
Laporan Perjalanan Rm. Nani (27)
Brixen – Kota Kaya Sejarah
Di wilayah seperti itulah kami datang. Nama kota itu Brixen, wilayah masa kecil Santo Yosef Freinademetz ketika menempuh pendidikan di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi sampai ditahbiskan jadi imam diosesan sebelum akhirnya bergabung dengan SVD untuk menjadi misionaris.
Brixen itu kota tua di bagian utara Italia, sebelah selatan wilayah Tyrol. Kota ini berada di lembah yang dikelilingi gunung-gunung.
Menurut sejarah, Brixen sudah menjadi pemukiman sejak zaman palaelitikum tua, sekitar abad 8 sebelum masehi. Namun, catatan dokumenter pertama kota ini dibuat tahun 901.
Mengingat sejarahnya yang tua, banyak sekali peninggalan zaman dulu di kota ini. Kami menjelajahi area sekitar Katedral Brixen yang didirikan kurang lebih abad 12 M.
Biara kuno yang menyatu dengan Katedral masih terpelihara dengan baik. Lantainya dari lempengan batu tua yang kokoh. Dindingnya di sana-sini terkelupas. Di mana-mana ada gambar-gambar kudus yang merupakan sebentuk katekese sejarah keselamatan, yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik.
Di antara kompleks bangunan sekitar katedral, ada kompleks Seminari Brixen tempat kami menginap. Di tempat inilah Santo Yosef Freinademetz menjalani pendidikan sejak berusia sekitar 11 tahun.
Santo Yosef Freinademetz lahir pada 15 April 1852 di Oeis, Abtel, Tyrol Selatan, Italia. Dia adalah anak ke-4 dari pasangan Mathias Freinademetz dan Anna Marie Algrang, keluarga petani yang saleh dan pekerja keras.
Konon, Yosef rindu sekali untuk menjadi imam, tapi keluarganya miskin. Suatu waktu seorang penenun melihat bahwa Yosef terus saja murung. Dia bertanya, apa alasan kesedihannya. Yosef mengungkapkan keinginannya masuk Seminari tapi orang tuanya tidak mampu membiayai.
Penenun itu menghiburnya dan menyatakan siap membiayai pendidikannya. Kesulitannya, penenun bersangkutan tidak sanggup membiayai hidupnya. Maka pria tersebut menasihatinya untuk tidak takut meminta-minta roti kepada ibu-ibu kalau dia lapar.
Karena kerinduannya sangat besar untuk menjadi imam dia menerima nasihat bapak itu. Bapak itu menemaninya berjalan kaki selama lebih dari 11 jam ke Brixen, kota tempat tinggal Uskup, yang sekaligus pangeran yang berkuasa di wilayah itu.
Di Seminari Menengah, Yosef segera dikenal karena suara tenornya yang menawan. Karena itu dia menjadi anggota koor yang tugasnya membawakan koor di setiap hari Minggu di Gereja Katedral. Karena kemampuannya itu, dia mendapatkan beasiswa.
Kalau Arnold Janssen sering digambarkan sebagai seorang santo yang memegang Injil, Yosef sering digambarkan sebagai santo yang memegang salib. Sejak kecil Santo Yosef sangat mencintai salib.
Gereja kecil di kampungnya, Oeis, terletak di sebuah bukit yang tinggi. Namanya Gereja Salib Suci. Di masa kecil, Yosef selalu datang ke gereja itu bersama ayahnya untuk berdoa.
Dia sudah diperkenalkan dengan devosi kepada Salib Suci sejak kecil. Saat dia berada di Seminari, dia selalu kedapatan oleh prefeknya berdoa sendirian sampai tengah malam di Gereja Salib Suci di Seminari.
Dia ditahbiskan di dalam Gereja Salib Suci itu. Di gereja itulah kami merayakan Ekaristi sambil coba merasakan aura dan roh Santo Yosef Freinademetz yang kami yakini hadir.
Sangat Dihormati
Ketika masih menjalani studi di Seminari, dia sangat tertegun pada kotbah seorang misionaris mengenai tanah misi. Sejak saat itu kerinduan menjadi misionaris bertumbuh. Dia sering membayangkan anak-anak di tanah misi yang kelaparan dan mengemis minta roti, sesuatu yang sangat mengena dengan pengalaman hidupnya semasa kecil.
Suatu waktu, pada sebuah ibadah lamentasi hari Jumat Agung, dia tertegun ketika melantunkan kata-kata ini, “Anak-anak kecil berkeliaran di jalanan mengemis roti, tapi tak satu pun yang memberi sekerat saja buat mereka”. Saat itu tekadnya menjadi misionaris makin bernyala.
Dia ditahbiskan sebagai imam praja pada 25 Juli 1875, tahun kelahiran SVD. Dia menjalin komunikasi rutin dengan Arnold Janssen.
