Renzo

EUFEMISME: BERKAT ATAU KUTUK?

Menurut Kamus Be­sar Bahasa Indonesia,  eu­femisme adalah ung­kap­an yang lebih halus seba­gai pengganti ung­kap­­an yang dirasa ka­sar, yang dianggap me­rugi­kan atau tidak menye­nangkan.

Dilansir dari Wikipe­dia, ka­ta eufemisme ber­asal dari bahasa Yunani “eu” (bagus) dan “phe­­mo­o” (berbicara). E­u­­­­fe­mis­me berarti ber­bicara dengan ungkapan yang baik dan sopan.

Eufemisme bertujuan untuk tidak menyakiti/ menyinggung orang la­in. Dalam hal ini, kita ambil con­toh, “Pen­curi di­aman­kan oleh kepoli­si­an.” Kata “diamankan” me­rupakan salah satu con­toh eufemisme yang memiliki arti sebenar­nya, yaitu di­tang­kap.

Tidak semua penang­kapan dilakukan pa­da orang yang tepat. Ada kalanya, pihak ber­we­nang salah menang­kap pe­laku. Mengguna­kan ka­ta diamankan ter­kesan akseptabel.

Namun, apabila ko­rup­tor yang di­amankan, apakah itu pan­tas? Le­bih baik koruptor dise­but maling atau rampok, agar terasa efek jera dan ra­sa malu yang diterima.

Ironisnya, budaya In­do­­ne­sia memiliki istilah “Di atas tumpul, di ba­wah lancip”. Pejabat-pe­jabat bermasalah, di­be­ri­ta­kan secara halus. Se­dangkan orang kecil, ha­nya mencuri sandal, ter­da­pat dramatisasi.

Budaya hormat kepa­da orang yang tinggi statusnya sangat kentara dalam Indonesia. Ka­­re­na itu, banyak berita ko­rupsi pejabat yang justru menyembunyikan se­sua­tu.

Sebenarnya itu tidak perlu. Pihak berwenang pasti memiliki bukti  ob­jektif melalui penyi­dik­an dan penyelidikan se­ca­ra komprehensif da­lam menangani sebuah ka­sus, agar khalayak da­pat mengetahuinya.

Undang-Undang Pa­sal 6 No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menya­ta­kan, peran pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berda­sar­kan informasi yang te­pat, akurat, dan benar.

Oleh karena itu, para jurnalis perlu menyam­paikan berita secara eks­plisit.

Namun, kata-kata da­lam berita juga perlu di­kemas dengan baik. Po­tensi menimbulkan ge­jo­lak yang merusak na­ma keluarga pelaku me­rupakan salah satu per­tim­bangannya.

Era Soeharto

Pada Rezim Orde Ba­ru, eufemisme memiliki fungsi pengendalian, ke­cu­­ri­gaan, penipuan, dan ke­­­­­­kerasan yang bergaya topeng. Maksudnya, ada arti tersembunyi yang ji­ka diketahui menjadi le­bih riskan bagi korban/ ma­syarakat.

Pemerintah memun­cul­­kan istilah represi li­nguistik, yaitu penekan­an dan pembatasan atas kebebasan rakyat me­nya­takan pikiran dan pe­rasaannnya dengan ber­ba­ha­sa. Hal ini menu­run­kan sikap kritis dan pem­ba­tas­an masyarakat untuk me­­­nyuarakan as­pirasi.

Masyarakat terpaksa harus mengikuti segala perintah dan kebijakan yang dibuat oleh pe­me­rintah.

Disfemisme

Allan dan Bur­­­­­­ridge (1991) men­je­las­­kan “dis­femisme ada­lah kata atau frasa yang berkonotasi menya­kit­kan atau mengganggu ba­ik bagi orang yang di­ajak bicara atau orang yang dibicarakan, serta orang yang mendengar­kan ungkapan tersebut”.

Disfemisme dapat di­sebut sebagai lawan ka­ta atau antonim dari eufe­misme. Namun, Bukan ber­arti disfemisme tidak dibutuhkan.

Penulisan judul berita di me­dia massa kadang me­merlukan disfemisme. Contoh, “Kabar Gem­bi­ra untuk Guru di Pelo­sok”. Kata pelosok me­nya­takan tempat ter­pen­cil yang jauh dari kera­maian kota dan meng­alami keterbatasan fasi­li­tas.

Alasan tersebut mem­buat banyak orang ti­dak mau mengabdi di tempat ini. Oleh karena itu, disfemisme berfungsi untuk menarik minat pembaca.

Bagi seminaris

Di Seminari, eufemis­me sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh para guru dan pem­bina ke­­pa­da seminaris mau­pun di antara semi-na­ris seba­gai bentuk ko­munikasi.

Bagi para guru/pem­bina, eufemisme men­­ja­di suatu kebijakan pen­didikan. Bagi seminaris meng­gu­na­kan kata yang halus berguna dalam men­jaga perasaan orang lain.

Namun, jika kondi­si­nya merujuk kepada de­viasi yang terbukti kebe­narannya, eufenisme se­baiknya dihilangkan.

Seminaris suka mem­bunga-bungakan sebuah kata demi suatu pem­be­naran dan keinginan ter­tentu yang belum tentu ba­ik. Oleh karena itu, ka­ta­kan saja dengan te­gas dan terbuka terha­dap pe­laku ketika mela­kukan pe­nyimpangan agar ada rasa malu dan efek jera baginya. Se­minaris pun harus men­jaga eufemis­me.

Lorenzo Puling

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu

Ibu Merlin

MERLIN: BUKU JENDELA ILMU

Dengan mem­baca buku kita dapat me­ngetahui banyak hal, menambah wa­wasan, dan menda­patkan banyak ilmu sehingga kita semakin tertarik untuk mem­baca buku.

Maria V. Uta Djadja atau yang kerap disapa ibu Merlin adalah wa­nita kelahiran Mataloko 11 April 1980. Saat ini, ia menjadi pengajar di SMA Seminari St. Yoh. Berkh­­­mans Todabelu dan me­ngampuh mata pelajaran Kimia.

Merlin adalah so­sok yang patut di­con­tohi da­lam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat kita lihat dari ber­bagai aspek yang mele­kat da­lam dirinya.

Merlin di­kenal sebagai guru yang ramah dan ce­ria da­lam menjalani akti­vitas se­hari-hari. Se­lain itu, ia juga dikenal se­bagai sosok yang di­sip­lin dan tekun dengan tu­gas yang diberikan. Ini­lah keung­gulan yang di­mili­ki­nya.

Riwayat pendidikan

 Wanita kelahiran Ma­taloko 11 April 1980 ini memulai dunia pendi­di­kan­nya di SDK Mata­lo­ko. Sesudah menamat­kan pendidikannya di se­kolah dasar, ia melan­jutkan pendidikannya ke SMP Kartini.

Sehabis da­ri Kartini ia me­ne­rus­kan pendidikannya di SMA Negeri I Bajawa. Selanjutnya ia melang­kah ke perguruan tinggi Undana Kupang.

Merlin me­ngambil jurusan MI­PA (Program Studi Ki­mia) sesuai dengan mi­natnya. Setelah 5 tahun ber­gelut sebagai maha­sis­wi, akhirnya ia ber­ha­sil meraih gelar serjana.

Cinta buku

 Membaca buku ada­lah suatu hal yang pa­ling digemari oleh  Mer­lin. Dalam kesen­di­ri­­­­­­annya ia selalu me­neng­gelamkan diri de­ng­an membaca.

Sosok yang satu ini menjadi peng­gemar buku sejak men­duduki sekolah da­sar. Ku­nang-kunang me­ru­pakan salah satu ma­jalah favoritnya, karena di dalamnya terdapat cerpen dan puisi. Selain Kunang-Kunang, ia se­nang membaca bu­ku-buku novel dan ilmi­ah.

Mer­lin adalah contoh pe­ngguna Ba­­ha­sa Indo­ne­sia yang baik. Dengan membaca buku, kosaka­ta dan wawa­san­nya se­ma­kin bertambah. Me­nu­rutnya, membaca bu­­kanlah suatu hal yang membosankan. Mem­ba­ca justru membuat diri­nya   tertarik untuk te­rus membaca.

Dengan mem­baca bu­ku kita da­pat menge­tahui banyak hal. De­ngan demikian, wa­wa­san kita akan bertambah banyak. Hal inilah yang dapat mem­buat kita ter­tarik untuk membaca buku.

Kemala­san mem­baca mun­cul ketika kita meng­­­­ang­gap membaca ada­lah ke­­giatan yang mem­­­­bo­sankan. Jika kita peng­gemar bu­ku, kita akan membaca tanpa rasa bo­san karena semua pikir­an kita akan ter­bawa ke dalam isi buku.

“Kita harus merasa bah­wa buku adalah sa­lah satu jalan untuk men­dapa­t­kan il­mu,” ungkap Korrdinator Pembelajaran Berbasis Proyek SMA Seminari ini saat di­wa­wan­­carai.

Me­nurut­nya, membaca bu­kan­lah suatu hal yang sulit. Kita dapat memu­lainya dari buku-buku yang sederhana dan mu­dah.

Semangat mem­ba­­­ca yang dimiliki oleh Merlin patut di­tiru oleh para seminaris, agar mem­baca dijadikan se­bagai suatu hobi.

Selain membaca, gu­ru yang satu ini juga suka be­r­main voli dan gitar. Hal inilah yang mem­­buat ia sering me­ng­­am­bil bagi­an dalam ber­­ba­gai ke­giatan di Se­minari se­jak bekerja di sini.

Pesan

Karena cintanya akan buku, ia berpesan kepa­da para seminaris agar selalu setia dalam mem­­baca dan jangan som­bong akan pengetahuan yang kita miliki. Katanya, “Per­pustakaan menyedia­­kan banyak buku, mulai dari buku cerita hingga pen­didikan.”

Dengan me­manfa­at­kan perpustakaan secara baik, kita akan mem­per­oleh banyak pengetahu­an. Ada banyak infor­masi yang bisa kita da­patkan dari perpusta­ka­an. Kita bisa meman­fa­atkan berbagai sumber dan referensi yang ter­se­dia di sana. Perpus­ta­ka­an harus dilihat se­­bagai gudang ilmu bagi kita.

Mendekatkan diri de­ngan perpustakaan ada­lah salah satu cara yang bisa kita gunakan agar ilmu yang berada dalam gudang itu dapat kita peroleh, sehingga wa­wa­san kita menjadi luas.

 Cintailah buku, ka­rena buku itu jendela dunia,” demikian Merlin menutup obrolan.

Trino Mitan

Siswa kelas X, SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko

eDGAR

BERLARI MENGEJAR MIMPI

Wajahnya lesu kelelahan. Keringat ber­cu­curan deras di seluruh tubuhnya, membuat pakaiannya basah dan bau. Ia tak kenal lelah mengejar mimpinya. Dialah aku yang mengejar mimpi.

Aku adalah anak desa yang serba berke­ku­ra­ngan. Untuk makan se­hari-hari saja sulit. Be­gi­­tupun dengan uang se­kolahku. Kepala sekolah sering mengejarku keli­li­ng kampung karena aku tidak membayarnya. Namun, aku mampu mem­buat kepala seko­lah­ku masuk ke rumah sakit. Beberapa hari ke­mudian, kepala sekolah­ku itu sakit jiwa dan ak­hirnya meninggal dunia.

Kehidupanku berubah ketika pamanku menga­jak­­ku untuk belajar di kota. Akhirnya, aku pin­dah ke kota dan ber­se­ko­lah di salah satu SMA bergengsi. Di sana, aku ber­temu dengan dua orang baik, yaitu Ucok dan Siwa. Mereka me­mi­liki kepribadian yang unik. Hal itulah yang mem­buatku tertarik un­tuk berteman dengan mereka.

 “Anak-anak, hari ini adalah hari pemilihan ekstrakurikuler. Mohon dipilih dengan bijak,” kata Pak Dodo sembari mem­bagi-bagikan sele­baran kepada para sis­wa.

Aku, Ucok, dan Si­wa sama-sama memilih ekskul lari. Kami segera pergi ke ruangan olah­raga dan mem­per­si­a­p­kan diri untuk lomba la­ri.

Awalnya, aku sangat gugup. Tak disangka, ha­silnya sangat me­mu­as­­kan. Aku berhasil men­jadi pelari tercepat. Tak berselang lama, aku langsung ditunjuk seba­gai anggota inti yang baru.

