Wajahnya lesu kelelahan. Keringat bercucuran deras di seluruh tubuhnya, membuat pakaiannya basah dan bau. Ia tak kenal lelah mengejar mimpinya. Dialah aku yang mengejar mimpi.
Aku adalah anak desa yang serba berkekurangan. Untuk makan sehari-hari saja sulit. Begitupun dengan uang sekolahku. Kepala sekolah sering mengejarku keliling kampung karena aku tidak membayarnya. Namun, aku mampu membuat kepala sekolahku masuk ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian, kepala sekolahku itu sakit jiwa dan akhirnya meninggal dunia.
Kehidupanku berubah ketika pamanku mengajakku untuk belajar di kota. Akhirnya, aku pindah ke kota dan bersekolah di salah satu SMA bergengsi. Di sana, aku bertemu dengan dua orang baik, yaitu Ucok dan Siwa. Mereka memiliki kepribadian yang unik. Hal itulah yang membuatku tertarik untuk berteman dengan mereka.
“Anak-anak, hari ini adalah hari pemilihan ekstrakurikuler. Mohon dipilih dengan bijak,” kata Pak Dodo sembari membagi-bagikan selebaran kepada para siswa.
Aku, Ucok, dan Siwa sama-sama memilih ekskul lari. Kami segera pergi ke ruangan olahraga dan mempersiapkan diri untuk lomba lari.
Awalnya, aku sangat gugup. Tak disangka, hasilnya sangat memuaskan. Aku berhasil menjadi pelari tercepat. Tak berselang lama, aku langsung ditunjuk sebagai anggota inti yang baru.
Menjadi tim inti lari memang tidaklah mudah. Aku harus berlari setiap sore. Semakin hari aku semakin cepat saja. Pada suatu sore, aku mendengar berita dari kedua temanku bahwa akan ada perlombaan lari antar kabupaten.
Ucok dengan semangat berkata, “Tino, kalau kau menang ni kita bisa dapat uang jajan selama setahun.” “Benar tu, ini beli satu oto sudah lumayan,” tambah Siwa. “Molo sudah, ja’o ikut,” jawabku dengan yakin. Di bawah bimbingan mereka, aku berlatih dengan tekun setiap sore. Program latihan mereka yang tidak manusiawi membuatku nyaris mati. Namun, hasilnya memang di luar nalar. Kini, aku memiliki kekuatan, kecepatan, dan kelin-cahan yang patut dia-cungi jempol.
Hari demi hari berlalu. Akhirnya, hari perlombaan telah tiba. Aku, Ucok, dan Siwa melakukan sedikit pemanasan dengan jogging keliling sekolah. Namun, aku tak sengaja menabrak segerombol preman. Para preman itu tampak kuat dan garang.
Salah satu dari mereka mendorongku hingga terjatuh dan berkata, “Eh azi, jalan pakai mata.” Aku langsung bangkit. Kutatap matanya dengan tajam dan berkata,” Ka’e, orang jalan pakai kaki. Kalau pakai mata mau lihat apa?”
Preman itu seketika geram dan melototiku dengan tajam. “Kamu ini, sudah salah, melawan orang tua, protes lagi. Bro, urus mereka.” “Siap bos,” jawab rekan-rekan premannya.
Tanpa pikir panjang lagi, kami langsung lari dari mereka. Kami berlari, berlari, dan terus berlari tanpa henti. Lama-kelamaan tenaga kami makin terkuras. Di belakang kami, para preman itu mengejar kami seperti anjing rabies yang sedang mengejar kucing garong.
“Tino, ja’o ti mau mati eee……Ema!!!” teriak Ucok.
“Benar, mati sebentar ja’o buat kau jadi masakan,” ancam Siwa.
“Aman eja, kalau mati pasti hidup lagi,” jawabku.
“Bodoh, orang yang sudah mati tidak bisa hidup lagi,” bantah Siwa.
“Bisa eja. Di Surga.”
“Ema!!!” Anjing-anjing rabies itu semakin ganas saja. Aku segera memutar otak. Aku berlari ke dalam pasar. Degan cekatan aku melompati barang-barang pasar seperti gaya parkhour saja. Aku segera mengobrak-abrik isi pasar untuk menghalangi para preman itu.
Namun, lumayan lincah juga. Akhirnya, aku melempar barang pasar secara sembarangan kearah mereka. Akibatnya, mereka terjatuh dan bahkan masuk ke got. Kami tak menyia-nyiakan kesempatan. Aku dan kedua temanku segera berlari ke stadion.
Saat sudah sampai, aku segera masuk ke dalam stadion. Suasana di dalam stadion sangat ramai dan riuh. Aku segera mengambil posisi, mulai berlari secepat yang aku bisa. Tiba-tiba, arghh…Aku jatuh. Kakiku panas rasanya. Namun, aku kembali bangkit dan mulai berlari lagi, mengejar mimpi.
Edgar Sebo
Siswa kelas X SMA Seminari Todabelu, Mataloko