnya, infor­masi ekonomi, kese­hat­an, dan politik,” ucap Bayu, seminaris kelas XI yang sudah lama mengikuti kegiatan ini.

Keuntungan lainnya adalah mengenal sesama pemuda dari negara-negara lain, dan berteman dengan mereka.

IMUN dan 5S

IMUN erat kait­­annya dengan socialitas (kebersamaan, solidaritas). Ke­giat­an ini menjadi ben­tuk sosialisasi kelas du­nia karena ada interaksi yang global.

Konferensi in juga berkaitan dengan  dengan aspek scientia (pengetahuan). Seminaris dilatih mencari, menganalisis, mengolah, dan mengomunikasikannya secara jelas kepada peserta dari berbagai belahan dunia. Seminaris juga terlibat dalam forum-forum diskusi.

Selain itu, IMUN berkontri­busi besar bagi pengem­bangan aspek sapientia (kebijaksanaan). Seminaris harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk pemikiran, saran, dan pertimbangan orang tua sebelum memutuskan ikut serta dalam IMUN. Seminaris juga dilatih untuk efektif memanfaatkan waktu, agar siap tampil, serta tidak mengabaikan tugas dan kewajiban sekolah dan asrama.

Dalam mengikuti kegiatan IMUN, seminaris dituntut menyampaikan apa yang benar, mengedepankan respek terhadap orang lain, mendengarkan dengan sepenuh hati. Nilai-nilai seperti kebenaran, hormat, dan kasih adalah bagian dari sanctitas (kekudusan, kerohanian).

Konferensi ini menuntut peserta untuk berpikir dan bekerja. Ada kerja keras, kerja cerdas, dan kerja bijak di dalamnya.

Joice Meko

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

Gambar Utama

WENGGO ULU EKO, MOHON KESUBURAN TANAH

Wenggo ulu eko adalah ritus adat Lio, Flores, yang di­mulai se­jak ta­hun 1800-an karena lowa moa   (kelaparan) me­­la­n­­da ka­wasan tersebut. Mosa­laki la­lu mem­­­­buat ritus ini se­ba­gai res­pons. Ke­­­­­­­giatan ini diyakini sak­­­­ral se­­­hingga la­rangan­­­nya me­ngikat.

Ritus adat bukanlah hal baru dalam kehidup­an masyarakat Lio. Da­lam menjalani kehidup­an, masyarakat Lio cen­derung berpegang teguh pada kuasa yang disebut Nggae. Mereka juga meng­akui peran leluhur da­lam sendi kehidupan­nya. Hal-hal semacam ini tercurah dalam ber­bagai aktivitas kehidup­an mereka.

Con­tohnya,  kegiatan wenggo ulu eko yang dibuat oleh ma­­syarakat Desa Tou, Ke­camatan Kotabaru, Ka­bu­paten Ende. Ritus ini me­­­reka ­­­­­­­yaki­­­ni sebagai ri­­­­­­­­tual guna memper­siap­­kan ta­­­­­­­­nah sebagai me­­­­­­dia persemaian benih, ke­tika musim tanam tiba.

Kegiatan ini dimulai ku­rang lebih pada awal ta­hun 1800-an. Kegiatan ini biasa­­­nya dibuat bu­­lan Oktober. Pemilihan bulan dimaksudkan agar dekat musim tanam.

 Latar belakang weng­go ulu eko adalah ter­­­jadinya lowa moa (ke­­­­­laparan) di Detukou dan sekitarnya ka­­­­­­­­­­rena apa pun yang mereka usa-hakan tidak mem­­­­buah­kan hasil. Masyarakat me­­­­yakini bah­­­wa hal itu terjadi karena ada pe­nga­ruh da­ri leluhur.

Me­nanggapi hal ini mosa­laki (tokoh adat) setempat melaku­kan ritual  weng­go ulu eko sebagai res­pons atas masalah ter­sebut. Hal ini membawa dam­pak positif bagi ma­sya­rakat pada masa itu. Karena itu, diputus­kan, wenggo ulu eko mesti dijadikan ke­giat­an rutin oleh masya­rakat setem­pat.

Awalnya, kegiat­an ini akan dimulai oleh ma­sya­rakat adat se­­tempat tanpa kecuali. Hal ini di­maksudkan agar tanah dan kebun yang masya­rakat miliki men­dapat­kan kesuburan.

Ma­­­sya­­­­rakat yang ha­dir dalam ritus, biasanya mewakili ke­­­luarganya. Biasa­­­­nya ter­­diri atas 6 golongan, yaitu Ata Ku­ne, Ata Tu, Ata Lo­ke, Ata Henda, Bhajo Wa­wo, Ana Mbe­­te dan Fai Walu Ana Halo (ma­­sya­­rakat biasa).

Ma­sya­­­rakat yang ber­kum­pul  meng­abdi pada satu mo­salaki yang di­sebut Tana Jogo Watu Laki Mari. Mosa­laki yang memimpin ja­lan­­­­­nya kegiatan ber­asal dari golongan Ana Mbe­te. Dapat di­­katakan, Ana Mbete adalah kepala se­mua golongan.

Dalam menjalankan tanggung ja­­wabnya sebagai pe­mim­pin, se­orang mosa­laki dibantu Ana Hage (kaki ta­­ngan mosalaki) yang ter­­­diri dari Ata Kune, Ata Tu, Ata Loke, Ata Hen­da, dan Bhajo Wa­wo.

Masyarakat yang da­tang biasanya mem­­­­­­­­­­bawa seekor ayam, se­botol mo­­ke (arak) dan be­­ras. Bawaan ini menjadi per­­­sembahan yang akan di­letakkan pada musu ma­se (batu per­sembah­­­an) dan di­masak seba­gai hi­dangan makan bersama.  

Acara ini akan di­mulai de­ngan pe­mang­gil­an ma­syarakat ber­­­­­­dasarkan kampung. Saat dipanggil, biasa­­­­­­nya be­ras yang di­bawa akan dikula (di­­ukur). Kemu­di­an di­­masak oleh Fai Gamo Lima (istri dan ke­luarga besar mosala­ki).

Setelah dipanggil, se­mua golongan masya­rakat berkumpul di de­pan rumah adat induk. Setelah berkumpul, mo­sa­­laki akan melakukan ri­tual riwu rera (mem­beri sesajian kepada le­lu­hur). Hidangan seba­gai sajian mesti sesuai dengan apa yang diwa­riskan le­luhur, yakni are manu nagi dan are kola kedhe.

Sajian kola kedhe yang dibuat mesti me­­ngan­dung bahan udang. Selama pro­­­­­ses riwu re­ra, semua orang tidak di­perkenan­kan mem­buat ke­gaduhan. Hal ini me­nunjuk­­­kan, ke­giat­an ini sakral. Mereka juga me­yakini bahwa ke­gaduh­an dapat menyebab­­kan per­mohonan tidak di­ka­bul­­­­kan.

 Setelah riwu rera, ke­giatan ritual dilan­jut­kan de­ngan makan bersama. Saat makan, ma­sya­­­­rakat tidak memakai peralatan modern, tapi  menggu­na­­kan per­­alatan tradi­sional yang disebut pene ha’i. Hidangan makan bersama yang di­se­dia­kan dimasak oleh Fai Gamo Lima.

Proses memasak hi­dang­an dimulai dengan nga­ki loka (mem­bersih­kan lokasi masak). Hal ini biasanya dibuat  go­long­an Bhajo Wawo dan Ata Henda.

Setelah nga­ki loka, kegiatan di­lan­jutkan dengan tabha are tana nasu nake wa­tu (me­­masak), baik se­saji­an maupun hidangan ka bou pesa mondo (ma­­­kan bersama).