Menjadi tim inti lari memang tidaklah mu­dah. Aku harus berlari setiap sore. Semakin ha­ri aku semakin cepat sa­ja. Pada suatu sore, aku men­dengar berita dari kedua temanku bahwa akan ada perlombaan la­ri antar kabupaten.

Ucok dengan semangat berkata, “Tino, kalau kau menang ni kita bisa dapat uang jajan selama setahun.” “Benar tu, ini beli satu oto sudah lumayan,” tambah Siwa. “Molo sudah, ja’o ikut,” jawabku dengan yakin. Di bawah bimbingan mereka, aku berlatih de­n­g­an tekun setiap sore. Program latihan mereka yang tidak manusiawi membuatku nyaris mati. Namun, hasilnya me­mang di luar nalar. Kini, aku memiliki kekuatan, kecepatan, dan kelin-cahan yang patut dia-cungi jempol.

 Hari demi hari ber­lalu. Akhirnya, hari per­lombaan telah tiba. Aku, Ucok, dan Siwa mela­kukan sedikit pemana­san dengan jogging keli­ling sekolah. Namun, aku tak sengaja mena­b­rak segerombol preman. Para preman itu tampak kuat dan garang.

Salah satu dari mereka mendo­rongku hingga terjatuh dan berkata, “Eh azi, ja­lan pakai mata.” Aku lang­sung bangkit. Ku­ta­tap matanya dengan ta­jam dan ber­ka­ta,” Ka’e, orang jalan pakai kaki. Ka­lau pakai mata mau lihat apa?”

Preman itu seketika geram dan melototiku dengan tajam. “Kamu ini, sudah salah, mela­wan orang tua, protes la­gi. Bro, urus mereka.” “Siap bos,” jawab re­kan-rekan premannya.

Tan­­pa pikir panjang la­gi, kami langsung lari da­ri mereka. Kami ber­lari, berlari, dan terus ber­lari tanpa henti. La­ma-kelamaan tenaga ka­mi makin terkuras. Di belakang kami, para pre­­man itu mengejar ka­mi seperti anjing rabies yang sedang mengejar kucing garong.

  “Tino, ja’o ti mau mati eee……Ema!!!” te­riak Ucok.

  “Benar, mati sebentar ja’o buat kau jadi masakan,” ancam Siwa.

  “Aman eja, kalau mati pasti hidup lagi,” jawab­ku.

  “Bodoh, orang yang sudah mati tidak bisa hidup lagi,” bantah Si­wa.

  “Bisa eja. Di Surga.”

 “Ema!!!” Anjing-an­jing rabies itu semakin ga­nas saja. Aku segera memutar otak. Aku ber­lari ke dalam pasar. Degan ceka­tan aku me­lompati ba­rang­-barang pasar seper­ti gaya park­hour saja.   Aku segera men­gobrak-abrik isi pa­sar untuk meng­halangi para preman itu.

Namun, lumayan lincah juga. Akhir­nya, aku me­lempar ba­rang pasar se­cara sem­barangan ke­arah mere­ka. Aki­­batnya, mereka terjatuh dan bahkan ma­suk ke got. Kami tak menyia-nyia­kan kesem­patan. Aku dan ke­dua te­manku se­gera ber­lari ke stadion.

Saat su­dah sampai, aku se­ge­ra ma­suk ke dalam sta­di­on. Suasana di da­lam sta­dion sangat ra­mai dan riuh. Aku se­gera meng­ambil ­po­sisi, mu­lai ber­lari secepat yang aku bisa. Tiba-tiba,   arghh…Aku jatuh. Kakiku panas rasanya. Namun, aku kembali bangkit dan mulai berlari lagi, mengejar mimpi.

Edgar Sebo

Siswa kelas X SMA Seminari Todabelu, Mataloko

IMG_7840

PROYEK KERAJINAN BAMBU: YANG TERBUANG MENJADI UANG

Kurikulum Merdeka dengan proyek-pro­yek yang me­ngesankan membuat pem­belajaran menjadi semakin seru. Salah satu tantangan yang dihadapi melalui pembelajaran proyek adalah  memanfaatkan yang terbuang di lingkungan sekitar menjadi uang.

SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu  menjadi salah satu da­­­­ri sekian banyak seko­­­­lah yang menjalani Ku­rikulum Merdeka Be­­lajar. Kurikulum ter­se­but dijalani  oleh sis­wa ke­­­las X sedangkan sis­wa kelas XI dan XII te­tap melaksanakan kuriku­lum 2013. 

Hal baru dalam kurikulum ini adalah mewa­jibkan sis­­­­­­­­­­­­­­­­­­­wa un­tuk me­nye­le­sai­kan pro­yek yang ditetapkan bersama dalam sekolah. Salah satu pro­yek yang disepakati di sekolah ini yaitu  ke­wi­­ra­usa­haan yang ber­tema­kan ‘ya­ng terbu­ang men­­­­­­­­­ja­di ua­­ng’.  Tujuan pro­­­­­yek ini ada­­­­­­­­­­lah, siswa harus bi­­sa meng­­hasilkan se­su­atu yang bernilai jual  dan berku­alitas, mi­­­sal­nya dari lim­bah bam­­bu.

Peran Kampus Bambu

Agar bisa menghasil­kan produk yang berku­alitas maka seminaris ber­­­sama para pendam­ping proyek ini, yaitu The­­resia Emilia Wo­ghe, S.Pd, Rm. Drs. Sil­vinus Fe, Pr, S.Pd, FX Lin­­dawati, M.Pd, Do­mi­nikus Damu, S.Pd, dan Rm. Yustinus Oc­ta­vian­ney Dua, M.Th, berkunjung ke Ka­­m­­­­­pus Desa Bam­­bu Ag­­­­­­­­­rofes­tari. Kampus tersebut ter­letak di dae­­­­rah Tu­­re­to­go, Desa Ra­­­­­­­­to­­­­­gesa, ke­­­­­ca­ma­tan Go­­­­­­­­­­­­­­­lewa, Ka­bu­paten Nga­­­­­­­­da., Flores.

 Kam­­­­pus Ba­m­­bu ini per­tama kali dire­s­­­mi­kan oleh Guber­nur NTT Vic­­­­­­­tor Bung­tilu Lais­kodat pada hari Se­­­nin (24/5/2021) pagi. Kampus ini berada di ba­­wah  naungan Yayas­an Bam­bu Les­­­tari (YBL) yang di­dirikan oleh Linda Ga­­r­­land pada ta­hun 1993 se­bagai orga­ni­sasi nir­­­­laba.

Kehadir­an Kam­­­­­­­­­pus Bam­bu ini un­tuk me­ng­kampanye­kan dan me­man­faatkan bam­bu se­bagai solusi eko­nomi dan ekologi ba­gi mas­­­­yarakat pede­sa­an di In­­­­do­­­nesia. Kam­­pus Bam­bu juga menerima dan men­­di­dik siapa pun yang mau be­lajar ke tempat ini, ter­masuk para siswa da­­ri Se­m­inari.

 Pada 21 Januari 2023, ke­­­­las XC ber­kunjung ke Kampus Bambu un­tuk belajar membuat ke­ra­jinan dari limbah bam­bu dalam rangka me­lak­sa­na­­­kan proyek kewira­usa­­haan yang te­lah di­rancangkan.

 “Awal targetnya ada­lah pengolahan bebera­pa jenis sampah men­jadi pro­­­­­­duk kerajinan yang berkualitas. Na­mun da­lam perjalanan, di­putus­kan mengolah limbah bam­bu yang  cukup banyak tersedia di sekitar kita. Di daerah ki­­­­­­­ta juga ada Kampus Bambu yang ten­­­tunya sangat mem­ban­tu pelak­sana­an pro­yek ini,” jelas Rm. Silvinus Fe, Pr, salah seorang pendamping proyek ini.

Kampus bambu sen­diri terbuka mene­rima sis­­wa seminari yang da­tang ke sana. “Saya me­rasa gembira karena ke­da­tangan Seminari ke sini.” Ucap Stefanus Ra­si atau kerap disapa om Ep­hend saat diwa­wan­carai, Rabu (15/2/2023).  Om Ephend adalah salah seorang pengrajin bambu sekaligus pengemudi di Kampung Bambu.

Proses dan Produk

Para semina­ris dibagi da­lam 6 kelompok. Se­ti­ap dua kelompok didam­pi­ngi  satu pengrajin da­ri Ka­m­­­­pus Bambu. Tiap ke­lo­­­­­­mpok boleh memi­lih pro­­duk yang ingin diha­­­sil­kan. Para pen­dam­­­­­ping  men­gajarkan seminaris untuk mulai dengan me­milah bambu yang baik juga proses pem­buatan­nya.

 Selama berlatih, para se­mi­­­naris antusias dan bertekun dalam kegiatannya. Kam­pus Bambu te­lah mem­­be­ri­­kan sema­ngat untuk be­­lajar sesuatu yang ba­ru dan mampu membuat pa­ra seminaris merasa gem­­bira.

 “Awalnya mereka ku­rang mengenal pro­ses pembuatannya. Na­mun setelah berproses se­ma­ngat mulai muncul dan mereka mulai berk­rea­tivitas. Terbukti dengan de­­sain baru dari produk yang dihasilkan. Me­mang beberapa sis­wa ter­lihat kurang displin. Mun­­­gkin ini bukan bi­dangnya. Tapi saya ya­kin bahwa mereka bisa menggunakan ke­teram­pi­lan ini di masa depan me­reka dan saya ber­harap agar kerja sama ini bisa berlanjut dan se­ma­kin banyak orang yang mau memerhatikan bam­bu secara khusus,” kata Om Ephend.

Para siswa mempu­nyai semangat belajar ting­­­­­­­gi. Hasilnya pun memuaskan. Produk yang dihasilkan antara lain, kerajinan lampu hias, mok atau gelas bambu, replika kapal Finisi, dan replika helikopter.

Om Ephend dan seorang pendamping lain dari Kampus Bambu memuji hasil kerja para seminaris. “Kami tidak menyangka, produknya bagus sekali. Seminaris mempunyai kreativitas yang tinggi,” puji Om Ephend.

Se­mi­naris sendiri ba­ha­gia saat belajar ber­sama para pen­dam­ping di kampus bambu. “Ke­giatannya berman­faat, sa­ngat se­­ru serta me­­­­­­nambah wa­wasan te­ru­­­tama da­lam pe­­­­­­­­­m­an­faatan lim­bah ba­m­­­­­­­bu,” ucap Erton Wo­­da siswa kelas XC.

Produk-produk seminaris sendiri dipajangkan di Kampus Bambu. Beberapanya laku terjual. Para seminaris mengalami bahwa yang terbuang ternyata bisa menghasilkan uang. Proyek ini membantu pengem­bangan krea­ti­vi­tas dan jiwa kewirausahaan seminaris.

Refleksi

Proyek ini tidak hanya mengasah kreativitas dan jiwa kewirausahaan. Banyak sekali nilai yang dipelajari. Dibutuhkan kolaborasi dan kerja sama dengan berbagai pihak. Karena itu seminaris perlu memiliki keterbukaan. Dibutuhkan kerelaan mendengar dan kerelaan berbagi. Seminaris harus mendengarkan pembimbing yang memberikan pengarahan, dan mau menolong teman yang mengalami kesusahan saat berproses. Juga dibutuhkan ketelitian dalam mengerjakan produk yang dibuat agar mendapat hasil yang maksimal dan memuaskan.

Akhirnya, proyek ini meyakinkan kami bahwa apa yang tampaknya terbuang dan tak berarti dapat menjadi sangat berguna, karena hal-hal itu bisa mengungkapkan kedalaman kreativitas dan jiwa kami.

Alino Tolla

Siswa Kelas X SMA Seminari Todabelu, Mataloko

imun

IMUN: SARANA PENGEMBANGAN DIRI

International Model United Nations (IMUN) sa­ngat mem­­bantu seminaris dalam mengem­bang­kan kemampuan dirinya. Mulai da­ri kemampuan berbahasa Inggris hing­ga kemampuan lainnya. IMUN terbuka untuk semua siswa.

IMUN merupakan suatu pro­gram yang menyatukan pe­muda seluruh du­­nia dengan ber­bagai peng­alaman dan latar bela­kang untuk belajar dan ber­bagi ide. Di sini, de­le­gasi memperoleh wa­w­asan tentang Perse­rikatan Bangsa-Bangsa dan dinamika hubungan internasional.

  Ada dua bentuk kon­ferensi IMUN, yakni tatap muka dan online. Kon­ferensi IMUN secara on­­line dirancang untuk memberi kesempatan ke­­­­­­pada peserta me­­rasakan peng­alaman IMUN yang sebenar­nya dari kenyamanan ru­mah mereka.

