imun

IMUN: SARANA PENGEMBANGAN DIRI

International Model United Nations (IMUN) sa­ngat mem­­bantu seminaris dalam mengem­bang­kan kemampuan dirinya. Mulai da­ri kemampuan berbahasa Inggris hing­ga kemampuan lainnya. IMUN terbuka untuk semua siswa.

IMUN merupakan suatu pro­gram yang menyatukan pe­muda seluruh du­­nia dengan ber­bagai peng­alaman dan latar bela­kang untuk belajar dan ber­bagi ide. Di sini, de­le­gasi memperoleh wa­w­asan tentang Perse­rikatan Bangsa-Bangsa dan dinamika hubungan internasional.

  Ada dua bentuk kon­ferensi IMUN, yakni tatap muka dan online. Kon­ferensi IMUN secara on­­line dirancang untuk memberi kesempatan ke­­­­­­pada peserta me­­rasakan peng­alaman IMUN yang sebenar­nya dari kenyamanan ru­mah mereka.

 Untuk kon­­­ferensi on­line, kita harus mem­­­­­­­­bayarnya. Bia­­ya konfe­rensi selama se­ming­gu Rp160.000, se­dangkan sebulan Rp320.000. Per­­­­temuan diadakan dua ka­­li seminggu, yakni Sabtu dan Minggu.

 Hari pertama dibuka dengan pengenalan ten­tang per­aturan dan ba­gaimana pertemuannya ber­langsung. Bagian ini me­makan waktu  sete­ngah jam lebih, diikuti roll call, untuk memastikan kehadiran.

Selanjutnya, para de­le­­­gasi akan diberi ke­­sempatan untuk me­nyam­paikan pendapat pa­da bagian general speak­ers list, atau pandangan umum.

Delegasi akan berbicara satu per satu, dilanjutkan dengan moderated caucus atau unmoderated caucus. Di sesi ini, delegasi akan diberikan kesempatan un­tuk mengajukan topik yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Tahap ini akan dilanjutkan dengan dis­kusi dalam kelompok.

Pada hari kedua, per­temuan dimulai dengan roll call, lalu general speaker list, moderated caucus atau unmo­de­rat­ed caucus.

Bagian yang terpenting adalah draft resulution. Para peserta diminta me­nyim­pulkan solusi akhir mengatasi masa­lah yang sedang di­bahas. Para delegasi ha­rus membuat kesimpul­an secara tulis.

Bagian ini dilanjutkan dengan presentasi. Dele­gasi bersangkutan akan membacakan hasilnya. Delegasi lain diberi ke­sempatan untuk berta­nya. Presentasi dan dis­ku­si ditutup dengan vo­ting untuk memilih draft resolution mana yang di­terima.

Pada akhir konferen­si, biasanya ada upacara penutup. Pada bagian ini, akan ada pembacaan penghargaan bagi delega­si-delegasi yang aktif.

IMUN dan semi­naris

Saat pertama kali IMUN diperkenalkan, hanya bebe­rapa seminaris menco­ba­nya. Sekarang sudah banyak seminaris yang terlibat dalam pertemuan yang  dilakukan di English Ro­om. Untuk itu, semi­naris harus menggu­na­kan lap­top masing-ma­sing ka­re­na konfe­rensi berlang­sung secara zoom pada pkl. 15.00 – 21.00.

Seminaris yang baru pertama kali mengikuti  konferensi ini, merasa gugup dan takut karena mesti berhadapan de­ngan banyak orang dari mancanegara. “Awal­nya saya gugup, takut, dan grogi karena baru kali ini saya bertemu dengan orang banyak dari ne­gara lain,” ucap Alino, seminaris kelas X.

Sementara, para semi­na­ris yang sudah lama meng­­ikuti konferensi akan merasa tertan­tang untuk terlibat aktif dalam diskusi yang berlangsung.

Banyak manfaat yang diperoleh dari konfe­ren­si online IMUN. Yang paling dirasakan adalah kemampu­an bahasa Inggris me­ningkat. Misalnya, kete­patan pengucapan, pe­nam­bahan kosakata, dan kemampuan berkomu­ni­kasi dalam bahasa Ing­gris.

Dampak positif ikut­annya adalah  ber­tum­buhnya rasa per­caya diri. Mereka tidak takut lagi berbicara dan ber­pendapat di depan pu­blik dari berbagai negara dengan budaya yang berbeda-beda.

Pengetahuan se­mi­naris pun semakin lu­as karena mereka harus mencari informasi dari berbagai sumber. Mereka juga mendapat inspirasi dari banyak delegasi. 

“Dari IMUN, saya dapatkan pengetahuan baru. Contohnya, infor­masi ekonomi, kese­hat­an, dan politik,” ucap Bayu, seminaris kelas XI yang sudah lama mengikuti kegiatan ini.

Keuntungan lainnya adalah mengenal sesama pemuda dari negara-negara lain, dan berteman dengan mereka.

IMUN dan 5S

IMUN erat kait­­annya dengan socialitas (kebersamaan, solidaritas). Ke­giat­an ini menjadi ben­tuk sosialisasi kelas du­nia karena ada interaksi yang global.

Konferensi in juga berkaitan dengan  dengan aspek scientia (pengetahuan). Seminaris dilatih mencari, menganalisis, mengolah, dan mengomunikasikannya secara jelas kepada peserta dari berbagai belahan dunia. Seminaris juga terlibat dalam forum-forum diskusi.

Selain itu, IMUN berkontri­busi besar bagi pengem­bangan aspek sapientia (kebijaksanaan). Seminaris harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk pemikiran, saran, dan pertimbangan orang tua sebelum memutuskan ikut serta dalam IMUN. Seminaris juga dilatih untuk efektif memanfaatkan waktu, agar siap tampil, serta tidak mengabaikan tugas dan kewajiban sekolah dan asrama.

Dalam mengikuti kegiatan IMUN, seminaris dituntut menyampaikan apa yang benar, mengedepankan respek terhadap orang lain, mendengarkan dengan sepenuh hati. Nilai-nilai seperti kebenaran, hormat, dan kasih adalah bagian dari sanctitas (kekudusan, kerohanian).

Konferensi ini menuntut peserta untuk berpikir dan bekerja. Ada kerja keras, kerja cerdas, dan kerja bijak di dalamnya.

Joice Meko

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

DSC_1488

JURNALISTIK: INVESTASI BAGI CALON PEWARTA

SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko menyelenggarakan kegiatan pelatihan jurnalistik kepada 193 siswa di ruangan musik SMA Seminari, Selasa-Jumat (14-17/2/2023). Kegiatan ini di­nilai sebagai sebuah modal untuk ma­sa de­pan dan relevan dengan tuntutan zaman.

Saat membuka kegiatan tersebut, Kepala SMA Semi­na­ri St. Yohanes Berkh­mans Todabelu, RD. Ma­rianus Agustinus Ga­re Sera, M.Pd menekankan be­ta­pa pentingnya kegi­at­an menulis di kalangan seminaris. “Kegiatan ini mesti menjadi suatu momen pengembangan keterampilan menulis sebagai inves­tasi untuk masa depan,” jelasnya.

Peran jurnalistik

Lebih jauh, RD. Tinyo menyatakan tiga maksud utama kegiatan ini. Per­ta­ma, meningkatkan kete­ram­pilan menulis. Meskipun teknologi semakin berkembang, ek­sistensi menulis tidak akan pernah pudar. Keterampilan menulis tetap dibutuhkan, meskipun zaman terus berubah. Ke­te­rampilan ini da­pat dijadikan sebagai modal bagi peserta didik dalam meng­hadapi kehidupan di masa depan. 

Kedua, meningkatkan minat baca. Pada zaman sekarang ini, minat membaca turun drastis. Tidak sedikit pu­la yang ber­ang­gapan bahwa mem­baca tidak menarik, apalagi membaca buku-buku tebal. Namun sebenarnya, ke­giatan ini amat dibu­tuh­kan dalam upaya pe­ning­katan kemampuan intelektual dan pola pikir yang sis­te­matis. Jadi, para rema­ja, khususnya seminaris sendiri tidak boleh menganggap remeh keku­atan membaca.

Tambah lagi, membaca dan menulis harus berjalan beriringan. Tanpa membaca, keterampilan menulis tidak terasah dengan baik. “Keasyikan menulis itu adalah karena membaca,” kata RD. Nani Songkares saat mendampingi proses pelatihan.

Ketiga, meningkatkan kemampuan mengamati. Seorang penulis yang baik harus memiliki kemampuan observasi yang kuat. Dia harus bisa menangkap dan mendeskripsikan banyak hal  secara teliti. “Peristiwa itu banyak, tapi tidak semua peristiwa menjadi berita karena tidak ada yang melaporkan. Butuh orang yang bisa menangkap dan mendeskripsikan peristiwa, sehingga dapat menjadi berita,” tambah Nani.

Dalam memburu in­for­masi, siswa dilatih un­tuk terampil menangkap informasi dari berbagai sumber, termasuk melalui wawancara. Untuk itu siswa perlu dilatih untuk menyusun pertanyaan, menyimak, dan merangkaikan semuanya dalam sebuah tulisan. Dengan demikian, kemampuan berpikir analitis dan sistematis dipertajam.

Pelatihan Menulis dan Calon imam

Kegiatan jurnalistik ini sangat relevan untuk para calon imam. Calon imam adalah pewarta kebenaran di masa depan. Ketika se­dang mewarta, dibu­tuh­kan kemampuan berba­ha­sa yang baik sehingga dapat mengungkapkan kebenaran secara jelas dan menarik.

Karena itu kegiatan jurnalistik ini adalah investasi jangka panjang, karena sangat berguna untuk masa depan. “Siapa tahu, akan lahir penulis-penulis handal di masa depan yang mewartakan kebenaran melalui tulisan,” kata Nani di sela-sela pelatihan. Dengan terus berlatih menulis, para seminaris akan di­per­mudah dalam menja­lankan tugasnya di masa depan.

Mengingat pentingnya menulis bagi pewartaan di masa depan, Seminari telah lama memberikan perhatian pada pengembangan keterampilan menulis. 

Tahun 1960-an, ketika Pater Alex Beding, SVD menjadi salah seorang pembina Seminari lahir Florete, Majalah Seminari yang sangat terkenal. Belakangan Florete menjadi Seri Buku yang terbit setiap semester sekali. Seri Buku ini terbit bersamaan dengan Seri Buku Lastrawan (Ladang Sastra Berkhmawan) yang menampung tulisan-tulisan seminaris bernuansa sastra seperti puisi, cerpen, dan ulasan buku.

Pada tahun 1970-an SMP Seminari sudah memiliki majalah dinding yang bernama BIAS (Bimbingan Apresiasi Siswa). Mading ini dilanjutkan di SMA. 

Tahun 2011 beberapa wartawan senior dari Kompas antara lain, Tony A. Widiastono dan Peter Gero, mengadakan pelatihan jurnalistik yang menghasilkan mading bercorak ‘Kompas’ dengan berbagai rubrik. Sejak saat itu, pelatihan jurnalistik terus dilaksanakan, bahkan menjadi program unggulan Seminari.

Merdeka Belajar

Merdeka Belajar di­ciptakan sebagai res­pon terhadap perkembangan zaman. Mendik­budris­tek, Na­diem Ma­ka­rim me­ngungkapkan bah­wa kurikulum ini di­buat supaya siswa tidak lagi menjadi objek dalam ke­gi­atan pem­be­la­jaran.

Karena itu, yang menjadi titik fokus adalah peserta didik. Artinya siswa sendirilah yang belajar sesuai de­ngan minat dan keingin­annya, namun tetap di­fa­silitasi oleh para guru.

Keseimbangan pada kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler men­ja­di warna yang tampak amat jelas dalam kuri­ku­lum ini.

Pelatihan Jurnalistik menjadi salah satu kegi­atan ekstrakurikuler ber­gengsi di SMA Seminari St. Yoh. Berkh­mans To­da­belu. Kegiatan ini memberi warna tersen­diri bagi lembaga Semi­nari.

Sejalan dengan Kuri­ku­lum Merdeka Belajar, kegiatan jurnalistik ha­dir sebagai media bagi siswa untuk belajar dan mengaktualisasikan diri. Mereka sendiri adalah pelakunya.

Harapan besar

 “Harapan saya adalah para siswa dapat me­mak­nai kegiatan ini se­cara benar dan men­jadikan kegiatan ini se­bagai pemicu supaya mi­nat dan bakat siswa dapat tersalurkan. Ak­hir­nya semoga pelatihan yang diberikan dapat ber­guna bagi para siswa untuk masa depannya,” ungkap Rm. Tinyo.

Kegiatan Jurnalistik diharapkan dapat men­jadi wadah pengembangan minat dan bakat para seminaris. Wa­dah ini diharapkan dapat menstimulasi se­minaris untuk lebih produktif dengan menulis.