Setelah kegiatan ritu­al ber­langsung, ma­sya­rakat, ba­ik yang hadir maupun yang berada di rumah, diminta untuk me­naati larangan, seper­ti, tidak menyisir ram­but, tidak menyapu ru­mah, tidak ga­duh, dan tidak mem­bawa tum­buh­an hijau masuk kam­pung selama satu hari.

Larangan yang dibuat akan berlanjut hingga ha­ri yang ditentukan. Larangan paling akhir biasa­nya berlaku pada hari sebelum mosalaki me­laku­kan pa­ki (pena­nam­­an benih), ma­sya­rakat di­larang me­laku­kannya­ lebih dahu­lu.

Jika larangan ti­dak dit­aati, den­da akan dike­nakan. Sanksi yang di­se­but seliwu se’eko ter­diri atas seekor babi dan sejumlah uang. Dulu, se­­belum menggunakan uang, denda dibayar de­ngan emas.

 Namun, denda ini ha­nya dike­nakan kepada me­reka yang kedapatan me­­nyimpang. Bila mela­kukan penyimpangan, ta­pi tidak kedapatan, ru­saknya struk­tur tanah dan gagal panen diya­kini sebagai sanksi yang diberikan le­luhur. Setelah selesai, bia­sa­nya akan dilanjutkan de­ngan gawi bersama jika memungkinkan.

Saat ini, wisatawan asing bo­leh menghadiri kegiatan, tapi harus atas izin mosa­laki. Me­reka ini di­­­sebut se­bagai kura fangga no’o lo­­wo lowo ro’a loka no’o keli keli (pendatang). Jika wisa­ta­wan melakukan pe­lang­­garan pertama kali, mereka akan ditegur.

Bayu Putra

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

DSC_1488

JURNALISTIK: INVESTASI BAGI CALON PEWARTA

SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko menyelenggarakan kegiatan pelatihan jurnalistik kepada 193 siswa di ruangan musik SMA Seminari, Selasa-Jumat (14-17/2/2023). Kegiatan ini di­nilai sebagai sebuah modal untuk ma­sa de­pan dan relevan dengan tuntutan zaman.

Saat membuka kegiatan tersebut, Kepala SMA Semi­na­ri St. Yohanes Berkh­mans Todabelu, RD. Ma­rianus Agustinus Ga­re Sera, M.Pd menekankan be­ta­pa pentingnya kegi­at­an menulis di kalangan seminaris. “Kegiatan ini mesti menjadi suatu momen pengembangan keterampilan menulis sebagai inves­tasi untuk masa depan,” jelasnya.

Peran jurnalistik

Lebih jauh, RD. Tinyo menyatakan tiga maksud utama kegiatan ini. Per­ta­ma, meningkatkan kete­ram­pilan menulis. Meskipun teknologi semakin berkembang, ek­sistensi menulis tidak akan pernah pudar. Keterampilan menulis tetap dibutuhkan, meskipun zaman terus berubah. Ke­te­rampilan ini da­pat dijadikan sebagai modal bagi peserta didik dalam meng­hadapi kehidupan di masa depan. 

Kedua, meningkatkan minat baca. Pada zaman sekarang ini, minat membaca turun drastis. Tidak sedikit pu­la yang ber­ang­gapan bahwa mem­baca tidak menarik, apalagi membaca buku-buku tebal. Namun sebenarnya, ke­giatan ini amat dibu­tuh­kan dalam upaya pe­ning­katan kemampuan intelektual dan pola pikir yang sis­te­matis. Jadi, para rema­ja, khususnya seminaris sendiri tidak boleh menganggap remeh keku­atan membaca.

Tambah lagi, membaca dan menulis harus berjalan beriringan. Tanpa membaca, keterampilan menulis tidak terasah dengan baik. “Keasyikan menulis itu adalah karena membaca,” kata RD. Nani Songkares saat mendampingi proses pelatihan.

Ketiga, meningkatkan kemampuan mengamati. Seorang penulis yang baik harus memiliki kemampuan observasi yang kuat. Dia harus bisa menangkap dan mendeskripsikan banyak hal  secara teliti. “Peristiwa itu banyak, tapi tidak semua peristiwa menjadi berita karena tidak ada yang melaporkan. Butuh orang yang bisa menangkap dan mendeskripsikan peristiwa, sehingga dapat menjadi berita,” tambah Nani.

Dalam memburu in­for­masi, siswa dilatih un­tuk terampil menangkap informasi dari berbagai sumber, termasuk melalui wawancara. Untuk itu siswa perlu dilatih untuk menyusun pertanyaan, menyimak, dan merangkaikan semuanya dalam sebuah tulisan. Dengan demikian, kemampuan berpikir analitis dan sistematis dipertajam.

Pelatihan Menulis dan Calon imam

Kegiatan jurnalistik ini sangat relevan untuk para calon imam. Calon imam adalah pewarta kebenaran di masa depan. Ketika se­dang mewarta, dibu­tuh­kan kemampuan berba­ha­sa yang baik sehingga dapat mengungkapkan kebenaran secara jelas dan menarik.

Karena itu kegiatan jurnalistik ini adalah investasi jangka panjang, karena sangat berguna untuk masa depan. “Siapa tahu, akan lahir penulis-penulis handal di masa depan yang mewartakan kebenaran melalui tulisan,” kata Nani di sela-sela pelatihan. Dengan terus berlatih menulis, para seminaris akan di­per­mudah dalam menja­lankan tugasnya di masa depan.

Mengingat pentingnya menulis bagi pewartaan di masa depan, Seminari telah lama memberikan perhatian pada pengembangan keterampilan menulis. 

Tahun 1960-an, ketika Pater Alex Beding, SVD menjadi salah seorang pembina Seminari lahir Florete, Majalah Seminari yang sangat terkenal. Belakangan Florete menjadi Seri Buku yang terbit setiap semester sekali. Seri Buku ini terbit bersamaan dengan Seri Buku Lastrawan (Ladang Sastra Berkhmawan) yang menampung tulisan-tulisan seminaris bernuansa sastra seperti puisi, cerpen, dan ulasan buku.

Pada tahun 1970-an SMP Seminari sudah memiliki majalah dinding yang bernama BIAS (Bimbingan Apresiasi Siswa). Mading ini dilanjutkan di SMA. 

Tahun 2011 beberapa wartawan senior dari Kompas antara lain, Tony A. Widiastono dan Peter Gero, mengadakan pelatihan jurnalistik yang menghasilkan mading bercorak ‘Kompas’ dengan berbagai rubrik. Sejak saat itu, pelatihan jurnalistik terus dilaksanakan, bahkan menjadi program unggulan Seminari.

Merdeka Belajar

Merdeka Belajar di­ciptakan sebagai res­pon terhadap perkembangan zaman. Mendik­budris­tek, Na­diem Ma­ka­rim me­ngungkapkan bah­wa kurikulum ini di­buat supaya siswa tidak lagi menjadi objek dalam ke­gi­atan pem­be­la­jaran.

Karena itu, yang menjadi titik fokus adalah peserta didik. Artinya siswa sendirilah yang belajar sesuai de­ngan minat dan keingin­annya, namun tetap di­fa­silitasi oleh para guru.

Keseimbangan pada kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler men­ja­di warna yang tampak amat jelas dalam kuri­ku­lum ini.

Pelatihan Jurnalistik menjadi salah satu kegi­atan ekstrakurikuler ber­gengsi di SMA Seminari St. Yoh. Berkh­mans To­da­belu. Kegiatan ini memberi warna tersen­diri bagi lembaga Semi­nari.