 Untuk kon­­­ferensi on­line, kita harus mem­­­­­­­­bayarnya. Bia­­ya konfe­rensi selama se­ming­gu Rp160.000, se­dangkan sebulan Rp320.000. Per­­­­temuan diadakan dua ka­­li seminggu, yakni Sabtu dan Minggu.

 Hari pertama dibuka dengan pengenalan ten­tang per­aturan dan ba­gaimana pertemuannya ber­langsung. Bagian ini me­makan waktu  sete­ngah jam lebih, diikuti roll call, untuk memastikan kehadiran.

Selanjutnya, para de­le­­­gasi akan diberi ke­­sempatan untuk me­nyam­paikan pendapat pa­da bagian general speak­ers list, atau pandangan umum.

Delegasi akan berbicara satu per satu, dilanjutkan dengan moderated caucus atau unmoderated caucus. Di sesi ini, delegasi akan diberikan kesempatan un­tuk mengajukan topik yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Tahap ini akan dilanjutkan dengan dis­kusi dalam kelompok.

Pada hari kedua, per­temuan dimulai dengan roll call, lalu general speaker list, moderated caucus atau unmo­de­rat­ed caucus.

Bagian yang terpenting adalah draft resulution. Para peserta diminta me­nyim­pulkan solusi akhir mengatasi masa­lah yang sedang di­bahas. Para delegasi ha­rus membuat kesimpul­an secara tulis.

Bagian ini dilanjutkan dengan presentasi. Dele­gasi bersangkutan akan membacakan hasilnya. Delegasi lain diberi ke­sempatan untuk berta­nya. Presentasi dan dis­ku­si ditutup dengan vo­ting untuk memilih draft resolution mana yang di­terima.

Pada akhir konferen­si, biasanya ada upacara penutup. Pada bagian ini, akan ada pembacaan penghargaan bagi delega­si-delegasi yang aktif.

IMUN dan semi­naris

Saat pertama kali IMUN diperkenalkan, hanya bebe­rapa seminaris menco­ba­nya. Sekarang sudah banyak seminaris yang terlibat dalam pertemuan yang  dilakukan di English Ro­om. Untuk itu, semi­naris harus menggu­na­kan lap­top masing-ma­sing ka­re­na konfe­rensi berlang­sung secara zoom pada pkl. 15.00 – 21.00.

Seminaris yang baru pertama kali mengikuti  konferensi ini, merasa gugup dan takut karena mesti berhadapan de­ngan banyak orang dari mancanegara. “Awal­nya saya gugup, takut, dan grogi karena baru kali ini saya bertemu dengan orang banyak dari ne­gara lain,” ucap Alino, seminaris kelas X.

Sementara, para semi­na­ris yang sudah lama meng­­ikuti konferensi akan merasa tertan­tang untuk terlibat aktif dalam diskusi yang berlangsung.

Banyak manfaat yang diperoleh dari konfe­ren­si online IMUN. Yang paling dirasakan adalah kemampu­an bahasa Inggris me­ningkat. Misalnya, kete­patan pengucapan, pe­nam­bahan kosakata, dan kemampuan berkomu­ni­kasi dalam bahasa Ing­gris.

Dampak positif ikut­annya adalah  ber­tum­buhnya rasa per­caya diri. Mereka tidak takut lagi berbicara dan ber­pendapat di depan pu­blik dari berbagai negara dengan budaya yang berbeda-beda.

Pengetahuan se­mi­naris pun semakin lu­as karena mereka harus mencari informasi dari berbagai sumber. Mereka juga mendapat inspirasi dari banyak delegasi. 

“Dari IMUN, saya dapatkan pengetahuan baru. Contohnya, infor­masi ekonomi, kese­hat­an, dan politik,” ucap Bayu, seminaris kelas XI yang sudah lama mengikuti kegiatan ini.

Keuntungan lainnya adalah mengenal sesama pemuda dari negara-negara lain, dan berteman dengan mereka.

IMUN dan 5S

IMUN erat kait­­annya dengan socialitas (kebersamaan, solidaritas). Ke­giat­an ini menjadi ben­tuk sosialisasi kelas du­nia karena ada interaksi yang global.

Konferensi in juga berkaitan dengan  dengan aspek scientia (pengetahuan). Seminaris dilatih mencari, menganalisis, mengolah, dan mengomunikasikannya secara jelas kepada peserta dari berbagai belahan dunia. Seminaris juga terlibat dalam forum-forum diskusi.

Selain itu, IMUN berkontri­busi besar bagi pengem­bangan aspek sapientia (kebijaksanaan). Seminaris harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk pemikiran, saran, dan pertimbangan orang tua sebelum memutuskan ikut serta dalam IMUN. Seminaris juga dilatih untuk efektif memanfaatkan waktu, agar siap tampil, serta tidak mengabaikan tugas dan kewajiban sekolah dan asrama.

Dalam mengikuti kegiatan IMUN, seminaris dituntut menyampaikan apa yang benar, mengedepankan respek terhadap orang lain, mendengarkan dengan sepenuh hati. Nilai-nilai seperti kebenaran, hormat, dan kasih adalah bagian dari sanctitas (kekudusan, kerohanian).

Konferensi ini menuntut peserta untuk berpikir dan bekerja. Ada kerja keras, kerja cerdas, dan kerja bijak di dalamnya.

Joice Meko

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

Gambar Utama

WENGGO ULU EKO, MOHON KESUBURAN TANAH

Wenggo ulu eko adalah ritus adat Lio, Flores, yang di­mulai se­jak ta­hun 1800-an karena lowa moa   (kelaparan) me­­la­n­­da ka­wasan tersebut. Mosa­laki la­lu mem­­­­buat ritus ini se­ba­gai res­pons. Ke­­­­­­­giatan ini diyakini sak­­­­ral se­­­hingga la­rangan­­­nya me­ngikat.

Ritus adat bukanlah hal baru dalam kehidup­an masyarakat Lio. Da­lam menjalani kehidup­an, masyarakat Lio cen­derung berpegang teguh pada kuasa yang disebut Nggae. Mereka juga meng­akui peran leluhur da­lam sendi kehidupan­nya. Hal-hal semacam ini tercurah dalam ber­bagai aktivitas kehidup­an mereka.

Con­tohnya,  kegiatan wenggo ulu eko yang dibuat oleh ma­­syarakat Desa Tou, Ke­camatan Kotabaru, Ka­bu­paten Ende. Ritus ini me­­­reka ­­­­­­­yaki­­­ni sebagai ri­­­­­­­­tual guna memper­siap­­kan ta­­­­­­­­nah sebagai me­­­­­­dia persemaian benih, ke­tika musim tanam tiba.

Kegiatan ini dimulai ku­rang lebih pada awal ta­hun 1800-an. Kegiatan ini biasa­­­nya dibuat bu­­lan Oktober. Pemilihan bulan dimaksudkan agar dekat musim tanam.

 Latar belakang weng­go ulu eko adalah ter­­­jadinya lowa moa (ke­­­­­laparan) di Detukou dan sekitarnya ka­­­­­­­­­­rena apa pun yang mereka usa-hakan tidak mem­­­­buah­kan hasil. Masyarakat me­­­­yakini bah­­­wa hal itu terjadi karena ada pe­nga­ruh da­ri leluhur.

Me­nanggapi hal ini mosa­laki (tokoh adat) setempat melaku­kan ritual  weng­go ulu eko sebagai res­pons atas masalah ter­sebut. Hal ini membawa dam­pak positif bagi ma­sya­rakat pada masa itu. Karena itu, diputus­kan, wenggo ulu eko mesti dijadikan ke­giat­an rutin oleh masya­rakat setem­pat.

Awalnya, kegiat­an ini akan dimulai oleh ma­sya­rakat adat se­­tempat tanpa kecuali. Hal ini di­maksudkan agar tanah dan kebun yang masya­rakat miliki men­dapat­kan kesuburan.

Ma­­­sya­­­­rakat yang ha­dir dalam ritus, biasanya mewakili ke­­­luarganya. Biasa­­­­nya ter­­diri atas 6 golongan, yaitu Ata Ku­ne, Ata Tu, Ata Lo­ke, Ata Henda, Bhajo Wa­wo, Ana Mbe­­te dan Fai Walu Ana Halo (ma­­sya­­rakat biasa).

Ma­sya­­­rakat yang ber­kum­pul  meng­abdi pada satu mo­salaki yang di­sebut Tana Jogo Watu Laki Mari. Mosa­laki yang memimpin ja­lan­­­­­nya kegiatan ber­asal dari golongan Ana Mbe­te. Dapat di­­katakan, Ana Mbete adalah kepala se­mua golongan.

Dalam menjalankan tanggung ja­­wabnya sebagai pe­mim­pin, se­orang mosa­laki dibantu Ana Hage (kaki ta­­ngan mosalaki) yang ter­­­diri dari Ata Kune, Ata Tu, Ata Loke, Ata Hen­da, dan Bhajo Wa­wo.

Masyarakat yang da­tang biasanya mem­­­­­­­­­­bawa seekor ayam, se­botol mo­­ke (arak) dan be­­ras. Bawaan ini menjadi per­­­sembahan yang akan di­letakkan pada musu ma­se (batu per­sembah­­­an) dan di­masak seba­gai hi­dangan makan bersama.  

Acara ini akan di­mulai de­ngan pe­mang­gil­an ma­syarakat ber­­­­­­dasarkan kampung. Saat dipanggil, biasa­­­­­­nya be­ras yang di­bawa akan dikula (di­­ukur). Kemu­di­an di­­masak oleh Fai Gamo Lima (istri dan ke­luarga besar mosala­ki).

Setelah dipanggil, se­mua golongan masya­rakat berkumpul di de­pan rumah adat induk. Setelah berkumpul, mo­sa­­laki akan melakukan ri­tual riwu rera (mem­beri sesajian kepada le­lu­hur). Hidangan seba­gai sajian mesti sesuai dengan apa yang diwa­riskan le­luhur, yakni are manu nagi dan are kola kedhe.

Sajian kola kedhe yang dibuat mesti me­­ngan­dung bahan udang. Selama pro­­­­­ses riwu re­ra, semua orang tidak di­perkenan­kan mem­buat ke­gaduhan. Hal ini me­nunjuk­­­kan, ke­giat­an ini sakral. Mereka juga me­yakini bahwa ke­gaduh­an dapat menyebab­­kan per­mohonan tidak di­ka­bul­­­­kan.

 Setelah riwu rera, ke­giatan ritual dilan­jut­kan de­ngan makan bersama. Saat makan, ma­sya­­­­rakat tidak memakai peralatan modern, tapi  menggu­na­­kan per­­alatan tradi­sional yang disebut pene ha’i. Hidangan makan bersama yang di­se­dia­kan dimasak oleh Fai Gamo Lima.

Proses memasak hi­dang­an dimulai dengan nga­ki loka (mem­bersih­kan lokasi masak). Hal ini biasanya dibuat  go­long­an Bhajo Wawo dan Ata Henda.

Setelah nga­ki loka, kegiatan di­lan­jutkan dengan tabha are tana nasu nake wa­tu (me­­masak), baik se­saji­an maupun hidangan ka bou pesa mondo (ma­­­kan bersama).

Setelah kegiatan ritu­al ber­langsung, ma­sya­rakat, ba­ik yang hadir maupun yang berada di rumah, diminta untuk me­naati larangan, seper­ti, tidak menyisir ram­but, tidak menyapu ru­mah, tidak ga­duh, dan tidak mem­bawa tum­buh­an hijau masuk kam­pung selama satu hari.

Larangan yang dibuat akan berlanjut hingga ha­ri yang ditentukan. Larangan paling akhir biasa­nya berlaku pada hari sebelum mosalaki me­laku­kan pa­ki (pena­nam­­an benih), ma­sya­rakat di­larang me­laku­kannya­ lebih dahu­lu.

Jika larangan ti­dak dit­aati, den­da akan dike­nakan. Sanksi yang di­se­but seliwu se’eko ter­diri atas seekor babi dan sejumlah uang. Dulu, se­­belum menggunakan uang, denda dibayar de­ngan emas.

 Namun, denda ini ha­nya dike­nakan kepada me­reka yang kedapatan me­­nyimpang. Bila mela­kukan penyimpangan, ta­pi tidak kedapatan, ru­saknya struk­tur tanah dan gagal panen diya­kini sebagai sanksi yang diberikan le­luhur. Setelah selesai, bia­sa­nya akan dilanjutkan de­ngan gawi bersama jika memungkinkan.

