Catatan Reflektif Rm. Alex Dae, Pr
Hingga saat ini, 26 tahun sudah saya berkarya sebagai pembina calon imam tingkat SMP di Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu. Hal dasar yang menjadi fokus karya adalah membantu para calon imam mencapai kematangan dalam 5–S (sanctitas=kekudusan, scientia=pengetahuan, sapientia=kebijaksanaan, sanitas=kesehatan, sosialitas=persaudaraan). Kendatipun dalam perjalanan hidupnya, seminaris “menjadi yang lain”, minimal sebagian spirit 5–S telah terinternalisasi. Ini akan menjadi bagian dari cerita kehidupan saat mereka telah “menjadi yang lain”.
SMP dan SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu merupakan internat. Sebuah sekolah berasrama yang lima tahun lagi merayakan satu abad kehadirannya di Mataloko, Kec. Golewa, Kab. Ngada, NTT. Sungguh suatu kebanggaan. Selain karena usia yang sudah matang, internat calon imam ini telah melahirkan ribuan utusan dalam berbagai bidang panggilan dan karya di seantero dunia. Kualitas hidup mereka telah diakui sekurang-kurangnya karena 5–S yang pernah menjadi bagian dari jiwa mereka selama berada di Seminari.
Ada apa dengan Seminari?
Tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri. Namun, jika menimbang-nimbang kiprah hebat dan istimewa sebagian alumninya di seantero dunia, pertanyaan yang mungkin muncul adalah “Ada apa dengan Seminari atau Apa yang terjadi di Seminari?” Mungkinkah terjadi proses tumbuh kembang yang luar biasa para calon imam dalam internat ini? Sebagai komunitas khusus, berbagai pertanyaan, dugaan, bahkan prasangka dapat saja muncul. Namun, internat ini tidak hanya memunculkan dugaan ini dan itu. Fakta-fakta tentang sepak terjang “rumah” ini telah membangkitkan niat dan antusiame banyak calon imam untuk memulai dan menjalani kehidupan baru mereka di sini. Mereka yakin, internat ini adalah rumah kedua, tempat mereka memacu tumbuh kembang mereka untuk hidup masa depan.
Tidak disangkal, segelintir orang memastikan bahwa Seminari sebagai lembaga pendidikan akan melahirkan imam-imam sudah seharusnya demikian. Melalui pengelolaan pendidikan dan pembinaan yang bermutu, Seminari memang harus menghasilkan para calon pemimpin umat yang “mumpuni”. Orang lain lagi mungkin yakin sungguh bahwa memang Seminari pasti menyelenggarakan pendampingan dengan proses istimewa. Namun, mungkin juga, mereka yang pernah menapaki kaki di internat ini akan menilai biasa-biasa saja, atau masih jauh dari harapan. Entah apa yang dipikirkan, dirasakan, dikatakan, atau dievaluasi, pertanyaan di atas merupakan spirit, kepercayaan, sekaligus harapan untuk terus berinovasi dan berkreasi dalam pengabdian.
Mulai dari hal biasa-biasa dan sederhana untuk mandiri
Percikan pengalaman ini tidak dimaksudkan untuk membahas semua hal mengenai pedoman pendidikan calon imam. Jika menimbang-nimbang jawaban atas pertanyaan di atas, jawabannya adalah mulai dari hal sederhana dan biasa-biasa, sejauh pengalaman saya. Hal-hal sederhana itu, misalnya merapikan tempat tidur, melipat pakaian, merapikan lemari, membuang sampah pada tempatnya, cara menggunakan toilet, bekerja hingga tuntas, mengembalikan alat kerja, mencuci pakaian, serta hemat menggunakan air. Ini hal biasa dan sederhana yang sebenarnya sudah dilakukannya di rumah. Dalam internat ini, para seminaris mengulang kembali sendiri. Jauh dari ketergantungan pada intervensi orang tua. Memang, Seminari harus menjadi instansi kedua yang memudahkan calon imam mengembangkan berbagai keterampilan dasar itu. Semuanya dilakukan secara hidup mandiri.
Suatu saat, saya bertanya kepada para seminaris tentang arti disiplin. Ada rupa-rupa jawaban sederhana, tetapi unik. Ada yang mengatakan, disiplin berarti merapikan tempat tidur; gunakan air secukupnya untuk urusan toilet; membuang sampah pada tempatnya; tidak membuang ludah di sembarangan tempat; berdoa sebelum dan sesudah makan; tahu menyapa; rela mengucapkan maaf dan terima kasih; serta memelihara keheningan. Ada yang memandang disiplin sebagai tenggang rasa saat mandi dan cuci. Baginya, hemat menggunakan air karena ada ratusan seminaris yang sedang antre untuk mandi itulah wujud disiplin. Hemat saya, itulah konsep disiplin yang jujur dan kontekstual. Mereka merumuskan kedisiplinan sebagai apa yang dialami. Mereka tidak membutuhkan konsep disiplin yang rumit. Artinya, seminaris lebih memahami disiplin sebagai sebuah contoh hidup.
