
Laporan Perjalanan Rm. Nani (33)
I don’t know about tomorrow / I just live from day to day / I don’t borrow from its sunshine / For its skies may turn to gray / I don’t worry o’er the future / For I know what Jesus said / and today I’ll walk beside Him ; For He knows what is ahead (Ku tak tahu akan hari esok/Aku hanya hidup dari hari ke hari/Aku tidak meminjam sinar mentari/karena langit bisa berubah kelabu/Aku tak kuatir masa depanku/karena kutahu yang Yesus katakan/dan hari ini aku berjalan di samping-Nya/karena Dia tahu yang bakal terjadi.
Many things about tomorrow / I don’t seem to understand / But I know who holds tomorrow / And I know who holds my hand. (Banyak mengenai hari esok/sepertinya tidak kumengerti/Tapi kutahu siapa menggenggam masa depanku/Dan kutahu siapa memegang tanganku).
Ev’ry step is getting brighter / as the golden stairs I climb/ Ev’ry burden’s getting lighter/ Ev’ry cloud is silver-lined/ There the sun is always shining/ There no tear will dim the eye / at the ending of the rainbow / Where the mountains touch the sky (Setiap langkah makin cerah/seperti tangga-tangga emas kudaki/setiap beban makin ringan/setiap awan menyimpan garis perak/matahari selalu bersinar/tak ada air mata yang meredupkan mataku/pada akhir pelangi/dimana gunung menyentuh langit.
Lagu ini diputar sebagai pembuka untuk masuk ke sesi berjudul Mid-life Transition – Transisi usia tengahan, Senin (7/4/2025). Sesi berdurasi dua hari ini dibimbing oleh Dr. Joseph Jeyaraj Swaminathan, SDB, ahli psikologi dari Universitas Kepausan Salesian, Roma. Dia kelahiran Tamil, India.
“Saya terkesan dengan ungkapan I don’t know about tomorrow. But I know who holds tomorrow. Masa depanku ada dalam genggaman Tuhan,” kata Bill Kuglame, imam diosesan dari Papua New Guinea (PNG), ketika diminta berbagi kata atau ungkapan apa yang berkesan dari lagu itu. “Saya merasa penuh harapan,” tegasnya.
“Hidup, langkahku terasa lebih ringan,” ungkap Herman Minj dari India. “Saya tahu siapa yang menggenggam masa depanku,” sambung Jay Baliao, misionaris Timor-Leste asal Filipina.
“Ada hal yang tidak kumengerti, dan itu terjadi. Saya serahkan pada Tuhan,” demikian Francis Ylagan, misionaris Kuba asal Filipina.
“Imaji air dari video yang melatarbelakangi amat mengesankan saya. Hidup itu mengalir ibarat air,” seru Gabriel Kokon, misionaris PNG.
“Ada tangga emas yang akan kudaki,” kata Arockiasamy dari India.
“Saudara-saudara, saya bahagia mendengar ungkapan-ungkapan yang indah dari Anda. Usia tengahan itu bukan sebuah krisis. Itu adalah gift, karunia, pemberian,” demikian Dr. Jeyaraj menanggapi sekaligus memulai sesinya. Kata-kata seorang psikolog yang membesarkan hati.
“Dulu,” lanjutnya, “psikolog seperti Erikson dan beberapa lainnya menganggap usia tengahan itu normalnya dari 45-55, tapi sekarang orang cenderung memperpanjang usia tengahan itu, bahkan juga memulainya lebih awal, dari 35-65. Kalian semua ini para imam usia tengahan.”
Kami mengangguk-angguk. Lalu sambil melihat Mukabi Malile dari Kongo yang menginjak hampir 65 tahun, dia menyerukan, “Jadi kamu semua masih tengahan, masih muda.” Semua tertawa.
“Kalian semua lebih tahu usia tengahan karena kamu mengalaminya. Namun, ada hal-hal yang tidak kita sadari, walaupun kita tahu. Karena itu, perlulah kita menjadi sadar. Psikolog Carl Rogers sangat menganjurkan kita menyadari apa yang terjadi, apa yang hidup saat ini dan di sini.”
Kata-kata psikolog ini lagi-lagi mengingatkan kami akan pentingnya mindfulness, sebuah kata kunci yang berulang kali diucapkan dari waktu ke waktu.
Dia membagi kertas berisikan bagan roda emosi. Dalam roda emosi itu tergambar enam emosi utama pada lingkaran paling dalam, yakni Happy, Sad, Disgust, Anger, Fear, Surprise, lalu 36 emosi sekunder yang berkaitan dengan emosi primer pada lingkaran kedua. Lingkaran paling luar sekaligus paling besar berisi 71 emosi yang berkaitan dengan emosi sekunder dan primer.
“Pilihlah emosi-emosi dari masing-masing kategori – primer, skunder, tersier – yang saat ini, di Nemi, hidup. Bukan di Afrika, atau India, atau di tempat-tempat di mana kamu bekerja,” katanya. Ini salah satu latihan menjadi mindful. “Betapa pentingnya hidup dalam present moment bagi orang-orang usia tengahan, karena kita cenderung akan melihat apa yang sudah terjadi di masa lampau, atau mereka-reka waktu yang sisa di masa depan,” lanjutnya.
Saya memilih happy untuk emosi primer yang saya hidupi, interested (tertarik) pada lingkaran sekunder, dan inquisitive (ingin tahu) pada lingkaran paling luar. Lalu kami berbagi. Itu saja sudah membuat yang hidup di hati kita terurai, diberi nama.
“Para Romo dan bruder, baiklah melakukan latihan ini secara teratur setiap waktu. Nanti kosa-kata kita mengenai emosi akan menjadi kaya dan membantu kita memberi nama pada emosi yang sedang bergejolak,” kata Kulandaisamy Soosai, direktur program renewal pagi ini, Rabu (9/4/2025) ketika mengajak kami memproses secara personal apa yang telah kami dapatkan bersama Jeyaraj.