CELEBRET

Laporan Perjalanan Rm. Nani (41)

 

Kurang lebih sebulan sebelum perjalanan dari Flores ke Steyl, Brixen, dan kemudian Nemi tanpa sengaja saya membuka laci meja kerja di ruang depan kamar saya. Saya temukan celebret tua pemberian Mgr. Donatus Djagom, SVD, sejak tahun pertama tahbisan saya, 1991.

Celebret itu kartu izinan resmi seorang imam untuk mendengarkan pengakuan dan merayakan Ekaristi apabila imam bersangkutan berada di luar diosesnya. Saya pernah membawa kartu ini ke Jogjakarta saat masih studi dulu, dan menunjukkannya kepada pimpinan Gereja di Kevikepan Jogja dan di Keuskupan Semarang. Setelah itu saya tidak pernah pakai lagi.

Begitu mendapatkan celebret tua itu saya memasukkannya ke dalam saku koper. Celebret itu saya bawa serta dalam koper.

Ketika mendapatkan kepastian hari penguburan Paus Fransiskus, saya gelisah. Saya ingin sekali mengikuti Misa Requiem di Vatikan. Now or never –  kali ini saja atau tidak mungkin sama sekali kan. Persoalannya, jadwal acara kegiatan kami padat sampai Sabtu, hari penguburan Sri Paus Fransiskus..

Saya berbisik kepada Mikhael Pragasam, agar dia meminta izin pada koordinator Program Tersiat, Kulandaisamy Soosai. Mikhael adalah ketua rombongan tersiat kami.

Keesokan harinya, saat makan pagi, Samy mengumumkan agar imam yang mau mengikuti upacara penguburan Paus mendaftarkan diri, sehingga bisa diatur bus untuk mengantar kami ke Anagnina, stasiun kereta api bawah tanah.

Kami ramai-ramai mendaftar, 21 imam yang mau ikut. “Jangan lupa bawa celebret ya!” pesan Aurelius Jumat malam (25/4/2025) saat kami berekreasi bersama. Beberapa teman menunjukkan kepada saya kartu celebret-nya. Kecil, rapi, bagus, seperti KTP.

Sabtu (26/4/2025) saya bangun pukul 5.00. Saya menyisipkan kartu celebret tua di dalam saku tas. Setelah makan pagi, kami berangkat dengan bus ke stasiun Anagnina.

Di sana, orang berdatangan. Kereta padat luar biasa. Banyak penumpang berdiri berdesakan. Sebagian besar turun di stasiun Ottaviano St. Pietro, stasiun terdekat menuju Vatikan.

Umat tumpah ruah di jalan menuju Vatikan. Jalanan yang lebar jadi sempit sekali. Masing-masing orang berdesakan menuju St. Peter Square.

Di sebuah emperan, teman-teman dari India berhenti. “Yang punya celebret coba masuk ke jalur yang sedang dijaga polisi, siapa tahu bisa. Kami tidak punya celebret,” kata Jakob Mulavurikkal.

Kami bertiga: Aurel, Ryszard dari Polandia, dan saya memberanikan diri. Aurel dan Ryszard menunjukkan celebret-nya. Lolos. Celebret tua saya diteliti, bolak-balik. Saya diizinkan. Kami seperti setengah berlari, mengikuti rombongan imam di depan. Beberapa kali diperiksa di check point. Lolos.

Kami menerobos ke tengah St. Peter Square, melewati beribu-ribu orang yang sudah berada di dalamnya. Kami menjumpai beberapa rombongan anak muda dengan peralatan kemah yang sudah mulai dilipat. Mereka rupanya bermalam di sana.

Kami terus mendesak maju ke depan. Di kejauhan, Felix Noel Dacquel, Mukabi Ngalile, Jay Baliao, Mathias King sudah berada di deretan kursi para imam. Mereka menempuh jalur tersendiri. Kami segera meliuk-liuk mencari jalan untuk sampai ke sana.

Kami dipenuhi sukacita. “Terima kasih Tuhan,” ucap Ryszard. Dari 21 imam peserta Program Tersiat, hanya kami bertujuh yang bisa bergabung dalam konselebrasi bersama ribuan imam. Saya mengangkat celebret tua dari dalam tas dan menunjukkan pada teman-teman.

“Ini sejak 34 tahun lalu, tidak pernah diganti,” kata Ryszard. “Senjata tua masih laku kan?” timpal saya. Semua tertawa. “Kalau di tempat saya, celebret itu diperbaharui setiap tiga tahun,” kata Noel.

