
Laporan Perjalanan Rm. Nani (5)
Vivat Deus Unus et Trinus in cordibus nostris – Hiduplah Allah Tritunggal dalam hati semua kita. Kata-kata ini ditulis di atas patung Santo Arnoldus Yansen, SVD. Patung ini besar, berada di tengah-tengah gedung. Kalau kita menggunakan tangga ke lantai dua atau tiga, kita bisa berhenti sejenak. Ada semacam balkon dengan railing yang kokoh. Kita menoleh ke arah patung. Dari patung itu, kita seakan mendengar seruan yang menjadi penggerak kehidupan Arnoldus Yansen, SVD, “Hiduplah hati Yesus di dalam hati semua kita!”
Kalau hati Yesus hidup dalam hati kita, semuanya menjadi persembahan penuh sukacita. Ini disiplin rohani yang menuntut kita untuk belajar. Berpikir, berperasaan negatif tentang diri, apalagi tentang orang lain tidak perlu diajarkan. Tanpa sekolah, kita semua ahlinya. Apakah kita perlu sekolah tinggi-tinggi untuk berlajar maki? Kan tidak!
Namun berpikir positif tentang diri kita, tentang orang lain, tidak serba menghunjam dan menghakimi diri atau orang lain, tidak berhati pendek tapi luas sehingga ada ruang untuk mengerti, membuka hati kita bagi hati Yesus, membiarkan hati-Nya bernyala di dalam kehidupan kita, itu butuh belajar, butuh disiplin, butuh kesengajaan dan usaha.
Kita terkadang pikir, usaha itu harus yang serba tinggi-tinggi: harus doa (semua orang setuju kan?), harus berefleksi tentang diri sendiri (semua orang setuju kan?), harus ini, harus itu, serba harus.
Pagi ini saya sempatkan diri naik ke lantai tiga, mengeksplorasi ruangan-ruangan di Wisma Soverdi ini. Persis di atas kapela yang indah, ada GOR – gedung olahraga. Ada lapangan badminton, ada tempat khusus untuk pingpong, ada peralatan untuk senam.
Bruder Vian, SVD yang sudah malang melintang di Eropa bilang sama saya, “Nani, pagi-pagi saya sudah lopas naik turun tangga, gerak badan. Enak sekali. Tapi kalau kau mau maen badminton, ator saja sendiri leee…terserah, kau mau pake atau tidak. Tidak mau frek to.” Bahasa Inggrisnya bagus sekali. Hanya logat Bajawa na, mae korek!
Setelah puas melihat GOR dengan segala fasilitasnya, saya terkejut lagi. Di sebelah kiri, ada sebuah dapur. Mereka menyebutnya pantry kantor. Para pegawai di kantor makan siang di Wisma Soverdi. Kalau tidak sempat di kamar makan, ada pantry ini untuk menyiapkan makanan.
“Oii, dapur ada dua, Pater!” kata saya kepada P. Grasius Emanuel Purwokartoko, SVD, yang bertahun-tahun studi di Roma. Dia sedang berada di pantry. “Ini supaya kau tidak lapar, kau bisa urus sendiri.” Orang Kalimantan ini gayanya sudah sangat Flores. “Berarti mandiri ee,” sambung saya. “Bukan hanya mandiri. Kau mesti menikmati kehidupan. Itu yang bikin kita gembira,” tandasnya.
Di dapur itu ada semua peralatan masak. “Kau mau makan nasi goreng, di dapur umum tidak ada. Buat sendiri to. Kau diet, tapi makanan yang disiapkan di dapur umum, ya, untuk semua orang. Kau urus sendiri to,” lanjut P. Gras sambil mengajari Br. Domi dari Timor goreng ikan. “Domi, cari sesuatu yang bikin kau lepas!”
Kegembiraan. Berbagi. Saling mendukung. Ketulusan. Kesederhanaan. Kepolosan. Bodoh-bodoh. Tertawa besar sampai seluruh dunia berhenti. Tidak ada orang yang menilai. “Kau bikin malu saja. Kau tidak ada model. Kau tidak tahu diri. Kau anggap orang lain tidak ada”. Penghakiman-penghakiman itu sudah terlalu banyak. Ada sejak di kampung yang paling sudut sampai di kota-kota besar. “Yang perlu kita pelihara dengan sengaja itu sukacita,” kata Br. Vian. “Jadi Nani, kalau kau mau pigi maen, naek saja ke lante tiga tu.”
Pater Gras meyakinkan saya. “Di Nemi, kau tidak usah takut pakaian kurang. Itu ada gudang, pakaian banyak sekali. Kau mau olahraga, pergi tes sepatu. Kau dingin, ambil saja jacket tebal-tebal itu. Itu orang dari seluruh dunia bawa lalu tinggalkan saja. Saya kalau dari Indonesia bawa sedikit. Pas pulang, saya mulai pilih sepatu, jacket yang bagus-bagus.” “Aeee, bisa kah?” Saya terheran-heran. “Itu ada orang kita di sana,” potong P. Gras. “Beritahu saja dia. Jangan takut!”
Seakan menangkap kecemasan saya mengenai kesehatan, dia menambahkan, “Mereka cuci pakai mesin-mesin besar. Begitu keluar sudah steril. Sudah rapi. Sudah aman!” Kata-kata P. Gras ini bikin saya penuh semangat. Maunya lekas sampai di Nemi, Roma.
“Tapi kau mae terlalu polos, pai, kalau pas ke Eropa. Kita orang Indonesia kalau di Eropa paling ngongo sudah. Kita ramah di jalan-jalan. Padahal orang sudah awaskan kita supaya kita hati-hati. Nani, barang-barang penting itu, dokumen, doi, itu lekat memang di badan. Kau tutup mata sedikit, kau toleh kiri kanan sedikit, sudah ilang. Tukang curi itu banyak ngeri. Dan cantik-cantik!” Br. Vian mengingatkan saya.
Br. Vian lanjut bercerita mengenai pengalaman beberapa konfrater yang kecopetan. Ini tentu bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menjadi waspada.
“Berdoalah seakan-akan semuanya tergantung pada Tuhan. Bekerjalah (pake otaklah – ini tambahan saya) seakan-akan semuanya tergantung padamu”. Ini nasihat Santo Agustinus.