Sejalan dengan Kuri­ku­lum Merdeka Belajar, kegiatan jurnalistik ha­dir sebagai media bagi siswa untuk belajar dan mengaktualisasikan diri. Mereka sendiri adalah pelakunya.

Harapan besar

 “Harapan saya adalah para siswa dapat me­mak­nai kegiatan ini se­cara benar dan men­jadikan kegiatan ini se­bagai pemicu supaya mi­nat dan bakat siswa dapat tersalurkan. Ak­hir­nya semoga pelatihan yang diberikan dapat ber­guna bagi para siswa untuk masa depannya,” ungkap Rm. Tinyo.

Kegiatan Jurnalistik diharapkan dapat men­jadi wadah pengembangan minat dan bakat para seminaris. Wa­dah ini diharapkan dapat menstimulasi se­minaris untuk lebih produktif dengan menulis.

BERTRAN BUSA   

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

IMAM DI ANTARA CALON IMAM

 IMAM DI ANTARA CALON IMAM

Oleh : Rm. Beni Lalo, Pr

Tulisan ini dibuat dalam rangka Pancawindu imamat Rm. Bene Daghi. Beliau mendesak saya agar segera menuntaskan tulisan ini untuk dimasukkan ke dalam Buku Pancawindunya. Setiap kali ketemu selalu beliau bertanya “sudah selesai ko?”. Di awal bulan Januari saya mengatakan kepadanya, ”sudah tuntas Ka’e…”. Saya tidak sangka kemendesakkan pertanyaan Rm. Bene sebagai pertanda bahwa ia tidak lama lagi hidup di dunia ini. Tanggal 1 Pebruari 2021 beliau menarik napas terakhir di RSU Bajawa dan dikuburkan dengan cara khas di usia imamat ke 36 menuju 37 tahun.

Dalam duka kita menyerahkan Rm. Bene ke dalam tangan Tuhan. Sambil kita bersyukur atas 36 tahun imamatnya sebagai rahmat Allah bagi dunia dan gereja. Benar motto tahbisan imamatnya: “Cuma dalam Dia yang menguatkan aku, aku mampu…” (bdk.Fil. 4: 13). Rahmat Allah meneguhkan kesetiaan seorang imam yang rapuh secara manusiawi. Rahmat yang ditumpahkan dalam kondisi batin hidup seseorang, dalam dialog internal dari waktu ke waktu antara dinamika panggilan/tindakan Allah dan dinamika jawaban/tindakan manusia (Darminta,2006: 16). Allah yang hadir dalam seluruh proses panjang panggilan dari tahap awal ke tahap perutusan: undangan Allah pada seseorang; keinginan seseorang untuk bersatu dengan Allah; komitmen dalam iman; perkembangan spiritual; dan mandat apostolik (Konseng, 1995: 14).

Tahap-tahap yang sama juga dialami oleh Romo Bene Daghi sepanjang 36 tahun sebagai imam. Dalam tulisan ini, saya tidak mendalami tahap-tahap di atas. Saya membuat refleksi yang bersumber dari konsep imamat (biblis dan tradisi gereja) kepada fenomena-fenomena yang sempat tertangkap lensa dalam pengalaman hidup bersama Rm. Bene Daghi.

A. Menjadi imam Tuhan

Pada saat seseorang menyebut kata “imam”, muncul dalam pikirannya gambaran sosok seorang yang berperan sebagai pengantara manusia dan Tuhan, seorang yang berperan sebagai penghubung yang menyampaikan doa dan harapan umat pada Tuhan. Sebaliknya juga, imam menjadi tanda kehadiran Tuhan di tengah umatNya. Surat Ibrani  mencatat bahwa seorang imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah (Ibr.5:1).

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa imam menyandang kewibawaan Kristus dan berkat meterai istimewa, dijadikan serupa dengan Kristus, sehingga mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala (PO 2). Dengan demikian, imam menjadi simbol kesucian. Simbol kesucian pada diri imam dinyatakan melalui pelaksanaan tugas-tugasnya, yakni tugas mengajar (pelayanan Sabda Allah), menguduskan (pelayanan sakramen) dan memimpin (pelayanan kepemimpinan).

1. Pelayan Sabda Allah: sebagai pelayan Sabda Allah, imam bertugas untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Perjanjian Lama dalam Kitab Ulangan mencatat peran mengajar dari imam adalah mengajarkan aturan-aturan Tuhan kepada Israel (Ul.33: 10). Dalam teks ritus tahbisan imam, ada ajakan terhadap imam baru untuk mengajar dan melaksanakan aturan Tuhan. Seperti pesan Paus Fransiskus,”…dengan merenungkan hukum Tuhan, pastikan kalian percaya akan apa yang kalian baca, kalian ajarkan apa yang kalian percaya, dan kalian menjalankan apa yang kalian ajarkan…”.

Tentang sosok Rm. Bene, saya mengenal sebagai pribadi imam yang berpusat pada Sabda Allah. Dia berusaha hidup konsisten. Boleh saya bilang, dalam kerapuhannya, dia menghidupi apa yang dia baca dan percaya, serta apa yang dia wartakan. Hal ini terlahir dari bagaimana ia bersungguh-sungguh membaca, merenung dan membagi Sabda Allah setiap hari. Sabda Allah dihadapkan pada diri sendiri untuk dihayati, baru sesudah itu dibagikan pada sesama. Tampak dalam persiapannya untuk merayakan Ekaristi pada semua hajatan, entah peristiwa harian sederhana, entah peristiwa hari besar/hari raya. Buku agenda khusus untuk renungan/kotbah tersiapkan dan disimpan secara rapi dari dulu sampai sekarang. Kotbahnya disiapkan dan dibawakan secara tertulis atau diketik. Jarang dia berkotbah tanpa teks.

Peran pelayan Sabda Allah identik dengan peran guru. Sebagai calon imam (frater TOP) dan imam, dia selalu ditempatkan sebagai guru di lembaga pendidikan calon imam, kecuali sebagai seorang diakon ditempatkan di paroki Wolofeo.

Satu kelebihan dari Romo Bene sebagai seorang guru adalah konsistensi antara apa yang diajarkan dan apa yang dihidupinya. Dia menunjukkan keteladanan kepada kami para imam  di seminari. Keteladanan yang paling terasa adalah pada disiplin diri.  Pϋnktlich ! Waktu benar-benar terdiri atas detik per detik, menit per menit.

Peran pelayan sabda identik juga dengan peran kenabian yang mewartakan kebenaran. Memang benar pribadi ini berbicara tentang kebenaran. Berbicara sesederhana apa pun harus benar dengan verifikasi data yang jelas. Dia menertibkan dirinya pada jalan lurus sampai pada cura minimorum, seperti mengurus keuangan harus dipertanggungjawab sampai pada satu sen. Kebenaran yang dihayatinya adalah buah dari kedalaman diri yang berakar pada Sabda Allah yang direnungkannya setiap hari. Kedalaman diri bukan ruang kosong, melainkan lahan subur untuk kebenaran hidup (Reinhard Lettmann: Innerlichkeit ist kein Hohlraum oder inhaltlose Leere…)

2. Pelayanan sakramen: sebagai pelayan sakramen, imam bertugas untuk mempersembahkan kurban rohani atau melayani karya pengudusan lewat sakramen (PO 5). Dalam surat kepada umat di Ibrani (5,1), dikatakan secara jelas bahwa imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, supaya ia mempersembahkan persembahan karena dosa. Dengan melayani sakramen-sakramen, seorang imam menghadirkan Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya di kayu salib.