Saat ini, wisatawan asing bo­leh menghadiri kegiatan, tapi harus atas izin mosa­laki. Me­reka ini di­­­sebut se­bagai kura fangga no’o lo­­wo lowo ro’a loka no’o keli keli (pendatang). Jika wisa­ta­wan melakukan pe­lang­­garan pertama kali, mereka akan ditegur.

Bayu Putra

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

DSC_1488

JURNALISTIK: INVESTASI BAGI CALON PEWARTA

SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko menyelenggarakan kegiatan pelatihan jurnalistik kepada 193 siswa di ruangan musik SMA Seminari, Selasa-Jumat (14-17/2/2023). Kegiatan ini di­nilai sebagai sebuah modal untuk ma­sa de­pan dan relevan dengan tuntutan zaman.

Saat membuka kegiatan tersebut, Kepala SMA Semi­na­ri St. Yohanes Berkh­mans Todabelu, RD. Ma­rianus Agustinus Ga­re Sera, M.Pd menekankan be­ta­pa pentingnya kegi­at­an menulis di kalangan seminaris. “Kegiatan ini mesti menjadi suatu momen pengembangan keterampilan menulis sebagai inves­tasi untuk masa depan,” jelasnya.

Peran jurnalistik

Lebih jauh, RD. Tinyo menyatakan tiga maksud utama kegiatan ini. Per­ta­ma, meningkatkan kete­ram­pilan menulis. Meskipun teknologi semakin berkembang, ek­sistensi menulis tidak akan pernah pudar. Keterampilan menulis tetap dibutuhkan, meskipun zaman terus berubah. Ke­te­rampilan ini da­pat dijadikan sebagai modal bagi peserta didik dalam meng­hadapi kehidupan di masa depan. 

Kedua, meningkatkan minat baca. Pada zaman sekarang ini, minat membaca turun drastis. Tidak sedikit pu­la yang ber­ang­gapan bahwa mem­baca tidak menarik, apalagi membaca buku-buku tebal. Namun sebenarnya, ke­giatan ini amat dibu­tuh­kan dalam upaya pe­ning­katan kemampuan intelektual dan pola pikir yang sis­te­matis. Jadi, para rema­ja, khususnya seminaris sendiri tidak boleh menganggap remeh keku­atan membaca.

Tambah lagi, membaca dan menulis harus berjalan beriringan. Tanpa membaca, keterampilan menulis tidak terasah dengan baik. “Keasyikan menulis itu adalah karena membaca,” kata RD. Nani Songkares saat mendampingi proses pelatihan.

Ketiga, meningkatkan kemampuan mengamati. Seorang penulis yang baik harus memiliki kemampuan observasi yang kuat. Dia harus bisa menangkap dan mendeskripsikan banyak hal  secara teliti. “Peristiwa itu banyak, tapi tidak semua peristiwa menjadi berita karena tidak ada yang melaporkan. Butuh orang yang bisa menangkap dan mendeskripsikan peristiwa, sehingga dapat menjadi berita,” tambah Nani.

Dalam memburu in­for­masi, siswa dilatih un­tuk terampil menangkap informasi dari berbagai sumber, termasuk melalui wawancara. Untuk itu siswa perlu dilatih untuk menyusun pertanyaan, menyimak, dan merangkaikan semuanya dalam sebuah tulisan. Dengan demikian, kemampuan berpikir analitis dan sistematis dipertajam.

Pelatihan Menulis dan Calon imam

Kegiatan jurnalistik ini sangat relevan untuk para calon imam. Calon imam adalah pewarta kebenaran di masa depan. Ketika se­dang mewarta, dibu­tuh­kan kemampuan berba­ha­sa yang baik sehingga dapat mengungkapkan kebenaran secara jelas dan menarik.

Karena itu kegiatan jurnalistik ini adalah investasi jangka panjang, karena sangat berguna untuk masa depan. “Siapa tahu, akan lahir penulis-penulis handal di masa depan yang mewartakan kebenaran melalui tulisan,” kata Nani di sela-sela pelatihan. Dengan terus berlatih menulis, para seminaris akan di­per­mudah dalam menja­lankan tugasnya di masa depan.

Mengingat pentingnya menulis bagi pewartaan di masa depan, Seminari telah lama memberikan perhatian pada pengembangan keterampilan menulis. 

Tahun 1960-an, ketika Pater Alex Beding, SVD menjadi salah seorang pembina Seminari lahir Florete, Majalah Seminari yang sangat terkenal. Belakangan Florete menjadi Seri Buku yang terbit setiap semester sekali. Seri Buku ini terbit bersamaan dengan Seri Buku Lastrawan (Ladang Sastra Berkhmawan) yang menampung tulisan-tulisan seminaris bernuansa sastra seperti puisi, cerpen, dan ulasan buku.

Pada tahun 1970-an SMP Seminari sudah memiliki majalah dinding yang bernama BIAS (Bimbingan Apresiasi Siswa). Mading ini dilanjutkan di SMA. 

Tahun 2011 beberapa wartawan senior dari Kompas antara lain, Tony A. Widiastono dan Peter Gero, mengadakan pelatihan jurnalistik yang menghasilkan mading bercorak ‘Kompas’ dengan berbagai rubrik. Sejak saat itu, pelatihan jurnalistik terus dilaksanakan, bahkan menjadi program unggulan Seminari.

Merdeka Belajar

Merdeka Belajar di­ciptakan sebagai res­pon terhadap perkembangan zaman. Mendik­budris­tek, Na­diem Ma­ka­rim me­ngungkapkan bah­wa kurikulum ini di­buat supaya siswa tidak lagi menjadi objek dalam ke­gi­atan pem­be­la­jaran.

Karena itu, yang menjadi titik fokus adalah peserta didik. Artinya siswa sendirilah yang belajar sesuai de­ngan minat dan keingin­annya, namun tetap di­fa­silitasi oleh para guru.

Keseimbangan pada kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler men­ja­di warna yang tampak amat jelas dalam kuri­ku­lum ini.

Pelatihan Jurnalistik menjadi salah satu kegi­atan ekstrakurikuler ber­gengsi di SMA Seminari St. Yoh. Berkh­mans To­da­belu. Kegiatan ini memberi warna tersen­diri bagi lembaga Semi­nari.

Sejalan dengan Kuri­ku­lum Merdeka Belajar, kegiatan jurnalistik ha­dir sebagai media bagi siswa untuk belajar dan mengaktualisasikan diri. Mereka sendiri adalah pelakunya.

Harapan besar

 “Harapan saya adalah para siswa dapat me­mak­nai kegiatan ini se­cara benar dan men­jadikan kegiatan ini se­bagai pemicu supaya mi­nat dan bakat siswa dapat tersalurkan. Ak­hir­nya semoga pelatihan yang diberikan dapat ber­guna bagi para siswa untuk masa depannya,” ungkap Rm. Tinyo.

Kegiatan Jurnalistik diharapkan dapat men­jadi wadah pengembangan minat dan bakat para seminaris. Wa­dah ini diharapkan dapat menstimulasi se­minaris untuk lebih produktif dengan menulis.

BERTRAN BUSA   

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

67

PEMBELAJARAN EFEKTIF PASCA PANDEMI

Lokakarya Guru Bahasa Inggris:
PEMBELAJARAN EFEKTIF PASCA PANDEMI
Flores-Lembata English Teachers Association (FLORETA), menyelenggarakan lokakarya untuk para guru Bahasa Inggris se-daratan Flores-Lembata di bawah bimbingan Dr. Itje Chodidjah, MA, Rabu-Sabtu (5-8 Oktober 2022).
Banyak sekali hal yang menarik ditimba dari lokakarya tersebut. Pada sesi pembuka, Star Picture, peserta menikmati hal-hal berikut ini.
Pertama, modelling pembelajaran yang istimewa – masuk kelas dengan keyakinan setiap tutur kata, intonasi, gesture, facial expression, movement, greetings, smiling itu bermakna motivating atau demotivating;
Kedua, Tujuan pembelajaran yang jelas membuat seluruh proses pembelajaran terarah: waktu terisi efektif, activities (berupa materials and delivery) terasa mempunyai roh; adaptability mendapat ruang yang besar (kita tahu bahwa pedagogi itu pertama, teknologi sesudahnya, saat teknologi tidak sepenuhnya tersedia sesuai harapan, pembelajaran tetap berjalan karena pedagoginya kuat), classroom language dengan instruksi yang sederhana dan jelas serta kepastian bahwa semua siswa terlibat mendapat tempatnya;
Ketiga, Atmosfir positif yang membuat semua siswa nyaman berkomunikasi dan bereksperimen dengan bahasa. Sesi pembuka ini ditutup dengan refleksi, “How did I teach before the abolition of the National Exam and the Outbreak of Covid-19 Pandemic” – refleksi yang menuntut guru masuk ke dalam dirinya, membongkar dengan jujur dan sukacita kesalahan-kesalahannya tapi tetap penuh harapan akan transformasi ke depan.
Indah sekali mengalami secara bersama bagaimana para guru menertawakan dirinya sendiri: kesalahannya, kebodohannya, ketidakmatangan dirinya, tapi pada saat yang sama menatap ke depan dengan optimisme yang besar.

Test-Taking
 Sesi berikutnya yang tidak kalah menarik adalah test taking: guru dituntut untuk membantu menumbuhkembangkan keterampilan bahasa siswa sampai pada level tertentu (misalnya untuk SMA, minimal siswa mencapai level B1 seturut standar Common European Framework of Reference for Languages (CEFR). Pertanyaannya adalah seberapa jauh level bahasa Inggris saya sebagai guru?
Test ini sangat membantu guru melihat, berdasarkan data yang valid, kemampuan berbahasanya. Ini langka sekali, once in a blue moon. Kita mendapatkan cermin untuk melihat diri kita sendiri.
Sebuah pertanyaan yang menggugat adalah, kalau level bahasa Inggris saya di bawah B1, bagaimana mungkin saya bisa efektif menuntun siswa saya mencapai minimal B1? Ini sebuah dorongan luar biasa bagi guru untuk terus memacu diri.
Sharing yang dipandu Ibu Roni Bata dari Ende, dan Ibu Debby Haning dari Maumere memberikan penguatan-penguatan istimewa yang menuntut guru terus belajar. Kompetensi linguistik itu keharusan, tapi yang tidak kalah penting, adalah kompetensi pedagogisnya.
Refleksi yang berkenaan dengan test taking dan CEFR adalah menu berikutnya. Saya amat terkesan dengan pertanyaan menantang ini, “Apa yang perlu saya lakukan bagi diri saya sendiri” dan “Apa yang perlu saya lakukan di dalam kelas?”
Banyak hal dicatat di sini. Masing-masing guru menuliskan inventori kebutuhan dan aktivitas yang harus dia lakukan untuk pengembangan dirinya dan perbaikan atau transformasi proses pembelajaran di ruang kelas.

Pembelajaran Efektif pasca Pandemi
 Sesi berikutnya yang tidak kalah menarik adalah bagaimana mendesain proses pembelajaran yang efektif pasca pandemi, dan pasca Ujian Nasional.
Harus ada transformasi dalam proses pembelajaran. Itu imperatif kunci. Teknologi berkembang tanpa batas dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan. Sementara itu siswa kita sendiri, yang merupakan generasi Z dan A, dengan karakteristik yang sangat berbeda, menghadapi tuntutan-tuntutan baru dalam kehidupan mereka.
Tugas guru adalah menyiapkan mereka menghadapi berbagai perubahan dan kebaruan itu. Dan itu terjadi di ruang-ruang kelas. Karena itu transformasi di dalam ruang-ruang kelas sudah menjadi tuntutan kehidupan.
Beberapa hal mau tidak mau harus menjadi bagian dari keterampilan pedagogis para guru. Misalnya, para guru harus mempunyai tujuan pembelajaran yang jelas, berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan tujuan pembelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan pembelajaran dirancang sekian sehingga semua siswa terlibat aktif menuju pencapaian kompetensi tertentu yang menjadi tujuan pembelajaran. Pastikan semua siswa termotivasi dan menikmati berbagai aktivitas yang membelajarkan siswa. Mampukan mereka berekspresi, beranikan mereka bertanya. Jadi, pembelajaran bukan ‘kejar materi’. Para siswa diajak untuk memandang sesuatu dari berbagai perspektif. Gunakan differentiated instruction agar semua siswa terlayani. Dan, yang tidak kalah penting adalah, sediakan kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi diri, dengan pertanyaan-pertanyaan yang memancing siswa menemukan apa yang dia pelajari untuk kehidupannya. Tentu, keterampilan bertanya seorang guru harus terus diasah.
Pendek kata, “Tugas seorang guru,” kata Carl Rogers, “bukanlah mengajar, tapi membuat siswa bertanggungjawab atas pembelajarannya”.