BERTRAN BUSA   

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko

67

PEMBELAJARAN EFEKTIF PASCA PANDEMI

Lokakarya Guru Bahasa Inggris:
PEMBELAJARAN EFEKTIF PASCA PANDEMI
Flores-Lembata English Teachers Association (FLORETA), menyelenggarakan lokakarya untuk para guru Bahasa Inggris se-daratan Flores-Lembata di bawah bimbingan Dr. Itje Chodidjah, MA, Rabu-Sabtu (5-8 Oktober 2022).
Banyak sekali hal yang menarik ditimba dari lokakarya tersebut. Pada sesi pembuka, Star Picture, peserta menikmati hal-hal berikut ini.
Pertama, modelling pembelajaran yang istimewa – masuk kelas dengan keyakinan setiap tutur kata, intonasi, gesture, facial expression, movement, greetings, smiling itu bermakna motivating atau demotivating;
Kedua, Tujuan pembelajaran yang jelas membuat seluruh proses pembelajaran terarah: waktu terisi efektif, activities (berupa materials and delivery) terasa mempunyai roh; adaptability mendapat ruang yang besar (kita tahu bahwa pedagogi itu pertama, teknologi sesudahnya, saat teknologi tidak sepenuhnya tersedia sesuai harapan, pembelajaran tetap berjalan karena pedagoginya kuat), classroom language dengan instruksi yang sederhana dan jelas serta kepastian bahwa semua siswa terlibat mendapat tempatnya;
Ketiga, Atmosfir positif yang membuat semua siswa nyaman berkomunikasi dan bereksperimen dengan bahasa. Sesi pembuka ini ditutup dengan refleksi, “How did I teach before the abolition of the National Exam and the Outbreak of Covid-19 Pandemic” – refleksi yang menuntut guru masuk ke dalam dirinya, membongkar dengan jujur dan sukacita kesalahan-kesalahannya tapi tetap penuh harapan akan transformasi ke depan.
Indah sekali mengalami secara bersama bagaimana para guru menertawakan dirinya sendiri: kesalahannya, kebodohannya, ketidakmatangan dirinya, tapi pada saat yang sama menatap ke depan dengan optimisme yang besar.

Test-Taking
 Sesi berikutnya yang tidak kalah menarik adalah test taking: guru dituntut untuk membantu menumbuhkembangkan keterampilan bahasa siswa sampai pada level tertentu (misalnya untuk SMA, minimal siswa mencapai level B1 seturut standar Common European Framework of Reference for Languages (CEFR). Pertanyaannya adalah seberapa jauh level bahasa Inggris saya sebagai guru?
Test ini sangat membantu guru melihat, berdasarkan data yang valid, kemampuan berbahasanya. Ini langka sekali, once in a blue moon. Kita mendapatkan cermin untuk melihat diri kita sendiri.
Sebuah pertanyaan yang menggugat adalah, kalau level bahasa Inggris saya di bawah B1, bagaimana mungkin saya bisa efektif menuntun siswa saya mencapai minimal B1? Ini sebuah dorongan luar biasa bagi guru untuk terus memacu diri.
Sharing yang dipandu Ibu Roni Bata dari Ende, dan Ibu Debby Haning dari Maumere memberikan penguatan-penguatan istimewa yang menuntut guru terus belajar. Kompetensi linguistik itu keharusan, tapi yang tidak kalah penting, adalah kompetensi pedagogisnya.
Refleksi yang berkenaan dengan test taking dan CEFR adalah menu berikutnya. Saya amat terkesan dengan pertanyaan menantang ini, “Apa yang perlu saya lakukan bagi diri saya sendiri” dan “Apa yang perlu saya lakukan di dalam kelas?”
Banyak hal dicatat di sini. Masing-masing guru menuliskan inventori kebutuhan dan aktivitas yang harus dia lakukan untuk pengembangan dirinya dan perbaikan atau transformasi proses pembelajaran di ruang kelas.

Pembelajaran Efektif pasca Pandemi
 Sesi berikutnya yang tidak kalah menarik adalah bagaimana mendesain proses pembelajaran yang efektif pasca pandemi, dan pasca Ujian Nasional.
Harus ada transformasi dalam proses pembelajaran. Itu imperatif kunci. Teknologi berkembang tanpa batas dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan. Sementara itu siswa kita sendiri, yang merupakan generasi Z dan A, dengan karakteristik yang sangat berbeda, menghadapi tuntutan-tuntutan baru dalam kehidupan mereka.
Tugas guru adalah menyiapkan mereka menghadapi berbagai perubahan dan kebaruan itu. Dan itu terjadi di ruang-ruang kelas. Karena itu transformasi di dalam ruang-ruang kelas sudah menjadi tuntutan kehidupan.
Beberapa hal mau tidak mau harus menjadi bagian dari keterampilan pedagogis para guru. Misalnya, para guru harus mempunyai tujuan pembelajaran yang jelas, berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan tujuan pembelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan pembelajaran dirancang sekian sehingga semua siswa terlibat aktif menuju pencapaian kompetensi tertentu yang menjadi tujuan pembelajaran. Pastikan semua siswa termotivasi dan menikmati berbagai aktivitas yang membelajarkan siswa. Mampukan mereka berekspresi, beranikan mereka bertanya. Jadi, pembelajaran bukan ‘kejar materi’. Para siswa diajak untuk memandang sesuatu dari berbagai perspektif. Gunakan differentiated instruction agar semua siswa terlayani. Dan, yang tidak kalah penting adalah, sediakan kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi diri, dengan pertanyaan-pertanyaan yang memancing siswa menemukan apa yang dia pelajari untuk kehidupannya. Tentu, keterampilan bertanya seorang guru harus terus diasah.
Pendek kata, “Tugas seorang guru,” kata Carl Rogers, “bukanlah mengajar, tapi membuat siswa bertanggungjawab atas pembelajarannya”.

Daya Transformatif Refleksi
 Tentang refleksi, para guru mendapatkan pengalaman yang amat berkesan pada Hari ke-2. Dengan menggunakan model refleksi 4 F yang dikembangkan Roger Greenaway (facts – peristiwa, feelings – perasaan, findings – pembelajaran, future – penerapan di masa depan), Ibu Itje mengajak para guru membuat refleksi mengenai berbagai hal yang telah dialami dan dipelajari sejak awal kegiatan lokakarya ini.
Aktivitas refleksi ini tidak hanya menyadarkan para guru tentang pentingnya refleksi, tapi membuat para guru mengalami sendiri dan merasakan indahnya dan besarnya manfaat refleksi itu bagi kehidupan. Banyak sekali ungkapan perasaan yang mendalam, penemuan-penemuan diri yang menghentak, dan rencana tindakan yang memberdayakan. Ada proses internalisasi yang kuat sekali. Proses refleksi seperti ini membuat seluruh kegiatan lokakarya menjadi milik guru itu sendiri, menjadi kekuatan dari dalam yang mengubah dirinya. Saya membayangkan, seandainya proses refleksi ini menjadi kebiasaan yang dilakukan guru dari waktu ke waktu,dan ditularkan kepada siswa, betapa besar daya transformasinya! Rasanya, refleksi adalah sebuah kekuatan bagi character building. Dan untuk konteks Indonesia, ini proses yang menjadikan Pancasila dengan nilai-nilainya yang istimewa, sesuatu yang mempribadi dan membudaya.

Growth Mindset
Sesi berikutnya yang menarik adalah adalah pembahasan tentang Growth Mindset. Yang bagi saya  sangat menggugah dalam pembahasan ini dalah keyakinan bahwa kita semua, siapa pun bisa berkembang. “Otak dan bakat hanyalah titik awal,” kata Ibu Itje. Perkembangannya itu dapat dilakukan sepanjang hayat, dalam usia apa pun, dan itu diperoleh melalui pembelajaran. Growth mindset memacu siapa saja untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Guru diharapkan mengembangkan pedagogi growth mindset. Banyak sekali cara untuk mengembangkannya. Namun, kalau guru itu sendiri tidak menghayati growth mindset dia tidak mungkin membantu siswa mengembangkannya. Kalau dia sendiri tidak percaya akan pengembangan dirinya, tidak punya mimpi, tidak punya gairah, dan ketekunan untuk pengembangan dirinya, dia tidak punya kekuatan untuk menjalarkan growth mindset kepada para siswanya. Dia bahkan bisa menjadi penyumbat yang menghalangi pertumbuhkembangan siswa. Namun, kalau dia sendiri terus menunjukkan kegairahan untuk berkembang, tak takut menghadapi tantangan, melihat kegagalan dan kesalahan sebagai sumber daya pengembangan dirinya, bertahan, berhasil, dan menginspirasi walaupun berada di tengah kesulitan, dia menyulut api pembelajaran yang luar biasa bagi para siswanya. Itulah daya tumbuh growth mindset yang dihayati seorang guru.
Mengapa ada orang yang begitu cepat menyerah walaupun tantangannya tidak seberapa, sementara itu ada orang yang tekun berusaha dari waktu ke waktu, siap berlari maraton untuk menggapai apa yang dicita-citakannya? Jawabannya ada pada  keyakinan  dirinya: apakah dia merasa sudah tidak bisa apa-apa, sudah fixed, terpenjara dalam “Tyranny of now” (sudah begini, mau apa lagi) atau apakah dia memiliki keyakinan dan harapan yang begitu membara bahwa dia bisa berkembang.
Growth mindset, karena itu membentuk resiliensi yang kokoh. Kata Ibu Itje, resiliensi itu “Siap mental untuk měntal”. Resiliensi itu kemampuan untuk tahan banting, kemampuan untuk bisa bangun seribu satu kali walaupun ada kegagalan seribu kali. Resiliensi itu kemampuan beradaptasi yang positif dalam menghadapi kesulitan. Resiliensi itu ketekunan yang konsisten.
Di tangan guru di ruangan kelas, growth mindset itu diberdayakan, atau diperlemah. Betapa besar panggilan seorang guru.

Kurikulum Merdeka?
Ibu Itje menegaskan, semua hal positif yang kita pelajari bersama, termasuk hal-hal yang dicatat di atas, sama sekali bukan milik eksklusif kurikulum merdeka. Semua itu harus dilakukan guru karena memang kehidupan menuntut model pembelajaran demikian. Apabila guru tidak melakukan transformasi dirinya dan transformasi model pembelajaran di kelas, maka seluruh proses pembelajaran, apa pun nama kurikulumnya, itu sampah.Karena tidak terasa relevan. Apalagi untuk anak-anak generasi Z dan A.
Differentiated instruction, misalnya, sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan, bukan karena kurikulum merdeka, tapi karena tuntutan kehidupan. Keterampilan mendesain pembelajaran yang efektif misalnya, dikembangkan bukan karena tuntutan kurikulum baru, tapi karena kehidupan, apalagi kehidupan para siswa, menuntut guru untuk terus mengasah keterampilan tersebut agar bisa membantu membelajarkan siswa secara efektif.
Guru memang diberi kebebasan untuk mendesain pembelajarannya, sesuai dengan visi-misi sekolah dan situasi yang dihadapi. Pertanyaannya, apakah guru sudah menikmati kebebasan itu atau masih tergantung pada orang lain karena telah cukup lama apa yang menjadi tanggung jawab guru dilakukan oleh orang lain?
Saat ini, di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim, seorang dengan passion dan keahlian di bidang IT yang sangat kokoh, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi  telah meluncurkan website yang sangat istimewa, yang dikagumi negara-negara lain. Dengan berselancar di dalam Merdeka Belajar dan Merdeka Mengajar guru mendapatkan berbagai informasi, panduan, dan model-model inspiratif bagi pengembangan pembelajaran. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam periode-periode sebelumnya.
Saya tercengang dan tertunduk malu karena ternyata website seperti ini belum saya dalami sama sekali. “Apakah para guru itu literate?” tantang Ibu Itje. Kami diberi kesempatan untuk berselancar, sampai kami akhirnya berlabuh pada file tentang Capaian Pembelajaran (CP) Bahasa Inggris.
Dari situ para guru dituntun, dalam kelompok kecil, dengan bantuan teman-teman yang sudah pernah mendalami Kurikulum Merdeka untuk melihat CP, elemen-elemen pembelajaran, menginventaris kata-kata kerja dalam CP dan elemen, menyusun sendiri Tujuan Pembelajaran (TP), melihat Alur Tujuan Pembelajaran.
Setelah bergumul di dalam kelompok, Ibu Itje menuntun para guru melihat alur keseluruhan desain pembelajaran, mulai dari CP, menuju TP, mengalir ke dalam ATP, lalu bermuara pada RPP atau RPP plus, karena sekaligus berisikan modul pembelajaran.
Dengan penggambaran yang gamblang seperti ini, dua hal mendapat konfirmasi. Pertama, para guru sebenarnya memiliki kemampuan membuat desain pembelajarannya sendiri. Asal ada kemauan dan usaha. Sudah tidak zamannya lagi melakukan salin-tempel (copy-paste). Itu salah satu bentuk Merdeka Mengajar. Kedua, desain pembelajaran pasti akan berbeda-beda, karena kurikulum ini mengakomodasi keberbedaan, memberi kebebasan bagi guru memasukkan unsur-unsur (dalam TP, ATP, RPP) yang khas, sesuai visi dan misi sekolah dan kondisi riil yang dihadapi. Proses asesmen juga akan berbeda-beda. Karena itu bukan zamannya lagi menyeragamkan, apalagi menyusun soal bersama.

