Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan.
Dilansir dari Wikipedia, kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani “eu” (bagus) dan “phemoo” (berbicara). Eufemisme berarti berbicara dengan ungkapan yang baik dan sopan.
Eufemisme bertujuan untuk tidak menyakiti/ menyinggung orang lain. Dalam hal ini, kita ambil contoh, “Pencuri diamankan oleh kepolisian.” Kata “diamankan” merupakan salah satu contoh eufemisme yang memiliki arti sebenarnya, yaitu ditangkap.
Tidak semua penangkapan dilakukan pada orang yang tepat. Ada kalanya, pihak berwenang salah menangkap pelaku. Menggunakan kata diamankan terkesan akseptabel.
Namun, apabila koruptor yang diamankan, apakah itu pantas? Lebih baik koruptor disebut maling atau rampok, agar terasa efek jera dan rasa malu yang diterima.
Ironisnya, budaya Indonesia memiliki istilah “Di atas tumpul, di bawah lancip”. Pejabat-pejabat bermasalah, diberitakan secara halus. Sedangkan orang kecil, hanya mencuri sandal, terdapat dramatisasi.
Budaya hormat kepada orang yang tinggi statusnya sangat kentara dalam Indonesia. Karena itu, banyak berita korupsi pejabat yang justru menyembunyikan sesuatu.
Sebenarnya itu tidak perlu. Pihak berwenang pasti memiliki bukti objektif melalui penyidikan dan penyelidikan secara komprehensif dalam menangani sebuah kasus, agar khalayak dapat mengetahuinya.
Undang-Undang Pasal 6 No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyatakan, peran pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Oleh karena itu, para jurnalis perlu menyampaikan berita secara eksplisit.
Namun, kata-kata dalam berita juga perlu dikemas dengan baik. Potensi menimbulkan gejolak yang merusak nama keluarga pelaku merupakan salah satu pertimbangannya.
Era Soeharto
Pada Rezim Orde Baru, eufemisme memiliki fungsi pengendalian, kecurigaan, penipuan, dan kekerasan yang bergaya topeng. Maksudnya, ada arti tersembunyi yang jika diketahui menjadi lebih riskan bagi korban/ masyarakat.
Pemerintah memunculkan istilah represi linguistik, yaitu penekanan dan pembatasan atas kebebasan rakyat menyatakan pikiran dan perasaannnya dengan berbahasa. Hal ini menurunkan sikap kritis dan pembatasan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi.
Masyarakat terpaksa harus mengikuti segala perintah dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Disfemisme
Allan dan Burridge (1991) menjelaskan “disfemisme adalah kata atau frasa yang berkonotasi menyakitkan atau mengganggu baik bagi orang yang diajak bicara atau orang yang dibicarakan, serta orang yang mendengarkan ungkapan tersebut”.
Disfemisme dapat disebut sebagai lawan kata atau antonim dari eufemisme. Namun, Bukan berarti disfemisme tidak dibutuhkan.
Penulisan judul berita di media massa kadang memerlukan disfemisme. Contoh, “Kabar Gembira untuk Guru di Pelosok”. Kata pelosok menyatakan tempat terpencil yang jauh dari keramaian kota dan mengalami keterbatasan fasilitas.
Alasan tersebut membuat banyak orang tidak mau mengabdi di tempat ini. Oleh karena itu, disfemisme berfungsi untuk menarik minat pembaca.
Bagi seminaris
Di Seminari, eufemisme sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh para guru dan pembina kepada seminaris maupun di antara semi-naris sebagai bentuk komunikasi.
Bagi para guru/pembina, eufemisme menjadi suatu kebijakan pendidikan. Bagi seminaris menggunakan kata yang halus berguna dalam menjaga perasaan orang lain.
Namun, jika kondisinya merujuk kepada deviasi yang terbukti kebenarannya, eufenisme sebaiknya dihilangkan.
Seminaris suka membunga-bungakan sebuah kata demi suatu pembenaran dan keinginan tertentu yang belum tentu baik. Oleh karena itu, katakan saja dengan tegas dan terbuka terhadap pelaku ketika melakukan penyimpangan agar ada rasa malu dan efek jera baginya. Seminaris pun harus menjaga eufemisme.
Lorenzo Puling
Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu