Lembaga calon Imam SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu, Ngada, NTT, telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka sejak Juli 2022. Implementasi kurikulum ini telah memberi dampak positif dan negatif bagi siswa Seminari atau seminaris yang notabene adalah calon Imam.
Arti Kurikulum Merdeka
Pada Kamis, 18 April 2024, kami melakukan wawancara dengan Prefek (Bapak Asrama) SMA Seminari Todabelu, RD. Benediktus Lalo terkait relevansi Kurikulum Merdeka bagi pendidikan calon Imam di SMA Seminari Todabelu. Beliau menuturkan bahwa Kurikulum Merdeka merupakan antitesis dari kurikulum sebelumnya dan mendapat penyederhanaan dalam proses penerapannya. Menurut Romo Beni, Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum yang selaras zaman yang mengembangkan pembelajaran yang berdiferensiasi dan mampu meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi peserta didik.
“Di dalam Kurikulum Merdeka, proses belajar mengajar lebih relevan dan fleksibel. Hanya materi-materi esensial yang diberikan guru. Minat siswa dikedepankan,” tutur Romo Beni yang dipercayakan sebagai Prefek sejak awal tahun 1999.
Romo juga menjelaskan bahwa dalam Kurikulum Merdeka, seorang siswa dituntut lebih kreatif. Hal ini dapat ditilik dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang dapat mengasah kepribadian dan karakter seorang peserta didik.
Hal senada juga diutarakan oleh Ibu Maria Mertiana Bolo, S. Pd, sebagai Wakasek Kurikulum di SMA Seminari Todabelu saat diwawancarai pada Sabtu, 4 Mei 2024. “Kurikulum Merdeka jauh lebih fleksibel dari kurikulum sebelumnya. Siswa memiliki kebebasan untuk memilih pelajaran yang diminati, sehingga pembelajaran tidak terkesan dipaksakan” demikian ungkapnya.
Ia pun menambahkan bahwa unsur-unsur dalam Kurikulum Merdeka sebetulnya telah lama diterapkan di lembaga Seminari. Hal ini tampak dalam kehidupan para seminaris yang diberi tanggung jawab untuk belajar secara mandiri, ambil bagian dalam pelbagai kegiatan baik di sekolah maupun asrama, atau juga dalam kepemimpinan OSIS yang sifatnya merangkap sekolah dan asrama.
Selain itu, Ibu Mertin juga menjabarkan bahwa di dalam Kurikulum Merdeka terdapat pembagian fase. “Ada dua fase dalam Kurikulum Merdeka di tingkat SMA, yaitu fase E dan fase F. Fase E diperuntukkan bagi kelas X. Pada fase itu, peserta didik belum dikelompokkan dalam kelas peminatan dan diharuskan menggumuli semua mata pelajaran. Sementara itu, fase F dijalankan oleh kelas XI dan XII. Pada fase ini, ada pengelompokkan mata pelajaran yang di dalamnya mencakup bidang-bidang tertentu. Siswa diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang diminati. Dengan pengelompokkan itu, pembelajaran di kelas XI dan XII nantinya akan saling berhubungan,” jelasnya.
Mungkinkah Kurikulum Merdeka bagi Pendidikan Calon Imam?
Kehadiran Kurikulum Merdeka di lembaga calon Imam SMA Seminari Todabelu tentu memiliki dampak positif dan negatif. Hal ini menjadi salah satu perhatian tersendiri bagi lembaga Seminari, sehingga memungkinkan Kurikulum Merdeka mampu menciptakan efektivitas dalam pendidikan para calon Imam.
Menurut Romo Beni kehadiran Kurikulum Merdeka memberi dampak positif bagi para seminaris. “Para seminaris bisa menjadi subyek dalam pendidikan. Mereka dapat menggumuli ilmu yang mereka pelajari secara kreatif”, katanya.
Sebagai guru Bimbingan dan Konseling (BK) sejak tahun 1998, Romo mengisahkan bahwa sebelum adanya Kurikulum Merdeka, pembelajaran berjalan tertutup. Artinya pembelajaran masih berada di bawah pengawasan guru. Hal ini berbeda dengan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka memberi kesempatan bagi guru untuk memberi “kebebasan kepada siswa untuk berkreasi.”
Romo juga menjelaskan bahwa dalam Kurikulum Merdeka ada kemungkinan bagi seorang guru untuk menjadi “pemberi dan penunjuk tugas”. Hal ini memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat mengolah tugas yang diberikan tersebut secara mandiri dan inovatif.
“Seorang seminaris juga bisa menjadi pengajar bagi rekan kelasnya. Dengan demikian, pembelajaran di kelas tidak sekadar menuntut guru sebagai narasumber, tetapi seminaris sendiri dapat dijadikan narasumber. Untuk menjadi narasumber, seorang seminaris tentu harus mencari referensi lewat membaca buku-buku di perpustakaan yang kemudian dapat diolah dan dipresentasikan,” tambahnya.
Pandangan serupa juga dijelaskan oleh Ibu Mertin. Bagi Ibu Mertin, lewat Kurikulum Merdeka siswa dapat menjalani kerja sama dan berdialog dengan guru untuk menghilangkan situasi monoton dalam pembelajaran. “Bisa pakai media pembelajaran, seperti power point, chrome book, atau bisa juga permainan selingan,” tuturnya.
Pandangan positif terhadap Kurikulum Merdeka juga datang dari salah satu seminaris kelas XI, Daren Gapi. Ia menjelaskan bahwa kehadiran Kurikulum Merdeka mampu menjadikan dirinya leluasa untuk mengekspresikan kemampuannya. “Saya merasa lebih bebas memilih mata pelajaran yang saya minati. Dengan demikian, pembelajaran yang saya jalani selama ini menjadi mudah untuk dimengerti,” katanya pada Sabtu, 4 Mei 2024.