Daya Transformatif Refleksi
 Tentang refleksi, para guru mendapatkan pengalaman yang amat berkesan pada Hari ke-2. Dengan menggunakan model refleksi 4 F yang dikembangkan Roger Greenaway (facts – peristiwa, feelings – perasaan, findings – pembelajaran, future – penerapan di masa depan), Ibu Itje mengajak para guru membuat refleksi mengenai berbagai hal yang telah dialami dan dipelajari sejak awal kegiatan lokakarya ini.
Aktivitas refleksi ini tidak hanya menyadarkan para guru tentang pentingnya refleksi, tapi membuat para guru mengalami sendiri dan merasakan indahnya dan besarnya manfaat refleksi itu bagi kehidupan. Banyak sekali ungkapan perasaan yang mendalam, penemuan-penemuan diri yang menghentak, dan rencana tindakan yang memberdayakan. Ada proses internalisasi yang kuat sekali. Proses refleksi seperti ini membuat seluruh kegiatan lokakarya menjadi milik guru itu sendiri, menjadi kekuatan dari dalam yang mengubah dirinya. Saya membayangkan, seandainya proses refleksi ini menjadi kebiasaan yang dilakukan guru dari waktu ke waktu,dan ditularkan kepada siswa, betapa besar daya transformasinya! Rasanya, refleksi adalah sebuah kekuatan bagi character building. Dan untuk konteks Indonesia, ini proses yang menjadikan Pancasila dengan nilai-nilainya yang istimewa, sesuatu yang mempribadi dan membudaya.

Growth Mindset
Sesi berikutnya yang menarik adalah adalah pembahasan tentang Growth Mindset. Yang bagi saya  sangat menggugah dalam pembahasan ini dalah keyakinan bahwa kita semua, siapa pun bisa berkembang. “Otak dan bakat hanyalah titik awal,” kata Ibu Itje. Perkembangannya itu dapat dilakukan sepanjang hayat, dalam usia apa pun, dan itu diperoleh melalui pembelajaran. Growth mindset memacu siapa saja untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Guru diharapkan mengembangkan pedagogi growth mindset. Banyak sekali cara untuk mengembangkannya. Namun, kalau guru itu sendiri tidak menghayati growth mindset dia tidak mungkin membantu siswa mengembangkannya. Kalau dia sendiri tidak percaya akan pengembangan dirinya, tidak punya mimpi, tidak punya gairah, dan ketekunan untuk pengembangan dirinya, dia tidak punya kekuatan untuk menjalarkan growth mindset kepada para siswanya. Dia bahkan bisa menjadi penyumbat yang menghalangi pertumbuhkembangan siswa. Namun, kalau dia sendiri terus menunjukkan kegairahan untuk berkembang, tak takut menghadapi tantangan, melihat kegagalan dan kesalahan sebagai sumber daya pengembangan dirinya, bertahan, berhasil, dan menginspirasi walaupun berada di tengah kesulitan, dia menyulut api pembelajaran yang luar biasa bagi para siswanya. Itulah daya tumbuh growth mindset yang dihayati seorang guru.
Mengapa ada orang yang begitu cepat menyerah walaupun tantangannya tidak seberapa, sementara itu ada orang yang tekun berusaha dari waktu ke waktu, siap berlari maraton untuk menggapai apa yang dicita-citakannya? Jawabannya ada pada  keyakinan  dirinya: apakah dia merasa sudah tidak bisa apa-apa, sudah fixed, terpenjara dalam “Tyranny of now” (sudah begini, mau apa lagi) atau apakah dia memiliki keyakinan dan harapan yang begitu membara bahwa dia bisa berkembang.
Growth mindset, karena itu membentuk resiliensi yang kokoh. Kata Ibu Itje, resiliensi itu “Siap mental untuk měntal”. Resiliensi itu kemampuan untuk tahan banting, kemampuan untuk bisa bangun seribu satu kali walaupun ada kegagalan seribu kali. Resiliensi itu kemampuan beradaptasi yang positif dalam menghadapi kesulitan. Resiliensi itu ketekunan yang konsisten.
Di tangan guru di ruangan kelas, growth mindset itu diberdayakan, atau diperlemah. Betapa besar panggilan seorang guru.

Kurikulum Merdeka?
Ibu Itje menegaskan, semua hal positif yang kita pelajari bersama, termasuk hal-hal yang dicatat di atas, sama sekali bukan milik eksklusif kurikulum merdeka. Semua itu harus dilakukan guru karena memang kehidupan menuntut model pembelajaran demikian. Apabila guru tidak melakukan transformasi dirinya dan transformasi model pembelajaran di kelas, maka seluruh proses pembelajaran, apa pun nama kurikulumnya, itu sampah.Karena tidak terasa relevan. Apalagi untuk anak-anak generasi Z dan A.
Differentiated instruction, misalnya, sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan, bukan karena kurikulum merdeka, tapi karena tuntutan kehidupan. Keterampilan mendesain pembelajaran yang efektif misalnya, dikembangkan bukan karena tuntutan kurikulum baru, tapi karena kehidupan, apalagi kehidupan para siswa, menuntut guru untuk terus mengasah keterampilan tersebut agar bisa membantu membelajarkan siswa secara efektif.
Guru memang diberi kebebasan untuk mendesain pembelajarannya, sesuai dengan visi-misi sekolah dan situasi yang dihadapi. Pertanyaannya, apakah guru sudah menikmati kebebasan itu atau masih tergantung pada orang lain karena telah cukup lama apa yang menjadi tanggung jawab guru dilakukan oleh orang lain?
Saat ini, di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim, seorang dengan passion dan keahlian di bidang IT yang sangat kokoh, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi  telah meluncurkan website yang sangat istimewa, yang dikagumi negara-negara lain. Dengan berselancar di dalam Merdeka Belajar dan Merdeka Mengajar guru mendapatkan berbagai informasi, panduan, dan model-model inspiratif bagi pengembangan pembelajaran. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam periode-periode sebelumnya.
Saya tercengang dan tertunduk malu karena ternyata website seperti ini belum saya dalami sama sekali. “Apakah para guru itu literate?” tantang Ibu Itje. Kami diberi kesempatan untuk berselancar, sampai kami akhirnya berlabuh pada file tentang Capaian Pembelajaran (CP) Bahasa Inggris.
Dari situ para guru dituntun, dalam kelompok kecil, dengan bantuan teman-teman yang sudah pernah mendalami Kurikulum Merdeka untuk melihat CP, elemen-elemen pembelajaran, menginventaris kata-kata kerja dalam CP dan elemen, menyusun sendiri Tujuan Pembelajaran (TP), melihat Alur Tujuan Pembelajaran.
Setelah bergumul di dalam kelompok, Ibu Itje menuntun para guru melihat alur keseluruhan desain pembelajaran, mulai dari CP, menuju TP, mengalir ke dalam ATP, lalu bermuara pada RPP atau RPP plus, karena sekaligus berisikan modul pembelajaran.
Dengan penggambaran yang gamblang seperti ini, dua hal mendapat konfirmasi. Pertama, para guru sebenarnya memiliki kemampuan membuat desain pembelajarannya sendiri. Asal ada kemauan dan usaha. Sudah tidak zamannya lagi melakukan salin-tempel (copy-paste). Itu salah satu bentuk Merdeka Mengajar. Kedua, desain pembelajaran pasti akan berbeda-beda, karena kurikulum ini mengakomodasi keberbedaan, memberi kebebasan bagi guru memasukkan unsur-unsur (dalam TP, ATP, RPP) yang khas, sesuai visi dan misi sekolah dan kondisi riil yang dihadapi. Proses asesmen juga akan berbeda-beda. Karena itu bukan zamannya lagi menyeragamkan, apalagi menyusun soal bersama.

Ekosistem Pembelajaran
It takes two to tango – itu kata pepatah. Kalau Anda mau menari tango Anda tidak bisa menari sendiri. Anda butuh teman. Anda butuh kolaborasi. Anda butuh ekosistem. Anda butuh lingkungan, atmosfir yang hidup dan menghidupkan, di mana setiap unsur bekerja maksimal tapi saling terkait, saling mendorong, saling mendukung. Anda butuh relasi yang menghidupkan.
Ini yang menjadi harapan besar ke depan kalau kita ingin transformasi pendidikan berjalan. We are on the right track. Kita menciptakan ekosistem. Dengan satu saja even tahunan FLORETA, gaungnya terasa di ruang-ruang kelas. Kita menjadi the ripple of change.
Bayangkan saja, kalau ini dilakukan bersama-sama, dengan teman-teman guru penggerak, dengan teman-teman dari mata pelajaran lain, dengan para Kepala Sekolah yang bergerak menuju perubahan. Riak-riak perubahan itu menjadi energi yang besar sekali.
Saat Ibu Itje berbicara tentang Asesmen Nasional (AN) yang sekarang ini dilakukan, saya membayangkan kalau semua komponen sekolah sungguh memahami esensi AN itu, kalau kita mulai berani melepaskan gurita-gurita pedagogi hitam yang menjerat kita sekian lama dengan adanya Ujian Nasional: kita melawan tipu-muslihat berupa belanja buku-buku latihan soal AKM, praktik-praktik test drilling yang menjadi makanan empuk industri-industri Latihan Soal, kita melawan praktik-praktik akreditasi yang bersifat kamuflase, lalu bersama-sama, dalam jatuh bangun, kita kembangkan pembelajaran-pembelajaran efektif, kita berdayakan dan pergandakan Professional Community with Professional Talk seperti FLORETA kita yang tercinta. Saya merasa riak-riak ekosistem itu akan menjadi energi besar yang siap meledak dan melesatkan anak-anak kita, terbang jauh menuju masa depannya.

Friends Helping Friends
Hari terakhir lokakarya ini diisi oleh sharing yang sangat inspiratif dari teman-teman kita. Ibu Debby Haning berbagi pengalamannya mendesain pembelajaran efektif: bagaimana dia membedah CP, bagaimana menurunkan CP ke dalam TP yang terurut secara sistematis, yang kemudian dituangkan lagi dalam ATP, sampai akhirnya membentuk RPP/Modul Ajar yang siap dimanfaatkan di dalam ruang kelas.
Dia berbagi juga pengalaman menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, sebuah pembelajaran yang menghargai masing-masing siswa dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan bakat dan talenta yang khas, sebuah pembelajaran yang memacunya menjadi kreatif, dan a servant teacher.
“Saya melihat perubahan besar di sekolah kami,” kisahnya. “Kalau dulu para guru sering ngobrol pada saat jeda atau istirahat, sekarang ini, mereka sibuk gunting kertas, siapkan ini dan itu, agar pembelajaran menjadi menarik dan efektif.” Ibu Debby melanjutkan, “Kepala Sekolah kami sangat mendorong kami untuk berubah. Dia sendiri melakukan perubahan itu.”
Ibu Nita Soko dari Ende, dan Ibu Sherly Hilene dari Maumere berbagi tentang perjuangan pribadi mereka mengembangkan diri sampai menjadi guru dengan kemampuan Bahasa Inggris yang kokoh seperti sekarang ini.
Banyak hal mereka lakukan. Membaca, menonton. Mereka adalah best friends of books. Mereka adalah readers. Mereka juga percaya, a movie a day keeps your English blues away. Mereka melibatkan diri dalam berbagai kegiatan, bahkan menciptakan berbagai kegiatan sebagai pelayanan kepada masyarakat yang lebih luas. Mereka memperlebar sayap-sayap tanggung jawab. Mereka menempatkan diri dalam jaringan yang lebih luas, dalam petualangan-petualangan yang melampaui wilayahnya, lingkaran keluarga, dan pertemanannya.
Dan, sebuah ajakan Ibu Sherly sangat membesarkan hati. “Please do not belittle yourself. Jangan menganggap diri kita kecil. Percayalah pada kemampuan kita.” Dan, “Ask, and it will be given to you. Seek, and you will find. Knock, and the door will be opened,” katanya menutup sharing yang mengagumkan, sambil mengutip Kitab Suci. Menyaksikan bahwa sharing-sharing belajar terus berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil padahal kegiatan FLORETA telah resmi ditutup, ini sesuatu amat membesarkan hati.
Kegiatan FLORETA tahun ini berakhir. Tapi riaknya sedang merambah ke sekolah-sekolah kita. Thank you a million Ibu Itje dan teman-teman. Sampai jumpa lagi.

