DARI SEVEN WONDERS KE MASARU EMOTO

Laporan Perjalanan Rm. Nani (19)

Kegiatan animasi misioner hari Rabu-Kamis (5-6/3/2025) mempunyai daya tarik tersendiri. Ada beberapa hal yang ingin saya catat secara khusus.

Pertama, kisah mengenai 7 keajaiban dunia. Seorang guru meminta para siswanya menuliskan 7 keajaiban dunia yang terbaru. Segera mereka membuat daftar, lalu mengumpulkannya kepada guru.

Setelah lama berdiskusi, muncullah 7 keajaiban dunia versi mereka, yakni Piramida Mesir. Taj Mahal, Grand Canyon, Stonehenge, Empire State Building, Basilika St. Petrus, dan Tembok Raksasa di China.

Semua siswa bergembira, kecuali seorang gadis yang duduk diam di belakang kelas. Dia malah tidak memberikan kertasnya kepada guru.

“Kau kesulitan menemukan 7 keajaiban dunia?” tanya sang guru. “Iya, saya sulit memilihnya, karena ada banyak sekali keajaiban dunia itu,” jawab sang murid. “Coba baca saja, mungkin kami bisa membantu!”

Gadis itu membaca 7 keajaiban dunia versinya, yakni melihat, mendengar, menyentuh, mencecap, merasakan, tertawa, dan mencinta. Semua tercengang dan terdiam mendengar 7 keajaiban dunia yang didaftarkan gadis pendiam itu.

Samy Kulanday, SVD yang mengantar kami dengan cerita itu mengajak masing-masing peserta keluar sejenak dari ruang pertemuan, lalu dengan sadar menemukan masing-masing empat hal yang menarik yang ditemukan melalui indera penglihatan, pendengaran, empat rasa yang berbeda setelah menyentuh, atau mencecap, atau membaui.

Penemuannya kaya sekali. Keindahan yang ditangkap mata bermacam-macam – warna, bentuk, gerak. Bunyi burung berjenis-jenis. Deskripsi rasa setelah menyentuh bervariasi. “Indera kita adalah jendela untuk mencecapi dunia. Sayang, banyak sekali tidak kita gunakan dengan semestinya, karena kita tidak terbiasa hadir secara penuh,” kata Samy.

Hadir secara penuh itu disebut mindfulness. Dia menjelaskan, “Mindfulness adalah praktik untuk hadir secara penuh pada momen ini dan di sini dengan kesadaran yang terbuka dan non-judgemental terhadap pikiran, perasaan, sensasi tubuh, dan lingkungan sekitar.”

Dia membantu kami berlatih teknik mindfulness lewat pernapasan, dan body scanning.

Kedua, Samy mengajak kami ke Jepang, menemui seorang ilmuwan bernama Masaru
Emoto. Orang ini membuat penelitian mengenai dahsyatnya kekuatan kata-kata.

Suatu waktu dia meneliti dahsyatnya kekuatan kata-kata yang tertulis. Dia mengisi sebuah gelas dengan air, dan di luar gelas itu ada label bertuliskan, “Aku cinta kamu”. Di letakkan gelas itu di lemari es. Setelah sehari penuh, dia mengambil gelas itu dan menemukan bahwa gelas itu sudah membeku tapi bentuknya indah dan jernih.

Kemudian dia mengambil gelas kedua, mengisinya dengan air dan dilabeli tulisan, “Aku benci kamu!” Setelah sehari, bentuk air yang sudah membeku dalam glas itu berbeda – kehitam-hitaman dan kacau.

Dia lanjut membuat penelitian mengenai dahsyatnya kata-kata lisan. Nasi dimasukkan dalam tiga kaleng berbeda. Pada kaleng pertama dia menulis, “Terima kasih”. Pada kaleng kedua, “Bodoh kau!”, dan pada kaleng ketiga tidak dituliskan apa-apa.

Ketiga kaleng itu diletakkan di lorong dimana semua siswa bisa melihatnya. Para siswa itu diminta hanya mengucapkan kata-kata yang ditulis itu. Semuanya berlangsung selama satu bulan.

Sesudah satu bulan, nasi yang ada tulisan “Terima kasih”, masih terlihat segar, dan aromanya bagus. Para siswa yang hilir mudik mengucapkan kata ‘terima kasih’. Kata itu disebutkan berkali-kali oleh para siswa.

Nasi yang bertuliskan ‘bodoh kau’ membusuk dan aromanya tidak sedap. Sedangkan yang tidak ada tulisan apa-apa tidak jelas, tidak segar juga tidak rusak.

Samy menyadarkan para peserta, betapa besar daya kuasa repetisi – pengulangan. Repetisi itu alat yang sangat berguna. Dalam arti tertentu kita menjadi apa yang kita ulangi berkali-kali. Apa yang kita lihat berkali-kali, apa yang kita dengar berkali-kali, apa yang kita lakukan berkali-kali memberi dampak yang mendalam pada diri kita, menjadi bagian dari tingkah laku, dan membentuk kebiasaan kita. “Jika kita mengulangi kata-kata yang baik, maka yang baik itu akan menetap dalam diri kita. Jika kita mengulangi terus-menerus kata-kata yang buruk, maka akan berdampak buruk kepada kita,” ungkapnya.

Banyak sekali konsekwensi dari hal ini. Betapa pentingnya kita belajar mengungkapkan kata-kata yang positif, yang jernih, yang benar.

P. Mukabi, SVD, professor Hukum Gereja dari Gana mengatakan, di desanya, ada larangan untuk mengumpat anak-anak, “Kau bodoh!” karena nanti kata-kata itu menjadi kenyataan.

Tanggapan dan refleksi terus mengalir. Di antaranya, pembicaraan mengenai kebiasaan doa yang mengulangi kata-kata yang sama terus-menerus. Tanda Salib, Salam Maria, Bapa Kami, Kemuliaan, Angelus, Doa Suku-jam, Doa Yesus, semuanya memanfaatkan the power of repetition.

Wah, dua momen animasi ini sangat menginspirasi. Terima kasih Tuhan.

  • Related Posts

    TANGGA-TANGGA COLOGNE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (22) “Yes, akhirnya melewati perbatasan Jerman!” teriak saya penuh gembira disambut pekikan tawa Surya, Johan, dan Vinsen, mantan siswa Seminari Mataloko yang sekarang melanjutkan studinya di…

    ISSUM, KEVELAER, GOCH

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (21) Kami berkumpul di depan rumah induk Steyl setelah makan pagi, Sabtu (8/3/2025). Udara dingin tapi bersih dan segar, seperti biasa. Belum jelas peralihan dari musim…