Sebuah suratnya kepada Arnold Janssen pada 22 Februari 1878 berbunyi demikian, “Saya sering berdoa kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus. Pada momen-momen seperti itu Hasrat saya untuk menjadi seorang misionaris menjadi lebih kuat. Saya lihat ini sebagai tanda bahwa Tuhan menyapa saya untuk panggilan yang sedemikian mulai ini”.
Arnold Janssen tidak hanya menjawab surat-suratnya, tapi dalam sebuah kesempatan dia bertemu langsung dengan Yosef Freinademetz di Brixen.
Arnold menulis surat kepada Uskup Brixen memohon agar Romo Yosef bisa diperkenankan bergabung dengan SVD. Jawaban Mgr. Vincentius Gasser, Uskup Brixen itu, mengharukan sekali. “Sebagai Uskup Brixen saya katakan TIDAK. Namun sebagai seorang Uskup Katolik saya harus menjawab YA. Ambillah putraku itu, dan jadikan dia misionaris yang baik. Dengan memberikannya kepadamu, saya mempercayakan kepadamu mutiara keuskupanku”.
Josef Freinademetz benar-benar menjadi misionaris yang suci dan mutiara gereja. Bersama Uskup John Anzer, dia diutus ke China. Ketika berpamitan dengan keluarga, dia mengatakan bahwa itu pertemuan mereka yang terakhir, dan dia tidak pernah pulang lagi ke Eropa sampai meninggalnya.
Misi di China pada masa itu luar biasa sulit. Ada pertarungan antarpenguasa di sana, ada politik isolasionisme yang menyulitkan orang asing masuk. Ada korupsi, perang, pemberontakan yang terus berlangsung. Ada perlawanan kelompok Boxers terhadap siapa pun dan apa pun yang berbau asing.
Namun, di tempat yang sulit itu dia merasa seperti rumahnya sendiri. Apakah dengan itu misinya menjadi mudah? Sama sekali tidak! Segala sesuatu serba berbeda. Dia menghadapi sebuah masyarakat dengan pandangan hidup dan nilai-nilai yang lain sekali. “Segalanya bertentangan dengan dengan apa yang biasa saya lihat dan pikir,” tulisnya dalam sebuah surat. Dia mengalami goncangan budaya yang luar biasa. Penderitaan emosional dan kesepian yang menggigit. Sebuah salib dengan beban yang mematikan.
Menghadapi situasi itu, langkah pertama yang dia lakukan adalah mecintai budaya China dan berusaha menjadi bagian dari bangsa China itu sendiri. Cara paling kongkret dan efektif adalah dengan mempelajari dan menguasai bahasa China, karena hanya dengan menguasai bahasa China dia bisa menyapa hati orang.
Dia juga belajar kultur dan adat istiadat China. Dia berpakaian seperti orang China, mencintai makanan setempat, adat istiadat, pesta-pesta. Dia masuk ke dalam nilai-nilai yang dihargai dan dihayati orang China. Itu pertobatan luar biasa. Prasangkanya terhadap orang China sebagai bangsa barbar harus segera dia tinggalkan agar bisa menjadi bagian dari orang China, mencintai dan dicintai mereka.
Dalam sebuah suratnya dia katakan, “Ada tembok penghalang yang memisahkan kita dari orang China, yaitu ketidaktahuan kita, atau pengetahuan yang keliru tentang orang China dan bahasa mereka.” Dia melanjutkan, “Tugas terbesar seorang misionaris adalah pertobatan dari dalam, the inner transformation of the inner self”.
Baru dengan masuk ke dalam hati orang China, dia berpastoral. Dia merasul. Pada 15 Juli 1881, dia mendirikan pusat misi di Shantung Selatan. Dia katakan, “Sekarang saya berada di tengah-tengah orang kafir. Impianku di masa muda terpenuhi.”
Dia mulai dengan hanya 158 orang Katolik di sebuah provinsi dengan penduduk mencapai 12 juta orang. Dia bekerja tidak mengenal lelah, berkomunikasi dan mencintai orang China. Pandangannya terhadap masyarakat China berubah sama sekali.
Setelah beberapa tahun di sana, dia menulis, “Orang-orang di sini miskin, tapi orang-orang sederhana ini berbudi luhur dan ramah… Kalau kita masuk ke rumah mereka, walaupun kita itu orang asing, mereka akan berdiri. Kalau kita pulang, mereka akan menemani kita sampai setengah perjalanan. Orang yang pakaiannya paling compang-camping mereka sapa sebagai saudara, sepupu, atau tuan.”
Setelah kurang lebih 30 tahun melayani, jumlah orang yang dibaptis 40.000 orang dan jumlah katekumenat pun sebanyak 40.000. Dia sangat mencintai bangsa China.
Dia mengucapkan sesuatu yang sangat menyentuh mengenai bangsa ini, “Aku mencintai Negeri China dan orang China, dan aku bersedia mati seribu kali untuk mereka.”
Dia berkisah tentang pengalamannya dianiaya, dipukul, bahkan hampir dibunuh, tapi Tuhan selalu menolongnya.