Sekilas tentang FLORETA
FLORETA telah berkiprah selama 10 tahun di bumi Flores.
Bermula dari tawaran peluang yang diberikan oleh British Council, maka pada 1-3 Desember  2012 diadakan lokakarya para guru Bahasa Inggris sedaratan Flores di Rumah Penginapan Paroki Roh Kudus Mataloko, di bawah bimbingan 2 orang British Council Trainers, Ibu Sisilia Setiawati Halimi dari Universitas Indonesia, Jakarta, dan Ibu Veronica Triprihatimini dari Universitas Sanata Dharma.
Pada lokakarya itu nama FLORETA pertama kali disebutkan. Pada lokakarya itu pula Ibu Sisilia dan Ibu Tri menyebut Ibu Itje Chodidjah sebagai trainer mereka, dan merekomendasikan agar didampingi Ibu Itje dalam lokakarya-lokakarya berikutnya.
Maka sejak tahun 2014 Ibu Itje melatih guru-guru bahasa Inggris melalui lokakarya-lokakarya FLORETA sampai sekarang.
Ibu Itje juga menggandeng sahabat-sahabat yang rela membantu FLORETA. Pada 5-8 Oktober 2016, ibu Itje datang bersama Dr. Helena Agustin, salah satu pakar di balik genre-based approach.
Melalui Ibu Itje, FLORETA juga bekerja sama dengan lembaga International Test Center (ITC), yang menyelenggarakan lokakarya untuk FLORETA dengan judul The Leader in Me, pada tahun 2017. Pada tahun yang sama, atas bantuan ITC, diselenggarakan Test of English for International Communication (TOEIC) untuk para guru Bahasa Inggris se-daratan Flores dan masyarakat yang berminat.
Melalui Ibu Itje Regional English Language Office (RELO) dari Kedutaan Amerika beberapa kali mengirim trainers-nya menemani Ibu Itje, yakni pada tahun 2018, dan pada tahun 2019.
Pada tahun 2020 FLORETA resmi menjadi organisasi nirlaba yang berbadan hukum, dengan Akta Pendirian no. 03, 2020.  Ibu Itje menjadi Pembina FLORETA.
Rm. Nani Songkares, Pr
IMG_4445-scaled

ROMO GABRIEL IDRUS, PR, DAN KISAH SEBUAH LEGENDA

 Ada banyak hal yang berkesan mengenai Romo Idrus, sapaan sehari-hari Praeses Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu yang sekaligus merangkap Kepala SMA Seminari ini. Semuanya terangkum dengan luar biasa lengkap, penuh detil, on the spot, pada momennya, dan sekaligus indah melalui buku Memori ini.

     Setahu saya, hanya ada dua pimpinan lembaga Seminari yang melakukan pencatatan luar biasa. Pertama, P. Frans Cornelissen, SVD, yang menerbitkan buku berjudul 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor, dan Bali (Percetakan Arnoldus Ende, 1978). Kedua, Rm. Gabriel Idrus, Pr dengan Memori berjudul Perjalanan Tugas di Lembaga Pendidikan Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko (2022) setebal hampir 500 halaman ini. Bagi saya, ini kebetulan yang sangat istimewa. Akhir dari 50 tahun pertama perjalanan pendidikan Seminari didokumentasikan dan direfleksikan secara amat mendalam oleh The Founding Father itu sendiri, dan menjelang akhir 50 tahun paruh kedua pendidikan Seminari ditandai dengan hadirnya Memori Rm. Idrus ini.

      Kalau buku pertama karya Pater Cornelissen, SVD seperti memberi aba-aba kepada Seminari dengan keyakinan yang kuat untuk berlayar 50 tahun lagi ke depan sampai mencapai satu abad, buku kedua, yakni Memori Rm. Idrus ini memberi semacam aba-aba untuk membuang sauh, setelah hampir selesai mengarungi paruh kedua 50 tahun Menuju Satu Abad. Dan setelah itu, Rm. Idrus menyerahkan tongkat estafet kepada pimpinan baru untuk berefleksi sejenak di pelabuhan menyongsong satu abad, lalu mengajak Seminari untuk taat dengan penuh keyakinan pada perintah Guru: terus berlayar, bertolak ke tempat yang dalam untuk menebarkan jala. In verbo Tuo laxabo rete (Lk. 5:5)

    Saya tidak ingin membandingkan keduanya. Rasanya tidak perlu, karena setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Namun, membaca kedua karya ini, bagi orang yang ikut terlibat langsung dalam karya pastoral pendidikan calon imam di Seminari ini, sungguh mengaduk-aduk perasaan batin.

     Ada rasa syukur yang meluap. Saya teringat pelindung Seminari ini, Santo Yohanes Berkhmans. Dia tidak sampai ditahbiskan sebagai imam. Namun, kehidupannya sebagai anak muda calon imam itu begitu membekas. Pada saat kematiannya begitu banyak orang melayat. Pembimbing rohaninya hanya bisa tercengang, lalu berucap, “Hari ini, jari Tuhan ada di sini.” Dalam kedua karya istimewa ini, kita bisa rasakan hadirnya “Jari Tuhan”, di sini, di Seminari kita ini.

    Ada rasa haru yang mendalam. Rm. Idrus memulai masa penugasannya di Seminari dengan perasaan berat, karena tidak ada apa-apanya, tidak ada persiapan profesional yang meyakinkannya untuk menerima tugas ini. “Saya rasa berat Bapak Uskup,” ungkapnya jujur kepada Mgr. Longinus da Cunha. Namun, kata-kata Bapak Uskup kepadanya itu palu godam. “Karena kamu merasa berat, maka saya yakin kamu bisa!” In verbo autem Tuo, laxabo rete ­– Tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, maka aku menebarkan jala juga.

     Dalam kisah Injil Yohanes, para murid yang pasrah pada kata-kata Tuhan yang berkuasa itu bertolak ke tempat yang lebih dalam. Mereka menebarkan jala. Di luar dugaan, mereka menangkap banyak sekali ikan. 153  ekor banyaknya. Angka  1 5 3 ternyata angka simbolis dalam bahasa Ibrani yang berarti, Akulah Anak Allah yang Hidup (ini kurang lebih penjelasan guide, ketika berkesempatan berziarah ke Danau Galilea, Israel). Nanti akan kita baca pada akhir Memori Rm. Idrus ini, rasa terpesonanya dia menyaksikan kekayaan rahmat Tuhan yang dia alami sepanjang masa penugasannya di Seminari. Ini merupakan peneguhan atas moto tahbisan imamatnya sendiri yang indah sekali, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Seluruh Bab V dari Memori ini menggemakan rasa terpesona dan sikap adoratif para murid, termasuk Rm. Idrus, setelah “menangkap” dengan mata kepala sendiri, dengan seluruh pengalaman hidup, 1 5 3  itu.

       Kita bisa baca sendiri daftar “mukjizat” atau “jari-jari 153” yang dialami sejak awal perjumpaan dengan tiga figur imam, Pater Eman Weroh, SVD, Rm. Edy Dopo, Pr, dan Rm. Bernard Sebho, Pr: penggalian visi dan misi yang melibatkan seluruh komponen, yang boleh dikatakan sebagai “pembaptisan” bersama dalam satu ikatan dan gerakan roh kependidikan; keberanian membedah tradisi penanganan keuangan Seminari dengan menanamkan tradisi dan sistem baru yang lebih akuntabel, yakni RAPBS; tanggapan yang bijak, pada waktunya, dan penuh risiko “menabrak” tradisi pendidikan Seminari, terhadap tuntutan pemerintah akan adanya manajemen pendidikan yang lebih profesional, yakni dengan memisahkan SMP dan SMA; memfasilitasi pengembangan diri yang profesional dari para guru dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan yang berbobot demi pelayanan kepada calon imam; ketahanan menghadapi berbagai risiko, termasuk ancaman pembunuhan; upaya menghemat dana dan menabung secara berkelanjutan melalui berbagai deposito untuk kepentingan lembaga; pengembangan infrastuktur dan sarana prasarana yang kelihatannya mustahil, mulai dari rehabilitasi berat, yang menjangkau sebagian besar kompleks Seminari, sampai pembangunan-pembangunan baru, mulai dari Ruang Kelas Baru (RKB) sampai Rumah Susun (Rusun); pengadaan sarana prasarana seperti marching band, peralatan untuk Sanggar Kreasi Berkhmawan, pengadaan buku-buku untuk perpustakaan, alat musik, komputer, dan jaringan internetIni rasanya mustahil, tapi terjadi.

   Sehubungan dengan renovasi besar-besaran, pembangunan baru, dan pengembangan sarana prasarana ini ada sebuah kisah menarik. Suatu waktu sepulang mengantar para siswa untuk konser galang dana di Jakarta, dan setelah renovasi kamar makan SMP ditambah English Room, dan kamar tidur Rm. Nani, imam yang menerima tahbisan 29 September 1993 di Lela, Maumere ini berdoa di depan patung Santo Yohanes Berkhmans di depan Kapela SMP. Doa ini berbentuk umpatan, kurang lebih demikian. “Santo Yohanes Berkhmans. Kau lihat sedikit di belakang kau ini ko, ini kapela kumal yang tidak ada potongan. Kau tidak bisa bantu ko? Kau gerakkan orang untuk renovasi ini kapela ni ko?”

     Doa ini tampaknya kasar, tapi keluar dari hati yang jujur, dilantunkan oleh seorang yang seluruh jiwa-raganya dipersembahkan untuk Seminari, yang tak henti-hentinya berpikir dan mencari jalan bagaimana merenovasi pendidikan calon imam ini, yang telah sekian lama berjasa baik untuk gereja lokal maupun gereja sejagad. Berkali-kali Rm. Idrus meyakinkan para rekan imamnya, para guru, pegawai, orang tua / wali seminaris untuk mulai mengambil langkah merenovasi gedung-gedung yang reyot. “Ini memang berat, tapi kalau kita tidak mengambil tanggung jawab, siapa yang harus mulai?”

       13 Maret 2017, pukul 10.00 pagi. Ratusan umat berkumpul di dalam Kapela Santo Yohanes Berkhmans yang telah dipugar itu, untuk merayakan Misa Syukur. Seluruh bangunan direnovasi dengan tetap mempertahankan arsitektur yang lama. Loteng, atap, tembok, lantai diganti baru. Interior Kapela itu indah sekali dan sungguh mengangkat hati. Bagian luarnya diberi cat putih yang menawan. Tanggal 13 Maret adalah Hari Pesta Santo Yohanes Berkhmans. Dalam Misa Syukur itu, melalui para donatur yang saat itu hadir, Santo Yohanes Berkhmans seakan-akan mengabulkan secara utuh jeritan hati Praeses Seminari yang sudah kehilangan kehalusan kata untuk mengungkapkan doa. “Jari Tuhan ada di sini”! Upaya renovasi Kapela ini dicatat secara lengkap dalam Memori ini.

      “Jari Tuhan, jari 1 5 3” terus berlanjut. Saya tidak ingin menyebutkan satu per satu. Semuanya terekam dalam Memori ini. Saya hanya menyebutkan beberapa contoh.

     Rm. Idrus menghidupkan kembali kegiatan ekstrakurikuler Pramuka jauh sebelum kegiatan tersebut digaungkan kembali melalui Kurikulum 2013. Berbasiskan pengalamannya di bangku SMA tahun 1980-an di mana gerakan Pramuka begitu terasa di Seminari, dengan kemping-kemping yang mengesankan, termasuk kemping di Mengeruda, Soa, tahun 1984 bersama sekelompok pemuda yang tergabung dalam Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada (INKA), Rm. Idrus meminta bantuan Pak Nani Regang, tokoh Pramuka di Kabupaten Ngada, untuk mengaktifkan kembali gerakan Pramuka di Seminari. Sejak itu, Pramuka menjadi kegiatan yang sangat hidup. Belakangan, kegiatan tersebut bermetamorfosa dalam ‘wajah-baru’ bersama kegiatan Bahasa Inggris, English Camp. Bahasanya menggunakan Bahasa Inggris, rohnya kegiatan Pramuka. Dia menjadi wadah integrasi. Berbagai mata pelajaran terlibat. Terakhir, pada English Camp 2018, mata-pelajaran Inggris, matematika, fisika, dan Kesenian berkolaborasi memfasilitasi berbagai kegiatan selama 4 hari penuh dengan lapangan sepabola SMP sebagai camping ground-nya.