Searah dengan disiplin dirinya yang baik, pribadi Romo Bene selalu setia merayakan Ekaristi harian pada waktunya, kecuali kalau dia dalam perjalanan atau sakit. Ekaristi harian disiapkan sejak sebelumnya. Omnia parata sunt. Semua disiapkan termasuk membaca kalender liturgi setiap hari dengan semua titik komanya, sehingga semua teman imam yang merayakan hut kelahiran dan tahbisan hari itu, didoakan.

Kekurangan yang berkaitan dengan pelayanan sakramen adalah dia jarang melayani sakramen permandian, sakramen nikah dan sakramen orang sakit, karena alasan yang sangat jelas, full di seminari. Sakramen tobat tetap dilaksanakan untuk para imam/ suster yang datang mengaku dosa dan terlebih pelayanan untuk para siswa seminari.

Seiring dengan masa tuanya dan memiliki kematangan rohani yang mumpuni, dia pernah dipercayakan oleh Uskup sebagai Delegatus untuk cura animarum biara-biara di kevikepan Bajawa dan sering pula melayani ret-ret para imam/suster.

3.Pelayanan kepemimpinan/gembala: sebagai pemimpin umat Allah, imam mengemban tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala dengan menghimpun semua orang, dalam persaudaraan sejati dan menghantar mereka menuju komunio Allah Tritunggal (PO 6). Seperti kata Paus Fransiskus bahwa imam menjalankan tugas di dalam Kristus, Kepala dan Gembala, dalam persatuan dengan Uskup. Imam menjalankan tugas seperti Kristus, bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.

Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Rm. Bene bertugas lebih di lembaga-lembaga pendidikan calon imam, maka boleh dibilang dia menjadi gembala dan pemimpin di seminari-seminari. Domba-dombanya adalah para siswa seminari/para frater, dan saat beliau menjadi Praeses di Ritapiret dan Mataloko, domba-dombanya adalah seluruh anggota komunitas itu.

Penempatan Romo Bene di Seminari Menengah Mataloko sejak 2006, sebenarnya dimaksudkan oleh Uskup, agar di tengah komunitas pendidikan calon imam, harus ada seorang imam senior yang berperan sebagai teladan, sekaligus sebagai seorang tua yang matang, yang berperan sebagai sosok bijak dan tenang di tengah orang muda. Menjadi tokoh pemersatu dan menjaga persaudaraan adalah salah satu sayap dari tugas kegembalaan atau kepemimpinan seorang imam.

B. Menjadi imam Diosesan

Siapakah imam diosesan itu ?  Rm. Domi Balo (alm.) dalam brosur pendidikan calon imam, menjelaskan secara negatip bahwa imam diosesan adalah imam yang tidak termasuk Ordo atau Konggregasi/Tarekat tertentu. Imamatnya adalah imamat perdana atau rasuli (seperti diterima para Rasul), yakni imamat seperti yang diserahkan Kristus kepada para murid-Nya pada awalnya. Atau sekurang-kurangnya berpangkal pada imamat awali tersebut, tanpa atribut lainnya, terkecuali bahwa ia oleh tahbisannya di-tua-kan. Dalam bahasa aslinya disebut “Presbyter”, yang berarti “tetua/penatua”, yang kemudian diterjemahkan dengan “imam”. Oleh sebab itu, di belakang nama seorang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan (khususnya di Indonesia) ditambahkan atribut “Pr” (singkatan dari presbyter, bukan projo)

Imam non tarekat ini disebut imam diosesan yang dikaitkan dengan kata “diocesis” (Lat. wilayah) karena ia terikat pada salah satu wilayah keuskupan tertentu. Dioses sama dengan praja dalam bahasa Jawa. Dalam hubungan dengan Gereja, yang dimaksudkan dengan wilayah tertentu/dioses, adalah wilayah tertentu gerejawi, yakni keuskupan. Oleh karena mereka terikat dengan keuskupan tertentu, maka mereka disebut imam diosesan. Pimpinan mereka adalah seorang Uskup Diosesan (Uskup dengan yurisdiksi wilayah “kekuasaan”, sebagai pemimpin resmi partikular). Dengan Uskup itu, ia mengikatkan diri.

Romo Bene mengambil keputusan masuk Seminari Tinggi Ritapiret pada tahun 1974 dengan motivasi yang sangat personal. Dia merasa dirinya cocok untuk menjadi imam yang mengabdikan diri untuk umat setempat di Keuskupan Agung Ende. Dia mau menghayati spiritualitas imam diosesan “dari dunia kembali ke tengah dunia”. Ke tengah dunia dan bersatu dengan dunia, menghadirkan diri di sana secara lain dan baru sambil memberikan kesaksian khusus imamiahnya. Dikatakan secara lain dan baru, sebab sejak tahbisan, imamatnya dituntut oleh martabatnya itu, harus dijalani di tengah dunia menurut nasehat injil (ketaatan, kemiskinan, kemurnian) secara konsekuen. Pelbagai hak yang seharusnya dimiliki oleh dunia, oleh karena tahbisannya dan misinya yang baru itu, harus ditinggalkan dan ditanggalkannya. Di tengah dunia, dia harus memberikan kesaksian yang baru.

Hanya sayangnya, harapan Romo Bene untuk bekerja secara langsung bersama umat di paroki-paroki yang sederhana, tidak terwujud. Sebagai penghayatan pada spiritualitas alkitabiah, sebagai dasar spiritualitas imam diosesan, dia harus taat pada keputusan Uskup. Uskup sudah mempunyai rencana lain untuk dia. Dia disiapkan untuk studi lanjut di Roma untuk mendalami bidang Islamologi. Semuanya ini membuka jalan baru dan menentukan perjalanan imamatnya selanjutnya ke depan. Dia harus bekerja setiap hari di tengah para calon imam sebagai dosen dan guru sampai kematiannya.

Pelayanan kecil setiap hari dijalankannya dengan kesetiaan yang besar. Kesetiaan adalah buah Roh Kudus dalam diri sang imam. Kesetiaan adalah wewangian yang menyenangkan dunia dan manusia (Paus Fransiskus). Seperti kata Paulus, “…sebab bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa..” (2 Kor.2:15). Inilah yang disyukuri dalam perjalanan imamatnya sampai melewati 36 tahun dan tak sampai pada pancawindu yang direncanakan…Selamat jalan Rm. Bene menuju keabadian. Di sana perayaan syukur imamatmu menjadi sempurna.

Rm. Beny Lalo, Pr

Pengasuhan Digital bagi Seminaris Diaspora

Sejak dipulangkan ke rumah masing-masing pada akhir Maret lalu, praktisnya sebagian besar proses formasi anak-anak Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung melalui metode Dalam Jaringan (Daring).

Pengasuhan digital dari orang tua, pihak seminari, para pastor dan para mitra menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Dalam rimba raya jaringan internet, para seminaris diaspora ini perlu didampingi dan diasuh.

Dialog aktif antara anak dan orang tua, para pastor dan para mitra menjadi kunci keberhasilan pengasuhan digital untuk para seminaris diaspora. Tingkat keseringan berkomunikasi antara kedua pihak ini harus berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang digunakan anak untuk berselancar di dunia maya.

Ketika durasi “berada di depan layar” kian meningkat, partisipasi aktif orang tua, para pastor dan para mitra dalam membangun komunikasi dengan anak harus ditingkatkan pula.

Mengapa Penting?

Pertama, situasi sekarang memaksa anak-anak seminari melakukan banyak aktivitas Daring, terutama untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, interaksi untuk proses formasi sebagai calon imam juga terjadi melalui media-media Daring.  Kedua tuntutan ini menyebabkan durasi waktu untuk cemplung ke dalam dunia digital semakin tinggi.

