TETERINGEN

Laporan Perjalanan Rm. Nani (23)

“You pray to Saint Arnold Janssen!” Kata-kata yang keluar spontan dari bibir P. Gani Ehido, SVD, misionaris Kongo dari Filipina saya terima dengan setengah percaya saat kami makan malam, Sabtu (15/3/2025). Besoknya, saya akan ke Teteringen bersama ke-3 teman dari Papua New Guinea (PNG): Bill Kuglame, Gabriel Serengi Kokon, SVD, dan Richard Wajda, SVD. Kami berempat tidak punya pengalaman sedikit pun bepergian jauh di Belanda ini dengan menggunakan kereta.

Sebenarnya sejak dari Indonesia saya dan P. Aurel sudah berencana ke Teteringen. Namun, Aurel sudah seminggu ini sakit. Karena itu, ketika mendengar ke-3 teman dari PNG hendak ke Teteringen, saya pun merelakan diri ikut.

Dalam tiket kereta hanya tertera Tegelen–Breda, Breda–Tegelen. Pikiran saya, naik keretanya hanya satu kali dari Tegelen ke Breda, begitu pula sebaliknya.

“Tidak ada kereta yang langsung dari Tegelen ke Breda. Setahu saya, kalian harus ganti kereta beberapa kali. Juga dari Breda ke Teteringen, apakah nanti ada yang jemput?” tanya P. Dennis Manzana, SVD, salah seorang anggota tim yang mendampingi program tersiat. Pertanyaannya membuat saya makin bingung.

Misa Minggu ke-2 Prapaskah kami berempat lakukan sendiri, dengan intensi antara lain mohon perlindungan dan tuntunan selama perjalanan, dan tentu saja kami minta bantuan doa Santo Arnold Janssen.

Setelah makan pagi, Dennis menawarkan diri mengantar kami ke stasiun kereta api Tegelan dengan mobil, padahal malam sebelumnya kami sudah berencana jalan kaki. Paling-paling hanya 30 menit ke Tegelen. Ah, ini pertolongan pertama.

Selanjutnya, dari Tegelen kami harus ke Venlo, kota besar terdekat. Di sana, kami harus ganti kereta. Kami terlambat, tapi ada kereta berikutnya dari Venlo ke Einhoven. Di sana juga kami harus berganti kereta, dan karena kami harus turun naik tangga, belok ke sana ke mari mencari platform untuk kereta ke Breda, kami terlambat lagi. Kami akhirnya tiba di Breda jam 11.30.

Tiba-tiba seorang kakek tua berjalan dengan tongkat mendekati kami. “Saya diminta Mgr. Henk menjemput kalian!” katanya. Kakek berusia jelang 90 tahun itu ternyata misionaris yang pernah lama bekerja di Gana. Namanya P. William de Leo, SVD.

Kami gembira sekali, tapi dalam hati kami bertanya-tanya, kok Pater tua ini datang menjemput ya? Kami dibawanya ke mobil, dan dia mulai menyetir mobil dengan lincah sekali. Seumur-umur saya, baru kali ini saya melihat seorang tua berumur jelang 90 tahun membawa mobil dengan sangat lincah, padahal kalau berjalan dia harus menggunakan tongkat, terbongkok, dan tertatih-tatih.

“Semalam saya coba email Bapak Uskup Henk di Teteringen. Dia lama sekali bekerja di PNG. Dia menghabiskan masa tuanya di Teteringen,” jelas Richard. “Tapi, saya tidak pernah sangka, yang jemput kita P. William yang sudah tua ini,” tambahnya.

Di Teteringen kami dihantar P. William ke ruangan yang biasa dipakai para misionaris sepuh untuk minum kopi. Namanya ruang kopi. Sejumlah misionaris tua ada di dalam. Masing-masing mempunyai rollator sendiri.

Rollator adalah alat bantu jalan yang memiliki 4 roda. Di antara para misionaris itu hadir Mgr. Henk Te Maarssen, SVD, Uskup emeritus Kundiawa, PNG, yang sudah sangat sepuh.

Pertemuan uskup dengan ke-3 misionaris PNG itu mengharukan sekali. Kami duduk semeja. Bapak Uskup berjuang mengambil cangkir kopi, dan menyiapkan kopi untuk kami semua. Dia bahagia sekali.

