
Laporan Perjalanan Rm. Nani (4)
“Hai, Romo Naniiii!” Mbak Nana – Anastasia Retno Pujiastuti – melambaikan tangan. Wanita setengah baya ini menelusuri jalan Matraman Raya mencari Wisma Soverdi, sampai kebablasan beberapa ratus meter.
Ketika keluar ke jalan, saya menoleh ke sebelah kiri. Dari jauh Mbak Nana sudah melambai-lambaikan tangan. Itu terjadi dua minggu lalu. “Kantor saya dekat dengan Soverdi, mo,” katanya saat itu. Bukan main gembira hatiku menjumpai edukator PRH yang piawai ini.
Dua minggu lalu itu, pertama kali saya menjumpai Mbak Nana secara langsung. Selama ini sejak tahun 2022, perjumpaan dengannya selalu online. Waktu itu saya diajak Rm. Syrilus Lena, Pr mengikuti kegiatan PRH melalui zoom.
PRH itu singkatan dari Personalite et Relations Humaines, atau Kepribadian dan Relasi Antarmanusia. PRH merupakan metode pengolahan diri. Dia merupakan sarana untuk pengembangan pribadi bagi orang dewasa dan dewasa muda.
Banyak sekali program menarik yang ditawarkan. Bagi saya sendiri, program-program PRH itu game changer. Sangat membantu pertumbuhkembangan kualitas kepribadianku dan penghayatan diri sebagai imam.
Ada cukup banyak edukator PRH di Indonesia. Saya sendiri berguru pada Mbak Nana. Saya bergabung dengan kelompok dari Flores (semuanya imam), dari Jawa (kebanyakan senior – awam dan imam), kelompok Indonesia dan luar negeri. Tahun ini, saya diundang menjadi kolaborator PRH dengan tugas menyumbangkan tulisan untuk Newsletter PRH, baik PRH Indonesia maupun internasional. Dua minggu lalu saya mengirimkan karangan pertama. Mbak Nanalah edukator yang mendorong saya untuk terus menulis.
Nah, dua minggu lalu itu, Mbak Nana mencari saya. Hari ini, giliran saya yang mencari kantornya Mbak Nana. “Dekat ko, Mo. Berseberangan dengan Gramedia.” Kata-kata Mbak Nana meyakinkan saya untuk ‘ukur jalan’ di tengah teriknya kota Jakarta.
Saya menyeberang ke Gramedia setelah berjalan cukup jauh. “Bukan di sisi Gramedia, di seberangnya Mo.” Mbak Nana memandu saya lewat WA. Saya balik lagi ke seberang. Dari jauh, wanita berpenampilan sederhana itu melambaikan tangan dengan senyum yang lebar. “Kantor kami dekat ni, Mo,” katanya.
Kami masuk ke jalan kecil, kira-kira 30 meter dari jalan utama. “Mutiara Kasih”. Itu nama Lembaga Pendidikan sekaligus kantor tempat Mbak Nana bekerja. “Mari mo, tu lihat, anak-anak sedang ujian,” kata ahli keuangan ini sambil mengajak saya masuk ke salah satu ruangan. Saya bertemu anak-anak itu, laki-laki dan perempuan, semuanya dari NTT. “Kamu dari mana?” “Manggarai,” jawab satu pemudi sambil menjabat dan mencium tangan saya. Ada yang dari Kupang, Sumba, Ruto, Wolowaru. “Anak-anak kami banyak sekali, Mbak Nana,” seruku.
Mbak Nana membawa saya dari ruangan ke ruangan, memperkenalkanku dengan sejumlah pegawai dan guru. Patung Bunda Maria, Santo Yoseph, Tuhan Yesus, dan Salib menghiasi ruangan-ruangan itu, tapi sejumlah guru dan pegawai berjilbab.
Saya dibawa ke sebuah ruangan kelas. “Besok Senin nanti kita misa di sini,” ungkap Mbak Nana. Sejak saya masih di Flores, Mbak Nana sudah minta saya memimpin misa tanggal 24 Februari – misa Syukur karena mendapat penghargaan dari Kemendikbud sebagai Lembaga pelatihan kerja terbaik, karena ada angkatan yang telah selesai masa pelatihannya, karena mau memasuki paket pelatihan yang baru. Dia sendiri sudah menyiapkan teks misa secara lengkap.
Saya diberi dua buku tentang Mutiara Kasih. Yang satu berjudul “Buah-Buah Mutiara Kasih”, yang lain “Mutiara Kasih Memanen”. Tamatan Mutiara Kasih ini bekerja di mana-mana, dan banyak dicari. Sudah ada yang ke luar negeri. “Kita sedang mengupayakan agar anak-anak kita bisa dikirim ke Jepang,” kisah seorang pengajar berjilbab. Kardinal Ignatius Suharyo pun memuji tamatan Lembaga ini, bahkan menganjurkan orang menggunakan jasa Lembaga ini.
Kami bercerita mengenai macam-macam hal. “Romo mau nyoba kereta cepat ke Bandung kan? Ayo, janjian ya, setelah pulang dari Eropa kita pake kereta cepat ke Bandung. Ada Remi di sana,” ajak Mbak Nana. Remi adalah salah satu edukator PRH dari Indonesia. “Di sana juga ada Kampung Inggris yang bagus lho!”
Wah, rasanya awal peziarahan ini penuh harapan. Semoga ziarah saya ke Eropa benar-benar kurasakan sebagai “A School of Hope” – Sebuah Sekolah Harapan. School of hope itu saya rasakan secara kental dalam life-giving relationship a la PRH.