DARI AMSTERDAM KE STEYL

Laporan Perjalanan Rm. Nani (15)

Kami meninggalkan pastoran St. Urbanus di Duivendrecht, Amsterdam pukul 09.20.  Komunitas SVD mengutus P. Melvin Victor, SVD untuk mengantar kami. Dia malaekat perjalanan kami.

Udara dingin sekali. Saya mengenakan pakaian berlapis-lapis, baju alas yang tebal, long john, dua sweater, dua jacket, ban leher, topi dingin. Menurut P. Yan Aja, SVD, rektor rumah yang sempat mengantar kami sampai stasiun kereta yang berjarak hanya kurang lebih 30 meter dari pastoran, temperatur drop sampai dua derajat Celsius.

Kereta datang sesuai jadwal. Kami meluncur ke stasiun kereta berikutnya untuk berganti kereta menuju Venlo. Kami tidak mengalami kesulitan sama sekali karena diantar Melvin. Kami mengikuti saja ke mana dia berlangkah. Seandainya imam India yang baik hati ini tidak menemani, kami kerepotan.

Kereta menuju Venlo itu berbeda. Kalau pada kereta sebelumnya kebanyakan penumpang berdiri, di kereta ini orang memilih duduk. Bangku yang disediakan juga banyak. Dengan kecepatan antara 140-150 km per jam, perjalanan menuju Venlo ditempuh selama dua jam. Kami melewati beberapa kota yang namanya sudah dikenal, di antaranya Utrecht, Einhoven, dan Maastricht.

Tidak ada pemandangan alam yang menakjubkan. Belanda itu datar, tidak ada bukit, apalagi gunung, sekurang-kurangnya di jalur tempuh yang kami lewati. Sungai pun aneh. Datar, lurus, tidak berkelok-kelok, lebar sehingga terkesan seperti laut. Lebih aneh lagi, tanah Belanda itu kelihatan lebih rendah dari permukaan sungai.

Namun penataan kotanya luar biasa. Jalur-jalur kota lurus dan rapi sekali. “Itu kelebihan Belanda. Mereka well-organized di hampir semua sektor. Di bidang transportasi, misalnya, Anda tidak perlu panik kalau ketinggalan kereta api. Tunggu saja jadwal kereta berikutnya. Pasti aman,” kata Melvin.

Di Venlo kami berhenti di depan toko makanan. Melvin membelikan untuk kami sanwitch untuk makan siang dan minumannya satu gelas cappucino.

Setelah itu kami ke terminal bus. Di sini, kartu berlaku lagi. Untuk masuk ke dalam bis kami harus tempelkan kartu di tiang elektronik yang sudah disiapkan dekat pintu depan. Itulah caranya check in. Kalau turun bus, kami harus check out di pintu belakang sekaligus membayar ongkos transportasi.

Naik turun bus tidak sembarangan, tidak sesukanya. Ada aturannya. Bagusnya, semua orang mematuhi. Bus tidak berhenti lama menunggu. Orang banyak atau sedikit, pada waktunya bus akan berangkat.

Di Steyl kami turun bus dan berjalan kaki kurang lebih 1 km menuju rumah induk SVD. Dari jauh rumah induk sudah kelihatan.  Semakin dekat pemandangan terasa menakjubkan. Gedung gereja yang besar dengan menara lancip yang menjulang tinggi. Bangunan tua yang megah dengan dinding batu bata merah dan ratusan kamar. 

Ada tiga bangunan utama yang berdekatan: rumah induk SVD, rumah induk SSpS, dan rumah induk SSpS Adorasi Abadi. Akhirnya saya bisa tiba di sini. Seperti mimpi saja. Seluruh bangunan iman kekatolikan di Flores dimulai dari sini, dari seorang imam diosesan Keuskupan Muenster yang sederhana tapi pendoa dan berjiwa misioner, Arnoldus Yansen.

