VUCA 2 – PARADIGM SHIFT

Laporan Perjalanan Rm. Nani (37)

Dengan masuk ke dalam konteks global, Shalini mengajak kami melihat perubahan yang sedang terjadi pada level yang lebih mendasar, dan bagaimana menjadikan hidup membiara atau hidup imamat relevan dan tidak punah.

Punah? Bisa saja. Data menunjukkan, tahun 1960-an ada 1.300.000 kaum religius. Tahun 2000-an menurun drastis hingga 900.000 orang. Banyak biara punah karena tidak mampu menanggapi tangisan dunia yang sedang bergerak menuju paradigma baru. Sejumlah gereja ditutup, atau dijual, dijadikan museum atau restoran, atau ruang konser.

Paradigma itu arti sederhananya model dominan yang dianut peradaban. Model peradaban yang sangat lama bertahan, dimana jejak kekristenan begitu kuat tertanam, adalah paradigma patriarkal.

Dalam paradigma ini ada konsep tentang Tuhan yang khas. Tuhan memerintah jauh di ketinggian, dari atas. God rules from on high. Model pemerintahan (dan gereja) sangat hirarkis. Satu pemimpin tertinggi, di bawahnya ada turunan-turunan, sampai ranting paling dasar.

Kebenaran itu datangnya dari wahyu, dan karena itu tak terbantahkan, diturunkan dalam doktrin-doktrin murni. Moralitas bersifat absolut.Hukum-hukum harus dipatuhi. Kontrol adalah nilai sentral dalam model peradaban ini.

Apa yang diwariskan dari model peradaban patriarkal ini? Budaya kompetisi dan kekerasan, karena hanya yang kuat menang. Strateginya, devide et impera, memisahkan, memecah-belah, menguasai.

Yang diwariskan kepada kita adalah dunia yang penuh kekerasan, dan tercabik-cabik, misalnya karena perang. Lingkungan tereksploitasi dengan sangat dahsyat.

Muncul paradigma baru abad ke-20. Setelah perang dunia 2, misalnya, muncul PBB. Dunia mulai menyatu. Muncul kesadaran manusia sebagai pusat yang menentukan jalannya peradaban. Paradigma antropocentris.

Ada keinginan untuk saling menyatu daripada memecah belah. Bahkan pada perkembangan-perkembangan akhir, cara rasional untuk memahami dunia dianggap tidak cukup. Manusia lebih dari itu. Kapasitas-kapasitas seperti intuisi dan imajinasi mendapat apresiasi yang sungguh, yang membantu bertumbuhnya wisdom dan interkonektivitas. Muncul kesadaran baru yakni kesadaran kosmis, dimana unsur yang satu dalam kosmis berpengaruh pada unsur yang lain. Orang bergerak kepada kesadaran quantum.

Apa hubungannya dengan hidup membiara? Shalini mengatakan, hidup membiara saat ini masih berkutat pada paradigma lama yang patriarkal. Hidup berkaul kental bernapaskan paradigma konvensional.

Beberapa ciri paradigma konvensional, misalnya, melihat dunia sebagai tempat dosa bersarang dan berbahaya, karena itu kita harus memisahkan diri, menjauhi dunia.

Spiritualitas kental dualisme. Kerohanian pada dasarnya perang antara yang baik dan yang jahat, dan kita (yang baik itu) harus mengalahkan yang jahat. Padahal, makin banyak terungkap sarang kejahatan dalam biara-biara.

Keselamatan menuntut kita bermatiraga, mengalahkan hasrat-hasrat kedagingan. Doa, penitensi dan puasa menjadi jalan utama. Hidup membiara adalah tanda eskatologis bagi hidup yang akan datang. Hidup berkaul artinya hidup askesis dan korban pribadi.

Tidak berarti semua yang konvensional harus ditinggalkan. Namun, dalam paradigma baru, muncul kesadaran akan komunalitas, interkonektivitas lebih dari keberbedaan.

Ada kebutuhan untuk menjauhi paradigma patriarkis yang penuh kontrol dan serba membedakan. Serba memerintah, serba diperhatikan dan dilayani.