Kedua, jagat maya merupakan jagat yang sama sekali asing bagi sebagian besar anak-anak seminari. Dalam situasi normal, mereka dilarang menggunakan HP dan tidak memiliki akses ke dalam dunia maya dengan segala kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas. Dalam era kenormalan baru ini, mereka diwajibkan memiliki HP dan keahlian berselancar di dunia maya untuk melayani kepentingan formasi.

Ketiga, internet selalu berwajah ganda. Di satu sisi, akses ke dalam internet meningkatkan literasi dan wawasan anak. Di sisi lain, dalam internet terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak seperti perundungan digital dan pencurian data pribadi (KOMPAS, 21/06/2020). Dampingan orang tua, para pastor dan para mitra mutlak perlu untuk meminimalisasi kejahatan siber dalam berbagai levelnya.

Keempat, alasan terkait etika digital. Walaupun memiliki banyak kesamaan, etika digital dan etika dunia nyata tetap memiliki perbedaan. Dalam dunia digital, segala sesuatu pasti meninggalkan jejak. Selain itu, semuanya serba terbuka. Oleh karena itu, anak-anak perlu mendalami etika digital dan selalu diingatkan untuk mematuhi etika-etika tersebut.

Kelima, anak-anak perlu dilindungi dari pelbagai variasi bahaya informasi-informasi palsu. Semua orang memiliki akses ke dalam internet dan oleh karena itu berbagai jenis informasi, entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk, berseliweran dalam berbagai platform media-media Daring. Kontrol orang tua, para pastor, dan para mitra membantu anak-anak dalam proses penyaringan dan internalisasi informasi-informasi tersebut.

Peran Sentral Orang tua, Para Pastor dan Para Mitra

Orang tua, para pastor dan mitra memiliki peran penting dalam pengasuhan digital bagi para seminaris diaspora. Peran tersebut dapat dijalankan melalui kehadiran dan dialog aktif. Spritualitas kehadiran dan dialog aktif menjadi kunci keberhasilan proses-proses pengasuhan digital. Oleh karena itu, orang tua, para pastor dan para mitra wajib memberikan teladan dan panutan.

KOMPAS (20/06/2020) meringkas tiga lapisan yang harus dimiliki sebuah keluarga ketika (anak-anaknya) harus mencemplungkan diri ke dalam dunia digital.

Lapisan pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua adalah literasi media agar bijak menyikapi informasi palsu serta menilai kebenaran konten. Lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.

Orang tua, para pastor, dan para mitra memiliki kewajiban dan tanggung jawab membangun ketiga lapisan kesadaran tersebut. Perlu diakui, usaha itu tidak gampang. Oleh karena itu pada bagian berikut direkomendasikan hal-hal praktis yang perlu dibuat.

Langkah-langkah Praktis Pengasuhan

Pertama, kerja dan belajar dalam dan melalui media daring harus dijadwalkan. Orang tua dan para mitra harus melibatkan diri dalam penyusunan jadwal belajar dan kerja anak. Keterlibatan itu juga harus sampai pada tahap pengawasan, apakah jadwal itu ditaati atau tidak.

Kedua, tingkatkan komunikasi langsung dengan anak. Komunikasi itu harus dari muka ke muka dan dari hati ke hati, bukan melalui perantaraan media-media sosial.

Ketiga, ingatkan anak akan kerawanan dan bahaya yang ada di ruang virtual. Banyak bahaya yang bisa saja timbul, misalnya penipuan, kekerasan verbal, pencurian data pribadi, dan perundungan digital.

Keempat, usahakan sebisa mungkin agar menemani anak saat mereka sedang bekerja dan belajar melalui media-media Daring. Pada bagian ini, sekali lagi ditekankan pentingnya spiritualitas kehadiran bagi seorang anak.

Kelima, orang tua, para pastor, dan para mitra harus selalu mengingatkan anak akan pentingnya menjaga etika bermedia sosial. Etika itu misalnya, selalu menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak saling memaki.

Keenam, sebagai pengasuh, tentu saja orang tua, para pastor, dan para mitra juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang literasi teknologi digital. Oleh karena itu, mau tidak mau, orang tua juga harus mempelajari seluk beluk dunia digital dan segala tuntutan-tuntutannya.

Tommy Duang

Memperkenalkan ‘Gerakan Siswa Menulis’ di Seminari Mataloko

MEMPERKENALKAN ‘GERAKAN SISWA MENULIS’ DI  SEMINARI MATALOKO

Sebagai pribadi yang sering mendapat tugas berkunjung ke beberapa keuskupan di Indonesia, saya terbiasa mendokumentasikan peristiwa dalam sebuah coretan kisah harian. Dokumentasi tertulis itu menjadi alat bukti  bahwa saya sudah berkunjung ke tempat itu sekaligus menjadi lampiran dari sebuah laporan kegiatan yang saya lakukan. Begitu pun ketika saya berkunjung ke Seminari Mataloko tanggal 4 Februari 2019 yang lalu, saya melakukan hal yang sama. Tulisan ini menjadi alat bukti bahwa saya pernah berkunjung ke Seminari Mataloko. Agar tulisan ini, tidak hanya menjadi milik saya, saya ingin mempublikasikan tulisan ini di Flores Pos agar para siswa seminari yang saya kunjungi saat itu dan pembaca Flores Pos, meraih makna di balik kebiasaan menulis.

Keinginan saya untuk memublikasikan peristiwa ini, berawal dari pertemuan spontan dan sederhana. Saya ingin bertemu teman kelas, Romo Nani Songkares. Pada saat yang sama, Romo Nani sedang mendampingi beberapa siswa untuk menulis. Saya diminta secara spontan menularkan semangat kepada para siswa yang sedang menulis. Para siswa diberi ruangan khusus untuk membaca dan menulis. Ruangannya persis di samping ruangan Romo Nani Songkares sehingga aktivitasnya bisa langsung terpantau. Siapapun yang masuk ke ruangan ini, aktivitas hanya satu : menulis. Ada laptop, ada meja, ada buku-buku. Ruangan yang dipenuhi beberapa siswa terasa hening karena hanya jari-jarinya yang bergerak mengikuti perpaduan antara kegiatan otak dan kegiatan hati. Hati yang menggerakkan mereka untuk menulis sesuai apa yang sedang dipikirkan.

Aktivitas mereka menggoda saya untuk menulis tentang mereka. Bahwa ada praktik baik yang sedang terjadi di sana. Para siswa harus dibiasakan untuk menulis dan menulis, itu penegasan dari Romo Nani Songkares. Ketika menyaksikan aksi mereka, pikiran saya tertuju kepada sebuah buku yang berjudul The Power of Habits. Kebiasaan baik yang diperkenalkan sejak dini, akan menjadi kekuatan maha dahsyat di kemudian hari.

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Romo Sunu, Provinsial Serikat Jesus, dalam acara retret beberapa tahun yang lalu di Cepu Jawa Tengah. Beliau memperkenalkan peserta retret untuk ‘merasionalisasi rasa’ setiap hari. Apa yang kita rasakan setiap hari, harus ditulis dalam buku atau didokumentasikan secara tertulis agar rasa itu diketahui penyebabnya. Kalau  kita sering menulis rasa pribadi, kebiasaan itu  akan menjadi kekuatan personal yang senantiasa mengontrol seluruh aktivitas harian kita. Kita bisa hidup lebih teratur, terkontrol dan tertata. Pernyataan yang kita ungkapkan lewat kata-kata, akan tertata dengan sendirinya ketika kita terbiasa menuliskan apa yang kita rasakan. Lagi-lagi, aktivitas menulis menjadi sangat penting untuk membentuk diri.