     Rm. Idrus juga menginisiasi gagasan Grand Design Seminari menuju Satu Abad. Terasa sekali di sini berbagai pihak terlibat menyumbangkan pikiran dan tenaga. Berbagai Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemkab Ngada, alumni serta pemerhati pendidikan digelar. Hasilnya terasa sekali. Ada perumusan masalah yang jelas, ada semacam arah-dasar, bagaimana menjalankan reksa pendidikan Seminari ke depan, ada upaya-upaya konkret dalam rangka pembenahan Seminari di berbagai sektor.

     Upaya-upaya konkret itu beraneka ragam, dan terus berjalan. Di bidang legalitas status tanah Seminari, misalnya. Ini kerja yang sangat ruwet dan menjadi masalah turun-temurun. Di masa kepemimpinan Rm. Idrus, legalitas status tanah menjadi jelas. Untuk situasi sekarang dan ke depannya di mana legalitas status tanah menjadi taruhan eksistensi Seminari, ini merupakan salah satu legacy (warisan) yang sangat istimewa. Semua perjuangan itu secara kronologis dan lengkap dapat dibaca pada Memori ini.

    Upaya lain yang tak kalah pentingnya bagi eksistensi Seminari ke depan adalah perjuangan kaderisasi tenaga tertahbis untuk bekerja di Seminari. Konsekuensi dan risikonya besar untuk Seminari. Kalau sekarang tidak dilakukan, maka Seminari akan berada pada situasi to be or not to be. Tidak bisa lagi diharapkan seorang imam dengan basis Sarjana Filsafat Umum ditugasi begitu saja bekerja di Seminari, tanpa ada persiapan yang lebih spesifik. Kalau para imam tidak disiapkan secara khusus, maka akan ada dua kemungkinan. Atau para awam yang profesional mengambil alih posisi-posisi penting pendidikan di Seminari sesuai tuntutan pemerintah dan profesionalisme, atau Seminari ini tinggal hanya sejarah. Tidak bertahan. Mati dan menjadi fosil.

    “Jari Tuhan” itu terasa sekali, ketika tiba-tiba seluruh dunia ditimpa bencana Covid-19. Semua orang, semua lembaga, berada pada situasi batas, situasi kritis. Kalau penanganannya keliru, kalau tidak ada kolaborasi yang saling menjaga, yang saling menyelamatkan, yang penuh pemahaman, yang menumbuhkembangkan, situasi bisa sangat berbahaya. Kalau keputusan-keputusan keliru, atau membingungkan, masa depan lembaga ini bisa berbeda. Orang kunci di balik penanganan bencana Covid-19 yang dahsyat ini adalah pemimpinnya, Rm. Idrus.

     Semua ini menimbulkan rasa bangga. Rm. Idrus, sejauh yang saya tahu, imam yang bersahaja. Imam yang rendah hati. Dia pikul pacul, bekerja di kebun. Pernah hampir terjatuh di kebun kopi. Dia ngepel lantai. Dia bersihkan kandang babi. Kalau melihat Rm. Idrus sore-sore dorong mesin untuk potong rumput, itu hal yang biasa.

     Namun, yang sering tidak terlihat, dia adalah sekretaris itu sendiri, perekam jalannya roda kehidupan Seminari yang ulung, selama masa pengabdiannya. Dia misa pagi sekali. Hampir setiap hari. Jam 6.00 pagi, dia sudah menyantap sarapan pagi di kamar makan. Jam 6.30, dia sudah ada di kantornya, menunggu hehadiran rekan-rekan guru. Selama berada di kantor, dia duduk menulis buku kronik, dalam sunyi. Hanya ditemani, Sparky, anjing kesayangannya. Kalau dia minta bantuan sesama rekan untuk membuat draft, atau kertas kerja, atau laporan, dia memeriksa dengan sangat teliti, sampai titik dan koma. Berkali-kali.

     Melalui kehadiran dan karyanya, “Jari Tuhan” ikut menari-nari di sini, di Seminari ini. Maka, kalau pada Bab V, dia bermadah, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15), ini adalah madah seluruh anggota Komunitas Seminari. Dia mengartikulasikan ungkapan syukur Seminari ini.

Jembatan Kolaborasi, Jembatan Transformasi

    Profesor Rhenald Kasali, Ph.D, Guru Besar Ekonomi pada Universitas Indonesia, melalui program Youtube-nya menyebut 10 ledakan besar yang terjadi pasca Covid-19, di antaranya ledakan kolaborasi. Zaman sekarang ini adalah zaman kolaborasi. Orang tidak bisa lagi bekerja sendiri. Rhenald Kasali menyebut 3 S untuk membangun kolaborasi. S pertama adalah sensory. Banyak pesan atau sinyal yang tidak terungkap lewat kata, tapi lewat sinyal-sinyal tubuh, lewat sensory. S kedua adalah synchronous. Kalau mau berkolaborasi kita harus sinkronkan diri. Ketiga adalah spontaneous, tidak kaku, berdiskusi mengenai berbagai hal di mana saja, ada kebebasan untuk berkreasi, mencipta.

   Salah satu kekuatan Rm. Idrus ini adalah kemampuannya untuk tidak saja berkolaborasi, tapi menjadi jembatan kolaborasi berbagai pihak. Rasanya seluruh karya besar yang disentil di atas adalah hasil kepiawaian Rm. Idrus berkolaborasi.

      Dia bukan tipe lone ranger, yang mau bekerja sendiri, bertarung sendiri. Dia bekerja sama dan menghargai kemampuan rekan-rekannya. Dengan caranya, dan dengan kerendahan hatinya, dia memupuk kerja sama itu.

          Suatu waktu, dia meminta pertemuan, hanya di antara para imam. “Teman-teman, kalau teman-teman lihat ada sesuatu yang kurang pada saya, kita omong terus-terang ko.” Teman-teman bicara terbuka, tapi tentu ada pesan-pesan yang mungkin tidak diungkapkan dengan kata-kata. Rm. Idrus menangkap sinyal-sinyal. Juga ada hal-hal yang Rm. Idrus tidak ungkapkan dengan kata-kata, karena rahasia jabatan, karena ada banyak pertimbangan. Namun, ada sinyal-sinyal yang teman-teman baca. Rm. Idrus lepas bebas dalam pergaulan, tapi ada momen di mana kata-katanya terukur. Dia butuh waktu, ruang, dan konteks tertentu untuk mengungkapkannya. Rm. Idrus bukan tipe pemimpin yang judgemental.

     Maka kalau banyak orang memberi kesaksian bahwa kamar makan di Seminari menjadi tempat yang paling menyenangkan untuk rekan-rekan se-komunitas, Rm. Idrus adalah kuncinya.

     Rm. Idrus dengan rela hati menempatkan diri dalam jaringan yang lebih besar. Dia membuka kerja sama dengan berbagai pihak: dengan pemerintah, dengan pemerhati pendidikan, dengan para alumni. Dengan caranya sendiri, dia merawat dan menumbuhkembangkan jaringan itu, bahkan dengan sentuhan yang sangat personal. Dalam jaringan yang besar itu, dia berupaya mensinkronkan semua pihak, agar berada pada ‘nada’ atau arus yang sama, untuk kepentingan lembaga pendidikan calon imam ini. Dia adalah jembatan kolaborasi, atau pemimpin sebuah orkestra, yang membuat kolaborasi berbuah transformasi.

     Suatu waktu, pada pertengahan tahun 2017 selepas kegiatan lokakarya bersama Ibu Itje Chodidjah di Wisma Emaus, Ende, Pater Anton dan saya memutuskan untuk berbicara dengan Rm. Idrus di kantor Kepala Sekolah SMA. Kami bercerita tentang lokakarya yang begitu bagus yang kami alami di Ende bersama Ibu Itje. “Kita harus buat lokakarya ini untuk semua formator Seminari. Nani tolong komunikasikan dengan Ibu Itje, tanyakan waktunya, dan atur bagaimana dia bisa ke Seminari.”

     Itulah awal pembicaraan untuk menghadirkan Ibu Itje Chodidjah di Seminari Mataloko, dan pada 15-17 Februari 2018 terjadilah lokakarya yang istimewa berjudul Interpersonal & Social Skills Training dengan Ibu yang sangat Islami yang ikut menjadi bagian dari orkestrasi pendidikan calon imam.

   Ini salah satu contoh bagaimana dalam kepemimpinan Rm. Idrus, spontanitas dan kebebasan diberikan ruang yang begitu leluasa sehingga orang dapat bekerja dan memberikan yang terbaik dengan segala totalitas untuk kepentingan anak-anak.

       Dalam bidang saya sendiri, bahasa Inggris, saya merasakan itu. Saya memfasilitasi kegiatan Immersion Program, dan melaksanakannya di berbagai tempat, termasuk di Fo’a, di kebun Pak Laurens Nau, dan saya tahu Rm. Idrus sepenuh hati mendukung. Bersama anak-anak, kami mendirikan Berchmawan News, dan Rm. Idrus berdiri sebagai pilar pendukung. Kami mengembangkan Eagle English Club yang sampai sekarang sangat aktif, dengan peserta dari berbagai sekolah. Kami merancang dan melaksanakan English Camp dengan Pramuka sebagai rohnya, dan lapangan atas Seminari sebagai camping ground. Kami mengembangkan extensive reading, berjejaring dengan Extensive Reading Foundation di Jepang, dan menggunakan aplikasi MReader untuk membantu siswa. Lagi-lagi Rm. Idrus tidak hanya mendukung. Dalam sidang guru, extensive reading ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum Seminari, dan English Room menjadi salah satu pos internet yang penting di Seminari.

  Bagi saya, Rm. Idrus tidak hanya piawai berkolaborasi. Dia adalah jembatan kolaborasi dan jembatan transformasi. Di tangannya, reksa pendidikan di Seminari menjadi sebuah simfoni.

Kisah Sebuah Legenda

    Pada 30-31 Januari 2006 diadakan lokakarya berjudul “Sistem Penilaian berdasarkan KBK”. Laporan lengkapnya bisa dibaca pada Memori ini. Pada Sambutan Penutupan, Rm. Idrus berbicara tentang novel Sang Alkemis, karya penulis Brazil, Paulo Coelho.

       Novel itu memang menarik sekali. Namun, yang lebih mengesankan saya, adalah pelajaran yang ditarik Rm. Idrus. Dia berbicara tentang tokoh utama, bocah penggembala domba dari Andalusia, bernama Santiago. Singkat cerita, Santiago bermimpi mendapatkan harta karun. Harta karun itu ada di bawah sebuah piramida di Mesir. Di Mesir, dia bertemu seorang pedagang Kristal. Atas jasa Santiago, pedagang Kristal itu jadi kaya. Dia memberikan sejumlah uang kepada Santiago untuk pulang ke kampung halamannya. Dia mengukir kisahnya sendiri menjadi seorang legenda penggembala domba. Kepada para guru, Rm. Idrus berpesan, “Legenda kita adalah legenda guru.”

       Saat membaca Memori Rm. Idrus ini, sebetulnya saya membaca kisah sebuah legenda. Legenda seorang pemimpin yang sederhana, anak desa, seperti Santiago. Legenda seorang pemimpin yang penuh impian. Legenda seorang pemimpin yang teguh, yang penuh perjuangan, yang menderita, tapi tak pernah menjadikan penderitaannya sebagai alasan untuk menyerah. Kehidupan seorang pemimpin itu padang pasir, seperti yang dialami Santiago, tapi langkahnya, seperti langkah Santiago, tak pernah surut. Ada banyak kemustahilan yang sebenarnya bisa menghentikan langkah Santiago. Namun, Santiago pantang mundur. Dia bahkan mengalami, banyak hal menjadi mungkin. Pemimpin memungkinkan yang mustahil menjadi nyata. Legenda seorang pemimpin yang mampu membaca pertanda. Legenda seorang pemimpin yang menghayati kepemimpinannya sebagai sebuah seni, sebuah orkestra untuk menghasilkan simfoni. Legenda seorang pemimpin yang basisnya adalah spiritualitas, berbagi kekayaan imamat.  Legenda seorang pemimpin yang mengajak seluruh komunitas untuk melihat, dan percaya, “Jari Tuhan ada di sini”, di Seminari ini.

     “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Terima kasih Rm. Idrus.