Ada kesadaran baru yang semakin hidup dan penuh untuk lebih merawat bumi. Perhatian akan gaya hidup yang menyengsarakan bumi dengan penggunaan energi berlebihan, sampah plastik, air, menjadi makin sensitif.

Ada kebutuhan untuk meninggalkan ideologi kapitalis yang sangat konsumeristis dan penuh persaingan, dan merangkul hidup sederhana yang tulus.

Bayangkan kalau warna konsumerisme dan persaingan itu ada dalam biara, dalam gereja, dalam diri para imam, dengan berlomba-lomba having dan bukan being.

Bayangkan kalau orang-orang biara atau imam ikut money games, ikut menyuap. Bayangkan kalau orang-orang biara atau imam menyalahgunakan keuangan.

Masih segar sekali kisah mengenai suster dari Flores yang mencuri di sebuah keuskupan di Roma. Semua itu membuat kehidupan membiara dan imamat kehilangan relevansinya.

Ada kesadaran akan hidup yang lebih egalitarian dan lebih koperatif. Status tidak membuat kita jadi khusus. Jubah tidak membuat kita otomatis suci.

Karena itu, di kalangan awam muncul panggilan-panggilan baru, ordo ketiga, dengan nama yang berbeda-beda: lay partners, lay associates, lay friends. Awam dapat menghayati hidup yang lebih mulia dari yang seharusnya dilakukan biarawan/ti atau imam.

Imam atau biarawan/ti dituntut lebih mampu merangkul nilai-nilai yang lebih dalam dan bertahan, dengan penuh ketulusan dan keaslian (otentik), dan tidak ikut terbawa-bawa informasi-informasi sebaran manusia dan jadi dangkal.

“Jauh di kedalaman hidup manusia, setiap orang membutuhkan cinta yang murni, yang selfless. Setiap orang merindukan keadilan, rindu diperlakukan secara fair. Setiap orang rindu ketulusan, kebenaran. Kaum religius dituntut menjadi orang-orang terdepan yang menghayati nilai-nilai ini,” tegas Shalini.

Menurutnya, ini tidak gampang. “Kita butuh manusia-manusia liminal,” katanya, ketika menjelaskan tentang liminality. Liminality itu konsep antropologis Arnold Van Gennep, ketika meneliti ritus-ritus peralihan (rites of passage) suku-suku Afrika.

Dalam suku-suku Afrika, ketika satu kelompok masuk ambang batas peralihan, pasti ada satu dua orang yang sudah berlangkah lebih dahulu ke ambang batas, walaupun dia masih bagian dari kelompok itu. Itulah manusia-manusia liminal.

Mereka-mereka itu mempunyai energi dan cahaya yang mampu membawa seluruh kelompoknya nanti  masuk ke peradaban baru.

Salah satu contoh manusia liminal adalah Paus Fransiskus. Waktu dia berkunjung ke Indonesia, perhatian satu bangsa tertuju kepadanya. Kata-katanya, senyumannya, sapaannya, pakaian-pakaiannya menjadi rujukan akan nilai-nilai besar yang harus dianut semua orang – keramah-tamahan yang mempersatukan, kata-kata yang keluar dari kedalaman hati, kesederhanaan, ketulusan mencinta.

Dalam dirinya, semua orang merasa kita harus menghayati nilai-nilai itu sebagai bangsa. Dia itulah contoh manusia liminal.

“Kalau hidup bakti mau menjadi revelan, kita harus menjadi manusia-manusia liminal,” tegas Shalini.

  • Related Posts

    KEAJAIBAN PENGAMPUNAN

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (46) Rumah yang kami kunjungi, Minggu (18/5/2025), sangat sederhana. Itu rumah batu pemberian orang untuk pasangan Luigi dan Assunta Goretti, orang tua Santa Maria Goretti. Mereka…

    TRE FONTANE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (45) Tre Fontane. Tiga Mata Air. Apa itu? Pada 26 Juni tahun 67 M, Santo Paulus dipenggal kepalanya. Begitu dipenggal, kepalanya terloncat dan jatuh ke tanah…