Wajar bila ada yang mengatakan bahwa menulis ada jalan sunyi menuju pengenalan diri. Mengapa? Ketika menulis, kita memadukan beberapa kekuatan  dalam satu gerakan. Ada kekuatan yang mendorong kita untuk duduk, diam dan hening. Ketika duduk, dan mulai menulis, ada keinginan-keinginan lain yang menggoda kita untuk mengabaikan kegiatan itu.

Selain itu, ada juga kegiatan mengelola informasi, pengetahuan yang terbersit di otak kita. Bagaimana kita meramu ilmu yang berseliweran dalam pikiran kita untuk dibentuk dalam  dalam sebuah pernyataan tertulis yang teratur dan tersusun agar siapapun yang membacanya, dapat mengerti.

Perpaduan antara kekuatan rasa, kekuatan otak dan kehendak yang kuat menjadi ‘lahan subur’ terciptanya sebuah tulisan yang berkualitas. Bila para siswa terbiasa menulis, berarti dia sedang dilatih oleh diri sendiri untuk tertib dalam berpikir, tertib dalam merasa dan tertib dalam mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.

Wajar bila Romo Nani Songkares dan Romo Beny Lalo ingin memperkenalkan gerakan ini. Betapa pentingnya, menularkan kebiasaan untuk menulis kepada para siswa.  Bagi para calon imam atau imam yang terbiasa membuat tulisan, akan mempermudah tugas dan karya mereka di kemudian hari. Apa yang diproduksi lewat mulut atau aktivitas verbal di berbagai mimbar, harus terlebih diolah secara matang, lewat proses yang diperkenalkan dalam aktivitas menulis. Wajar saat ini, sudah banyak himbauan agar para pastor yang membawakan kotbah harus disiapkan secara tertulis. Dengan demikian, apa yang dipublikasikan kepada umat secara verbal harus melalui proses pengolahan yang matang. Dengan demikian mimbar yang secara ensensial merupakan tempat mewartakan kabar gembira, benar-benar dimanfaatkan sesuai  dengan intensinya.

Keterampilan dan kemampuan menulis bukan hanya bermanfaat bagi  calon imam tetapi juga untuk para calon pemimpin bangsa atau pemimpin daerah. Kebiasaan untuk merumuskan secara tertulis apa yang dirasakan, dipikirkan menjadi ‘kekuatan’ maha dahsyat untuk memproduksi kebijakan publik bagi masyarakat di kemudian hari . Apa yang diketahui, dirasakan, harus dirumuskan secara jelas dalam sebuah pernyataan dokumentatif agar semua pihak bisa mempelajarinya secara baik untuk membentuk kekuatan komprehensif dalam memproduksi kebijakan publik.

Banyak pemimpin kita lebih giat memproduksi ujaran-ujaran tanpa olahan yang matang, tanpa dibekali kemampuan menulis. Ketika disandingkan dengan input-input kritis dan bermakna, mereka sering menghadapinya dengan sikap defensif yang sulit dipahami secara nalar. Terjadilah proses irasionalitas publik yang mengganggu proses berpikir masyarakat.

Pengalaman ini, nampak sederhana. Hanya soal melatih siswa untuk menulis. Namun praktik sederhana ini sebenarnya memberikan dampak visioner bagi lahirnya seorang pemimpin bangsa, pemimpin umat yang berkualitas. Mereka dididik untuk sejak awal mampu memproduksi pernyataan tertulis yang berasal dari hasil pemikiran yang matang, hasil pengolahan hati yang baik dan managemen diri yang berkualitas.  Dengan demikian praktik baik ini, hendaknya tidak hanya dilakukan di Seminari Mataloko, namun di semua lembaga pendidikan tanpa terkecuali.  Semoga !

Eddy Loke

Surabaya 12 Februari 2019.

Sang Bijak yang Penuh Pengabdian

Sang Bijak yang Penuh Pengabdian

Manusia selalu berusaha menunjukkan jati diri dalam hidup. Pengungkapan akan jati diri itu dapat diwujudkan dalam banyak bentuk. Ada yang mengungkapkannya melalui aktivitas yang berguna bagi banyak orang. Kegiatan yang dilakukan, apa pun bentuknya, mungkin memberikan inspirasi baru bagi orang yang menyaksikannya. Selain melalui karya nyata, ungkapan jati diri dapat dilakukan melalui konsep dan pemikiran yang otentik dan brilian dalam hidup bersama. Mungkin melalui konsep dan pemikiran itu, lahirlah konsep dan pemikiran baru yang lebih inspiratif? Adakah melalui karya dan pemikiranya yang brilian, orang menjadi pribadi yang terkenal?

Romo Dominikus Balo adalah seorang imam Keuskupan Agung Ende. Ada dan hidupnya di  tengah komunitas calon imam, seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu merupakan kehadiran  yang inspiratif dan meneguhkan. Dia yang turut serta melahirkan ide dan karya-karya besar di keuskupan Agung Ende dengan gagasan tentang Pusat Pastoral; dia yang ditetapkan sebagai pimpinan tertinggi di Seminari Tinggi; dia yang biasa mengurus sekolah-sekolah Katolik di wilayah Kevikepan Ende-Lio; di masa tuanya masih tetap menjalankan tugas sebagai pendamping rohani dan pengajar di Seminari tercinta ini.

Imam yang biasa disapa dengan sebutan Romo Domi ini melaksanakan tugas dengan setia sebagai pendamping rohani dan pengajar bahasa Latin. Betapa tidak. Sebagai pendamping rohani, ia menghasilkan buku-buku doa yang digunakan secara tetap di lembaga ini. Romo Domi memberikan masukkan yang berguna bagi pembinaan dan pengembangan kerohanian seminaris. Selain itu, kehidupan rohaninya adalah kekuatan itu sendiri bagi para imam dan calon imam di lembaga pendidikan ini. Romo Domi telah memberikan isi pada lembaga ini dengan karya yang inspiratif, meskipun tidak harus monumental dan spektakuler.

Selain menjalankan tugas pendampingan rohani, hal besar yang dilakukannya adalah mengajar mata pelajaran bahasa Latin. Otorisasi dan ‘kepakarannya’ sangat kuat dalam mata pelajaran ini. Hal pelik apa pun berkaitan dengan bahasa Latin, akan diselesaikan dengan mudah. Dia adalah seorang guru bagi guru yang lain. Bahasa Latin yang selalu ditegaskan sebagai bahasa resmi Gereja, mungkin bagi banyak orang merupakan bahasa yang tua dan kaku, tetapi olehnya menjadi sesuatu yang segar dan menggembirakan. Seminaris diajak untuk menekuni bahasa Latin dengan baik, karena baginya, orang yang belajar bahasa Latin dengan baik, akan membantunya untuk belajar mata pelajaran lain dengan mudah. Bahasa Latin menjadi jalan bagi seminaris untuk mempelajari yang lain.

Sebegitu cintanya akan bahasa Latin dan seminaris, sehingga di kala sakit pun ia terus memikirkannya, tanpa memedulikan kesehatannya sendiri. Sekembalinya dari kontrol kesehatan di Surabaya misalnya, pada kesempatan pertama beliau kembali ke kelas, menyapa seminaris dengan bahasa Latinnya. Hal itu biasa dilakukannya karena cintanya, hatinya, rasa, dan pikirannya demi kemajuan lembaga pendidikan dan seminaris di dalamnya. Romo Domi melakukan tugas itu hingga tungkainya tidak mampu menyangga tubuhnya yang semakin renta. Karena itu dalam guyonan di kalangan para pembina sering dikatakan, bahwa kita sebenarnya berdosa terhadap beliau karena di usianya yang sudah 76 tahun, ia seharusnya menikmati hidup dengan membaca koran, dan sebagainya. Namun hal yang terjadi adalah ia masih ‘dipaksa’ untuk berdiri dan mengajar di depan kelas. Memang faktor usia dan kondisi tubuh yang semakin lemah, tidak bisa menjadi penghalang bagi orang yang mau terus belajar dan mengabdi dengan ikhlas. Romo Domi telah membuktikannya bagi kita.