Darren juga menambahkan bahwa berkat adanya Kurikulum Merdeka, ia semakin kreatif dan inovatif. “Ide-ide baru dapat saya kembangkan. Pembelajaran menjadi teman yang dapat saya kenal lebih dalam,” katanya.
Kehadiran Kurikulum Merdeka di Seminari tak lepas pula dari aspek negatif yang ditimbulkan bagi pendidikan para seminaris. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Romo Beni, bahwasannya Kurikulum Merdeka membuat tuntutan-tuntutan hidup sebagai calon Imam dalam kehidupan para seminaris mulai digerogoti.
“Nilai-nilai yang menjadi tradisi dari dulu itu perlahan hilang. Paling tampak ialah nilai silentium (keheningan, diam, kesunyian). Terasa sekali bahwa keheningan dalam belajar itu mulai hilang. Padahal nilai silentium sangatlah penting bagi calon Imam. Kurikulum ini ‘lebih banyak ributnya’,” ungkapnya.
Romo Beni juga menambahkan bahwa seminaris mengalami penurunan, tatkala mempelajari suatu materi. “Dari segi materi yang dipelajari, seminaris mengalami sesuatu yang dinamakan degradasi. Kurikulum sebelumnya menuntut siswa untuk mempelajari banyak materi, sehingga membuat mereka lebih berilmu, dibandingkan siswa, seminaris saat ini yang mengikuti Kurikulum Merdeka,” katanya.
Beliau bekata bahwa siswa dulu memiliki semangat belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa di masa Kurikulum Merdeka yang hanya mempelajari materi-materi esensial. Menurutnya, hal inilah yang menjadi tantangan bagi calon Imam yang bisa dilihat pula dari semangat belajar yang mulai menurun, yang sebagaimana saat ini tengah dikeluhkan di Seminari Tinggi. Bagi Romo Beni, sebagai sebuah lembaga calon Imam tantangan tersebut tentu menjadi sebuah kerugian.
Tidak hanya itu, Romo Beni mengatakan bahwa penggunaan teknologi dalam Kurikulum Merdeka, seperti penggunaaan alat elektronik dapat menyebabkan dampak buruk bagi kehidupan seorang calon Imam. “Nah itulah yang menjadi masalah bagi kita. Adanya alat elektronik cenderung membuat siswa tidak lagi membaca buku, karena lebih mengandalkan alat elektronik itu. Tambah lagi aturan di Seminari kita hingga saat ini masih melarang penggunaan handphone,” tegasnya.
Romo Beni juga mengungkapkan bahwa untuk menjadi seorang Imam para seminaris mesti memiliki pengetahuan yang luas. “Sebagai seorang pemimpin Gereja nantinya, tentu ia (seminaris) akan menghadapi umat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Maka dari itu, ia harus menguasai paling kurang pengetahuan umum. Itu yang sulit saya temukan dalam kehidupan para siswa di masa Kurikulum ini,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Ibu Mertin, aspek negatif dari Kurikulum Merdeka bagi pendidikan calon Imam di Seminari disebabkan oleh salah paham siswa terhadap Kurikulum Merdeka. “Karena dirasa saking merdeka, daya juang peserta didik semakin lemah. Belum ada kesadaran pribadi bahwa Kurikulum Merdeka adalah miliknya,” katanya.
Fenomena di atas menjadikan siswa salah memahami pengertian Merdeka Belajar. Siswa lebih mengartikan merdeka dalam bentuk pembebasan dari kewajibannya.
Sementara itu, Darren dalam pandangannya terhadap aspek negatif dari Kurikulum Merdeka menuturkan bahwa pembagian bidang dalam Kurikulum Merdeka kurang cocok dengan visi-misi lembaga calon Imam. Pembagian bidang dalam fase F tersebut dapat “merubah atau mengecoh” rencana awal seminaris untuk menjadi Imam.
“Dengan hadirnya pembagian bidang dalam fase F, yang secara tidak langsung mengarahkan seorang seminaris untuk misalnya menjadi seorang dokter, insinyur, arsitek, dan lainnya, bisa mengganggu dan menggoyahkan tujuan utama seorang seminaris untuk menjadi Imam,” ungkap Darren.
Harapan
Dengan adanya efek positif dan negatif dari Kurikulum Merdeka tersebut, Romo Beni dan Ibu Mertin berharap agar kehadiran Kurikulum Merdeka tidak menjadi penghambat di jalan panggilan para seminaris untuk menjadi Imam. Ibu Mertin mengungkapakan bahwa pembagian bidang dalam fase F kiranya membantu siswa untuk mengetahui kemampuannya, sehingga sangat membantu siswa tersebut untuk mampu menggeluti bidang pekerjaan yang akan dipercayakan kepadanya ketika menjadi seorang Imam.
“Menjadi Imam katolik bukan sekadar bekerja di paroki saja, melainkan bisa menjadi Imam pengajar, Imam dokter, atau bahkan Imam tentara,” tuturnya.
Selain itu, Romo Beni juga berharap agar para guru di masa Kurikulum Merdeka ini harus selalu memberikan peluang kepada siswa untuk “berefleksi”. Bagi Romo Beni, refleksi menjadi poin penting bagi seorang seminaris untuk tetap berkomitmen mengarahkan dirinya untuk menjadi Imam di tengah aneka kreativitas yang diolahnya dalam Kurikulum Merdeka. Selain itu, melalui refleksi para seminaris dibantu untuk dapat memaknai nilai-nilai pendidikan dalam Kurikulum Merdeka, sebagai pedoman bagi dirinya untuk menjadi pemimpin-pemimpin Gereja di kemudian hari.
Oleh: Gilang By, Eman Pitamini, Noldy Neri