
Laporan Perjalanan Rm. Nani (17)
Kotbah P. Samy, SVD (Kulandaysamy Soosay), imam SVD dari India, salah satu tim program tersiat ini pada misa pembukaan, Senin (3/2/2025) mengesankan sekali.
Dia berbicara tentang burung elang. Konon, masa hidup elang bisa sampai 70 tahun. Pada usia 40 tahun – jadi lebih dari separuh masa hidupnya – cakarnya tumpul, paruhnya melengkung, bulu sayapnya terkumpul dan melekat di dada. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Itu masa krisis yang luar biasa.
Menghadapi situasi ini, untuk elang hanya ada dua pilihan. Kalau dia terus aktif berburu dia akan segera mampus. Namun, kalau dia mau hidup lama, dia harus kembali ke sarangnya. Selama enam bulan dia tidak boleh aktif bekerja. Dia harus tinggalkan semuanya dan berdiam diri dalam sarang.
Bagi elang ini melawan kodrat hidupnya. Namun, kalau dia berdiam diri, putuskan semua aktivitasnya, maka setelah enam bulan cakar dan paruhnya yang lama akan gugur, bulu sayapnya yang lama akan terlepas, lalu tumbuh semua yang baru: taring, cakar, dan bulu. Elang kuat kembali, siap mengarungi kehidupan.
Fakta bahwa kita semua sudah berada di sini, di rumah induk SVD, ini harus disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik. “Biarkan dirimu relaks. Putuskan hubungan dengan kerja dan tanggung jawabmu. Tinggalkan semuanya,” kata Samy. Ini momen kritis yang kalau dimanfaatkan sungguh-sungguh membuat kita kembali dengan kesegaran baru.
Kita perlu momen untuk diri sendiri dalam relaksasi, dalam ketenangan bersama sahabat-sahabat, agar kita dapat melihat diri kita. “Temukan apa yang harus diperbaiki dari tubuhmu, kesehatanmu, semangatmu, jiwamu,” tegasnya.
Samy juga berbicara tentang filsafat kehidupan orang Jepang, yakni Kintsugi. Kintsugi adalah seni memperbaiki tembikar yang pecah dengan fernis emas. Bagi orang Jepang, kelemahan, cacat, kekurangan tidak mesti negatif. Dia bisa menjadi sesuatu yang mengagumkan. Hasil perbaikan yang pecah bisa jauh lebih indah dan cemerlang.
“Kita perlu merangkul kelemahan dan kekurangan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang mengagumkan,” pinta Samy.
Kalau kedua hal ini dijalankan, yakni bertindak seperti elang setelah melewati paruh pertama hidupnya, dan melihat kelemahan dan kekurangan dengan tulus dan merangkulnya, kita mengalami pembaharuan, renewal, yang kita perlukan untuk melanjutkan perjalanan kita.
Dengan pengantar yang istimewa ini saya menarik dua hal untuk perjalanan renewal-ku. Pertama, tinggalkan segala ikatan yang menjadi tanggung jawab dan bebanku, dengan kepercayaan Tuhan akan menggenapinya. Terima kasih teman-teman dan seluruh keluarga berkhmawan yang membantuku terbang, lepas bebas.
Hal kedua adalah membuka diri, berbagi dengan tulus, merangkul kelemahan, membiarkan diri diperbaiki dalam semangat spiritualitas Santo Arnoldus Janssen, SVD. Membuka diri termasuk mengikuti kegiatan apa saja yang ditawarkan dengan segenap hati, menyapa dan bergaul dengan berbagai teman dari berbagai belahan dunia: Afrika, India, Polandia, Vietnam, Kuba, Filipina, dan tentu Indonesia; aktif dalam setiap acara, menerima apa saja, siapa saja, dengan hangat. Termasuk makanan dan cuaca.
Saya berusaha menghafal nama teman-teman: Mathew, Raju. Soby, Jakob, Michael, Gregory, Samy Kulanday, Herman, Samy dari India, Matias, Mukabi, Oswald dari Afika, Richard dari Polandia, Jerome, Gani, Jay, Francis, Loui dari Filipina, Gaby dan Bill dari Papua New Guinea, Thomas dari Jerman, Konrad, dan Aurel dari Indonesia. Kalau makan, saya berusaha berganti-ganti meja agar bisa berkomunikasi dengan teman yang berbeda-beda. Saya ingin merasakan interkulturalitas, hidup dalam keberbedaan dengan ikatan iman yang sama.
