MALAM PERTAMA BERSAMA PARA MISIONARIS

Laporan Perjalanan Rm. Nani (11)

Pesawat ITA-Airlines menerbangkan kami dari Roma ke Amsterdam. Saya bertualang di sebuah dunia yang baru. Saya bersyukur ditemani Pater Aurel Pati Soge, SVD sealama perjalanan mulai dari Indonesia.

Aurel sebetulnya ingin berangkat tanggal 24 Februari, tapi karena saya memohon bantuan agar bepergian bersama, kami memutuskan berangkat tanggal 25 Februari. Saya bersyukur, selama perjalanan saya dituntun orang yang baik hati ini.

Sekadar untuk dibayangkan, kami memulai perjalanan dari Wisma Soverdi Jakarta pukul 14.00. Kami tiba di Doha kurang lebih pukul 02.00 pagi. Kami meneruskan penerbangan ke Roma dan tiba kurang lebih pukul 08.00. Kami menyelesaikan urusan keimigrasian, setelah itu segera check in. Kami berangkat kurang lebih pukul 14.00, dan tiba di Asmterdam pukul 17.15. Kami dijemput P. Marianus Jehandut, SVD, misionaris asal Manggarai, tiba kurang lebih pukul 18.30. Saya baru tidur lagi pukul 20.30.  Saya sendiri tidak tahu, berapa jam kami menghabiskan waktu dalam perjalanan sampai bisa beristirahat. Hampir 30 jam. Gila!

Pater Marianus Jehandut, SVD, lahir pada 20 Februari 1962. Dia ditahbiskan tahun 1992, dan menjadi misionaris di Belanda sejak 1997. Mulanya tinggal di Den Haag, tapi kemudian menetap di Amsterdam, di pastoran Gereja St. Urbanus,  dengan Alamat Rijksstraatweg 232
1115 AV Duivendrecht.

Bersama tiga misionaris lainnya, P. Yan Aja, SVD dari Timor, dan seorang misionaris dari Afrika, dan P. Melvin Victor, SVD dari India, Marianus melayani 5 paroki. “Kalau waktu misa umatnya bisa mencapai lebih dari 150 orang, untuk kami itu sudah banyak sekali,” katanya saat kami menikmati makanan di Terminal Kedatangan di bandara Schiphol, Amsterdam.

Bandara Schiphol itu salah satu bandara terbesar di dunia. Mula-mula beroperasi sebagai bandara militer pada masa perang dunia I, tapi kemudian beralih menjadi bandara sipil dan terus berkembang sampai menjadi salah satu bandara terbesar.

Setelah makan, Marianus memfasilitasi kami menaiki kereta. Dengan gesit dia menuntun kami ke shelter kereta. “Dua tiang tadi,” jelasnya kepada saya sambil menunjuk dua tiang elektronik yang kami lewati, “itu tempat kita membayar ongkos kereta api.” Pembayarannya menggunakan kartu. Hampir semua transaksi keuangan yang saya saksikan sudah elektronik.

Di bandara Roma, saya ingin sekali minum air. Saya mencari depot penjualan air mineral, tapi ketika saya melihat semua transaksi serba elektronik, saya mundur. Saya memberitahukannya kepada Aurel. Sambil tersenyum, dia pergi ke depot itu dan membelikan dua botol minuman. Dalam hati saya bersyukur ditemani orang-orang yang sudah berpengalaman di Eropa ini.

Pastoran Gereja St. Urbanus terbilang kecil, dibandingkan dengan pastoran-pastoran ukuran Indonesia. Dalam pastoran kecil itu tiga misionaris tinggal. Mereka menerima tamu dari mana-mana. Mereka mengupayakan agar tamu bisa menginap di pastoran.

Misalnya, saat ini ada tiga tamu. Saya bersama Aurel dan P. Konrad Haribaik, SVD, misionaris Filipina asal Indonesia. Bersyukur imam dari Afrika berlibur, jadi kamarnya bisa dipakai, dan ruang kerja kamarnya disulap jadi sebuah ruangan. Saya menempati ruang bagian dalam, P. Konrad Haribaik, SVD di ruang kerja. Sebelum kami datang, ada misionaris dari India menginap dua hari di sana.

Di pastoran yang sempit itu semuanya lengkap. Di lantai bawah ada pendopo dan ruang pertemuan, di lantai atas kamar tidur. Ada dua kamar mandi, sebuah kamar makan kecil dengan meja bulat, sekalian dapur.

Semua diurus sendiri. Tidak ada pemasak atau karyawan/ti seperti lazimnya di Indonesia. Kami duduk di sejenak di kamar makan. Ada bir yang disiapkan, tapi saya menolak karena tidak sanggup meminumnya. Ada buah zaitun, dan daging berbentuk bundar, yang dikerat seperti hosti. Ada berbagai macam kacang-kacangan. Sederhana, tapi menggembirakan sekali.

Saya pamit duluan karena capai sekali. Tidur jam 20.30 malam, tapi sudah bangun lagi jam 04.00. Sempat ngobrol dengan Konrad Haribaik, yang ternyata sudah lebih dahulu bangun.

“Saya mengagumi para misionaris ini. Tidak hanya harus survive di tanah asing, dan mengerjakan segala sesuatu secara mandiri, tapi juga gesit berpastoral di tanah asing,” ungkap saya kepada P. Konrad. Dia menceritakan banyak hal mengenai pengalamannya di Filipina. “Romo, seperti para misionaris kita dulu, saya mengalaminya sendiri. Dan supaya kita bekerja dengan penuh, kita harus mengenal umat kita, merangkul, memeluk budaya mereka. Itu tantangan yang besar. Tapi kalau kita sudah diterima, itu sangat membantu karya pastoral kita.”

Konrad sudah lebih awal bangun. “Di Filipina saya biasa bangun pagi untuk misa bersama umat,” kisahnya.

Udara menusuk tapi sudah tidak terlalu dingin. “Sekarang ini musim sudah mulai beralih,” kata Marianus. Di dalam kamar saya, dia sudah menyetel penghangat suhu.

Bangun pagi jam 7.30 karena dipanggil makan pagi. Roti, daging lempeng a la Amsterdam. Lalu P. Melvin membuat omelet. Kenyangnya minta ampun. Percakapan di kamar makan yang kecil itu memberikan banyak sekali informasi baru buat saya.

“Saya selalu bicara pada misionaris baru. Kalau alami tantangan, jangan minta pulang. Hadapi itu. Biasanya 5 tahun menderita, sesudah itu kau akan menikmatinya,” kata Marianus.

  • Related Posts

    BUTIR-BUTIR HARAPAN DI AWAL ZIARAH (3)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (3)   Wisma Soverdi Jakarta sudah berubah wajah. Gedung tua sebelumnya didirikan sejak tahun 1950-an dan bertahan terus sampai tahun 2007. “Gedung tahun 1950-an memang didirikan…

    BUTIR-BUTIR HARAPAN DI AWAL ZIARAH (2)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (2)   Saya berangkat ke Ende pada 19 Februari untuk serterusnya menuju Jakarta keesokan harinya, dan ke Italia pada 25 Februari, lalu Amsterdam 26 Februari. Pada…