“Romo sudah baca berapa buku?” tanya seorang siswa SMP Seminari kelas 7.
“Ah, banyak!” Jawaban pendek ini tidak memuaskannya.
“Coba saya lihat Romo punya MReader?” Dia terus mendesak. MReader adalah satu platform digital yang bagus, yang berisikan kuis-kuis dari ribuan buku graded readers untuk pembelajar bahasa Inggris.
Graded readers adalah buku-buku bahasa Inggris, fiksi maupun nonfiksi, yang diterbitkan dalam tingkatan yang berbeda-beda, mulai dari yang paling rendah, yang bisa dijangkau oleh anak-anak SD, sampai pada tingkatan maju untuk level perguruan tinggi, atau sesudahnya, termasuk untuk para guru.
Melalui penerbitan buku-buku graded readers ini, dan melalui platform-platform digital seperti MReader diharapkan kegiatan membaca luas, atau extensive reading, dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah.
****
Saya mengenal extensive reading sejak tahun 2021, saat Covid-19 melanda negeri kita. Saat itu banyak sekali webinar internasional tak berbayar yang ditawarkan. Saya rajin mengikutinya. Saya bersyukur bisa berjumpa secara online dengan berbagai tokoh besar di dunia pendidikan bahasa Inggris, yang nama-namanya hanya saya kenal lewat buku-buku.
Orang-orang seperti Stephen Krashen, Richard Day, Paul Nation, Willy Renandya, Rob Waring, Tom Robb, Fransisca Maria Ivone, Michael Lacey Freeman – untuk menyebut beberapa – adalah tokoh-tokoh raksasa dalam dunia pendidikan bahasa Inggris yang sangat bersahaja dan rela berbagi.
Melalui perjumpaan dengan mereka, saya mengenal extensive reading, termasuk prinsip-prinsip utamanya yang harus dipenuhi, jika extensive reading itu mau diimplementasikan di sekolah. Bagaimana memulai extensive reading itu di sekolah? Pertanyaan ini tidak bisa langsung saya temukan jawaban pada awalnya.
Namun pertanyaan ini terus mengiang, dan mengusik saya. Sementara itu, saya tergugah dengan kata-kata Jalaluddin Rumi, seorang penyair dan sufi besar dari Persia, yang hidup pada abad ke-13. Dia mengatakan, “As you start to walk out on the way, the way appears” – Saat Anda mulai berlangkah keluar, jalan akan muncul. Maka, tekad pertama yang saya tanamkan adalah, berani mencoba!
Dan benar saja. Kebetulan seorang dosen dari Sanata Darma yang sedang menjalani studi doktoral di Amerika, Ibu Yuseva Iswandari, menawarkan diri untuk menjadi teman pena para siswaku. Ramai-ramailah mereka menulis email kepada Ibu Yuseva, yang sangat sabar melayani anak-anak.
Melalui Yuseva, saya diperkenalkan kepada Tom Robb, Ketua Extensive Reading Foundation, yang banyak membantu. Tom mengirimkan dua paket buku graded readers, dan memperkenalkan extensive reading serta platform MReader kepada kami. Belakangan, kami mendapatkan lagi sejumlah besar buku yang disumbangkan Extensive Reading Foundation (ERF).
Singkat cerita, extensive reading dimulai pada bulan Mei 2021 dengan 10 siswa. Jumlah yang kecil itu berkecambah cepat sekali. Sampai sekarang extensive reading menjadi bagian dari kurikulum SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu. Semua siswa SMA Seminari tergabung di dalam extensive reading, dan sebagian (besar) siswa SMP pun masuk di dalamnya.
Saya sendiri menjadi pembaca. Saya percaya pada the power of easy books – kekuatan buku-buku yang mudah, tapi yang cerita-ceritanya menarik dan seru. Tak terasa, setelah lebih dari dua tahun tergabung di dalam gerakan extensive reading ini, jumlah buku yang saya baca sudah cukup banyak, jumlah kata yang saya jangkau di platform MReader mencapai lebih dari 5 juta kata, dan di platform XReading mencapai lebih dari 1 juta 300-an kata.
Kembali ke siswa SMP tadi yang ingin melihat buku-buku yang saya baca. Dia terperangah.
“Oii, Romo, sudah baca banyak sekali! Romo masih mau baca?”
“Iya, masih, setiap hari!”
Saya percaya, buku itu punya daya magis yang luar biasa. Daya transformasinya tak terbayangkan. Melalui buku, ada ledakan potensi yang mencengangkan.
Namun, memotivasi siswa untuk membaca, dan mempertahankan motivasi membaca di kalangan siswa, itu selalu menantang.
Verba docent, exempla trahunt – Kata-kata itu mengajar, tapi teladan meyakinkan. Betapa pentingnya keteladanan membaca itu untuk memotivasi siswa! Begitu kita membaca, siswa akan tahu, pasti ada sesuatu yang menarik dari buku.
Kalau sebagai pendidik, saya tidak membaca, kata-kata saya tidak cukup kuat untuk menggerakkan para siswa saya membangun kebiasaan membaca dan mempertahankannya. Karena membaca itu tidak bisa diajarkan, hanya bisa ditiru.
Seeing is believing. Siswa menjadi percaya setelah melihat. Siswa dalam awal tulisan ini melihat bahwa saya membaca setiap hari. Dia tahu, saya menulis sejumlah artikel dalam bahasa Inggris. Dia tahu saya mengikuti Kongres Dunia Extensive Reading.
“Romo bayar sendiri kah untuk ikut kegiatan itu?”
“Tidak. Saya dapat beasiswa. Badan Dunia Extensive Reading yang membayarnya,” jawab saya.
Dia terdiam. Dia juga tahu sejumlah siswa SMA suka berkomunikasi bahasa Inggris. “Bahasa Inggris mereka lancar sekali,” katanya suatu waktu.
“Mereka itu suka baca. Kau lihat tiap hari to?” tanya saya.
“Iya Romo!”
Saya katakan kepadanya, itulah ‘jam jenius’. Waktu kita baca, kita masuk ke ‘jam jenius’ itu.
Setelah sekian lama. Dia datang lagi menjumpai saya.
“Romo, pinjam HP!”
“Untuk apa?”
“Saya mau bicara sama mama. Saya mau bilang, saya sudah menjangkau lebih dari 100 ribu kata di XReading!”
Saya memberi HP saya dengan rasa haru yang besar.
“Nak, baca terus ya? Coba nekad sampai 200 ribu kata di kelas VII ya!”
***
“Humanity is powered by stories” – Kemanusiaan itu diberdayakan oleh kisah. Itu kata Kyle Zimmer, presiden dari Yayasan bernama First Book, ketika dia memberikan Kata Pengantar untuk buku biografi dari Jackqueline Wilson, seorang pengarang Inggris yang terkenal.
Dia melanjutkan, “Kisah-kisah besar itu magis. Kisah-kisah itu bisa memperkenalkan kita kepada budaya-budaya baru, mengingatkan kita akan keluhuran dan kegagalan kita sendiri, menginspirasi kita kepada keagungan atau membuat kita mati ketakutan; namun di atas segalanya, kisah menyajikan buat kita ilham kemanusiaan yang tidak bisa didapatkan melalui sumber lain. Sejatinya, kisah-kisah itu menghubungkan kita satu sama lain dengan kemanusiaan yang lain, tidak hanya pada masa kita, tapi sepanjang sejarah”.
Nah, mengapa kita tidak mengajak para siswa kita menikmati kisah-kisah dalam buku-buku? (Nani Songkares)