Ekosistem Pembelajaran
It takes two to tango – itu kata pepatah. Kalau Anda mau menari tango Anda tidak bisa menari sendiri. Anda butuh teman. Anda butuh kolaborasi. Anda butuh ekosistem. Anda butuh lingkungan, atmosfir yang hidup dan menghidupkan, di mana setiap unsur bekerja maksimal tapi saling terkait, saling mendorong, saling mendukung. Anda butuh relasi yang menghidupkan.
Ini yang menjadi harapan besar ke depan kalau kita ingin transformasi pendidikan berjalan. We are on the right track. Kita menciptakan ekosistem. Dengan satu saja even tahunan FLORETA, gaungnya terasa di ruang-ruang kelas. Kita menjadi the ripple of change.
Bayangkan saja, kalau ini dilakukan bersama-sama, dengan teman-teman guru penggerak, dengan teman-teman dari mata pelajaran lain, dengan para Kepala Sekolah yang bergerak menuju perubahan. Riak-riak perubahan itu menjadi energi yang besar sekali.
Saat Ibu Itje berbicara tentang Asesmen Nasional (AN) yang sekarang ini dilakukan, saya membayangkan kalau semua komponen sekolah sungguh memahami esensi AN itu, kalau kita mulai berani melepaskan gurita-gurita pedagogi hitam yang menjerat kita sekian lama dengan adanya Ujian Nasional: kita melawan tipu-muslihat berupa belanja buku-buku latihan soal AKM, praktik-praktik test drilling yang menjadi makanan empuk industri-industri Latihan Soal, kita melawan praktik-praktik akreditasi yang bersifat kamuflase, lalu bersama-sama, dalam jatuh bangun, kita kembangkan pembelajaran-pembelajaran efektif, kita berdayakan dan pergandakan Professional Community with Professional Talk seperti FLORETA kita yang tercinta. Saya merasa riak-riak ekosistem itu akan menjadi energi besar yang siap meledak dan melesatkan anak-anak kita, terbang jauh menuju masa depannya.

Friends Helping Friends
Hari terakhir lokakarya ini diisi oleh sharing yang sangat inspiratif dari teman-teman kita. Ibu Debby Haning berbagi pengalamannya mendesain pembelajaran efektif: bagaimana dia membedah CP, bagaimana menurunkan CP ke dalam TP yang terurut secara sistematis, yang kemudian dituangkan lagi dalam ATP, sampai akhirnya membentuk RPP/Modul Ajar yang siap dimanfaatkan di dalam ruang kelas.
Dia berbagi juga pengalaman menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, sebuah pembelajaran yang menghargai masing-masing siswa dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan bakat dan talenta yang khas, sebuah pembelajaran yang memacunya menjadi kreatif, dan a servant teacher.
“Saya melihat perubahan besar di sekolah kami,” kisahnya. “Kalau dulu para guru sering ngobrol pada saat jeda atau istirahat, sekarang ini, mereka sibuk gunting kertas, siapkan ini dan itu, agar pembelajaran menjadi menarik dan efektif.” Ibu Debby melanjutkan, “Kepala Sekolah kami sangat mendorong kami untuk berubah. Dia sendiri melakukan perubahan itu.”
Ibu Nita Soko dari Ende, dan Ibu Sherly Hilene dari Maumere berbagi tentang perjuangan pribadi mereka mengembangkan diri sampai menjadi guru dengan kemampuan Bahasa Inggris yang kokoh seperti sekarang ini.
Banyak hal mereka lakukan. Membaca, menonton. Mereka adalah best friends of books. Mereka adalah readers. Mereka juga percaya, a movie a day keeps your English blues away. Mereka melibatkan diri dalam berbagai kegiatan, bahkan menciptakan berbagai kegiatan sebagai pelayanan kepada masyarakat yang lebih luas. Mereka memperlebar sayap-sayap tanggung jawab. Mereka menempatkan diri dalam jaringan yang lebih luas, dalam petualangan-petualangan yang melampaui wilayahnya, lingkaran keluarga, dan pertemanannya.
Dan, sebuah ajakan Ibu Sherly sangat membesarkan hati. “Please do not belittle yourself. Jangan menganggap diri kita kecil. Percayalah pada kemampuan kita.” Dan, “Ask, and it will be given to you. Seek, and you will find. Knock, and the door will be opened,” katanya menutup sharing yang mengagumkan, sambil mengutip Kitab Suci. Menyaksikan bahwa sharing-sharing belajar terus berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil padahal kegiatan FLORETA telah resmi ditutup, ini sesuatu amat membesarkan hati.
Kegiatan FLORETA tahun ini berakhir. Tapi riaknya sedang merambah ke sekolah-sekolah kita. Thank you a million Ibu Itje dan teman-teman. Sampai jumpa lagi.

Sekilas tentang FLORETA
FLORETA telah berkiprah selama 10 tahun di bumi Flores.
Bermula dari tawaran peluang yang diberikan oleh British Council, maka pada 1-3 Desember  2012 diadakan lokakarya para guru Bahasa Inggris sedaratan Flores di Rumah Penginapan Paroki Roh Kudus Mataloko, di bawah bimbingan 2 orang British Council Trainers, Ibu Sisilia Setiawati Halimi dari Universitas Indonesia, Jakarta, dan Ibu Veronica Triprihatimini dari Universitas Sanata Dharma.
Pada lokakarya itu nama FLORETA pertama kali disebutkan. Pada lokakarya itu pula Ibu Sisilia dan Ibu Tri menyebut Ibu Itje Chodidjah sebagai trainer mereka, dan merekomendasikan agar didampingi Ibu Itje dalam lokakarya-lokakarya berikutnya.
Maka sejak tahun 2014 Ibu Itje melatih guru-guru bahasa Inggris melalui lokakarya-lokakarya FLORETA sampai sekarang.
Ibu Itje juga menggandeng sahabat-sahabat yang rela membantu FLORETA. Pada 5-8 Oktober 2016, ibu Itje datang bersama Dr. Helena Agustin, salah satu pakar di balik genre-based approach.
Melalui Ibu Itje, FLORETA juga bekerja sama dengan lembaga International Test Center (ITC), yang menyelenggarakan lokakarya untuk FLORETA dengan judul The Leader in Me, pada tahun 2017. Pada tahun yang sama, atas bantuan ITC, diselenggarakan Test of English for International Communication (TOEIC) untuk para guru Bahasa Inggris se-daratan Flores dan masyarakat yang berminat.
Melalui Ibu Itje Regional English Language Office (RELO) dari Kedutaan Amerika beberapa kali mengirim trainers-nya menemani Ibu Itje, yakni pada tahun 2018, dan pada tahun 2019.
Pada tahun 2020 FLORETA resmi menjadi organisasi nirlaba yang berbadan hukum, dengan Akta Pendirian no. 03, 2020.  Ibu Itje menjadi Pembina FLORETA.
Rm. Nani Songkares, Pr
IMG_4445-scaled

ROMO GABRIEL IDRUS, PR, DAN KISAH SEBUAH LEGENDA

 Ada banyak hal yang berkesan mengenai Romo Idrus, sapaan sehari-hari Praeses Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu yang sekaligus merangkap Kepala SMA Seminari ini. Semuanya terangkum dengan luar biasa lengkap, penuh detil, on the spot, pada momennya, dan sekaligus indah melalui buku Memori ini.

     Setahu saya, hanya ada dua pimpinan lembaga Seminari yang melakukan pencatatan luar biasa. Pertama, P. Frans Cornelissen, SVD, yang menerbitkan buku berjudul 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor, dan Bali (Percetakan Arnoldus Ende, 1978). Kedua, Rm. Gabriel Idrus, Pr dengan Memori berjudul Perjalanan Tugas di Lembaga Pendidikan Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko (2022) setebal hampir 500 halaman ini. Bagi saya, ini kebetulan yang sangat istimewa. Akhir dari 50 tahun pertama perjalanan pendidikan Seminari didokumentasikan dan direfleksikan secara amat mendalam oleh The Founding Father itu sendiri, dan menjelang akhir 50 tahun paruh kedua pendidikan Seminari ditandai dengan hadirnya Memori Rm. Idrus ini.

      Kalau buku pertama karya Pater Cornelissen, SVD seperti memberi aba-aba kepada Seminari dengan keyakinan yang kuat untuk berlayar 50 tahun lagi ke depan sampai mencapai satu abad, buku kedua, yakni Memori Rm. Idrus ini memberi semacam aba-aba untuk membuang sauh, setelah hampir selesai mengarungi paruh kedua 50 tahun Menuju Satu Abad. Dan setelah itu, Rm. Idrus menyerahkan tongkat estafet kepada pimpinan baru untuk berefleksi sejenak di pelabuhan menyongsong satu abad, lalu mengajak Seminari untuk taat dengan penuh keyakinan pada perintah Guru: terus berlayar, bertolak ke tempat yang dalam untuk menebarkan jala. In verbo Tuo laxabo rete (Lk. 5:5)

    Saya tidak ingin membandingkan keduanya. Rasanya tidak perlu, karena setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Namun, membaca kedua karya ini, bagi orang yang ikut terlibat langsung dalam karya pastoral pendidikan calon imam di Seminari ini, sungguh mengaduk-aduk perasaan batin.

     Ada rasa syukur yang meluap. Saya teringat pelindung Seminari ini, Santo Yohanes Berkhmans. Dia tidak sampai ditahbiskan sebagai imam. Namun, kehidupannya sebagai anak muda calon imam itu begitu membekas. Pada saat kematiannya begitu banyak orang melayat. Pembimbing rohaninya hanya bisa tercengang, lalu berucap, “Hari ini, jari Tuhan ada di sini.” Dalam kedua karya istimewa ini, kita bisa rasakan hadirnya “Jari Tuhan”, di sini, di Seminari kita ini.

    Ada rasa haru yang mendalam. Rm. Idrus memulai masa penugasannya di Seminari dengan perasaan berat, karena tidak ada apa-apanya, tidak ada persiapan profesional yang meyakinkannya untuk menerima tugas ini. “Saya rasa berat Bapak Uskup,” ungkapnya jujur kepada Mgr. Longinus da Cunha. Namun, kata-kata Bapak Uskup kepadanya itu palu godam. “Karena kamu merasa berat, maka saya yakin kamu bisa!” In verbo autem Tuo, laxabo rete ­– Tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, maka aku menebarkan jala juga.

     Dalam kisah Injil Yohanes, para murid yang pasrah pada kata-kata Tuhan yang berkuasa itu bertolak ke tempat yang lebih dalam. Mereka menebarkan jala. Di luar dugaan, mereka menangkap banyak sekali ikan. 153  ekor banyaknya. Angka  1 5 3 ternyata angka simbolis dalam bahasa Ibrani yang berarti, Akulah Anak Allah yang Hidup (ini kurang lebih penjelasan guide, ketika berkesempatan berziarah ke Danau Galilea, Israel). Nanti akan kita baca pada akhir Memori Rm. Idrus ini, rasa terpesonanya dia menyaksikan kekayaan rahmat Tuhan yang dia alami sepanjang masa penugasannya di Seminari. Ini merupakan peneguhan atas moto tahbisan imamatnya sendiri yang indah sekali, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Seluruh Bab V dari Memori ini menggemakan rasa terpesona dan sikap adoratif para murid, termasuk Rm. Idrus, setelah “menangkap” dengan mata kepala sendiri, dengan seluruh pengalaman hidup, 1 5 3  itu.

       Kita bisa baca sendiri daftar “mukjizat” atau “jari-jari 153” yang dialami sejak awal perjumpaan dengan tiga figur imam, Pater Eman Weroh, SVD, Rm. Edy Dopo, Pr, dan Rm. Bernard Sebho, Pr: penggalian visi dan misi yang melibatkan seluruh komponen, yang boleh dikatakan sebagai “pembaptisan” bersama dalam satu ikatan dan gerakan roh kependidikan; keberanian membedah tradisi penanganan keuangan Seminari dengan menanamkan tradisi dan sistem baru yang lebih akuntabel, yakni RAPBS; tanggapan yang bijak, pada waktunya, dan penuh risiko “menabrak” tradisi pendidikan Seminari, terhadap tuntutan pemerintah akan adanya manajemen pendidikan yang lebih profesional, yakni dengan memisahkan SMP dan SMA; memfasilitasi pengembangan diri yang profesional dari para guru dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan yang berbobot demi pelayanan kepada calon imam; ketahanan menghadapi berbagai risiko, termasuk ancaman pembunuhan; upaya menghemat dana dan menabung secara berkelanjutan melalui berbagai deposito untuk kepentingan lembaga; pengembangan infrastuktur dan sarana prasarana yang kelihatannya mustahil, mulai dari rehabilitasi berat, yang menjangkau sebagian besar kompleks Seminari, sampai pembangunan-pembangunan baru, mulai dari Ruang Kelas Baru (RKB) sampai Rumah Susun (Rusun); pengadaan sarana prasarana seperti marching band, peralatan untuk Sanggar Kreasi Berkhmawan, pengadaan buku-buku untuk perpustakaan, alat musik, komputer, dan jaringan internetIni rasanya mustahil, tapi terjadi.

   Sehubungan dengan renovasi besar-besaran, pembangunan baru, dan pengembangan sarana prasarana ini ada sebuah kisah menarik. Suatu waktu sepulang mengantar para siswa untuk konser galang dana di Jakarta, dan setelah renovasi kamar makan SMP ditambah English Room, dan kamar tidur Rm. Nani, imam yang menerima tahbisan 29 September 1993 di Lela, Maumere ini berdoa di depan patung Santo Yohanes Berkhmans di depan Kapela SMP. Doa ini berbentuk umpatan, kurang lebih demikian. “Santo Yohanes Berkhmans. Kau lihat sedikit di belakang kau ini ko, ini kapela kumal yang tidak ada potongan. Kau tidak bisa bantu ko? Kau gerakkan orang untuk renovasi ini kapela ni ko?”