Mengembangkan karakter dengan contoh
Karena hal yang lebih menyatu dengan hidup mereka adalah contoh, maka pengembangan karakter semestinya bertolak dari contoh hidup. Rm. Nani Songkares adalah salah satu pendamping asrama tingkat SMP yang konsisten dalam hal ini. Sampah di lingkungan sekitarnya misalnya, pasti tidak luput dari perhatiannya. Seminaris selalu diajaknya untuk turut memungut sampah. Dari pengalamannya, kebiasaan positif anak akan menetap jika ada konsistensi keteladanan. Keluhan bahwa seminaris sembrono membuang sampah hanya dapat diatasi jika para guru dan pembina menjadi contoh yang konsisten. Guru dan pembina mesti secara sengaja memungut dan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan jika ternyata para seminaris lupa atau tidak mau melakukannya lagi. Konsestensi contoh harus tetap dirawat hingga menjadi suatu kewajiban yang dapat ditiru dan dilakukan secara spontan oleh para seminaris sendiri.
Prinsip yang sama saya lakukan saat mengatur penggunaan air bagi para seminaris. Mereka mesti membiasakan diri dengan budaya antre untuk mandi. Dengan jumlah 300 lebih seminaris, budaya antre amatlah penting. Di samping memupuk tenggang rasa, kualitas kesabaran para seminaris dipertebal. Penjagaan dilakukan secara konsisten hingga mereka terbiasa dengan cara itu. Kendatipun kesadaran anak-anak belum stabil, saya yakin bahwa konsistensi ini efektif meyakinkan para seminaris untuk memikirkan hak orang lain.
Selama menangani tugas ini, pengulangan sangatlah penting artinya. Peringatan dan penguatan perlu terus-menerus dilakukan. Mempertebal kesadaran anak-anak untuk melakukan hal baik dengan gembira tidaklah mudah. Di sini, ketahanan saya untuk menginformasikan hal yang sama berkali-kali diuji. Rasa jenuh, bosan, dan ketidaksabaran sering memancing keinginan untuk tidak melakukannya. Inilah saat kritis yang dapat memutuskan konsistensi. Hal yang dapat saya lakukan untuk keluar dari kondisi kritis ini adalah membuat refleksi diri. Sejauh pengalaman saya, inilah cara yang tepat untuk menyelamatkan konsistensi pendampingan. Pembaharuan spirit saya perlu dilakukan untuk mengubah cara pandang dan memperkuat perilaku positif terhadap berbagai keterampilan dasar pribadi. Para seminaris perlu dilatih untuk memberi respek terhadap hal biasa-biasa dan sederhana. Saya yakin, hal ini membuat karakter anak-anak lebih berkualitas.
Pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian
Selama mendampingi seminaris menjalani kehidupan asrama, saya biasa menerapkan “pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian”. Cara ini saya diterapkan saat seminaris melakukan kesalahan. Ketika anak-anak memboroskan air saat mandi, di situlah saya melakukan evaluasi. Demikianpun saat mereka tidak bekerja secara tuntas, evaluasi dan perbaikan saya berikan pada waktu dan tempat kejadian. Hemat saya, cara ini akan meninggalkan efek yang kuat dalam pikiran dan hati mereka. Menunda saat pembelajaran dan memindahkan tempat evaluasi dan refleksi dapat memperlemah keseriusan anak untuk memahami masalah dan akibat yang ditimbulkannya.
Dalam jangka pendek, para seminaris dapat menerimanya sebagai pembelajaran yang dalam menata kehidupan bersama di asrama. Efeknya mungkin bertahan sesaat. Namun, saya yakin, jika konsistensi keteladanan dan pengulangan yang konkret terus berlangsung, cara pandang dan perilaku positif para seminaris akan menetap.
Untuk semua itu, sejauh pengalaman hidup bersama seminaris, komitmen untuk mengolah hal-hal biasa dan sederhana secara konsisten merupakan keharusan. Butuh keterlibatan yang lebih untuk membuat hal-hal biasa dan sederhana dalam hidup berasrama menjadi luar biasa dalam diri para seminaris (Rm. Alex Dae, Pr).