 

IMAM DI ANTARA CALON IMAM

 IMAM DI ANTARA CALON IMAM

Oleh : Rm. Beni Lalo, Pr

Tulisan ini dibuat dalam rangka Pancawindu imamat Rm. Bene Daghi. Beliau mendesak saya agar segera menuntaskan tulisan ini untuk dimasukkan ke dalam Buku Pancawindunya. Setiap kali ketemu selalu beliau bertanya “sudah selesai ko?”. Di awal bulan Januari saya mengatakan kepadanya, ”sudah tuntas Ka’e…”. Saya tidak sangka kemendesakkan pertanyaan Rm. Bene sebagai pertanda bahwa ia tidak lama lagi hidup di dunia ini. Tanggal 1 Pebruari 2021 beliau menarik napas terakhir di RSU Bajawa dan dikuburkan dengan cara khas di usia imamat ke 36 menuju 37 tahun.

Dalam duka kita menyerahkan Rm. Bene ke dalam tangan Tuhan. Sambil kita bersyukur atas 36 tahun imamatnya sebagai rahmat Allah bagi dunia dan gereja. Benar motto tahbisan imamatnya: “Cuma dalam Dia yang menguatkan aku, aku mampu…” (bdk.Fil. 4: 13). Rahmat Allah meneguhkan kesetiaan seorang imam yang rapuh secara manusiawi. Rahmat yang ditumpahkan dalam kondisi batin hidup seseorang, dalam dialog internal dari waktu ke waktu antara dinamika panggilan/tindakan Allah dan dinamika jawaban/tindakan manusia (Darminta,2006: 16). Allah yang hadir dalam seluruh proses panjang panggilan dari tahap awal ke tahap perutusan: undangan Allah pada seseorang; keinginan seseorang untuk bersatu dengan Allah; komitmen dalam iman; perkembangan spiritual; dan mandat apostolik (Konseng, 1995: 14).

Tahap-tahap yang sama juga dialami oleh Romo Bene Daghi sepanjang 36 tahun sebagai imam. Dalam tulisan ini, saya tidak mendalami tahap-tahap di atas. Saya membuat refleksi yang bersumber dari konsep imamat (biblis dan tradisi gereja) kepada fenomena-fenomena yang sempat tertangkap lensa dalam pengalaman hidup bersama Rm. Bene Daghi.

A. Menjadi imam Tuhan

Pada saat seseorang menyebut kata “imam”, muncul dalam pikirannya gambaran sosok seorang yang berperan sebagai pengantara manusia dan Tuhan, seorang yang berperan sebagai penghubung yang menyampaikan doa dan harapan umat pada Tuhan. Sebaliknya juga, imam menjadi tanda kehadiran Tuhan di tengah umatNya. Surat Ibrani  mencatat bahwa seorang imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah (Ibr.5:1).

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa imam menyandang kewibawaan Kristus dan berkat meterai istimewa, dijadikan serupa dengan Kristus, sehingga mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala (PO 2). Dengan demikian, imam menjadi simbol kesucian. Simbol kesucian pada diri imam dinyatakan melalui pelaksanaan tugas-tugasnya, yakni tugas mengajar (pelayanan Sabda Allah), menguduskan (pelayanan sakramen) dan memimpin (pelayanan kepemimpinan).

1. Pelayan Sabda Allah: sebagai pelayan Sabda Allah, imam bertugas untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Perjanjian Lama dalam Kitab Ulangan mencatat peran mengajar dari imam adalah mengajarkan aturan-aturan Tuhan kepada Israel (Ul.33: 10). Dalam teks ritus tahbisan imam, ada ajakan terhadap imam baru untuk mengajar dan melaksanakan aturan Tuhan. Seperti pesan Paus Fransiskus,”…dengan merenungkan hukum Tuhan, pastikan kalian percaya akan apa yang kalian baca, kalian ajarkan apa yang kalian percaya, dan kalian menjalankan apa yang kalian ajarkan…”.

Tentang sosok Rm. Bene, saya mengenal sebagai pribadi imam yang berpusat pada Sabda Allah. Dia berusaha hidup konsisten. Boleh saya bilang, dalam kerapuhannya, dia menghidupi apa yang dia baca dan percaya, serta apa yang dia wartakan. Hal ini terlahir dari bagaimana ia bersungguh-sungguh membaca, merenung dan membagi Sabda Allah setiap hari. Sabda Allah dihadapkan pada diri sendiri untuk dihayati, baru sesudah itu dibagikan pada sesama. Tampak dalam persiapannya untuk merayakan Ekaristi pada semua hajatan, entah peristiwa harian sederhana, entah peristiwa hari besar/hari raya. Buku agenda khusus untuk renungan/kotbah tersiapkan dan disimpan secara rapi dari dulu sampai sekarang. Kotbahnya disiapkan dan dibawakan secara tertulis atau diketik. Jarang dia berkotbah tanpa teks.

Peran pelayan Sabda Allah identik dengan peran guru. Sebagai calon imam (frater TOP) dan imam, dia selalu ditempatkan sebagai guru di lembaga pendidikan calon imam, kecuali sebagai seorang diakon ditempatkan di paroki Wolofeo.

Satu kelebihan dari Romo Bene sebagai seorang guru adalah konsistensi antara apa yang diajarkan dan apa yang dihidupinya. Dia menunjukkan keteladanan kepada kami para imam  di seminari. Keteladanan yang paling terasa adalah pada disiplin diri.  Pϋnktlich ! Waktu benar-benar terdiri atas detik per detik, menit per menit.

Peran pelayan sabda identik juga dengan peran kenabian yang mewartakan kebenaran. Memang benar pribadi ini berbicara tentang kebenaran. Berbicara sesederhana apa pun harus benar dengan verifikasi data yang jelas. Dia menertibkan dirinya pada jalan lurus sampai pada cura minimorum, seperti mengurus keuangan harus dipertanggungjawab sampai pada satu sen. Kebenaran yang dihayatinya adalah buah dari kedalaman diri yang berakar pada Sabda Allah yang direnungkannya setiap hari. Kedalaman diri bukan ruang kosong, melainkan lahan subur untuk kebenaran hidup (Reinhard Lettmann: Innerlichkeit ist kein Hohlraum oder inhaltlose Leere…)

2. Pelayanan sakramen: sebagai pelayan sakramen, imam bertugas untuk mempersembahkan kurban rohani atau melayani karya pengudusan lewat sakramen (PO 5). Dalam surat kepada umat di Ibrani (5,1), dikatakan secara jelas bahwa imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, supaya ia mempersembahkan persembahan karena dosa. Dengan melayani sakramen-sakramen, seorang imam menghadirkan Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya di kayu salib.

Searah dengan disiplin dirinya yang baik, pribadi Romo Bene selalu setia merayakan Ekaristi harian pada waktunya, kecuali kalau dia dalam perjalanan atau sakit. Ekaristi harian disiapkan sejak sebelumnya. Omnia parata sunt. Semua disiapkan termasuk membaca kalender liturgi setiap hari dengan semua titik komanya, sehingga semua teman imam yang merayakan hut kelahiran dan tahbisan hari itu, didoakan.

Kekurangan yang berkaitan dengan pelayanan sakramen adalah dia jarang melayani sakramen permandian, sakramen nikah dan sakramen orang sakit, karena alasan yang sangat jelas, full di seminari. Sakramen tobat tetap dilaksanakan untuk para imam/ suster yang datang mengaku dosa dan terlebih pelayanan untuk para siswa seminari.

Seiring dengan masa tuanya dan memiliki kematangan rohani yang mumpuni, dia pernah dipercayakan oleh Uskup sebagai Delegatus untuk cura animarum biara-biara di kevikepan Bajawa dan sering pula melayani ret-ret para imam/suster.

3.Pelayanan kepemimpinan/gembala: sebagai pemimpin umat Allah, imam mengemban tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala dengan menghimpun semua orang, dalam persaudaraan sejati dan menghantar mereka menuju komunio Allah Tritunggal (PO 6). Seperti kata Paus Fransiskus bahwa imam menjalankan tugas di dalam Kristus, Kepala dan Gembala, dalam persatuan dengan Uskup. Imam menjalankan tugas seperti Kristus, bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.

Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Rm. Bene bertugas lebih di lembaga-lembaga pendidikan calon imam, maka boleh dibilang dia menjadi gembala dan pemimpin di seminari-seminari. Domba-dombanya adalah para siswa seminari/para frater, dan saat beliau menjadi Praeses di Ritapiret dan Mataloko, domba-dombanya adalah seluruh anggota komunitas itu.

Penempatan Romo Bene di Seminari Menengah Mataloko sejak 2006, sebenarnya dimaksudkan oleh Uskup, agar di tengah komunitas pendidikan calon imam, harus ada seorang imam senior yang berperan sebagai teladan, sekaligus sebagai seorang tua yang matang, yang berperan sebagai sosok bijak dan tenang di tengah orang muda. Menjadi tokoh pemersatu dan menjaga persaudaraan adalah salah satu sayap dari tugas kegembalaan atau kepemimpinan seorang imam.

B. Menjadi imam Diosesan

Siapakah imam diosesan itu ?  Rm. Domi Balo (alm.) dalam brosur pendidikan calon imam, menjelaskan secara negatip bahwa imam diosesan adalah imam yang tidak termasuk Ordo atau Konggregasi/Tarekat tertentu. Imamatnya adalah imamat perdana atau rasuli (seperti diterima para Rasul), yakni imamat seperti yang diserahkan Kristus kepada para murid-Nya pada awalnya. Atau sekurang-kurangnya berpangkal pada imamat awali tersebut, tanpa atribut lainnya, terkecuali bahwa ia oleh tahbisannya di-tua-kan. Dalam bahasa aslinya disebut “Presbyter”, yang berarti “tetua/penatua”, yang kemudian diterjemahkan dengan “imam”. Oleh sebab itu, di belakang nama seorang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan (khususnya di Indonesia) ditambahkan atribut “Pr” (singkatan dari presbyter, bukan projo)

Imam non tarekat ini disebut imam diosesan yang dikaitkan dengan kata “diocesis” (Lat. wilayah) karena ia terikat pada salah satu wilayah keuskupan tertentu. Dioses sama dengan praja dalam bahasa Jawa. Dalam hubungan dengan Gereja, yang dimaksudkan dengan wilayah tertentu/dioses, adalah wilayah tertentu gerejawi, yakni keuskupan. Oleh karena mereka terikat dengan keuskupan tertentu, maka mereka disebut imam diosesan. Pimpinan mereka adalah seorang Uskup Diosesan (Uskup dengan yurisdiksi wilayah “kekuasaan”, sebagai pemimpin resmi partikular). Dengan Uskup itu, ia mengikatkan diri.

Romo Bene mengambil keputusan masuk Seminari Tinggi Ritapiret pada tahun 1974 dengan motivasi yang sangat personal. Dia merasa dirinya cocok untuk menjadi imam yang mengabdikan diri untuk umat setempat di Keuskupan Agung Ende. Dia mau menghayati spiritualitas imam diosesan “dari dunia kembali ke tengah dunia”. Ke tengah dunia dan bersatu dengan dunia, menghadirkan diri di sana secara lain dan baru sambil memberikan kesaksian khusus imamiahnya. Dikatakan secara lain dan baru, sebab sejak tahbisan, imamatnya dituntut oleh martabatnya itu, harus dijalani di tengah dunia menurut nasehat injil (ketaatan, kemiskinan, kemurnian) secara konsekuen. Pelbagai hak yang seharusnya dimiliki oleh dunia, oleh karena tahbisannya dan misinya yang baru itu, harus ditinggalkan dan ditanggalkannya. Di tengah dunia, dia harus memberikan kesaksian yang baru.

Hanya sayangnya, harapan Romo Bene untuk bekerja secara langsung bersama umat di paroki-paroki yang sederhana, tidak terwujud. Sebagai penghayatan pada spiritualitas alkitabiah, sebagai dasar spiritualitas imam diosesan, dia harus taat pada keputusan Uskup. Uskup sudah mempunyai rencana lain untuk dia. Dia disiapkan untuk studi lanjut di Roma untuk mendalami bidang Islamologi. Semuanya ini membuka jalan baru dan menentukan perjalanan imamatnya selanjutnya ke depan. Dia harus bekerja setiap hari di tengah para calon imam sebagai dosen dan guru sampai kematiannya.

Pelayanan kecil setiap hari dijalankannya dengan kesetiaan yang besar. Kesetiaan adalah buah Roh Kudus dalam diri sang imam. Kesetiaan adalah wewangian yang menyenangkan dunia dan manusia (Paus Fransiskus). Seperti kata Paulus, “…sebab bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa..” (2 Kor.2:15). Inilah yang disyukuri dalam perjalanan imamatnya sampai melewati 36 tahun dan tak sampai pada pancawindu yang direncanakan…Selamat jalan Rm. Bene menuju keabadian. Di sana perayaan syukur imamatmu menjadi sempurna.

Rm. Beny Lalo, Pr