     Doa ini tampaknya kasar, tapi keluar dari hati yang jujur, dilantunkan oleh seorang yang seluruh jiwa-raganya dipersembahkan untuk Seminari, yang tak henti-hentinya berpikir dan mencari jalan bagaimana merenovasi pendidikan calon imam ini, yang telah sekian lama berjasa baik untuk gereja lokal maupun gereja sejagad. Berkali-kali Rm. Idrus meyakinkan para rekan imamnya, para guru, pegawai, orang tua / wali seminaris untuk mulai mengambil langkah merenovasi gedung-gedung yang reyot. “Ini memang berat, tapi kalau kita tidak mengambil tanggung jawab, siapa yang harus mulai?”

       13 Maret 2017, pukul 10.00 pagi. Ratusan umat berkumpul di dalam Kapela Santo Yohanes Berkhmans yang telah dipugar itu, untuk merayakan Misa Syukur. Seluruh bangunan direnovasi dengan tetap mempertahankan arsitektur yang lama. Loteng, atap, tembok, lantai diganti baru. Interior Kapela itu indah sekali dan sungguh mengangkat hati. Bagian luarnya diberi cat putih yang menawan. Tanggal 13 Maret adalah Hari Pesta Santo Yohanes Berkhmans. Dalam Misa Syukur itu, melalui para donatur yang saat itu hadir, Santo Yohanes Berkhmans seakan-akan mengabulkan secara utuh jeritan hati Praeses Seminari yang sudah kehilangan kehalusan kata untuk mengungkapkan doa. “Jari Tuhan ada di sini”! Upaya renovasi Kapela ini dicatat secara lengkap dalam Memori ini.

      “Jari Tuhan, jari 1 5 3” terus berlanjut. Saya tidak ingin menyebutkan satu per satu. Semuanya terekam dalam Memori ini. Saya hanya menyebutkan beberapa contoh.

     Rm. Idrus menghidupkan kembali kegiatan ekstrakurikuler Pramuka jauh sebelum kegiatan tersebut digaungkan kembali melalui Kurikulum 2013. Berbasiskan pengalamannya di bangku SMA tahun 1980-an di mana gerakan Pramuka begitu terasa di Seminari, dengan kemping-kemping yang mengesankan, termasuk kemping di Mengeruda, Soa, tahun 1984 bersama sekelompok pemuda yang tergabung dalam Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada (INKA), Rm. Idrus meminta bantuan Pak Nani Regang, tokoh Pramuka di Kabupaten Ngada, untuk mengaktifkan kembali gerakan Pramuka di Seminari. Sejak itu, Pramuka menjadi kegiatan yang sangat hidup. Belakangan, kegiatan tersebut bermetamorfosa dalam ‘wajah-baru’ bersama kegiatan Bahasa Inggris, English Camp. Bahasanya menggunakan Bahasa Inggris, rohnya kegiatan Pramuka. Dia menjadi wadah integrasi. Berbagai mata pelajaran terlibat. Terakhir, pada English Camp 2018, mata-pelajaran Inggris, matematika, fisika, dan Kesenian berkolaborasi memfasilitasi berbagai kegiatan selama 4 hari penuh dengan lapangan sepabola SMP sebagai camping ground-nya.

     Rm. Idrus juga menginisiasi gagasan Grand Design Seminari menuju Satu Abad. Terasa sekali di sini berbagai pihak terlibat menyumbangkan pikiran dan tenaga. Berbagai Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemkab Ngada, alumni serta pemerhati pendidikan digelar. Hasilnya terasa sekali. Ada perumusan masalah yang jelas, ada semacam arah-dasar, bagaimana menjalankan reksa pendidikan Seminari ke depan, ada upaya-upaya konkret dalam rangka pembenahan Seminari di berbagai sektor.

     Upaya-upaya konkret itu beraneka ragam, dan terus berjalan. Di bidang legalitas status tanah Seminari, misalnya. Ini kerja yang sangat ruwet dan menjadi masalah turun-temurun. Di masa kepemimpinan Rm. Idrus, legalitas status tanah menjadi jelas. Untuk situasi sekarang dan ke depannya di mana legalitas status tanah menjadi taruhan eksistensi Seminari, ini merupakan salah satu legacy (warisan) yang sangat istimewa. Semua perjuangan itu secara kronologis dan lengkap dapat dibaca pada Memori ini.

    Upaya lain yang tak kalah pentingnya bagi eksistensi Seminari ke depan adalah perjuangan kaderisasi tenaga tertahbis untuk bekerja di Seminari. Konsekuensi dan risikonya besar untuk Seminari. Kalau sekarang tidak dilakukan, maka Seminari akan berada pada situasi to be or not to be. Tidak bisa lagi diharapkan seorang imam dengan basis Sarjana Filsafat Umum ditugasi begitu saja bekerja di Seminari, tanpa ada persiapan yang lebih spesifik. Kalau para imam tidak disiapkan secara khusus, maka akan ada dua kemungkinan. Atau para awam yang profesional mengambil alih posisi-posisi penting pendidikan di Seminari sesuai tuntutan pemerintah dan profesionalisme, atau Seminari ini tinggal hanya sejarah. Tidak bertahan. Mati dan menjadi fosil.

    “Jari Tuhan” itu terasa sekali, ketika tiba-tiba seluruh dunia ditimpa bencana Covid-19. Semua orang, semua lembaga, berada pada situasi batas, situasi kritis. Kalau penanganannya keliru, kalau tidak ada kolaborasi yang saling menjaga, yang saling menyelamatkan, yang penuh pemahaman, yang menumbuhkembangkan, situasi bisa sangat berbahaya. Kalau keputusan-keputusan keliru, atau membingungkan, masa depan lembaga ini bisa berbeda. Orang kunci di balik penanganan bencana Covid-19 yang dahsyat ini adalah pemimpinnya, Rm. Idrus.

     Semua ini menimbulkan rasa bangga. Rm. Idrus, sejauh yang saya tahu, imam yang bersahaja. Imam yang rendah hati. Dia pikul pacul, bekerja di kebun. Pernah hampir terjatuh di kebun kopi. Dia ngepel lantai. Dia bersihkan kandang babi. Kalau melihat Rm. Idrus sore-sore dorong mesin untuk potong rumput, itu hal yang biasa.

     Namun, yang sering tidak terlihat, dia adalah sekretaris itu sendiri, perekam jalannya roda kehidupan Seminari yang ulung, selama masa pengabdiannya. Dia misa pagi sekali. Hampir setiap hari. Jam 6.00 pagi, dia sudah menyantap sarapan pagi di kamar makan. Jam 6.30, dia sudah ada di kantornya, menunggu hehadiran rekan-rekan guru. Selama berada di kantor, dia duduk menulis buku kronik, dalam sunyi. Hanya ditemani, Sparky, anjing kesayangannya. Kalau dia minta bantuan sesama rekan untuk membuat draft, atau kertas kerja, atau laporan, dia memeriksa dengan sangat teliti, sampai titik dan koma. Berkali-kali.

     Melalui kehadiran dan karyanya, “Jari Tuhan” ikut menari-nari di sini, di Seminari ini. Maka, kalau pada Bab V, dia bermadah, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15), ini adalah madah seluruh anggota Komunitas Seminari. Dia mengartikulasikan ungkapan syukur Seminari ini.

Jembatan Kolaborasi, Jembatan Transformasi

    Profesor Rhenald Kasali, Ph.D, Guru Besar Ekonomi pada Universitas Indonesia, melalui program Youtube-nya menyebut 10 ledakan besar yang terjadi pasca Covid-19, di antaranya ledakan kolaborasi. Zaman sekarang ini adalah zaman kolaborasi. Orang tidak bisa lagi bekerja sendiri. Rhenald Kasali menyebut 3 S untuk membangun kolaborasi. S pertama adalah sensory. Banyak pesan atau sinyal yang tidak terungkap lewat kata, tapi lewat sinyal-sinyal tubuh, lewat sensory. S kedua adalah synchronous. Kalau mau berkolaborasi kita harus sinkronkan diri. Ketiga adalah spontaneous, tidak kaku, berdiskusi mengenai berbagai hal di mana saja, ada kebebasan untuk berkreasi, mencipta.

   Salah satu kekuatan Rm. Idrus ini adalah kemampuannya untuk tidak saja berkolaborasi, tapi menjadi jembatan kolaborasi berbagai pihak. Rasanya seluruh karya besar yang disentil di atas adalah hasil kepiawaian Rm. Idrus berkolaborasi.

      Dia bukan tipe lone ranger, yang mau bekerja sendiri, bertarung sendiri. Dia bekerja sama dan menghargai kemampuan rekan-rekannya. Dengan caranya, dan dengan kerendahan hatinya, dia memupuk kerja sama itu.

          Suatu waktu, dia meminta pertemuan, hanya di antara para imam. “Teman-teman, kalau teman-teman lihat ada sesuatu yang kurang pada saya, kita omong terus-terang ko.” Teman-teman bicara terbuka, tapi tentu ada pesan-pesan yang mungkin tidak diungkapkan dengan kata-kata. Rm. Idrus menangkap sinyal-sinyal. Juga ada hal-hal yang Rm. Idrus tidak ungkapkan dengan kata-kata, karena rahasia jabatan, karena ada banyak pertimbangan. Namun, ada sinyal-sinyal yang teman-teman baca. Rm. Idrus lepas bebas dalam pergaulan, tapi ada momen di mana kata-katanya terukur. Dia butuh waktu, ruang, dan konteks tertentu untuk mengungkapkannya. Rm. Idrus bukan tipe pemimpin yang judgemental.

     Maka kalau banyak orang memberi kesaksian bahwa kamar makan di Seminari menjadi tempat yang paling menyenangkan untuk rekan-rekan se-komunitas, Rm. Idrus adalah kuncinya.

     Rm. Idrus dengan rela hati menempatkan diri dalam jaringan yang lebih besar. Dia membuka kerja sama dengan berbagai pihak: dengan pemerintah, dengan pemerhati pendidikan, dengan para alumni. Dengan caranya sendiri, dia merawat dan menumbuhkembangkan jaringan itu, bahkan dengan sentuhan yang sangat personal. Dalam jaringan yang besar itu, dia berupaya mensinkronkan semua pihak, agar berada pada ‘nada’ atau arus yang sama, untuk kepentingan lembaga pendidikan calon imam ini. Dia adalah jembatan kolaborasi, atau pemimpin sebuah orkestra, yang membuat kolaborasi berbuah transformasi.

     Suatu waktu, pada pertengahan tahun 2017 selepas kegiatan lokakarya bersama Ibu Itje Chodidjah di Wisma Emaus, Ende, Pater Anton dan saya memutuskan untuk berbicara dengan Rm. Idrus di kantor Kepala Sekolah SMA. Kami bercerita tentang lokakarya yang begitu bagus yang kami alami di Ende bersama Ibu Itje. “Kita harus buat lokakarya ini untuk semua formator Seminari. Nani tolong komunikasikan dengan Ibu Itje, tanyakan waktunya, dan atur bagaimana dia bisa ke Seminari.”

     Itulah awal pembicaraan untuk menghadirkan Ibu Itje Chodidjah di Seminari Mataloko, dan pada 15-17 Februari 2018 terjadilah lokakarya yang istimewa berjudul Interpersonal & Social Skills Training dengan Ibu yang sangat Islami yang ikut menjadi bagian dari orkestrasi pendidikan calon imam.

   Ini salah satu contoh bagaimana dalam kepemimpinan Rm. Idrus, spontanitas dan kebebasan diberikan ruang yang begitu leluasa sehingga orang dapat bekerja dan memberikan yang terbaik dengan segala totalitas untuk kepentingan anak-anak.

       Dalam bidang saya sendiri, bahasa Inggris, saya merasakan itu. Saya memfasilitasi kegiatan Immersion Program, dan melaksanakannya di berbagai tempat, termasuk di Fo’a, di kebun Pak Laurens Nau, dan saya tahu Rm. Idrus sepenuh hati mendukung. Bersama anak-anak, kami mendirikan Berchmawan News, dan Rm. Idrus berdiri sebagai pilar pendukung. Kami mengembangkan Eagle English Club yang sampai sekarang sangat aktif, dengan peserta dari berbagai sekolah. Kami merancang dan melaksanakan English Camp dengan Pramuka sebagai rohnya, dan lapangan atas Seminari sebagai camping ground. Kami mengembangkan extensive reading, berjejaring dengan Extensive Reading Foundation di Jepang, dan menggunakan aplikasi MReader untuk membantu siswa. Lagi-lagi Rm. Idrus tidak hanya mendukung. Dalam sidang guru, extensive reading ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum Seminari, dan English Room menjadi salah satu pos internet yang penting di Seminari.

  Bagi saya, Rm. Idrus tidak hanya piawai berkolaborasi. Dia adalah jembatan kolaborasi dan jembatan transformasi. Di tangannya, reksa pendidikan di Seminari menjadi sebuah simfoni.