Romo Domi yang nada bicaranya selalu lembut itu sebenarnya seorang imam dengan latar belakang pengetahuan pastoral yang kuat. Hal ini terjadi karena beliau menekuni bidang ini secara khusus. Selain itu berbagai hal yang berkaitan dengan bidang teologi, liturgi dan hukum gereja, banyak dipahami dan dimengertinya secara luas. Kondisi ini memungkinkannya menjadi sumber belajar yang baik, bagi siapa pun yang ingin terus menambah wawasan pengetahuan. Semua kapasitas yang dimiliki ini tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar, menggali dan menemukan yang baru. Bahkan beliau adalah salah satu sosok yang sangat ‘up to date’, orangtua yang tidak gagap teknologi. Apakah seluruh yang dimiliki ini, baginya menjadi sesuatu yang abadi?

Seluruh kapasitas yang dimiliki ini seakan hilang beberapa bulan terakhir. Dia yang memiliki pikiran yang bernas dan jernih; sosok yang saleh dan pendiam; pribadi yang mendatangkan keteduhan, semuanya seolah menjadi runtuh oleh penyakit yang menggorogoti tubuh dan usianya yang semakin lanjut. Seluruh kebijaksanaan yang dimilikinya rasa-rasanya lenyap bersama kemampuan bicaranya yang hilang sama sekali. Tidak ada lagi kata-kata bijak yang bisa diucapkan. Tatapan matanya nanar, kosong, hampa. Ungkapan seperti ‘pada permulaan’ bila mengawali suatu pembicaraan, ‘boleh’ bila menerima suatu tawaran, atau ‘tentu’ bila membenarkan sesuatu hal, menjadi sesuatu yang langka. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya membuat celotehan yang khas hilang bersama berlalunya waktu. Sang manusia bijaksana itu akhirnya menjadi sosok yang tidak berdaya. Jati diri yang sangat kuat diungkapkan melalui pikiran, karya, dan kata-kata bijak seakan hilang bersama kebisuannya. Apakah itu adalah akhir dari sebuah perjuangan?

Perjuangan dan hidup Romo Domi di dunia boleh berakhir. Namun pikiran dan  kata-kata bijak yang dimiliki tidak boleh hilang dari hidup bersama di lembaga pendidikan ini. Bahasa Latin haruslah tetap menjadi bahasa Gereja yang diajarkan dan akan mengasah kemampuan berpikir kritis seminaris. Semangat untuk terus belajar harus selalu menjadi daya dorong bagi seminaris  sebagai makluk belajar. Pengabdian yang ikhlas kiranya menjadi hal yang biasa dalam diri kaum pelayan. Cinta yang tulus dan sejati tentunya menjadi sesuatu yang habitual dalam diri orang yang mencintai kebenaran. Semangat dan daya seperti ini tidak boleh menjadi bisu meski digerogoti oleh penyakit apa pun.

Romo Domi, selamat jalan. Kami akan belajar terus menerus dari semangat pengabdianmu. Kebijaksanaan hidupmu akan kami kenang selalu. Doakanlah kami selalu agar menjadi orang-orang yang bijaksana dan setia mengabdi dalam hidup.

Romo Sil Edo, Pr

Romo Domi dan Kesunyian

Romo Domi dan Kesunyian

 Pada 23 Januari lalu, dua ibu dari Jakarta mengunjungi seminari. Begitu dijumpai di halaman depan Kapela SMP seminari, salah seorang ibu, yang beberapa waktu sebelumnya pernah mampir ke seminari dan bercanda dengan Romo Domi Balo, berkata kepada saya, “Romo, tolong antarkan kami ke Romo sepuh itu, kami mau beri sesuatu.” Mereka membawa tongkat untuk membantu Romo Domi berjalan.

 Saya mengantar kedua ibu itu ke kamar Romo Domi, di bagian dalam, di tempat tidurnya. Romo Domi sedang terbaring. Begitu melihat kedua ibu yang menyapanya, dia terkejut. Matanya sedikit membelalak. Dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak ada satu katapun keluar dari bibirnya. Dia mencoba menggerakkan tangan, berusaha mengekspresikan sesuatu. Tapi tidak bisa. Kedua ibu itu pamit. Romo Domi hanya menganggukkan kepala.

 Itulah kondisi yang dialami Romo Domi sejak dia kedapatan terjatuh di kamarnya, di depan TV, 17 Januari malam. Malam itu Romo Sarce, tetangga di kamar sebelah, pulang dari misa arwah, kira-kira jam 22.30 WITA. Dia mendengar bunyi TV di kamar Romo Domi. Saat itu Romo Sarce berpikir, Romo Domi pasti sedang asyik menonton debat calon Presiden putaran pertama. Romo Domi memang sangat berminat mengikuti perkembangan politik tanah air. Tapi ketika TV tetap berbunyi sampai kira-kira pukul 24.00 malam, Romo Sarce mulai curiga. Pelan-pelan dia membuka kamar Romo Domi. Dia terkejut, Romo Domi jatuh berselonjor di depan TV, dengan kepala bersandar di dinding tripleks yang membatasi ruang tidur bagian dalam.

 Sejak saat itu, Romo Domi praktis tidak bisa berkomunikasi lagi. Paling-paling satu dua kali berkata “Ya”, atau “Belum”, atau “Praeses”.  Itu pun susah sekali. Bahkan, makin lama kata-kata seperti itu pun tidak bisa diucapkan lagi. Terasa sekali keinginan Romo Domi untuk berbicara sesuatu, tapi yang keluar hanya sebentuk gumaman yang sulit dimengerti. Romo Domi ditelan kesunyian, sunyi sekali.

 Untuk seseorang yang dengan segenap hati, dengan seluruh passion, dengan seluruh kekuatan mencintai pekerjaan berupa produksi kata-kata melalui komunikasi, pengajaran, buku-buku, refleksi, renungan, nasihat dan ungkapan-ungkapan bijak, kejenakaan, kemudian tiba-tiba tidak mampu menemukan kata-kata untuk mengungkapkan dirinya, entah karena merasa tidak bertenaga lagi, atau karena daya ingat yang sudah begitu terkuras, ini rasanya sebuah salib yang besar sekali. Sekurang-kurangnya itu yang kami tangkap dan rasakan.

 Sekali waktu, di sore hari, saya masuk ke kamar Romo Domi. Frater Denny Galus, SVD, yang setia menemani Romo Domi keluar, membiarkan kami berdua di kamar. Saya berusaha mencari segala daya untuk berkomunikasi dengan Romo Domi. Dengan terbata-bata, dia hanya sekali mengucapkan nama saya, lalu komunikasi kami praktis menjadi seperti monolog. Saya bercerita tentang kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan dengan anak-anak, bertanya sembarangan tentang apa yang dia rasakan, tentang keadaannya, sakitnya, tentang tangan dan kakinya. Dia hanya menatap, atau meremas tangan saya.

Frater Louis Watungadha datang sambil membawa buku kenangan 60 tahun imamat Pater Aleks Beding SVD, yang ditulis beberapa imam SVD berjudul, “Bersyukur dan Berharap.” Editor buku tersebut adalah Pater Steph Tupeng Witin SVD yang diterbitkan Penerbit Ledalero (2011). Saya menunjukkan buku itu kepadanya. Semangatnya tiba-tiba menyala. Dia mengambil buku itu, berusaha miring ke kiri atau ke kanan untuk membaca judulnya, dengan susah payah membuka satu dua halaman, bibirnya bergerak seperti hendak membaca sesuatu, akhirnya berhenti. Aduh! Buku yang jadi kegemaran dan sahabat setianya tak bisa dinikmati lagi. Kata-kata berhenti sama sekali!