Tidak peduli. Celebret tua ini sudah membawa saya ikut berkonselebrasi bersama ribuan imam, mengantar pergi seorang Paus yang luar biasa.

Sudah terlalu banyak tulisan mengenai Paus ini yang mengungkapkan betapa dia luar biasa. Saya merasakan atmosfir kasih umat seluruh dunia secara langsung di St. Peter Square ini. Seakan segenap paving block terisi manusia.

Paus ini sebuah gift, pemberian untuk dunia yang datang dengan aneka warna kulit, aneka tingkah laku, aneka pakaian. Ada yang rapi, gaya modern, ada yang aneh-aneh gaya post modern. Semuanya terhisap ke Vatikan. Semua ada di St. Peter Square.

Saya berdiri, menatap ke segala jurusan. Benar-benar berada di tengah lautan manusia. Dengan kelompok masing-masing. Dengan bangsa berbeda-beda. Dengan bendera beraneka.

Tempat terjauh adalah gerbang masuk utama, mungkin berjarak 3 km. Bangunan paling ujung adalah Castle San’t Angelo. Jauh sekali, tapi jalan masuk itu tertutup samudra manusia.

Semua mata tertuju ke depan, pelataran depan Basilika St. Petrus. Saat lima peristiwa Rosario dilantunkan sebagai awal Perayaan Ekaristi, gemuruh doa dengan irama yang sama menggetarkan.

Perayaan Ekaristi berlangsung dengan kehikmatan yang belum pernah saya rasakan. Ada momen hening yang tidak mungkin bisa dimengerti kecuali karena kasih. Ada lantunan lagu yang dinyanyikan bersama, berganti-ganti dengan koor.

Kami tidak mengerti kotbah yang disampaikan. Namun, dari keheningan tepuk tangan spontan bergemuruh. Beberapa kali. Setelah saya membaca terjemahan kotbah itu, baru saya mengerti mengapa berkali-kali umat bertepuk tangan. Paus ini benar-benar pemberian, gift.

Gift ini tertanam sekali di sanubari orang-orang yang hadir. Tidak cukup kata untuk melukiskannya. Sepertinya dahaga kemanusiaan disegarkan oleh Paus ini. Luka kemanusiaan dibalut. Duka kemanusiaan didengar. Sukacita dirayakan. Saya bersyukur, celebret tua membawa saya ke sini.

Usai Perayaan Ekaristi, semua pulang dengan teratur. Namun, di titik di mana ada layar televisi yang besar, orang berhenti, menonton lagi arak-arakan mobil jenazah menuju Basilika Santa Maria Maggiore yang terletak di luar Negara Kota Vatikan.

Di sepanjang jalan menuju basilika itu ribuan orang mengelu-elukan Paus dalam mobil jenasah. Di depan layar televisi sepanjang jalan keluar dari Vatikan orang berhenti sejenak karena terkesima.

 Saya melihat dua suster tua, menonton layar lebar dengan mata berbinar-binar. Aurel dan saya ikut berhenti, menonton dulu sejenak.

Dalam perjalanan pulang, saya terus mengulang-ulang sebuah lagu. Teman-teman pun ikut bernyanyi. Syairnya mengena sekali dengan apa yang kami alami.

I thank my God, Each time I think of you. And when I pray for you, I pray with joy

(Kuucapkan syukur pada Tuhan, setiap kali aku memikirkanmu. Dan ketika aku berdoa bagimu, aku berdoa dengan sukacita).

Salah satu baitnya berbunyi seperti berikut ini.

Since you have borne with me my burdens,
I now bear you within my heart.
And God alone knows how I miss you,
I love you just as Christ loves me.

(Karena kau telah menanggung beban bersamaku, kini kubawa engkau dalam hatiku. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku kehilanganmu. Aku mencintaimu seperti Kristus mencintaiku).

Selamat jalan Bapa Suci Fransiskus. Terima kasih, sudah menjadi Gift yang dibagi-bagi kepada kami semua. 

  • Related Posts

    KEAJAIBAN PENGAMPUNAN

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (46) Rumah yang kami kunjungi, Minggu (18/5/2025), sangat sederhana. Itu rumah batu pemberian orang untuk pasangan Luigi dan Assunta Goretti, orang tua Santa Maria Goretti. Mereka…

    TRE FONTANE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (45) Tre Fontane. Tiga Mata Air. Apa itu? Pada 26 Juni tahun 67 M, Santo Paulus dipenggal kepalanya. Begitu dipenggal, kepalanya terloncat dan jatuh ke tanah…