Kisah Sebuah Legenda

    Pada 30-31 Januari 2006 diadakan lokakarya berjudul “Sistem Penilaian berdasarkan KBK”. Laporan lengkapnya bisa dibaca pada Memori ini. Pada Sambutan Penutupan, Rm. Idrus berbicara tentang novel Sang Alkemis, karya penulis Brazil, Paulo Coelho.

       Novel itu memang menarik sekali. Namun, yang lebih mengesankan saya, adalah pelajaran yang ditarik Rm. Idrus. Dia berbicara tentang tokoh utama, bocah penggembala domba dari Andalusia, bernama Santiago. Singkat cerita, Santiago bermimpi mendapatkan harta karun. Harta karun itu ada di bawah sebuah piramida di Mesir. Di Mesir, dia bertemu seorang pedagang Kristal. Atas jasa Santiago, pedagang Kristal itu jadi kaya. Dia memberikan sejumlah uang kepada Santiago untuk pulang ke kampung halamannya. Dia mengukir kisahnya sendiri menjadi seorang legenda penggembala domba. Kepada para guru, Rm. Idrus berpesan, “Legenda kita adalah legenda guru.”

       Saat membaca Memori Rm. Idrus ini, sebetulnya saya membaca kisah sebuah legenda. Legenda seorang pemimpin yang sederhana, anak desa, seperti Santiago. Legenda seorang pemimpin yang penuh impian. Legenda seorang pemimpin yang teguh, yang penuh perjuangan, yang menderita, tapi tak pernah menjadikan penderitaannya sebagai alasan untuk menyerah. Kehidupan seorang pemimpin itu padang pasir, seperti yang dialami Santiago, tapi langkahnya, seperti langkah Santiago, tak pernah surut. Ada banyak kemustahilan yang sebenarnya bisa menghentikan langkah Santiago. Namun, Santiago pantang mundur. Dia bahkan mengalami, banyak hal menjadi mungkin. Pemimpin memungkinkan yang mustahil menjadi nyata. Legenda seorang pemimpin yang mampu membaca pertanda. Legenda seorang pemimpin yang menghayati kepemimpinannya sebagai sebuah seni, sebuah orkestra untuk menghasilkan simfoni. Legenda seorang pemimpin yang basisnya adalah spiritualitas, berbagi kekayaan imamat.  Legenda seorang pemimpin yang mengajak seluruh komunitas untuk melihat, dan percaya, “Jari Tuhan ada di sini”, di Seminari ini.

     “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Terima kasih Rm. Idrus.

 

IMAM DI ANTARA CALON IMAM

 IMAM DI ANTARA CALON IMAM

Oleh : Rm. Beni Lalo, Pr

Tulisan ini dibuat dalam rangka Pancawindu imamat Rm. Bene Daghi. Beliau mendesak saya agar segera menuntaskan tulisan ini untuk dimasukkan ke dalam Buku Pancawindunya. Setiap kali ketemu selalu beliau bertanya “sudah selesai ko?”. Di awal bulan Januari saya mengatakan kepadanya, ”sudah tuntas Ka’e…”. Saya tidak sangka kemendesakkan pertanyaan Rm. Bene sebagai pertanda bahwa ia tidak lama lagi hidup di dunia ini. Tanggal 1 Pebruari 2021 beliau menarik napas terakhir di RSU Bajawa dan dikuburkan dengan cara khas di usia imamat ke 36 menuju 37 tahun.

Dalam duka kita menyerahkan Rm. Bene ke dalam tangan Tuhan. Sambil kita bersyukur atas 36 tahun imamatnya sebagai rahmat Allah bagi dunia dan gereja. Benar motto tahbisan imamatnya: “Cuma dalam Dia yang menguatkan aku, aku mampu…” (bdk.Fil. 4: 13). Rahmat Allah meneguhkan kesetiaan seorang imam yang rapuh secara manusiawi. Rahmat yang ditumpahkan dalam kondisi batin hidup seseorang, dalam dialog internal dari waktu ke waktu antara dinamika panggilan/tindakan Allah dan dinamika jawaban/tindakan manusia (Darminta,2006: 16). Allah yang hadir dalam seluruh proses panjang panggilan dari tahap awal ke tahap perutusan: undangan Allah pada seseorang; keinginan seseorang untuk bersatu dengan Allah; komitmen dalam iman; perkembangan spiritual; dan mandat apostolik (Konseng, 1995: 14).

Tahap-tahap yang sama juga dialami oleh Romo Bene Daghi sepanjang 36 tahun sebagai imam. Dalam tulisan ini, saya tidak mendalami tahap-tahap di atas. Saya membuat refleksi yang bersumber dari konsep imamat (biblis dan tradisi gereja) kepada fenomena-fenomena yang sempat tertangkap lensa dalam pengalaman hidup bersama Rm. Bene Daghi.

A. Menjadi imam Tuhan

Pada saat seseorang menyebut kata “imam”, muncul dalam pikirannya gambaran sosok seorang yang berperan sebagai pengantara manusia dan Tuhan, seorang yang berperan sebagai penghubung yang menyampaikan doa dan harapan umat pada Tuhan. Sebaliknya juga, imam menjadi tanda kehadiran Tuhan di tengah umatNya. Surat Ibrani  mencatat bahwa seorang imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah (Ibr.5:1).

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa imam menyandang kewibawaan Kristus dan berkat meterai istimewa, dijadikan serupa dengan Kristus, sehingga mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala (PO 2). Dengan demikian, imam menjadi simbol kesucian. Simbol kesucian pada diri imam dinyatakan melalui pelaksanaan tugas-tugasnya, yakni tugas mengajar (pelayanan Sabda Allah), menguduskan (pelayanan sakramen) dan memimpin (pelayanan kepemimpinan).

1. Pelayan Sabda Allah: sebagai pelayan Sabda Allah, imam bertugas untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Perjanjian Lama dalam Kitab Ulangan mencatat peran mengajar dari imam adalah mengajarkan aturan-aturan Tuhan kepada Israel (Ul.33: 10). Dalam teks ritus tahbisan imam, ada ajakan terhadap imam baru untuk mengajar dan melaksanakan aturan Tuhan. Seperti pesan Paus Fransiskus,”…dengan merenungkan hukum Tuhan, pastikan kalian percaya akan apa yang kalian baca, kalian ajarkan apa yang kalian percaya, dan kalian menjalankan apa yang kalian ajarkan…”.

Tentang sosok Rm. Bene, saya mengenal sebagai pribadi imam yang berpusat pada Sabda Allah. Dia berusaha hidup konsisten. Boleh saya bilang, dalam kerapuhannya, dia menghidupi apa yang dia baca dan percaya, serta apa yang dia wartakan. Hal ini terlahir dari bagaimana ia bersungguh-sungguh membaca, merenung dan membagi Sabda Allah setiap hari. Sabda Allah dihadapkan pada diri sendiri untuk dihayati, baru sesudah itu dibagikan pada sesama. Tampak dalam persiapannya untuk merayakan Ekaristi pada semua hajatan, entah peristiwa harian sederhana, entah peristiwa hari besar/hari raya. Buku agenda khusus untuk renungan/kotbah tersiapkan dan disimpan secara rapi dari dulu sampai sekarang. Kotbahnya disiapkan dan dibawakan secara tertulis atau diketik. Jarang dia berkotbah tanpa teks.

Peran pelayan Sabda Allah identik dengan peran guru. Sebagai calon imam (frater TOP) dan imam, dia selalu ditempatkan sebagai guru di lembaga pendidikan calon imam, kecuali sebagai seorang diakon ditempatkan di paroki Wolofeo.

Satu kelebihan dari Romo Bene sebagai seorang guru adalah konsistensi antara apa yang diajarkan dan apa yang dihidupinya. Dia menunjukkan keteladanan kepada kami para imam  di seminari. Keteladanan yang paling terasa adalah pada disiplin diri.  Pϋnktlich ! Waktu benar-benar terdiri atas detik per detik, menit per menit.

Peran pelayan sabda identik juga dengan peran kenabian yang mewartakan kebenaran. Memang benar pribadi ini berbicara tentang kebenaran. Berbicara sesederhana apa pun harus benar dengan verifikasi data yang jelas. Dia menertibkan dirinya pada jalan lurus sampai pada cura minimorum, seperti mengurus keuangan harus dipertanggungjawab sampai pada satu sen. Kebenaran yang dihayatinya adalah buah dari kedalaman diri yang berakar pada Sabda Allah yang direnungkannya setiap hari. Kedalaman diri bukan ruang kosong, melainkan lahan subur untuk kebenaran hidup (Reinhard Lettmann: Innerlichkeit ist kein Hohlraum oder inhaltlose Leere…)

2. Pelayanan sakramen: sebagai pelayan sakramen, imam bertugas untuk mempersembahkan kurban rohani atau melayani karya pengudusan lewat sakramen (PO 5). Dalam surat kepada umat di Ibrani (5,1), dikatakan secara jelas bahwa imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, supaya ia mempersembahkan persembahan karena dosa. Dengan melayani sakramen-sakramen, seorang imam menghadirkan Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya di kayu salib.

Searah dengan disiplin dirinya yang baik, pribadi Romo Bene selalu setia merayakan Ekaristi harian pada waktunya, kecuali kalau dia dalam perjalanan atau sakit. Ekaristi harian disiapkan sejak sebelumnya. Omnia parata sunt. Semua disiapkan termasuk membaca kalender liturgi setiap hari dengan semua titik komanya, sehingga semua teman imam yang merayakan hut kelahiran dan tahbisan hari itu, didoakan.

Kekurangan yang berkaitan dengan pelayanan sakramen adalah dia jarang melayani sakramen permandian, sakramen nikah dan sakramen orang sakit, karena alasan yang sangat jelas, full di seminari. Sakramen tobat tetap dilaksanakan untuk para imam/ suster yang datang mengaku dosa dan terlebih pelayanan untuk para siswa seminari.

Seiring dengan masa tuanya dan memiliki kematangan rohani yang mumpuni, dia pernah dipercayakan oleh Uskup sebagai Delegatus untuk cura animarum biara-biara di kevikepan Bajawa dan sering pula melayani ret-ret para imam/suster.

3.Pelayanan kepemimpinan/gembala: sebagai pemimpin umat Allah, imam mengemban tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala dengan menghimpun semua orang, dalam persaudaraan sejati dan menghantar mereka menuju komunio Allah Tritunggal (PO 6). Seperti kata Paus Fransiskus bahwa imam menjalankan tugas di dalam Kristus, Kepala dan Gembala, dalam persatuan dengan Uskup. Imam menjalankan tugas seperti Kristus, bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.

Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Rm. Bene bertugas lebih di lembaga-lembaga pendidikan calon imam, maka boleh dibilang dia menjadi gembala dan pemimpin di seminari-seminari. Domba-dombanya adalah para siswa seminari/para frater, dan saat beliau menjadi Praeses di Ritapiret dan Mataloko, domba-dombanya adalah seluruh anggota komunitas itu.

Penempatan Romo Bene di Seminari Menengah Mataloko sejak 2006, sebenarnya dimaksudkan oleh Uskup, agar di tengah komunitas pendidikan calon imam, harus ada seorang imam senior yang berperan sebagai teladan, sekaligus sebagai seorang tua yang matang, yang berperan sebagai sosok bijak dan tenang di tengah orang muda. Menjadi tokoh pemersatu dan menjaga persaudaraan adalah salah satu sayap dari tugas kegembalaan atau kepemimpinan seorang imam.

B. Menjadi imam Diosesan

Siapakah imam diosesan itu ?  Rm. Domi Balo (alm.) dalam brosur pendidikan calon imam, menjelaskan secara negatip bahwa imam diosesan adalah imam yang tidak termasuk Ordo atau Konggregasi/Tarekat tertentu. Imamatnya adalah imamat perdana atau rasuli (seperti diterima para Rasul), yakni imamat seperti yang diserahkan Kristus kepada para murid-Nya pada awalnya. Atau sekurang-kurangnya berpangkal pada imamat awali tersebut, tanpa atribut lainnya, terkecuali bahwa ia oleh tahbisannya di-tua-kan. Dalam bahasa aslinya disebut “Presbyter”, yang berarti “tetua/penatua”, yang kemudian diterjemahkan dengan “imam”. Oleh sebab itu, di belakang nama seorang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan (khususnya di Indonesia) ditambahkan atribut “Pr” (singkatan dari presbyter, bukan projo)

Imam non tarekat ini disebut imam diosesan yang dikaitkan dengan kata “diocesis” (Lat. wilayah) karena ia terikat pada salah satu wilayah keuskupan tertentu. Dioses sama dengan praja dalam bahasa Jawa. Dalam hubungan dengan Gereja, yang dimaksudkan dengan wilayah tertentu/dioses, adalah wilayah tertentu gerejawi, yakni keuskupan. Oleh karena mereka terikat dengan keuskupan tertentu, maka mereka disebut imam diosesan. Pimpinan mereka adalah seorang Uskup Diosesan (Uskup dengan yurisdiksi wilayah “kekuasaan”, sebagai pemimpin resmi partikular). Dengan Uskup itu, ia mengikatkan diri.