Sambil menyeduh kopi, para misionaris itu berbagi cerita kepada Bapak Uskupnya tentang perkembangan-perkembangan terbaru di PNG. Sesekali dia bertanya ulang karena pendengarannya sudah tidak sempurna. Kadang-kadang dia tertawa, kadang terdiam. Bapak Uskup seperti terbawa kembali ke PNG.

Dia menyebut beberapa imam yang dia kenal. Dia menyebut juga beberapa Uskup. Dia mendengar cerita terbaru mengenai mereka. Dia menambahkan pengalamannya bersama mereka. Dia menyebut beberapa tempat. Mengalirlah informasi-informasi terbaru tentang tempat itu, tentang umat yang mereka kasihi.

Secara fisik mereka ada di Teteringen, tapi hati mereka tertambat di tempat mereka diutus.  Kunjungan sama saudara dari tempat di mana mereka dulu bekerja itu seperti lepas rindu. Cinta dibuka kembali, dan bersamaan dengan itu bergemalah sukacita.

Kami lalu dihantar Bapak Uskup ke ruang sebelah, kamar makan para misionaris sepuh. “Dulu kami banyak, lebih dari 60 orang. Sekarang tinggal 30-an. Banyak sudah pergi,” kisahnya.

Di kamar makan itu, para misionaris sepuh sudah menunggu di meja masing-masing. Mereka dilayani para caregiver yang profesional. Dari antara mereka semua, hanya satu suster tua yang tersisa. “Semua suster yang lain sudah meninggal,” tambah Bapak Uskup.

“Selamat datang para misionaris Nemi,” sapa seorang misionaris tua. Kami diminta memperkenalkan diri. Ketika saya memperkenalkan diri sebagai imam diosesan yang diutus Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, semua terlihat gembira. “Paulus Budi mengunjungi kami beberapa tahun lalu. Kamu pasti beruntung karena Uskupmu Mgr. Paul Budi. Salam hangat dari kami untuknya,” kata misionaris yang lain.

Setelah makan, Mgr. Henk tidak mau beristirahat, padahal itu waktu siesta. Dia mengajak kami berkeliling ke sebagian kompleks Teteringen.

Teteringen adalah sebuah kota kecil di sebelah timur laut Kota Breda. Di tempat ini, didirikan Rumah Misi Santo Fransikus Asisi, Seminari Tinggi SVD Belanda yang sangat terkenal sejak tahun 1916. Kita dulu mengenal para misionaris dari Breda. Para misionaris itu tamatan Seminari Tinggi Teteringen.

Sekarang ini Seminari itu sudah tidak ada lagi. Sejak tahun 1972 Rumah Misi telah berubah menjadi rumah jompo untuk para misionaris sepuh, bahkan saat ini sebagian digunakan sebagai rumah jompo umum.

Bapak Uskup menunjukkan kepada kami bagian-bagian rumah yang dijadikan rumah jompo para misionaris sepuh. Kemudian ke kapela tempat mereka berdoa. “Cat di langit-langit di atas altar tiba-tiba terkelupas dan jatuh. Lalu muncullah gambar burung merpati yang indah yang melambangkan Roh Kudus. Pemerintah mempunyai rencana mengecat baru. Setelah mereka melihat gambar burung merpati, mereka berpikir ulang untuk memugarnya,” kisahnya.

Di langit-langit, di atas altar tersembul gambar besar seekor burung merpati. Sebagian sayapnya masih tersembunyi di balik cat lama yang belum terkelupas. Kemunculan gambar ini mengejutkan, dan membuat pemerintah berpikir ulang, bagaimana merenovasi secara benar kapela ini, agar jejak masa lalu tidak tersembunyi. Kebetulan-kebetulan manusiawi ini, pasti ada dalam rajutan rencana-Nya.

Lalu dengan bantuan rollator dia mengajak kami ke sayap bangunan bagi kaum lansia, yang jumlah cukup banyak, laki-laki dan perempuan. Bangunan baru yang ditambahkan. Di sebuah ruangan, beberapa lansia berkumpul. “Setiap blok ruangan lansia ada ruangan umum untuk berkumpul,” jelasnya.

Dia membawa kami ke taman di luar gedung. Luas sekali. Pohon-pohon yang meranggas mulai menghijau, pertanda mulai ada pergantian musim. “Sebentar lagi, tempat ini pasti indah. Bunga-bunga akan mekar. Saya paling suka datang ke sini,” katanya.

