
Laporan Perjalanan Rm. Nani (25)
Jarang sekali saya melihat teman-teman dari India (banyak dari antara mereka yang parokinya di lereng Himalaya) menyelubungi kepala mereka dengan selendang, tapi pagi itu, Sabtu (15/3/2025) mereka melakukannya. Suhu turun sampai -50 C. Ditambah angin pagi yang cukup kencang, dingin menggigit tulang.
Sambil berjalan, saya menyembunyikan tangan di dalam saku jacket yang tebal. Kami semua berangkat ke Biara Santo Gregorius.
Biara itu sudah ditinggalkan. Semula milik para Suster SND, Sisters of Notre Dame, tapi dibeli oleh Arnold Janssen untuk dijadikan tempat tinggal para suster SSpS dan SSpSAp.
Setelah rumah induk SSpS dan SSpSAP selesai dibangun, rumah biara itu dijadikan tempat tinggal biarawan/i yang sudah jompo. Namun, tahun 2008 terjadi kebakaran. Setelah kebakaran itu pemerintah Belanda menganggap rumah biara itu tidak layak tinggal.
Di salah satu pojok bagian depan ada sebuah kamar sederhana. Arnold Janssen memilih menghabiskan 4 tahun terakhir hidupnya di sana, 1905-1909.
Saat kami berkunjung ke sana, terlihat tempat tidur kecil yang digunakan Arnold Janssen sampai dia meninggal. Di dekat pintu, ada sebuah meja kerja yang tua, setengah melingkar. Kalau daun meja diangkat, maka terlihat semacam ‘rak’ yang panjang. Di situlah Arnold sebelumnya tidur.
Kami merayakan Ekaristi di kamar itu, dalam kesederhanaan. Meja Ekaristi menggunakan meja kecil yang ada di situ.
Nada Perayaan Ekaristi itu syukur. Secara manusiawi Arnold bukan siapa-siapa. Sejak awal ketika dia menyampaikan dalam sambutannya pendirian Rumah Misi, 8 September 1875, yang menandai hari lahirnya SVD, dia diremehkan. Tidak ada tepuk tangan yang hebat. Diam-diam umat pulang ke rumah masing-masing dengan kepala tunduk. Di antara umat, ada yang menganggapnya bodoh.
Dia meninggal ketika SVD sudah berkembang sekali. Rumah Induk dengan segala perlengkapannya sudah berdiri megah. Para misionaris menyebar ke mana-mana, ke seluruh dunia.
Namun, Arnold Janssen tetaplah manusia yang sederhana. Dia memilih tinggal di kamar di biara Santo Gregorius itu. Dalam kesederhanaannya dia menghadap Bapa. Namun, warisannya besar sekali.
Penyerahan dirinya kepada kehendak Allah luar biasa sekali. Pada saat dia dibeatifikasi tahun 1975, Paulus Paulus VI memuji keteguhan hatinya mencari kehendak Allah. “Karena dia begitu terbuka pada tanda-tanda zaman dan penuh perhatian pada Sabda Tuhan, dia mengenal kehendak Tuhan… Dan sekali dia mengenal kehendak Tuhan, dia akan meninggalkan segala sesuatu, melupakan dirinya sendiri, dan mengabdikan seluruh keberadaannya untuk memenuhi kehendak Tuhan,” kata Paus.
Ada banyak momen gelap yang dialami, baik oleh dirinya, maupun oleh serikat yang didirikannya, tapi dia selalu mau melihat kehendak Allah di balik momen-momen pahit itu.
“Saya tidak habis pikir, betapa besar penyerahan dirinya kepada kehendak Allah dan penyelenggaraan-Nya. Dia tidak punya apa-apa, tapi hanya dalam 9 tahun, dia bisa bangun kompleks yang luar biasa ini. Dari mana dia dapatkan semua dana ini? Dia hanya bilang, uang ada di saku orang-orang yang baik,” kata Francis Ylagan, SVD, misionaris Kuba asal Filipina. “Saya akan tetap bekerja di Kuba. Saya belajar untuk bersyukur dengan segala apa yang saya alami. Semua itu sudah cukup. Rekan-rekan imam, bahkan orang Kuba sendiri bertanya, mengapa saya tidak minta pindah ke negara lain, tapi saya katakan, semuanya cukup. Saya ingin melayani dengan penuh syukur.” Hening panjang setelah Francis mengungkapkan kata hatinya.
Dia, Arnoldus Janssen, itu pendoa. Semua keputusannya mengalir dari hidup doanya yang mendalam. Bangunan dengan dekorasi paling indah adalah gereja, baik gereja bawah maupun gereja atas. Di situ Sakramen Mahakudus menjadi pusat.
