
Laporan Perjalanan Rm. Nani (36)
Sr. Shalini Mulachal, PBVM menghentak kami dengan konteks global yang sedang kita hadapi saat ini, ketika memberikan masukan mengenai Hidup Membiara, Senin-Rabu (14-16/4/2025). Ada beberapa karikatur yang membuat kami terdiam.
Salah satunya gambar mengenai seseorang yang sedang tenggelam. Seluruh tubuhnya sudah tidak kelihatan, tinggal tangannya saja yang menggapai-gapai di atas permukaan. Di tepi sungai atau danau banyak orang berdatangan. Namun, alih-alih membantu, masing-masing mengangkat HP untuk mengambil gambar, tak ingin melewatkan tragedi kemanusiaan yang langka itu untuk direkam, siapa tahu viral kalau dijadikan konten.
Karikatur lainnya adalah gambar seorang pejabat pemerintah yang gendut dan sedang duduk dengan kaki mengangkang ke depan. Pakaiannya rapi, khas pejabat: jas hitam, dasi merah, baju kemeja putih, dan tentu, sepatu hitam mengkilap. Dia sedang mengangakan mulut selebar-lebarnya di depan rakyatnya yang kurus kerempeng. Si kurus itu memegang sebuah mangkuk di tangan kiri dan senduk di tangan kanannya seakan sedang memberi makan kepada pejabat gendut yang lapar tanpa henti. Rakus.
Gambar berikutnya adalah macam-macam produk: google, IBM, Coca-Cola, Microsoft, macam-macam aplikasi, macam-macam nama, yang semuanya merujuk pada satu hal: bisnis. Tidak ada yang lain. Jasa apa pun, bisnis. Termasuk Rumah Sakit, termasuk pekuburan, juga doa-doa. Bisnis.
Gambar lain lagi, gambar dengan judul “NONE”. Tren generasi sekarang NONE. Kamu agama apa? None. Ateis? None? Agnostik? None. Tidak beragama? None. Pemuja roh-roh? None. Laki-laki? None. Perempuan? None. Semua serba tidak. Ada semacam indiferentisme ekstrem. Juga kebingungan, yang jadi tren.
“Inilah dunia VUCA yang saat ini kita hadapi,” kata profesor teologi sistematis kelahiran Kerela, India Selatan, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Indian Theological Association. VUCA itu singkatan dari Volatile (berubah turun naik drastis), Uncertain (tidak pasti), Complex, dan Ambiguous (tidak A, tidak B, juga tidak di antara).
Dia membeberkan macam-macam hal, antara lain melalui karikatur itu. Kekerasan dengan modus yang tidak bisa dimengerti, migrasi besar-besaran, krisis air yang luar biasa, kemiskinan yang mengerikan, kerakusan, ekploitasi, bumi yang sedang terancam. Kelaparan akan makna hidup, akan rasa memiliki. Dia menyebutnya, “a holy longing – kerinduan suci”.
Semua itu, “Teriakan dunia di sekitar kita,” jelasnya. Bahkan “Earth is crying out – ibu bumi menjerit,” sergahnya.
Bagaimana sebagai biarawan/i atau imam kita menanggapi situasi ini? Shalini mengajak kami melihat kembali panggilan masing-masing.
Dia mengambil beberapa teks Kitab Suci dan meminta kami memilih mana yang berbicara kepada masing-masing kami pribadi.
Lalu, dia membacakan teks dari Yoh.15:16, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah…”
Dia mengisahkan para guru meditasi di pegunungan Himalaya. Mereka tidak memilih para murid. Para muridlah yang memilih guru-guru itu. Beda dengan Yesus. Dia yang datang dan memilih para murid.
“Kita itu dipilih oleh Tuhan. Jadi panggilan itu benar-benar a gift – pemberian,” tegasnya. Dia memilih kita untuk apa? “Follow me! Untuk mengikuti Dia. Itu personal sekali. Seberapa sering kita menjumpai Dia secara pribadi?” tantangnya. “Panggilan itu bukan cara meninggalkan dunia. Sebaliknya kita harus menyelam ke dalam dunia. Panggilan itu bukan satu cara perealisasian diri. Panggilan itu berjumpa denganNya secara pribadi, melibatkan kelekatan kita yang unik kepada Dia.”
Setiap perjumpaan yang sangat personal dengan Dia tuntutannya besar. Harus sepenuh hati. Dan total. Meninggalkan segala-galanya. Panggilan membuahkan transformasi radikal. Transformasi itu mungkin terjadi secara gradual, tapi radikal. Kita rela melepaskan Big I – Aku, Ego kita yang besar, menuju self-gift – pemberian diri.
Panggilan itu membuat kita terkoneksi dengan misi Tuhan sendiri, yakni membuat cinta Tuhan meraja, menyatukan semua ciptaan Tuhan di dalam terang KerajaanNya.
Panggilan itu tidak pernah menyendiri dalam isolasi, tapi terbuka pada hidup komunal, hidup bersama. “Hidup komunitas itu bukan untuk bermisi. Hidup komunitas itu misi itu sendiri,” tegasnya.
Dia menjelaskan unsur-unsur hidup komunitas sebagai misi. Harus ada living together. Bukan sendiri-sendiri. Harus ada praying together. Harus ada ministering together, menjalani misi, tugas bersama-sama dengan satu hati, sehingga ada healing dan forgiving. Harus ada serving together, melayani satu sama lain. Harus ada loving together.
Sampai di titik ini, terasa manis dalam kata-kata. “It’s so sweet, to sweet that we can suffer diabetes, – kok manis sekali, sekian manisnya sehingga kita semua bisa kena diabetes,” komentar Isagani Ehido yang suka ceplas-ceplos.
Shalini menantang dengan tiga pertanyaan, “Bagaimana saya mengikuti Yesus dalam konteksku hari ini? Apakah ada halangan dalam perjalananku mengikutiNya? Apakah saya sungguh meninggalkan segala sesuatu, atau masih adakah sesuatu atau seseorang yang saya pegang untuk diriku?”
Saya tidak sempat berbagi. Namun, saya merasa dalam konteks saya pribadi sebagai formator Seminari mengikuti Yesus berarti recapturing tenderness – menghayati kelembutan hati, sesuatu yang terasa sulit dan penuh tantangan, tapi merupakan perjalanan transformasi diri saya sendiri.
Halangan yang saya alami adalah luka-luka pribadi yang belum sepenuhnya sembuh. Dan karena luka-luka itu, saya merasa masih ada kelekatan-kelekatan yang mengganggu perjalanan saya mengikuti Yesus. Mudah-mudahan keikutsertaan saya dalam program tersiat ini menjadi bagian perjalanan transformasi hidup imamatku.