Romo Bene mengambil keputusan masuk Seminari Tinggi Ritapiret pada tahun 1974 dengan motivasi yang sangat personal. Dia merasa dirinya cocok untuk menjadi imam yang mengabdikan diri untuk umat setempat di Keuskupan Agung Ende. Dia mau menghayati spiritualitas imam diosesan “dari dunia kembali ke tengah dunia”. Ke tengah dunia dan bersatu dengan dunia, menghadirkan diri di sana secara lain dan baru sambil memberikan kesaksian khusus imamiahnya. Dikatakan secara lain dan baru, sebab sejak tahbisan, imamatnya dituntut oleh martabatnya itu, harus dijalani di tengah dunia menurut nasehat injil (ketaatan, kemiskinan, kemurnian) secara konsekuen. Pelbagai hak yang seharusnya dimiliki oleh dunia, oleh karena tahbisannya dan misinya yang baru itu, harus ditinggalkan dan ditanggalkannya. Di tengah dunia, dia harus memberikan kesaksian yang baru.

Hanya sayangnya, harapan Romo Bene untuk bekerja secara langsung bersama umat di paroki-paroki yang sederhana, tidak terwujud. Sebagai penghayatan pada spiritualitas alkitabiah, sebagai dasar spiritualitas imam diosesan, dia harus taat pada keputusan Uskup. Uskup sudah mempunyai rencana lain untuk dia. Dia disiapkan untuk studi lanjut di Roma untuk mendalami bidang Islamologi. Semuanya ini membuka jalan baru dan menentukan perjalanan imamatnya selanjutnya ke depan. Dia harus bekerja setiap hari di tengah para calon imam sebagai dosen dan guru sampai kematiannya.

Pelayanan kecil setiap hari dijalankannya dengan kesetiaan yang besar. Kesetiaan adalah buah Roh Kudus dalam diri sang imam. Kesetiaan adalah wewangian yang menyenangkan dunia dan manusia (Paus Fransiskus). Seperti kata Paulus, “…sebab bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa..” (2 Kor.2:15). Inilah yang disyukuri dalam perjalanan imamatnya sampai melewati 36 tahun dan tak sampai pada pancawindu yang direncanakan…Selamat jalan Rm. Bene menuju keabadian. Di sana perayaan syukur imamatmu menjadi sempurna.

Rm. Beny Lalo, Pr

Pengasuhan Digital bagi Seminaris Diaspora

Sejak dipulangkan ke rumah masing-masing pada akhir Maret lalu, praktisnya sebagian besar proses formasi anak-anak Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung melalui metode Dalam Jaringan (Daring).

Pengasuhan digital dari orang tua, pihak seminari, para pastor dan para mitra menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Dalam rimba raya jaringan internet, para seminaris diaspora ini perlu didampingi dan diasuh.

Dialog aktif antara anak dan orang tua, para pastor dan para mitra menjadi kunci keberhasilan pengasuhan digital untuk para seminaris diaspora. Tingkat keseringan berkomunikasi antara kedua pihak ini harus berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang digunakan anak untuk berselancar di dunia maya.

Ketika durasi “berada di depan layar” kian meningkat, partisipasi aktif orang tua, para pastor dan para mitra dalam membangun komunikasi dengan anak harus ditingkatkan pula.

Mengapa Penting?

Pertama, situasi sekarang memaksa anak-anak seminari melakukan banyak aktivitas Daring, terutama untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, interaksi untuk proses formasi sebagai calon imam juga terjadi melalui media-media Daring.  Kedua tuntutan ini menyebabkan durasi waktu untuk cemplung ke dalam dunia digital semakin tinggi.

Kedua, jagat maya merupakan jagat yang sama sekali asing bagi sebagian besar anak-anak seminari. Dalam situasi normal, mereka dilarang menggunakan HP dan tidak memiliki akses ke dalam dunia maya dengan segala kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas. Dalam era kenormalan baru ini, mereka diwajibkan memiliki HP dan keahlian berselancar di dunia maya untuk melayani kepentingan formasi.

Ketiga, internet selalu berwajah ganda. Di satu sisi, akses ke dalam internet meningkatkan literasi dan wawasan anak. Di sisi lain, dalam internet terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak seperti perundungan digital dan pencurian data pribadi (KOMPAS, 21/06/2020). Dampingan orang tua, para pastor dan para mitra mutlak perlu untuk meminimalisasi kejahatan siber dalam berbagai levelnya.

Keempat, alasan terkait etika digital. Walaupun memiliki banyak kesamaan, etika digital dan etika dunia nyata tetap memiliki perbedaan. Dalam dunia digital, segala sesuatu pasti meninggalkan jejak. Selain itu, semuanya serba terbuka. Oleh karena itu, anak-anak perlu mendalami etika digital dan selalu diingatkan untuk mematuhi etika-etika tersebut.

Kelima, anak-anak perlu dilindungi dari pelbagai variasi bahaya informasi-informasi palsu. Semua orang memiliki akses ke dalam internet dan oleh karena itu berbagai jenis informasi, entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk, berseliweran dalam berbagai platform media-media Daring. Kontrol orang tua, para pastor, dan para mitra membantu anak-anak dalam proses penyaringan dan internalisasi informasi-informasi tersebut.

Peran Sentral Orang tua, Para Pastor dan Para Mitra

Orang tua, para pastor dan mitra memiliki peran penting dalam pengasuhan digital bagi para seminaris diaspora. Peran tersebut dapat dijalankan melalui kehadiran dan dialog aktif. Spritualitas kehadiran dan dialog aktif menjadi kunci keberhasilan proses-proses pengasuhan digital. Oleh karena itu, orang tua, para pastor dan para mitra wajib memberikan teladan dan panutan.

KOMPAS (20/06/2020) meringkas tiga lapisan yang harus dimiliki sebuah keluarga ketika (anak-anaknya) harus mencemplungkan diri ke dalam dunia digital.

Lapisan pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua adalah literasi media agar bijak menyikapi informasi palsu serta menilai kebenaran konten. Lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.

Orang tua, para pastor, dan para mitra memiliki kewajiban dan tanggung jawab membangun ketiga lapisan kesadaran tersebut. Perlu diakui, usaha itu tidak gampang. Oleh karena itu pada bagian berikut direkomendasikan hal-hal praktis yang perlu dibuat.

Langkah-langkah Praktis Pengasuhan

Pertama, kerja dan belajar dalam dan melalui media daring harus dijadwalkan. Orang tua dan para mitra harus melibatkan diri dalam penyusunan jadwal belajar dan kerja anak. Keterlibatan itu juga harus sampai pada tahap pengawasan, apakah jadwal itu ditaati atau tidak.

Kedua, tingkatkan komunikasi langsung dengan anak. Komunikasi itu harus dari muka ke muka dan dari hati ke hati, bukan melalui perantaraan media-media sosial.

Ketiga, ingatkan anak akan kerawanan dan bahaya yang ada di ruang virtual. Banyak bahaya yang bisa saja timbul, misalnya penipuan, kekerasan verbal, pencurian data pribadi, dan perundungan digital.

Keempat, usahakan sebisa mungkin agar menemani anak saat mereka sedang bekerja dan belajar melalui media-media Daring. Pada bagian ini, sekali lagi ditekankan pentingnya spiritualitas kehadiran bagi seorang anak.

Kelima, orang tua, para pastor, dan para mitra harus selalu mengingatkan anak akan pentingnya menjaga etika bermedia sosial. Etika itu misalnya, selalu menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak saling memaki.

Keenam, sebagai pengasuh, tentu saja orang tua, para pastor, dan para mitra juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang literasi teknologi digital. Oleh karena itu, mau tidak mau, orang tua juga harus mempelajari seluk beluk dunia digital dan segala tuntutan-tuntutannya.

Tommy Duang

Kelas Daring: Adaptasi Baru Pembelajaran di Seminari

Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 01/KB/2020, Menteri Agama Nomor 516 Tahun 2020, Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 480-882 Tahun 2020, tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021, ditetapkan bahwa sekolah-sekolah berasrama yang berada di zonah hijau dilarang membuka asrama dan melakukan pembelajaran tatap muka, sekurang-kurangnya pada dua bulan pertama.

Menyikapi SKB tersebut, dan sesuai kebijakan Pemerintah Daerah Kaubupaten Ngada, SMPS dan SMA Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko memutuskan untuk menyelenggarakan  pendidikan calon imam dengan metode Dalam Jaringan (Daring) melalui Learning Management System (LMS). Dalam perencanaannya, metode pembelajaran Daring akan berlangsung selama dua bulan awal semester Ganjil 2020/2021, terhitung sejak 13 Juli-13 September 2020.

Dalam konteks dunia pendidikan di Pulau Flores, pembelajaran Daring merupakan sesuatu yang relatif baru. Dibutuhkan suatu persiapan yang sungguh matang agar keberlangsungan proses pembelajaran tetap sesuai dengan tuntutan kurikulum di era kenormalan baru.

Tentang keseluruhan proses persiapan itu, Kepala SMA Seminari Mataloko, Rm. Gabriel Idrus, Pr, mengatakan, “Sejauh ini kita telah mengadakan rapat bersama para bapa ibu guru di tingkat internal dan mengevaluasi persiapan-persiapan kita. Memang kita saat ini dalam kondisi siap meskipun adaptasi-adaptasi itu masih tetap terjadi dalam perjalanan waktu, karena kita berkenalan dengan sesuatu yang baru.”

“Adaptasi itu, baik di tingkat kita sendiri, ke dalam, para bapa ibu guru, yang menyiapkan pembelajarannya maupun juga para siswa kita.  Adaptasi itu menyangkut banyak aspek, baik menggunakan aplikasi ini (Google Classroom) maupun juga situasi secara umum ketika harus melaksanakan pembelajaran Daring.”

Selanjutnya Romo Idrus menambahkan bahwa secara umum sekolah ini telah siap melaksanakan pembelajaran daring melalui aplikasi Google Classroom. “Saya boleh katakan, secara umum memang kita siap, walaupun dalam perjalanan tetap harus beradaptasi dengan kondisi, beradaptasi dengan berbagai macam hal yang masih tetap berubah dalam waktu-waktu ke depan. Dari sisi kesiapan, kita siap tapi keterbukaan dan segala macam adaptasi itu masih dibutuhkan dalam masa perubahan.”

Sama seperti SMA, SMPS Seminari Mataloko juga telah sampai pada tahap persiapan yang maksimal. Hal ini disampaikan oleh Rm. Kristoforus Betu, Pr, selaku Kepala Sekolah di ruang kerjanya pada Senin, 20 Juli 2020. Setelah ditetapkan bahwa seluruh proses pembelajaran akan berlangsung dengan metode Daring dan menggunakan aplikasi Google Classroom, semua guru bergerak dan berusaha keras agar bisa mengoperasikan aplikasi ini.

Romo Kristo mengakui bahwa persiapan itu membutuhkan waktu paling kurang satu bulan. “Butuh waktu ya, kasarnya sebulanlah. Ada hari-hari yang efektif sekali, tapi ada hari-hari di mana para guru belajar mandiri. Belajar terpadu, terprogram, tersistematis, di bawah Romo Isto sebagai operator utama. Ada latihan bersama, tugas mandiri dan juga latihan-latihan bersama oleh teman-teman yang sudah mahir. Menurut saya, itu berjalan intensif.”

Kendala-kendala di Tingkat SMPS

Walaupun SMPS telah memiliki persiapan matang untuk memulai pembelajaran Daring, ditemukan beberapa kendala yang perlu dibenahi. Rm. Kristoforus Betu, Pr, menyampaikan bahwa ada tiga kendala utama yang dihadapi oleh SMPS pada saat ini.

Pertama laboratorium komputer. Menurut Romo Kristo, SMPS perlu memiliki laboratorium komputer sendiri. Kelas Daring mengakibatkan tingginya lalu lintas penggunaan laboratorium komputer, dan oleh karena itu, perlu diadakan laboratorium khusus untuk SMPS.

Kedua, kendala jaringan dan tenaga IT. SMPS memerlukan jaringan internet yang lancar demi meminimalisasi gangguan jaringan selama proses pembelajaran berlangsung. Kendala jaringan juga dialami oleh anak-anak yang tinggal di daerah-daerah yang tidak terjangkau jaringan internet. Di samping itu, SMPS juga membutuhkan tambahan tenaga IT. Menurut Romo Kristo, bila perlu semua guru diwajibkan menjadi tenaga IT.

Ketiga, SMPS kekurangan tenaga imam. Sebagai sekolah para calon imam, SMPS Seminari Mataloko masih membutuhkan tenaga-tenaga imam, sehingga tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh seorang imam, tidak perlu diambilalih oleh para guru dan pegawai awam.

Persiapan para Guru

Dari sharing beberapa guru, kita mendapat informasi bahwa mereka maksimal menggerakkan roda pembelajaran Daring. Hal ini patut diberi apresiasi karena kelas Daring dan  penggunaan aplikasi Google Classroom merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi sebagian besar guru dan siswa.

Ibu Lindawati, misalnya, men-sharing-kan bahwa kelas Daring merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi beliau selama delapan belas tahun menjadi guru. Di tengah kerja keras mempelajari penggunaan aplikasi Google Classroom, Ibu Linda harus mengemas materi pembelajaran dalam bentuk teks, power point, dan video demi meningkatkan ketertarikan para siswa untuk mempelajari materi yang diberikan. Semua hal itu telah beliau kerjakan dengan baik.

Frater Vinsensius Sele, seorang guru baru yang mengampuh mata pelajaran Agama Katolik, mengakui bahwa beliau tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti dalam menjalankan aplikasi Google Classroom.  “Bagi saya, ini cukup mudah. Yang menjadi tugas yang harus dibenahi sekarang ialah bagaimana menyajikan materi sekreatif mungkin agar para seminaris tertarik untuk mendalami setiap materi yang disajikan.”