Di semua sudut dan lorong bangunan itu, kita seolah-olah diajak untuk tidak melupakan Tuhan. Ada patung Bunda Maria, Santo Yosef, para malaekat. Ada lukisan mengenai Allah Trinitaris. Ada ikon-ikon indah yang mengungkapkan iman di jendela-jendela.
Dari semua barang yang ditinggalkannya, yang paling banyak adalah buku-buku doa dengan berbagai ukuran, termasuk Brevir saku yang selalu dibawanya kalau dia bepergian.
Dia hidup dari iman. Kelembutan hatinya adalah transformasi dari penyerahan dirinya setiap hari pada hati Yesus, Vivat cor Jesu in cordibus hominum. Hati Yesus itu curahan kasih Bapa. Jalan untuk mengalami secara hidup kebijaksanaan hati Yesus adalah Roh Kudus. Dia menyerahkan dirinya kepada Roh Kudus.
Dia cinta akan kebenaran. Selalu mau berbicara terus terang, dan selalu meminta anak-anaknya mencintai kebenaran dan hidup dalam integritas. Kalau ada yang mengeritiknya, dia akan menghadapi dengan tenang untuk mendengar dan menangkap kebijaksanaan hidup yang dibutuhkan.
Dia terbuka untuk belajar dan berubah. Perubahan paling besar adalah transformasi dirinya sendiri. Di fase-fase tua umurnya, orang mengalami Arnold sebagai bapa yang mempunyai hati seorang ibu.
Dia rendah hati dan sangat bersahaja. Ada catatan yang mengesankan dari orang-orang yang berada bersamanya sampai ajalnya. Dalam kebersahajaan itu, ada pancaran sukacita yang mendalam.
“Saya amat terkesan ketika kita merayakan Ekaristi di kamar Bapak Arnold di St. Gregorius. Saya memegang tempat tidurnya yang sederhana. Dari orang sederhana ini kita mendapatkan warisan besar,” kata Richard Wajda, SVD, misionaris Papua New Guinea asal Polandia yang sudah bekerja di PNG selama 39 tahun.
“Ya Tuhan, akhirnya saya bisa melihat, mengalami, dan merasakan sendiri secara konkret tempat tinggal Bapak Arnold di Steyl ini,” ungkap Jerome Montesclaros, dosen filsafat dari Filipina ini setengah mendesah. “Ini benar-benar gift, saya tidak akan alami lagi seumur hidup saya.”
“Sesudah misa di kamar Santo Arnold di biara Santo Gregorius itu, saya pergi ke kuburnya. Ya Tuhan, orang yang sederhana ini warisannya besar sekali. Saya terus berpikir, warisan apa yang bisa saya tinggalkan setelah saya mati?” tanya Michael Pragasam, SVD, dokter gigi dari India, yang juga profesor di salah satu universitas di tempatnya.
“Saya duduk di dekat tempat tidurnya. Saya merasa dia ada, dan dia merangkul kita semua. Kita ini datang dari mana-mana, tapi kita satu keluarga. Ini rumah kita. Rasa sebagai satu keluarga itu kuat sekali,” cetus Mukabi Ngalile, SVD, doktor Hukum Gereja dari Kongo.
Saya sendiri tidak punya ungkapan lain selain mendengungkan Vivat Cor Jesu in cordibus hominum – Hiduplah hati Yesus dalam hati semua orang.
Setiap kali mendengungkannya, saya ingat moto tahbisan saya, “Supaya hidup Yesus menjadi nyata” (2 Kor 4:11). Moto itu tidak saya pilih, tapi diberikan kepada saya oleh Pater Paulus Tera, SVD, imam yang pernah menjadi rektor di Seminari Mataloko.
Saya gembira sekali menerima moto itu walaupun saya tidak mengerti sepenuhnya. Dari waktu ke waktu saya makin merasakan kekayaan moto itu. Di sini, di Steyl, lapisan kekayaannya dibuka lagi. Saya tidak habis-habisnya bersyukur.
Ada sebuah lagu yang sering kami nyanyikan di kapela, di aula, di kamar makan, di lorong-lorong.
May the holy Triune God live in our hearts
May the holy Triune God live in our hearts
May the holy Triune God live in our hearts
And in the hearts of all people.
Lagu itu saya tuliskan di sepotong kertas yang saya bawa ke mana-mana sebagai mantra. Setelah mendengungkannya, saya suka mengucapkan lagi moto tahbisan imamat saya, “Supaya hidup Yesus menjadi nyata”.
Perjalanan sabatikal ini sungguh pereginantes in spem yang penuh syukur. Puji Tuhan.