YANG INDAH DARI NEMI (4)

Laporan Perjalanan Rm. Nani (32)

“Mungkin sebaiknya kita dibagi dalam dua group. Nani, Richard dan Albinus sesudah makan siang, saya, Michael, dan Francis sesudah makan malam,” anjur Jerome Montesclaros dari Filipina setelah kami selesai membantu cuci piring di dapur, Senin (24/3/2025).

Group kami bernama Tulip dan berjumlah 6 orang. Jumlah sebesar itu terlalu banyak untuk terjun sekaligus. Minggu itu tugas group Tulip adalah mencuci peralatan makan di dapur.

Tugas itu kami lakukan dengan senang hati. Tidak sulit juga, karena seluruh proses pencucian dilakukan oleh mesin yang dikendalikan beberapa pekerja perempuan. Kami hanya mengangkat peralatan makan yang sudah dicuci, mengeringkan satu dua yang masih basah, dan meletakkan secara rapi pada tempatnya.

“Pater tanam kaki ee. Ini minggu uskup-uskup seluruh Eropa akan datang. Jadi piring gelas pasti banyak. Nanti saya bayar dengan anggur satu botol,” canda Bruder Endo dari Timor, yang kini dipercayakan mengurus rumah tangga Wisma Centro Ad Gentes Nemi.

Begitulah, setiap minggu masing-masing kelompok mendapat tugas berbeda-beda. Ada yang menangani liturgi, atau membantu cuci piring gelas di dapur, atau menyiapkan meja makan, menge-lap dan membersihkannya, atau animasi, yaitu mengatur malam rekreasi.

Semua ini terasa membantu sekali proses penerimaan dan adaptasi dalam komunitas interkultural. Ikatan kebersamaan makin terasa. Kami makin terkoneksi satu sama lain. Hidup terasa mengalir dan mekar. Padahal semuanya sudah mid-life. Usia 45-an ke atas. Beberapa dari kami sudah 60-an.

 

Spiral Dynamics

Apa yang kami jalani secara spontan dan mengalir sebetulnya pantulan proses-proses pergumulan yang dibantu berbagai masukan yang amat kaya.

Setelah mendapatkan insights mengenai hadirnya energi yang menjiwai seluruh alam semesta dan ketersambungan berbagai unsur melalui teologi quantum, kami diajak mendalami level-level kesadaran dalam perjalanan spiritualitas melalui Spiral Dynamics. Yang memandu kami adalah Thomas Heck, SVD.

Spiral dynamics berbicara tentang evolusi kesadaran manusia berdasarkan riset berpuluh-puluh tahun yang meneliti berbagai bangsa di seluruh dunia. Riset ini dilakukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan, Clare W. Graves. Kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Ken Wilber.

Ketiga murid mereka, Marion Kuestanmacher, Tilman Haberer, dan Werner Tiki Kuestenmacher menyebutnya sebagai spiral dynamics melalui buku mereka God 9.0.

Judul buku itu provokatif sekali, “Tuhan 9.0”. Wow! Diambil dari dunia software, ‘Web 2.0” atau “Web 3.0” yang menunjuk kepada berbagai kemungkinan dan pola interaksi baru dalam dunia digital.

Nah, level kesadaran spiritual itu bergerak dari level 1.0, mengayun seperti bandul ke level 2.0, dan seterusnya sampai level 8.0, dan terus terbuka menuju tahap-tahap kesadaran baru ke level 9.0. Ini seperti pola-pola pertumbuhan transformasi jiwa yang universal yang tidak berakhir.

Tampaknya rumit, tapi mempunyai implikasi pada pandangan kita tentang Tuhan, penilaian kita tentang orang lain, agama lain, dan pilihan-pilihan hidup kita. Masing-masing orang bisa menghidupi level-level yang berbeda-beda. Bahkan, pada satu orang yang sama, level kesadaran yang dia hidupi bisa berbeda-beda pada situasi yang berbeda-beda. Kesadaran akan level-level ini membantu kita mengenal satu sama lain dan pola-pola interaksi dan komunikasi yang dibangun.

Singkatnya, kesadaran level 1.0 berkembang ratusan ribu tahun lalu, ketika kita berevolusi dari primate ke manusia. Dalam perjalanan waktu, level 1.0 ternyata tidak cukup memecahkan berbagai masalah. Maka kurang lebih 50.000 tahun lalu muncul kesadaran level 2.0. Lalu 10.000 tahun lalu muncul kesadaran level 3.0, dan seterusnya.

Masing-masing pribadi mempunyai tingkat perkembangan dan level kesadaran yang berbeda-beda. Itu sebabnya, mengapa di abad 21 sekarang masih ada orang yang pandangan hidupnya sangat primitif, sangat rasis, dan serba egosentrik. Mengapa masih ada orang suka perang.

Mari kita lihat secara sepintas masing-masing level terutama untuk melihat dan mengevaluasi level kesadaran kita. Dengan itu, kita diajak memahami pandangan kita tentang Tuhan, bentuk spiritualitas yang mewarnai tingkah laku kita, problem-problem yang bisa muncul. Dengan ini kita dibantu berkembang.

Level 1.0 itu level insting, ketika kita beralih dari binatang ke manusia. Tingkat kesadaran ini masih kita hidupi saat kita menghadapi bahaya, saat sakit berat, dan sangat tidak berdaya. Apa saja bisa kita lakukan, termasuk yang tidak rasional sekalipun, asal kita sembuh, asal luput dari bahaya. Warna dasar level ini adalah beige, krem – tidak hitam sekali, tapi tidak terang.