Selain dari Ibu Linda dan Frater Vinsen, kita juga mendapat sharing yang cukup menggembirakan dari Ibu Theresia Emilia Woghe. Beliau menulis, “Persiapan saya untuk kelas online ini, baik dari segi persiapan materi maupun soal-soal sudah rampung (untuk dua Kompetensi Dasar pertama). Dari segi penguasaan aplikasi, saya kira sudah jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dalam arti sudah jauh lebih siap, walaupun saya tidak bisa memprediksi bagaimana action-nya nanti.”

 Sama seperti guru-guru SMA, para guru SMPS juga mengatakan bahwa pada umumnya mereka sudah siap mengajar di kelas-kelas Daring. Bapak Darius Yohanes Mau, S.Pd, misalnya berkisah bahwa beliau telah siap 100%.

“Mengenai persiapan kelas Daring,” kata Pak Aris, demikian beliau akrab disapa, “untuk saya punya kelas, saya wali kelas VIIA, persiapannya sudah memadai. Dalam grup-grup WhatsApp, sudah dipastikan semua anak tergabung untuk memudahkan pengontrolan. Kemudian di Google Classroom, anak-anak dikontak melalui nomor pribadi untuk memastikan perorang itu wajib memasukkan akun ke google. Semuanya sudah 100% tergabung dan semua aktif sehingga kelas Daring yang dimulai hari ini berjalan lancar.”

Berbeda dengan Pak Aris yang tidak mengalami kendala dalam penguasaan aplikasi Google Classroom, ada guru, terutama guru-guru senior, masih mengalami kesulitan dalam menjalankan aplikasi pembelajaran tersebut.

Tentang kesulitan itu, Ibu Paulina Bate berkisah, “Secara umum, penyiapan materi pembelajaran (bahan mentah) tidaklah sulit, karena didukung oleh pengalaman puluhan tahun mengajar. Yang masih menjadi kendala adalah ketika materi yang telah disiapkan harus diubah ke dalam bentuk digital dan dibagikan dalam Google Classroom. Sebagai orang tua, kecepatan dalam mempelajari sesuatu telah jauh berkurang, apalagi jika harus selalu berpindah dari kiri ke kanan (menjelajahi situs dan aplikasi digital).”

Selain kesulitan menjalankan aplikasi, kesulitan lain yang dialami para guru di SMPS ialah menyangkut pembagian waktu antara manjalankan profesi guru dengan waktu bersama keluarga di rumah.

Ibu Fransiska Dhera, guru Bahasa Indonesia, berkisah, “Tantangan yang dialami dalam masa transisi ini adalah kesulitan dalam membagi waktu antara panggilan sebagai guru di sekolah dan tanggung jawab sebagai ibu yang mengatur jalannya rumah tangga.”

“Melakukan penyesuaian yang cukup besar dalam mekanisme pembelajaran tidaklah mudah bagi seorang guru sekaligus ibu. Porsi waktu untuk melatih kecakapan dalam menjelajah dan menggunakan rupa-rupa situs dan aplikasi cukup besar dan menuntut guru untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan sekolah, di rumah. Sementara itu, di rumah sudah ada pekerjaan lain yang menunggu,” tambah Ibu Siska.

Pesan dan Harapan bagi Siswa-siswa Seminari

Dalam banyak kesempatan, Rm. Gabriel Idrus, Pr selaku Praeses dan Kepala Sekolah mengajak para seminaris untuk memaknai situasi yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 ini sebagai tantangan dan peluang untuk beradaptasi dengan perubahan.

“Dalam pengalaman seperti ini, kita diuji dan ditantang, siapa yang bertahan dalam perubahan-perubahan itu, dia bisa keluar sebagai pemenang. Kepada para siswa, ini menjadi motivasi. Meskipun dalam situasi keterbatasan, yang barangkali secara perorangan mengalami kesulitan, kita maknai ini sebagai peluang untuk kita beradaptasi dengan perubahan.”

Senada dengan hal yang disampaikan Romo Praeses, Rm. Nani Songkares, Pr, selaku guru senior mengajak para siswa untuk melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk melihat identitas seminari secara baru. Father Nani, begitu beliau akrab disapa, dalam catatannya mengenai kebijakan pendidikan di Seminari saat krisis Covid-19, menulis, “Setiap krisis yang kita alami adalah sekaligus opportunity. Jangan-jangan virus corona ini memberi kita peluang untuk bergumul dengan identitas Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu secara baru.”

Para guru, yang juga menjadi wali-wali kelas, mengharapkan agar para seminaris cepat beradaptasi dengan model pembelajaran daring ini. Selain itu, para seminaris juga diharapkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, menjaga pola hidup sehat, menjaga kedisiplinan, dan etika bermedia sosial serta selalu meluangkan waktu untuk mengembangkan talenta.

Tommy Duang

Seminari Mataloko di Tengah Pandemi: Dari Lembah Sasa Menuju Seminari Diaspora

Pandemi virus korona yang belum menunjukkan tanda-tanda menurun, memaksa manusia beradaptasi dengan segala jenis gaya kehidupan baru. Ada banyak hal yang berubah, termasuk model pendidikan calon imam di berbagai Seminari, baik pada tingkat menengah maupun pada tingkat Seminari Tinggi.

Dalam pertemuan online pada 22 Juni 2020 bersama para Rektor Seminari Menengah, Ketua Komisi Seminari KWI, Mgr. Robertus Rubiatmoko, mengatakan bahwa model formasi calon imam dalam waktu-waktu mendatang akan menjadi lebih terbuka dan dinamis, di mana akan ada banyak pihak di luar seminari terlibat dalam proses formasi para seminaris.

Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan sejumlah rapat pengurus Komite Sekolah Seminari, Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada (Yasukda), Konsultan Kesehatan Kabupaten Ngada, dan pemerhati pendidikan. Selanjutnya, diadakan beberapa kali pertemuan bersama Bapak Bupati Ngada dan jajarannya, yang menghasilkan berbagai rekomendasi strategis, antara lain konsep Seminari Diaspora dan implementasi praktisnya.

Secara fisik, pusat-pusat formasi berpindah dari “kompleks seminari” ke tangan para seminaris sendiri, orang tua, Pastor Paroki, Pastor Rekan, dan pihak-pihak lain yang membantu perkembangan para seminaris di rumah mereka sendiri. Di tangan merekalah,  dan dalam  interaksi dan kerja sama dengan Lembaga Seminari, mewujud-nyata Seminari Diaspora itu.

Persis pada titik ini, Rm. Benediktus Lalo, Pr, selaku Romo Prefek SMA Seminari Mataloko, melemparkan satu pertanyaan reflektif yang sangat menantang, “Bagaimana dimensi-dimensi pendidikan calon imam (Sanctitas, Scientia, Sapientia, Sanitas, dan Socialitas) yang sistematis dan terprogram, yang terencana, dengan satu tujuan yang terukur, tetap dipertahankan?”

Bangun Kerja Sama yang Solid

Agar dimensi-dimensi tersebut di atas tetap dihayati oleh para seminaris diaspora, dibutuhkan suatu jaringan kerja sama yang kuat antara pihak seminari dengan para orangtua dan para pastor paroki. Menurut Rm. Benediktus Lalo, Pr, kerja sama dan koordinasi ini merupakan hal yang sangat menentukan dan tentu saja mendesak.

Kalau koordinasi kita dengan orangtua dan pastor Paroki tidak bagus, ada kemungkinan proses pembinaan itu pincang. Kita tidak bisa terlalu jauh sampai pada diri anak. Tetapi kalau betul koordinasi kita bagus dengan visi misi yang sama antara kita dengan orangtua, saya yakin, kita percaya apa yang terjadi di rumah dan di paroki, itu adalah bagian dari proses pendidikan calon imam.”

Walaupun pusat pembinaan para seminaris telah berpindah, kelima dimensi pendidikan calon imam (5S) harus tetap dijaga dan dirawat. Konsep seminari diaspora merupakan sesuatu yang relatif baru, dan oleh karena itu perlu diakui bahwa sebagian proses pembinaan masih jauh dari ideal formasi yang telah ditanamkan sejak dahulu. Akan tetapi, situasi dan kondisi yang tidak ideal ini harus bisa diatasi agar proses formasi tetap berjalan.

Demi mencapai tujuan itu, Romo Praeses menekankan pentingnya interaksi jarak jauh yang berkelanjutan antara para formator dan seminaris melalui media-media sosial. Hal praktis yang diambil ialah dengan memasukkan para formator dalam grup-grup WhatsApp wali kelas. Dengan demikian, para formator memiliki akses yang cukup memadai ke dalam kehidupan para seminaris. Selain itu akan diadakan pula kunjungan berkala dari pihak seminari ke tempat-tempat perjumpaan yang ditetapkan untuk memantau perkembangan pendidikan anak-anak seminari dari dekat.

“Supaya formasinya juga tetap berjalan, kita juga sudah berbicara cukup jauh sebelum ini, yaitu bahwa tetap nanti harus ada interaksi, melalui media-media ini (Google Classroom dan WhatsApp), yang di dalamnya itu banyak pihak terlibat, para gurunya terlibat, tapi juga para pendamping. Pembina harian itu nanti masuk dalam grup-grup supaya mereka terlibat dan melihat bagaimana hal ini berjalan di rumah ketika mereka dirumahkan,” kata Romo Praeses.

“Kemudian kita juga nanti,” demikian Romo Praeses, “akan melanjutkan lagi dengan kunjungan berkala yang kita rencanakan, di mana pihak lembaga akan turun dalam tim, melihat mereka dari dekat. Itu saja yang bisa kita buat dan kita memang berharap supaya setelah masa transisi ini mereka boleh kembali karena dengan itu, formasi lengkap sebagaimana yang kita cita-citakan boleh berjalan kembali.”

Dari Lembah Sasa Menuju Seminari Diaspora

Sejak para seminaris dipulangkan ke rumah pada hari Kamis, 26 Maret 2020 lalu, proses formasi para calon imam ini telah berpindah dari Lembah Sasa ke rumah para seminaris masing-masing. Pandemi virus korona melahirkan inisiatif untuk membentuk Seminari Diaspora. Virus korona membuat Seminari Mataloko bergerak dari Lembah Sasa menuju Seminari Diaspora.

Pada masa-masa ini, harapan banyak diletakkan di pundak para pastor paroki dan orangtua. Rm. Nani Songkares, Pr, dalam catatan refleksinya menulis, “Ada sesuatu yang terasa terbalik: Saat normal, orangtua berharap pada seminari untuk pendidikan anak-anaknya. Saat dilanda krisis virus korona, seminarilah yang berharap pada rumah untuk menjadi seminari sesungguhnya bagi para siswanya.”

Konsep seminari diaspora telah melahirkan paling kurang satu hal penting bagi perkembangan panggilan para seminaris, yaitu bahwa penentu terakhir dari keberhasilan adalah diri mereka sendiri. Walaupun para seminaris ini berada jauh dari seminari dan para formator, tetapi kalau mereka tetap mendidik diri dalam koridor pendidikan calon imam, mereka akan dengan sendirinya tiba pada suatu level kematangan tertentu. Di sini dibutuhkan suatu kemandirian para seminaris untuk mendidik dirinya sendiri.

Wakil Praeses, Rm. Kristoforus Betu, Pr mengharapkan agar seminari diaspora ini tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya dan juga para seminaris diharapkan agar menjaga keseimbangan penghayatan lima dimensi pendidikan calon imam.

“Saya ingin supaya lembaga pendidikan calon imam ini tidak pudar, tidak kabur, dan tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya. Nilai esensial itu ada banyak sekali. Mulai dari kerohanian sampai dengan kemandirian, perkembangan, dan pertumbuhan kepribadian para seminaris. Juga  keseimbangan antara yang rohani dan yang sosial perlu selalu dijaga. Harapan saya, nilai-nilai yang terangkum dalam 5S itu tetap bertumbuh, terpelihara, semakin gesit, dan semakin maksimal karena tantangan ini.”

Tommy Duang

Memperkenalkan ‘Gerakan Siswa Menulis’ di Seminari Mataloko

MEMPERKENALKAN ‘GERAKAN SISWA MENULIS’ DI  SEMINARI MATALOKO

Sebagai pribadi yang sering mendapat tugas berkunjung ke beberapa keuskupan di Indonesia, saya terbiasa mendokumentasikan peristiwa dalam sebuah coretan kisah harian. Dokumentasi tertulis itu menjadi alat bukti  bahwa saya sudah berkunjung ke tempat itu sekaligus menjadi lampiran dari sebuah laporan kegiatan yang saya lakukan. Begitu pun ketika saya berkunjung ke Seminari Mataloko tanggal 4 Februari 2019 yang lalu, saya melakukan hal yang sama. Tulisan ini menjadi alat bukti bahwa saya pernah berkunjung ke Seminari Mataloko. Agar tulisan ini, tidak hanya menjadi milik saya, saya ingin mempublikasikan tulisan ini di Flores Pos agar para siswa seminari yang saya kunjungi saat itu dan pembaca Flores Pos, meraih makna di balik kebiasaan menulis.