Kami tiba di Gua Maria. Gua yang lama sudah dibongkar, sekarang dibangun baru. Di kiri kanan gua ada sejumlah rangkaian bunga yang diletakkan umat. Kami berdiam diri sejenak, lalu melanjutkan lagi perjalanan. Kami masuk ke lokasi lapangan golf. Dulu, itu bagian dari tanah/kebun Seminari. Sekarang sudah ada perusahaan yang menyewanya untuk lapangan golf. “Itu kolam renang kami dulu waktu masih belajar di sini,” kisahnya. Kolam renang itu sudah menjadi bagian dari lapangan golf.

Kami tidak sempat ke kubur, karena waktu terbatas. “Kuburan sekarang sedang direnovasi. Rumput-rumputnya diangkat dan ditanam baru. Sayang, kamu tidak bisa melihat kubur para misionaris,” katanya. Saya sedih sekali, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Kami harus segera kembali, karena tidak lama lagi P. William akan membawa kami ke stasiun kereta api.

Seakan membaca keprihatinan kami mengenai perubahan dahsyat yang sedang melanda Eropa sekarang, dimana rumah-rumah misi yang besar atau kompleks Seminari yang agung seperti di Teteringen terpaksa dijual dan dialihfungsikan, Bapak Uskup menambahkan, “Sekarang ini mulai terasa ada kebangkitan iman yang baru di kalangan kaum muda. Saya baru saja mendapat informasi baru-baru ini jumlah kaum muda yang mengikuti kegiatan rohani banyak.”

Pernyataannya ini disampaikan ketika kami hendak masuk lagi ke ruang kopi untuk minum dan menunggu kedatangan P. William. Saya meneguk kopi perlahan-lahan sambil membayangkan para misionaris ini seperti biji gandum. Mereka sudah menggiling diri mereka sampai habis. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan dunia ini.

Namun, kisah biji gandum dalam Kitab Suci adalah sebuah narasi harapan. Biji gandum mati untuk menghasilkan buah yang berlimpah.

Saat kami pamit pulang, saya berada paling depan. Ketika saya menoleh ke belakang di lorong yang cukup panjang, Romo Bill, imam diosesan dari Keuskupan Kundiawa, PNG, sedang memeluk Bapak Uskupnya. Air matanya jatuh. Dia tahu ini pertemuan terakhir.

Dalam perjalanan pulang, Bill terdiam. Tidak banyak bicara. Di Einhoven ketika kami sedang menunggu kereta ke Venlo, dia mengatakan, “Bapak Uskup sudah berbuat banyak untuk Gereja Katolik di Papua New Guinea. Dia baik sekali. Sederhana, rendah hati, dan sangat ramah. Saya gembira bisa bertemu, tapi sekaligus sedih, karena saya tahu ini pertemuan terakhir.”

Dia menyendiri lagi, menutup kepalanya dengan selendang. Saya tahu, dia ingat Uskupnya. Seperti Bapak Uskup dari Seminari di Teteringan mengabdikan dirinya secara total di tanah misi, saya tahu ada banyak misionaris yang bekerja di Flores yang berasal dari Seminari ini, dari Rumah Misi ini.

Melihat perkembangan gereja yang luar biasa di Flores, jumlah keuskupan yang terus bertambah, jumlah biarawan/i yang besar, jumlah imam diosesan yang tidak kecil, betapa kita perlu angkat topi dan berutang budi pada Teteringen dengan para misionarisnya. Betapa gereja Flores tidak pernah boleh lupa berdoa bagi para misionaris!

Walaupun tidak sempat bertemu satu pun misionaris yang pernah bekerja di Flores, dan tidak sempat berdoa di kubur mereka, tapi saya gembira karena kunjungan ini membuat saya terkoneksi kembali dengan sejarah, dengan jiwa misioner yang luar biasa, dengan api iman yang bernyala-nyala.

Teteringen. Akhirnya saya menginjakkan kaki di tempat ini.

  • Related Posts

    VULTURE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (40) Seorang gadis kecil dari Sudan yang kelaparan tertelungkup jatuh tanpa tenaga lagi. Dia sudah berhari-hari tidak makan dan sedang berusaha ke pos makanan terdekat. Apa…

    MEMPERTANYAKAN MODEL FORMASI KITA

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (39) “Seorang imam muda dikirim keluar negeri untuk menjadi misionaris. Namun, hanya dalam 10 bulan dia sudah minta pulang. Dia mengeluh tentang bahasa. Dia mengeluh tentang…