Kegiatannya enak, menarik, dan mendalam. Banyak waktu untuk pribadi, bersendiri, berdua-dua. Banyak kesempatan untuk jalan-jalan
Di sini makan pagi jam 7.30. Jam istirahat panjang sekali. Jam 09.00 misa pagi, lalu minum. Jam 11.00 sesi pagi. Jam 12.00 makan siang. Sore hari dimulai dengan minum, lalu sesi sore jam 15.30 dilanjutkan sharing bersama. Makan malam jam 18.00, dan setelah waktu bebas sampai istirahat malam. Semuanya diatur agar relaks.
Hari pertama, Senin (3/32025) setelah minum pagi, ada sesi perkenalan dengan dinamika kelompok yang menarik. Kami duduk melingkar. Di hadapan kami sudah diletakkan lembar-lembar kalender dengan macam-macam gambar. Kami diminta memilih saja salah satu gambar tanpa banyak berpikir.
Saat mendapat giliran berbicara, kami memperkenalkan diri dan setelah itu menyampaikan satu dua komentar singkat mengenai gambar yang dipilih. Ini seru sekali. Ada yang memilih harimau, anak kecil yang sedang berlari gembira, gunung, pantai, ibu-ibu yang sedang bekerja. Macam-macam. Lengkap dengan refleksi masing-masing.
Setelah memilih gambar, kami diminta merenungkan apa yang berbicara lebih dalam dari gambar itu, yang ada hubungan dengan diri kami masing-masing.
Yang saya pilih adalah gambar seorang India yang sedang meniup suling di depan seekor kobra.
Saya berbicara tentang kerelaan merangkul perbedaan. Budaya meniup suling untuk mengendalikan kobra bukanlah budaya Flores, tapi budaya India. Dengan merangkul perbedaan, kita menjadi lebih terbuka dan diperkaya. Itu keindahan dalam kebersamaan. Ubi caritas et amor, Deus ibi est – di mana ada belas kasih dan cinta, di situ ada Tuhan.
Tidak ada sesi sore pada hari pertama itu. Setelah makan siang, semua diberi kebebasan menonton karnaval di kota/desa tetangga, Tegelen. Tentu, semua peserta keluar, berjalan kaki ke Tegelen.
Tegelen adalah kota kecil di sebelah Steyl, letaknya di pinggir sungai Maas. Banyak bahan bangunan seperti keramik, batu bata, besi diambil dari Tegelen. Kata ‘tegelen’, ‘tegel’ itu sendiri berarti keramik.
Sebelumnya di akhir sesi pagi hari Sr. Maria Cristina Avalos, SSpS memberikan penjelasan mengenai kebiasaan karnaval ini. Kebiasaan ini sudah ada sejak sebelum adanya agama Kristen. Acara ini kemudian diambil alih menjadi kebiasaan yang dikaitkan dengan kekristenan, karena terjadi tiga hari sebelum Rabu Abu. Bagi orang Kristen Rabu Abu adalah awal masa puasa.
Jam 14.00, Aurel dan saya meninggalkan rumah induk Steyl. Mula-mula kami mampir di supermarket ‘Plus’ untuk berbelanja satu dua keperluan. Setelah itu kami berjalan kaki, mengikuti petunjuk yang disampaikan teman-teman.
Setelah sekian jauh, kami tidak melihat ada tanda-tanda karnaval. Kami memutuskan berbalik arah. Aurel menggunakan google map untuk memandu kami. Setelah berjalan kurang lebih 30 menit, kami sampai di Lokasi karnaval.
Masyarakat tumpah ruah di jalan-jalan. Berbagai kelompok menampilkan atraksi dengan kostum berwarna-warni dan mencolok. Banyak kelompok menggunakan kendaraan traktor dengan bak yang besar. Pamflet bahasa Belanda terpampang di depan, di sisi kiri-kanan. Ada kelompok musik terompet dan drum. Ada penari putri dengan kostum berwarna-warni dan atraktif. Banyak menggunakan topeng. Wajah dicat. Hidung ditempel hidung palsu yang lebih besar.
Anak-anak di pinggir jalan riuh rendah. Mereka berebutan memilih manisan, coklat, atau kue yang sengaja dilempar ke pinggir jalan. Saya dan Aurel tidak ketinggalan memilih manisan.
Setelah kurang lebih sejam kami pulang dengan gembira hari. Bagus juga, menikmati keberbedaan, embrace the difference.