Keinginan saya untuk memublikasikan peristiwa ini, berawal dari pertemuan spontan dan sederhana. Saya ingin bertemu teman kelas, Romo Nani Songkares. Pada saat yang sama, Romo Nani sedang mendampingi beberapa siswa untuk menulis. Saya diminta secara spontan menularkan semangat kepada para siswa yang sedang menulis. Para siswa diberi ruangan khusus untuk membaca dan menulis. Ruangannya persis di samping ruangan Romo Nani Songkares sehingga aktivitasnya bisa langsung terpantau. Siapapun yang masuk ke ruangan ini, aktivitas hanya satu : menulis. Ada laptop, ada meja, ada buku-buku. Ruangan yang dipenuhi beberapa siswa terasa hening karena hanya jari-jarinya yang bergerak mengikuti perpaduan antara kegiatan otak dan kegiatan hati. Hati yang menggerakkan mereka untuk menulis sesuai apa yang sedang dipikirkan.

Aktivitas mereka menggoda saya untuk menulis tentang mereka. Bahwa ada praktik baik yang sedang terjadi di sana. Para siswa harus dibiasakan untuk menulis dan menulis, itu penegasan dari Romo Nani Songkares. Ketika menyaksikan aksi mereka, pikiran saya tertuju kepada sebuah buku yang berjudul The Power of Habits. Kebiasaan baik yang diperkenalkan sejak dini, akan menjadi kekuatan maha dahsyat di kemudian hari.

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Romo Sunu, Provinsial Serikat Jesus, dalam acara retret beberapa tahun yang lalu di Cepu Jawa Tengah. Beliau memperkenalkan peserta retret untuk ‘merasionalisasi rasa’ setiap hari. Apa yang kita rasakan setiap hari, harus ditulis dalam buku atau didokumentasikan secara tertulis agar rasa itu diketahui penyebabnya. Kalau  kita sering menulis rasa pribadi, kebiasaan itu  akan menjadi kekuatan personal yang senantiasa mengontrol seluruh aktivitas harian kita. Kita bisa hidup lebih teratur, terkontrol dan tertata. Pernyataan yang kita ungkapkan lewat kata-kata, akan tertata dengan sendirinya ketika kita terbiasa menuliskan apa yang kita rasakan. Lagi-lagi, aktivitas menulis menjadi sangat penting untuk membentuk diri.

Wajar bila ada yang mengatakan bahwa menulis ada jalan sunyi menuju pengenalan diri. Mengapa? Ketika menulis, kita memadukan beberapa kekuatan  dalam satu gerakan. Ada kekuatan yang mendorong kita untuk duduk, diam dan hening. Ketika duduk, dan mulai menulis, ada keinginan-keinginan lain yang menggoda kita untuk mengabaikan kegiatan itu.

Selain itu, ada juga kegiatan mengelola informasi, pengetahuan yang terbersit di otak kita. Bagaimana kita meramu ilmu yang berseliweran dalam pikiran kita untuk dibentuk dalam  dalam sebuah pernyataan tertulis yang teratur dan tersusun agar siapapun yang membacanya, dapat mengerti.

Perpaduan antara kekuatan rasa, kekuatan otak dan kehendak yang kuat menjadi ‘lahan subur’ terciptanya sebuah tulisan yang berkualitas. Bila para siswa terbiasa menulis, berarti dia sedang dilatih oleh diri sendiri untuk tertib dalam berpikir, tertib dalam merasa dan tertib dalam mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.

Wajar bila Romo Nani Songkares dan Romo Beny Lalo ingin memperkenalkan gerakan ini. Betapa pentingnya, menularkan kebiasaan untuk menulis kepada para siswa.  Bagi para calon imam atau imam yang terbiasa membuat tulisan, akan mempermudah tugas dan karya mereka di kemudian hari. Apa yang diproduksi lewat mulut atau aktivitas verbal di berbagai mimbar, harus terlebih diolah secara matang, lewat proses yang diperkenalkan dalam aktivitas menulis. Wajar saat ini, sudah banyak himbauan agar para pastor yang membawakan kotbah harus disiapkan secara tertulis. Dengan demikian, apa yang dipublikasikan kepada umat secara verbal harus melalui proses pengolahan yang matang. Dengan demikian mimbar yang secara ensensial merupakan tempat mewartakan kabar gembira, benar-benar dimanfaatkan sesuai  dengan intensinya.

Keterampilan dan kemampuan menulis bukan hanya bermanfaat bagi  calon imam tetapi juga untuk para calon pemimpin bangsa atau pemimpin daerah. Kebiasaan untuk merumuskan secara tertulis apa yang dirasakan, dipikirkan menjadi ‘kekuatan’ maha dahsyat untuk memproduksi kebijakan publik bagi masyarakat di kemudian hari . Apa yang diketahui, dirasakan, harus dirumuskan secara jelas dalam sebuah pernyataan dokumentatif agar semua pihak bisa mempelajarinya secara baik untuk membentuk kekuatan komprehensif dalam memproduksi kebijakan publik.

Banyak pemimpin kita lebih giat memproduksi ujaran-ujaran tanpa olahan yang matang, tanpa dibekali kemampuan menulis. Ketika disandingkan dengan input-input kritis dan bermakna, mereka sering menghadapinya dengan sikap defensif yang sulit dipahami secara nalar. Terjadilah proses irasionalitas publik yang mengganggu proses berpikir masyarakat.

Pengalaman ini, nampak sederhana. Hanya soal melatih siswa untuk menulis. Namun praktik sederhana ini sebenarnya memberikan dampak visioner bagi lahirnya seorang pemimpin bangsa, pemimpin umat yang berkualitas. Mereka dididik untuk sejak awal mampu memproduksi pernyataan tertulis yang berasal dari hasil pemikiran yang matang, hasil pengolahan hati yang baik dan managemen diri yang berkualitas.  Dengan demikian praktik baik ini, hendaknya tidak hanya dilakukan di Seminari Mataloko, namun di semua lembaga pendidikan tanpa terkecuali.  Semoga !

Eddy Loke

Surabaya 12 Februari 2019.

Sang Bijak yang Penuh Pengabdian

Sang Bijak yang Penuh Pengabdian

Manusia selalu berusaha menunjukkan jati diri dalam hidup. Pengungkapan akan jati diri itu dapat diwujudkan dalam banyak bentuk. Ada yang mengungkapkannya melalui aktivitas yang berguna bagi banyak orang. Kegiatan yang dilakukan, apa pun bentuknya, mungkin memberikan inspirasi baru bagi orang yang menyaksikannya. Selain melalui karya nyata, ungkapan jati diri dapat dilakukan melalui konsep dan pemikiran yang otentik dan brilian dalam hidup bersama. Mungkin melalui konsep dan pemikiran itu, lahirlah konsep dan pemikiran baru yang lebih inspiratif? Adakah melalui karya dan pemikiranya yang brilian, orang menjadi pribadi yang terkenal?

Romo Dominikus Balo adalah seorang imam Keuskupan Agung Ende. Ada dan hidupnya di  tengah komunitas calon imam, seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu merupakan kehadiran  yang inspiratif dan meneguhkan. Dia yang turut serta melahirkan ide dan karya-karya besar di keuskupan Agung Ende dengan gagasan tentang Pusat Pastoral; dia yang ditetapkan sebagai pimpinan tertinggi di Seminari Tinggi; dia yang biasa mengurus sekolah-sekolah Katolik di wilayah Kevikepan Ende-Lio; di masa tuanya masih tetap menjalankan tugas sebagai pendamping rohani dan pengajar di Seminari tercinta ini.

Imam yang biasa disapa dengan sebutan Romo Domi ini melaksanakan tugas dengan setia sebagai pendamping rohani dan pengajar bahasa Latin. Betapa tidak. Sebagai pendamping rohani, ia menghasilkan buku-buku doa yang digunakan secara tetap di lembaga ini. Romo Domi memberikan masukkan yang berguna bagi pembinaan dan pengembangan kerohanian seminaris. Selain itu, kehidupan rohaninya adalah kekuatan itu sendiri bagi para imam dan calon imam di lembaga pendidikan ini. Romo Domi telah memberikan isi pada lembaga ini dengan karya yang inspiratif, meskipun tidak harus monumental dan spektakuler.

Selain menjalankan tugas pendampingan rohani, hal besar yang dilakukannya adalah mengajar mata pelajaran bahasa Latin. Otorisasi dan ‘kepakarannya’ sangat kuat dalam mata pelajaran ini. Hal pelik apa pun berkaitan dengan bahasa Latin, akan diselesaikan dengan mudah. Dia adalah seorang guru bagi guru yang lain. Bahasa Latin yang selalu ditegaskan sebagai bahasa resmi Gereja, mungkin bagi banyak orang merupakan bahasa yang tua dan kaku, tetapi olehnya menjadi sesuatu yang segar dan menggembirakan. Seminaris diajak untuk menekuni bahasa Latin dengan baik, karena baginya, orang yang belajar bahasa Latin dengan baik, akan membantunya untuk belajar mata pelajaran lain dengan mudah. Bahasa Latin menjadi jalan bagi seminaris untuk mempelajari yang lain.

Sebegitu cintanya akan bahasa Latin dan seminaris, sehingga di kala sakit pun ia terus memikirkannya, tanpa memedulikan kesehatannya sendiri. Sekembalinya dari kontrol kesehatan di Surabaya misalnya, pada kesempatan pertama beliau kembali ke kelas, menyapa seminaris dengan bahasa Latinnya. Hal itu biasa dilakukannya karena cintanya, hatinya, rasa, dan pikirannya demi kemajuan lembaga pendidikan dan seminaris di dalamnya. Romo Domi melakukan tugas itu hingga tungkainya tidak mampu menyangga tubuhnya yang semakin renta. Karena itu dalam guyonan di kalangan para pembina sering dikatakan, bahwa kita sebenarnya berdosa terhadap beliau karena di usianya yang sudah 76 tahun, ia seharusnya menikmati hidup dengan membaca koran, dan sebagainya. Namun hal yang terjadi adalah ia masih ‘dipaksa’ untuk berdiri dan mengajar di depan kelas. Memang faktor usia dan kondisi tubuh yang semakin lemah, tidak bisa menjadi penghalang bagi orang yang mau terus belajar dan mengabdi dengan ikhlas. Romo Domi telah membuktikannya bagi kita.

Romo Domi yang nada bicaranya selalu lembut itu sebenarnya seorang imam dengan latar belakang pengetahuan pastoral yang kuat. Hal ini terjadi karena beliau menekuni bidang ini secara khusus. Selain itu berbagai hal yang berkaitan dengan bidang teologi, liturgi dan hukum gereja, banyak dipahami dan dimengertinya secara luas. Kondisi ini memungkinkannya menjadi sumber belajar yang baik, bagi siapa pun yang ingin terus menambah wawasan pengetahuan. Semua kapasitas yang dimiliki ini tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar, menggali dan menemukan yang baru. Bahkan beliau adalah salah satu sosok yang sangat ‘up to date’, orangtua yang tidak gagap teknologi. Apakah seluruh yang dimiliki ini, baginya menjadi sesuatu yang abadi?

Seluruh kapasitas yang dimiliki ini seakan hilang beberapa bulan terakhir. Dia yang memiliki pikiran yang bernas dan jernih; sosok yang saleh dan pendiam; pribadi yang mendatangkan keteduhan, semuanya seolah menjadi runtuh oleh penyakit yang menggorogoti tubuh dan usianya yang semakin lanjut. Seluruh kebijaksanaan yang dimilikinya rasa-rasanya lenyap bersama kemampuan bicaranya yang hilang sama sekali. Tidak ada lagi kata-kata bijak yang bisa diucapkan. Tatapan matanya nanar, kosong, hampa. Ungkapan seperti ‘pada permulaan’ bila mengawali suatu pembicaraan, ‘boleh’ bila menerima suatu tawaran, atau ‘tentu’ bila membenarkan sesuatu hal, menjadi sesuatu yang langka. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya membuat celotehan yang khas hilang bersama berlalunya waktu. Sang manusia bijaksana itu akhirnya menjadi sosok yang tidak berdaya. Jati diri yang sangat kuat diungkapkan melalui pikiran, karya, dan kata-kata bijak seakan hilang bersama kebisuannya. Apakah itu adalah akhir dari sebuah perjuangan?

Perjuangan dan hidup Romo Domi di dunia boleh berakhir. Namun pikiran dan  kata-kata bijak yang dimiliki tidak boleh hilang dari hidup bersama di lembaga pendidikan ini. Bahasa Latin haruslah tetap menjadi bahasa Gereja yang diajarkan dan akan mengasah kemampuan berpikir kritis seminaris. Semangat untuk terus belajar harus selalu menjadi daya dorong bagi seminaris  sebagai makluk belajar. Pengabdian yang ikhlas kiranya menjadi hal yang biasa dalam diri kaum pelayan. Cinta yang tulus dan sejati tentunya menjadi sesuatu yang habitual dalam diri orang yang mencintai kebenaran. Semangat dan daya seperti ini tidak boleh menjadi bisu meski digerogoti oleh penyakit apa pun.

Romo Domi, selamat jalan. Kami akan belajar terus menerus dari semangat pengabdianmu. Kebijaksanaan hidupmu akan kami kenang selalu. Doakanlah kami selalu agar menjadi orang-orang yang bijaksana dan setia mengabdi dalam hidup.

Romo Sil Edo, Pr