Opini Fr. Bayu Tonggo
Tulisan ini lebih merupakan ikhtiar penulis untuk kembali mempertegas catatan narasi.tv dalam sebuah video bertajuk “Cas, Cis, Cus, Ekonomi Digital Indonesia,” yang dibawakan oleh Presenter, Adelline Tri Putri dan diunggah di Youtube pada 12 Januari 2022. Meski telah diunggah satu tahun lalu, hemat penulis, catatan ini masih hangat untuk didiskursuskan di tengah gonjang-ganjing ekonomi digital saat ini.
Beberapa tahun terakhir – seiring dengan perkembangan teknologi digital yang merasuk semua bidang kehidupan – pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menyerukan konsep “kedaulatan digital.” Konsep “kedaulatan digital” ala pemerintah Indonesia sebetulnya lahir dalam kerangkeng mimpi pemerintah Indonesia sendiri yang sekurang-kurangnya diwakili oleh pernyataan Presiden Joko Widodo pada tahun 2021 lalu, yang menginginkan Indonesia menjadi “raksasa digital sekaligus ekonomi terbesar dunia ketujuh pada tahun 2030.”
Dalam catatan narasi.tv, pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut bisa dibenarkan. Narasi.tv menukil riset dari Google, Temasek, dan Bain pada 2021 yang memperkirakan bahwa 40 persen (Rp 997 triliun) nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara (Rp 2.485 triliun) disumbang oleh Indonesia. Bahkan menurut Google, Temasek, dan Bain hingga tahun 2026, nilai tersebut akan terus berkembang lebih dari dua kali lipat.
Riset ini ditilik dari populasi penduduk di Asia Tenggara yang menurut Google, Temasek, dan Bain, terdapat 75 persen penduduk yang sudah online. Google, Temasek, dan Bain juga menyebut dari 650 juta lebih orang yang bermukim di kawasan Asia Tenggara, 40 persennya ada di Indonesia. Dengan ini dapat dikatakan bahwa wilayah Indonesia memiliki peluang market berbasis internet yang besar. Dalam hubungan dengan market tersebut, Google, Temasek, dan Bain mengungkapkan bahwa dari sejumlah orang yang online tersebut, 80 persennya adalah konsumen digital. Dengan demikian, bisa dibenarkan jikalau pemerintah Indonesia menyebut potensi ekonomi di Indonesia sangat besar dan tentu mesti ada spirit “kedaulatan” untuk menghidupinya.
Apa itu “Kedaulatan Digital?”
Dalam KBBI edisi V “kedaulatan digital” dipahami sebagai “kedaulatan atas seluruh produk, konten, dan layanan digital yang ada di sebuah negara.” Selain itu, menurut Julia Pohle dan Thorsten Thiel (2022) sebagaimana dicatat Ahmad Mustafid dalam opininya bertajuk “Meneguhkan Kedaulatan Digital” (Kompas, 2/08/2022), memahami “kedaulatan digital” “sebagai sebuah gagasan untuk menegaskan kembali otoritas negara atas internet dan melindungi warga serta bisnis dari berbagai macam tantangan di dunia digital.” Negara dan warganya berhak menata ekosistem digital dan tidak membiarkan ekosistem digitalnya tergerus dan dikuasai oleh negara lain. Dengan demikian, pada dasarnya aspek yang ditekankan dalam “kedaulatan digital” itu ialah kemandirian dan kenyamanan negara dan warganya untuk mengelola ekosistem digitalnya.
Optimis: Ekonomi Digital yang Berdaulat!
Untuk konteks Indonesia, upaya mengejawantahkan konsep “kedaulatan digital” ini tak mudah mewujud begitu saja pada ranah praksis. Hal ini mengingat sebagaimana dalam catatan narasi.tv, Indonesia memiliki 3 problem mendasar dalam upaya pengembangan ekonomi digital yang berdaulat itu.
Pertama, defisit talenta digital atau dalam bahasa lain “konteks digitalisasi yang terjadi di Indonesia boleh berkembang cepat, tetapi Sumber Daya Manusia (SDM) yang menopangnya sangat minim.” Dalam catatan narasi.tv, Bank Dunia sempat mengungkapkan bahwa Indonesia kekurangan 9 juta pekerja digital hingga tahun 2030 atau setara dengan membutuhkan 600 ribu pekerja digital per tahunnya.
Kedua, regulasi data. Menurut narasi.tv di Indonesia masih banyak aturan yang berorientasi pada pada “generasi boomer,” padahal kenyataannya di lapangan sudah “Gen-Z”. Hal ini bisa dilihat tatkala disrupsi terjadi: saat moda transportasi online muncul. Banyak hal dalam aturan lawas yang seolah-olah gagap untuk menanggapi fenomena baru (transportasi online) tersebut. Hal ini mau menampakkan bagaimana regulasi di Indonesia seperti tak siap hadapi zaman dan bahkan gagal untuk menjamin konsumen. Selain itu, dalam penilikan soal regulasi data, masih banyak juga problem yang menggerus perlindungan data pribadi. Banyak kasus yang memperlihatkan “skandal bocor-bocor data” baik di pihak swasta maupun pemerintah.
Ketiga, soal infrastruktur di mana ketimpangan digital di Indonesia masih sangat besar.” Dalam catatan narasi.tv, Bank Dunia sempat mengungkapkan bahwa hampir setengah dari populasi orang dewasa di Indonesia masih belum memiliki akses digital. Selain itu, kesenjangan konektivitas antara perkotaan dan pedesaan belum menyempit.
Tiga problem ini bukan berarti membuat kita pesimis terhadap mimpi pemerintah (dan kita semua) untuk menumbuhkan ekonomi digital yang berdaulat. Kita tetap optimis, sembari tetap berupaya menjaga tatanan ekonomi digital dengan berupaya menampik 3 tantangan tersebut. Selain itu, kita mesti mulai berani menelurkan inovasi teknologi ala bangsa kita sendiri. Gengsi dong! Jikalau mimpi kedaulatan ekonomi digital bangsa Indonesia hanya diperjuangkan di bawah prestasi: market yang besar dan jumlah penduduk yang banyak.