***

Romo Domi memperkuat barisan formator seminari sejak tahun 2001. Umurnya 60-an tahun saat itu, sudah usia pensiun. Namun segera kami merasakan, betapa Romo Domi menjadi pilar seminari yang luar biasa, sebuah kekuatan yang hanya bisa dan selalu akan kami kenang dan syukuri.

Saat itu kami mulai mempersiapkan diri menyongsong 75 tahun seminari. Salah satu kebutuhan yang dirasakan adalah adanya buku Pedoman Pendidikan Calon Imam, khas seminari Mataloko. Pedoman itu sama sekali belum ada. Dibentuklah Panitia Kerja, antara lain, untuk menghasilkan buku Pedoman itu. Romo Domi adalah ketuanya. Praktis Romo Domi mengerjakannya sendiri. Dia mempelajari berbagai dokumen, baik dari Vatikan maupun KWI. Dia menyusun draftnya. Saat seminari merayakan 75 tahun berdirinya pada tanggal 15 September 2004, Pedoman itu terbit sebagai buku ad experimentum. Lengkap sekali dan mendetail. Sampai sekarang, buku tersebut tetap dipakai sebagai rujukan.

Kebutuhan lain yang tidak kalah penting adalah mengajar bahasa Latin. Karena keterbatasan tenaga, tugas ini minus malum biasanya diberikan kepada para frater TOP. Frater TOP setiap tahun berganti, jadi praktis setiap tahun pengajar bahasa Latin berganti, dan kita tidak pernah mempunyai kepastian, apakah frater yang mengajar itu, bahasa Latinnya baik.

Kehadiran Romo Domi memberi kepastian. Dia sendiri ternyata berminat sekali dalam bahasa Latin. Maka, dia mengajar dari SMP sampai SMA, dengan ketekunan yang luar biasa, spartan. Tidak lama berselang, beberapa buku pegangan pelajaran bahasa Latin dihasilkan: doa-doa dan lagu-lagu liturgis dalam bahasa Latin, Kamus bahasa Latin, dan akhirnya 4 jilid buku teks Elementa Linguae Latinae, Liber Primus, Liber Secundus, Liber Tertius dan Liber Quartus, baik Buku Guru maupun Buku Siswa.

Hanya sedikit sekali pengajar bahasa Latin di seminari-seminari se-Indonesia yang sangat menguasai bahasa Latin. Seminari Mataloko berbangga karena pengajar bahasa Latin yang dimilikinya adalah seorang ahli.  Mario Lawi, seorang penyair muda NTT menulis sebuah buku puisi dalam bahasa Latin, dan dia minta Romo Domi memberikan koreksi dan catatan. Dia tahu kepada siapa dia harus bersandar.

Kreativitas dan produktivitas intelektual seorang Romo Domi Balo seperti tidak pernah berhenti. Terus mengalir. Kalau sedang tidak mengajar, Romo Domi pasti berada di kamarnya, di depan laptop untuk bekerja. Dia mengumpulkan dan menulis banyak hal. Mulai dari ramuan-ramuan tradisional untuk obat-obatan sampai refleksi dan pemikiran-pemikiran teologis. Dua buku terakhir yang diterbitkan adalah tentang Sakramen dan Selibat. Beberapa naskah buku yang siap untuk diterbitkan sudah di-print dan dijilid teratur.

Tidak heran Romo Domi selalu suka membaca. Dia membaca buku, membaca majalah dan koran, dan selalu mengikuti perkembangan-perkembangan terbaru melalui internet. Tentang yang terakhir ini, internet, dia tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk pulsa. Jangan pancing diskusi mengenai perkembangan-perkembangan terbaru politik tanah air, misalnya, kegunaan ramuan ini, atau itu. Romo Domi langsung ‘sambar’. Di depan para calon imam, saya suka berkata, Romo Domi itu seorang tua yang selalu muda, karena selalu belajar.

Karena kebijaksanaan dan kekokohan intelektualnya, ditambah kedalaman kerohaniannya sebagai seorang imam pendoa itulah, Romo Domi selalu dinantikan kehadiran dan kata-katanya dalam sidang-sidang staf seminari, atau sidang guru, terutama ketika harus berbicara mengenai hal-hal krusial pendidikan seminari.

Suatu waktu dalam salah satu sidang staf, diputuskan bahwa harus ada Hari Orangtua Seminaris (HOS). Romo Praeses, Romo Gabriel Idrus, Pr, meminta bantuan para staf memberikan masukan mengenai pendidikan seminari, dan situasi terkini yang sedang dialami. Romo Domi ditunjuk untuk membuatkan draftnya, dan seperti biasa, orang tua ini langsung ‘tancap gas’. Dan hasilnya luar biasa sekali. Dia menulis tentang betapa relevannya pendidikan seminari sampai saat ini. Dia menguraikan dengan begitu gamblang tantangan internal dan eksternal yang menyebabkan kemandirian seminari mengalami goncangan.

Saat ini, ketika seminari sedang berbicara tentang grand design pendidikan seminari menuju 100 tahun berdirinya dalam kerja sama yang begitu kental dengan Pemerintah Kabupaten Ngada, seminari harus merumuskan problem statement-nya. Salah satu kata kuncinya adalah kemandirian, sesuatu yang bertahun-tahun sebelumnya sudah digaungkan oleh orang tua yang istimewa ini.

Entah pesan apa yang mau disampaikan Romo Domi Balo dengan kesunyian luar biasa di hari-hari terakhirnya ini. Begitu menyesakkan, begitu menghempas! Kata-kata yang bernas itu lenyap, yang tinggal adalah kesunyian.

Moto tahbisan Romo Domi adalah, “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba, tetapi sahabat” (Yoh.15:15). Bapak Uskup Agung Ende dalam kotbahnya saat Misa Requiem untuk mengantar pergi Romo Domi ke pembaringan terakhir mengatakan, Romo Domi adalah sungguh sahabat Yesus. Persahabatannya dengan Yesus dia ungkapkan tidak hanya dengan kata-kata, tapi seluruh dirinya, hidupnya. Hidupnya sendiri adalah sebuah kata besar yang terus berbicara, lebih dalam, lebih agung dari ungkapan verbal.

Saya teringat Santo Thomas Aquinas, seorang teolog agung, yang karya-karya intelektualnya sangat berpengaruh bagi perkembangan Gereja. Dia menulis seri Summa Theologiae yang terkenal itu, tapi tidak selesai.

Konon, ketika merayakan Ekaristi Santo Thomas mendapatkan pengalaman mistik yang luar biasa, yang begitu memengaruhinya, sehingga dia berhenti menulis. Ketika Bruder Reginald, sekretaris dan sahabatnya, memintanya untuk menyelesaikan Summa Theologiae itu, dia berkata, “Akhir kerjaku telah tiba. Semua yang saya hasilkan rasanya hanyalah setumpuk jerami, dibandingkan dengan apa yang telah dinyatakan kepadaku.”

Kae Domi, mudah-mudahan kepadamu telah dinyatakan, dan akan dinyatakan keagungan, kemuliaan yang tidak mampu diungkapkan dengan karya dan kata-kata manusia, kemuliaan Sahabatmu, Yesus. Rasanya, kata-kata Tuhan, yang kae jadikan moto imamat, adalah jaminannya, “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba, tetapi sahabat” (Yoh.15:15).

Romo Nani Songkares, Pr