Warna dasar untuk kesasaran level 2.0 adalah ungu. Pada level ini upaya kita adalah mempertahankan klan, suku, kampung, keluarga. Level ini penuh dengan hal-hal yang bersifat magis. Dunia penuh roh yang bergentayangan. Maka harus ada ritus adat, nenek moyang harus dihargai, dan ada dengan itu ada perlindungan. Tuhan dilihat sebagai penyembuh, pembuat mukjizat, tapi juga pembawa kutukan.

Bahaya yang muncul adalah superstisi, percaya dunia gaib, takut hantu, takut salah urus, takut kena kutuk.

Level 3.0 ditandai agresivitas yang tinggi. Warnanya merah. Pada level ini orang saling menaklukkan, menganggap diri paling benar, melihat kekurangan yang lain untuk merendahkan, apologetik, menghujat, bila perlu perang, berani mati. Ketegangan ada di mana-mana.

Tuhan dilihat sebagai pemimpin perang, haus darah. Kekuatan-Nya menghancurkan lawan. Yesus pemenang atas iblis.

Masalah yang muncul pada level kesadaran ini adalah kekerasan, bullying, semangat merusak, pembelaan buta.

Lalu muncul keraguan: kalau hidup serba kacau, bagaimana bisa hidup tenang. Ada kerinduan akan sesuatu yang lain. Keraguan dan kerinduan ini tanda munculnya level kesadaran yang baru.

Level 4.0 ditandai keteraturan, otoritas, norma-norma. Warna dasarnya biru. Muncullah di sini hirarki, pengajaran-pengajaran akan kebenaran, moral, dosa-dosa, katekismus, ketaatan. Tuhan itu kebenaran absolut, Raja di atas segala raja.

Ketidakpuasan yang muncul pada level ini adalah intoleransi, dogmatisme, ketaatan buta, fanatisme.

Muncullah level 5.0 dimana orang merindukan kebebasan dan rasionalitas. Orang mementingkan kesuksesan pribadi, kelimpahan harta. Warna level ini oranye.

Tuhan mati, atau tersembunyi tanpa institusi. Yesus yes, Gereja no. Tuhan bahkan menjadi apersonal, tidak berwujud, ada dalam segala sesuatu.

Spiritualitas diwarnai rasionalisme dan bukti-bukti sientifik. Muncullah metode kritik historis, yang melihat Yesus sebagai manusia, dan bukan Allah. Yang dipentingkan adalah kerja keras dan kompetisi, persaingan pasar bebas. Inilah sekularisme.

Bahaya yang muncul adalah materialisme, nihilisme, kerakusan tanpa batas, ingat diri, eksploitasi, pengrusakan alam.

Muncul ketidakpuasan. Orang merindukan adanya kesadaran baru, level 6.0, dengan warna hijau. Allah dilihat sebagai Tuhan berwajah ibu yang penyayang, compassionate, merangkul semua. Dia ada dalam semua agama.

Yesus itu penyembuh yang terluka, sahabat para pendosa, saudara bagi semua, pencinta semua orang, pemerhati mereka yang tersisih, bahkan pencinta musuh-musuh.

Spiritualitas diwarnai bela rasa, hati yang hangat, pencinta damai. Ada kerelaan merangkul, mencari konsensus, membela yang tersisih, berbela-rasa pada korban-korban ketidakadilan.

Masalahnya adalah relativisme, hilangnya nilai absolut, memandang rendah hirarki dan norma-norma moral level biru, dan rasionalitas level oranye.

Maka muncul kerinduan adanya level 7.0 dengan warna dasar kuning dimana kebijaksanaan dan kreativitas menjadi kekuatan. Allah Trinitarian yang paradoks tapi ada dalam kesatuan menjadi perhatian. Yesus dilihat sebagai Allah benar dan manusia benar. Spiritualitas menjadi non dualitas yang mengutamakan the loving presence. Kontemplasi menjadi perhatian yang menghasilkan wisdom.

Kami tidak sempat masuk ke kesadaran level 8.0, yakni kesadaran integral dan holistik, yang melihat kosmos sebagai keterhubungan yang harmonis antarsemua makluk hidup, yang mengimnani Kristus sebagai the Cosmic Christ. Level kesadaran ini mulai terasa kemunculannya, dan tanda-tanda loncatan ke level kesadaran baru juga telah ada.

Level-level kesadaran ini mempunyai implikasi praktis, yang memengaruhi kerelaan membuka diri pada munculnya komunitas-komunitas interkultural dan kesiap-sediaan menjadi warga kosmos, dialog kehidupan, dan kerendahan hati untuk masuk dalam interkonektivitas, yang tidak melihat kehidupan serba membedakan tapi non dualitas.

Implikasi lainnya ialah beralih dari kehidupan doa yang serba terstruktur kepada kontemplasi yang mengutamakan the loving presence. Tentu, mindfulness untuk menghargai hidup saat ini dan di sini diharapkan menjadi habitus baru. Mindfulness adalah pintu masuk menuju kontemplasi.

  • Related Posts

    VULTURE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (40) Seorang gadis kecil dari Sudan yang kelaparan tertelungkup jatuh tanpa tenaga lagi. Dia sudah berhari-hari tidak makan dan sedang berusaha ke pos makanan terdekat. Apa…

    MEMPERTANYAKAN MODEL FORMASI KITA

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (39) “Seorang imam muda dikirim keluar negeri untuk menjadi misionaris. Namun, hanya dalam 10 bulan dia sudah minta pulang. Dia mengeluh tentang bahasa. Dia mengeluh tentang…