BERLARI MENGEJAR MIMPI

St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko

Wajahnya lesu kelelahan. Keringat ber­cu­curan deras di seluruh tubuhnya, membuat pakaiannya basah dan bau. Ia tak kenal lelah mengejar mimpinya. Dialah aku yang mengejar mimpi.

Aku adalah anak desa yang serba berke­ku­ra­ngan. Untuk makan se­hari-hari saja sulit. Be­gi­­tupun dengan uang se­kolahku. Kepala sekolah sering mengejarku keli­li­ng kampung karena aku tidak membayarnya. Namun, aku mampu mem­buat kepala seko­lah­ku masuk ke rumah sakit. Beberapa hari ke­mudian, kepala sekolah­ku itu sakit jiwa dan ak­hirnya meninggal dunia.

Kehidupanku berubah ketika pamanku menga­jak­­ku untuk belajar di kota. Akhirnya, aku pin­dah ke kota dan ber­se­ko­lah di salah satu SMA bergengsi. Di sana, aku ber­temu dengan dua orang baik, yaitu Ucok dan Siwa. Mereka me­mi­liki kepribadian yang unik. Hal itulah yang mem­buatku tertarik un­tuk berteman dengan mereka.

 “Anak-anak, hari ini adalah hari pemilihan ekstrakurikuler. Mohon dipilih dengan bijak,” kata Pak Dodo sembari mem­bagi-bagikan sele­baran kepada para sis­wa.

Aku, Ucok, dan Si­wa sama-sama memilih ekskul lari. Kami segera pergi ke ruangan olah­raga dan mem­per­si­a­p­kan diri untuk lomba la­ri.

Awalnya, aku sangat gugup. Tak disangka, ha­silnya sangat me­mu­as­­kan. Aku berhasil men­jadi pelari tercepat. Tak berselang lama, aku langsung ditunjuk seba­gai anggota inti yang baru.

Menjadi tim inti lari memang tidaklah mu­dah. Aku harus berlari setiap sore. Semakin ha­ri aku semakin cepat sa­ja. Pada suatu sore, aku men­dengar berita dari kedua temanku bahwa akan ada perlombaan la­ri antar kabupaten.

Ucok dengan semangat berkata, “Tino, kalau kau menang ni kita bisa dapat uang jajan selama setahun.” “Benar tu, ini beli satu oto sudah lumayan,” tambah Siwa. “Molo sudah, ja’o ikut,” jawabku dengan yakin. Di bawah bimbingan mereka, aku berlatih de­n­g­an tekun setiap sore. Program latihan mereka yang tidak manusiawi membuatku nyaris mati. Namun, hasilnya me­mang di luar nalar. Kini, aku memiliki kekuatan, kecepatan, dan kelin-cahan yang patut dia-cungi jempol.

 Hari demi hari ber­lalu. Akhirnya, hari per­lombaan telah tiba. Aku, Ucok, dan Siwa mela­kukan sedikit pemana­san dengan jogging keli­ling sekolah. Namun, aku tak sengaja mena­b­rak segerombol preman. Para preman itu tampak kuat dan garang.

Salah satu dari mereka mendo­rongku hingga terjatuh dan berkata, “Eh azi, ja­lan pakai mata.” Aku lang­sung bangkit. Ku­ta­tap matanya dengan ta­jam dan ber­ka­ta,” Ka’e, orang jalan pakai kaki. Ka­lau pakai mata mau lihat apa?”

Preman itu seketika geram dan melototiku dengan tajam. “Kamu ini, sudah salah, mela­wan orang tua, protes la­gi. Bro, urus mereka.” “Siap bos,” jawab re­kan-rekan premannya.

Tan­­pa pikir panjang la­gi, kami langsung lari da­ri mereka. Kami ber­lari, berlari, dan terus ber­lari tanpa henti. La­ma-kelamaan tenaga ka­mi makin terkuras. Di belakang kami, para pre­­man itu mengejar ka­mi seperti anjing rabies yang sedang mengejar kucing garong.

  “Tino, ja’o ti mau mati eee……Ema!!!” te­riak Ucok.

  “Benar, mati sebentar ja’o buat kau jadi masakan,” ancam Siwa.

  “Aman eja, kalau mati pasti hidup lagi,” jawab­ku.

  “Bodoh, orang yang sudah mati tidak bisa hidup lagi,” bantah Si­wa.

  “Bisa eja. Di Surga.”

 “Ema!!!” Anjing-an­jing rabies itu semakin ga­nas saja. Aku segera memutar otak. Aku ber­lari ke dalam pasar. Degan ceka­tan aku me­lompati ba­rang­-barang pasar seper­ti gaya park­hour saja.   Aku segera men­gobrak-abrik isi pa­sar untuk meng­halangi para preman itu.

Namun, lumayan lincah juga. Akhir­nya, aku me­lempar ba­rang pasar se­cara sem­barangan ke­arah mere­ka. Aki­­batnya, mereka terjatuh dan bahkan ma­suk ke got. Kami tak menyia-nyia­kan kesem­patan. Aku dan ke­dua te­manku se­gera ber­lari ke stadion.

Saat su­dah sampai, aku se­ge­ra ma­suk ke dalam sta­di­on. Suasana di da­lam sta­dion sangat ra­mai dan riuh. Aku se­gera meng­ambil ­po­sisi, mu­lai ber­lari secepat yang aku bisa. Tiba-tiba,   arghh…Aku jatuh. Kakiku panas rasanya. Namun, aku kembali bangkit dan mulai berlari lagi, mengejar mimpi.

Edgar Sebo

Siswa kelas X SMA Seminari Todabelu, Mataloko