Setelah mendapatkan kamar, Aurel dan saya berkeliling menjelajah seluruh kompleks bangunan rumah induk SVD itu.  Ada sebuah bangunan tua di depan rumah induk. Sekarang menjadi Museum Misi. Pada sebuah sudut di jendela kaca lantai paling bawah ada tulisan, “Hollywood op Flores”. Di sebelahnya ada nama P. Simon Buis, SVD.

Pria yang lahir pada 12 November 1892 ini terkenal karena sudah sejak 1925 membuat film-film tentang Flores untuk memperkenalkan misi di Kepulauan Sunda Kecil kepada masyarakat Eropa. Ada tiga film yang terkenal, salah satunya Ria Rago yang bercerita tentang cinta terlarang seorang gadis yang dipaksa menikah oleh tua-tua adat.

P. Simon Buis, SVD dan para bintang film

Ada kejadian mengenaskan. Pada 24 September 1934 Ria Rago diputar di gedung film yang baru di Hilversum. Proyektornya panas lalu terbakar. Api menjalar cepat dan menghanguskan gedung baru itu. Ada korban jiwa. Pater Simon Buis dan Fr. Duimel, operator proyektor itu, dibawa ke pengadilan, tapi kemudian dibebaskan.

Pada 17 Januari 2025 film itu diputar lagi di Museum Misi, dan orang mengagumi karya spektakuler seorang misionaris SVD yang sudah menggunakan sarana film untuk pewartaan sejak awal.

 Sebelum beristirahat kami minta diantarkan ke kapela dimana ada kubur pendiri Serikat Sabda Allah itu.

Di depan kubur itu saya berdoa. Nama-nama para misionaris yang saya kenal entah lewat buku atau perjumpaan pribadi melintas di kepala. Mgr. Noyen, Mgr. Vestraelen, Mgr. Leven, P. Frans Cornelissen, P. Yan Hudec, P. Engels, P. Kurt – untuk menyebut beberapa. Kalau bukan karena Santo Arnoldus Yansen, SVD dan anak-anaknya, barisan para misionaris ini, Gereja di Flores, dan secara khusus, Gereja di Keuskupan Agung Ende tidak mungkin berkembang sejauh ini. “Teman, Gereja Keuskupan Agung Ende itu mempunyai tanggung jawab historis yang besar,” kata Aurel. Secara khusus saya mempersembahkan Seminari kita, yang arsiteknya adalah para misionaris kita. Semoga Bapa Arnoldus tetap menyebut nama Seminari kita di hadapan Bapa di Surga.

Perasaan bercampur-aduk: gembira, haru, syukur, bahagia. Di kamar, saya bernyanyi. Saya tidak tahu lagunya apa, pokoknya Syukur. Di kamar makan saat makan malam, perasaan-perasaan itu terus terbawa. Ketika saya ditanya oleh teman-teman dari Filipina, Gana, India, Papua New Guinea – mereka yang semeja makan dengan saya – dengan bangga saya memperkenalkan diri sebagai imam diosesan dari Keuskupan Agung Ende.

Setelah makan malam, Aurel mengajak saya sekali lagi ke makam Santo Arnoldus Yansen, SVD. “Ada umat dari Batam yang minta doa melalui Santo Arnoldus Yansen, SVD,” katanya. Kami berdua duduk berdiam diri dalam hening di depan pusara orang istimewa ini.

Vivat Deus Unus et Trinus in cordibus nostris – hiduplah Allah Tritunggal dalam hati kita.

Vivat cor Jesu in cordibus  hominum – hiduplah hati Yesus dalam hati manusia.

  • Related Posts

    TANGGA-TANGGA COLOGNE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (22) “Yes, akhirnya melewati perbatasan Jerman!” teriak saya penuh gembira disambut pekikan tawa Surya, Johan, dan Vinsen, mantan siswa Seminari Mataloko yang sekarang melanjutkan studinya di…

    ISSUM, KEVELAER, GOCH

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (21) Kami berkumpul di depan rumah induk Steyl setelah makan pagi, Sabtu (8/3/2025). Udara dingin tapi bersih dan segar, seperti biasa. Belum jelas peralihan dari musim…