Situasi makin genting. Dua misionaris SVD yang masih muda, Richard Henle dan Frans Nies, dibunuh pada 1 November 1897. Dia berdiri di depan jenazah mereka dengan perasaan sangat tergoncang.
Dia diminta oleh sesama misionarisnya untuk pulang ke Eropa, karena juga terserang penyakit, tapi dia katakan, “Kenapa saya tidak bisa korbankan diri saya sendiri? Saya ini sudah setengah meninggal, dan saya pasti akan segera mati. Hidup saya sudah tidak penting lagi, sementara kamu masih bisa berbuat banyak hal.” Dia memilih tetap tinggal dan melayani dengan semangat misioner yang tinggi.
Misionaris yang sederhana tapi berhati mulia dan pencinta salib ini akhirnya meninggal di China pada 28 Januari 1908. Dia dikuburkan di sebuah taman Jalan Salib pada stasi ke-12, Yesus wafat di Salib. Dia mencintai salib dari masa kecilnya sampai saat meninggalnya.
Pietro Irsara, SVD, menulis, “Freinademetz berusaha mencintai dan melayani Tuhan dan umat Allah dengan segenap hati dan segenap jiwanya. Dia melihat hidupnya sebagai penyembahan kepada Tuhan. Hidupnya yang singkat di tanah kelahiran dan hidup yang panjang di China, hanya bertujuan satu: Kemuliaan Tuhan”.
Seorang ibu dari China mengatakan, “Ibu saya sangat menyukainya lebih dari siapa pun. Ibu selalu bilang, pergi ke Pater Freinademetz itu seperti pergi kepada Yesus. Dia tahu bagaimana membesarkan hati dan memberi nasihat, dan dia akan menjaga rahasia dari pembicaraan kita”.
Saat Josef Freinademetz meninggal, seorang bapa dari China mengatakan, “Saya kehilangan dia seperti kehilangan bapa dan mama sekaligus”.
Semua data ini saya ambil dari sesi-sesi pertemuan yang kami alami. Sesi-sesi yang terasa banyak memberi ilham dan menyegarkan jiwa.
Umat Brixen sangat menghormati Santo Josef Freinademetz ini. Sebuah gereja didirikan khusus untuk menghormatinya. Gereja itu indah sekali. Bentuknya seperti tenda. Interiornya dibangun seakan merangkul, menerima semua orang.

Di depan gereja ada sebuah pelataran yang besar yang sering dipakai untuk berbagai kepentingan umum kemasyarakatan: pertemuan bersama, kumpul-kumpul untuk bersendagurau, pentasan-pentasan, konser. Setelah kegiatan-kegiatan seperti itu, mungkin ada yang tergerak masuk ke gereja, sangat dipersilahkan.
Di dekat pintu masuk ada sekumpulan batu. Batu-batu itu dapat dilihat sebagai simbol beban hidup seseorang, yang barangkali mau dilepaskan, atau akan terlepas, karena ia tergerak masuk ke dalam gereja.
Di pintu masuk, berjejer lukisan para Rasul dengan penampilan yang bersahabat, dan sebagai sahabat mengundang, “Mari, masuk. Kami sudah merasakannya!” Melalui barisan para rasul itu, kita diantar menuju stasi-stasi Jalan Salib. Di ujung Jalan Salib itu ada lukisan Yesus yang bangkit. Lalu pandangan kita semua terarah ke altar untuk mengikuti Perayaan Ekaristi.
Di sebelah kiri altar, ada sebuah tangga yang tergantung, seakan-akan mengajak kita semua untuk menaiki tangga. Bagian bawah tangga itu hitam, hangus terbakar karena dosa-dosa. Sebagian anak tangganya patah. Namun, kita diajak untuk terus berusaha makin lama makin ke atas dimana lapisan hitam menghilang, dan warna tangga menjadi kuning keemasan yang membahagiakan.

Pada bagian kanan altar, ada patung Santo Yosef yang tegak berdiri. Di bawah patung itu ada patung 4 orang anak yang sedang menengadah kepada Santo Yosef.
Saya menyempatkan diri memasang lilin di sana, memohon dan berkat.
Ramai dikunjungi
Saat kami berada di Seminari Brixen, banyak orang datang berkunjung. Kamar makan penuh. Kelompok kami harus duduk di meja yang sudah mempunyai serbet dengan warna yang khusus. Meja tanpa serbet dengan warna khusus, bukan untuk kelompok kami. Jumlah orang ramai sekali. Bahkan lorong di luar kamar makan dijadikan ruang makan.
Yang menarik adalah kehadiran kaum muda. Banyak sekali. Dari jendela kamar, saya bisa melihat rombongan kaum muda silih berganti mengunjungi Seminari, dan terutama masuk ke dalam gereja.
Seorang imam SVD ditugasi khusus menjadi Direktur Rohani bagi kaum muda di Keuskupan Brixen. Sebuah harapan yang menggembirakan di tengah sekularisme yang sangat kental.