
Laporan Perjalanan Rm. Nani (2)
Saya berangkat ke Ende pada 19 Februari untuk serterusnya menuju Jakarta keesokan harinya, dan ke Italia pada 25 Februari, lalu Amsterdam 26 Februari.
Pada 19 Februari malam, saya sempatkan diri makan malam di Ndona bersama Bapak Uskup. “Bapak Uskup, to the point saja, nanti setelah sabatikal, saya ditempatkan di mana?” tanya saya. “Ya, di Seminari to. Kok masih ragu?”
Jawaban Bpk. Uskup ini berkaitan dengan permintaan saya berikutnya. “Nanti setelah kembali ke Indonesia, saya mohon izin ke Jogja untuk mengunjungi Kampung Inggris selama satu atau dua minggu,” pinta saya. “Silahkan.” Jawaban Mgr. Budi ini singkat dan sederhana tapi mengungkapkan kepercayaan seorang pimpinan bahwa yang saya rencanakan itu baik untuk Seminari.
Jam 7.30 pagi saya ke bandara untuk chek in, diantar P. Anton dan Om Piter. Saya masuk ruang tunggu sendirian. Tiba-tiba dari dalam ruang tunggu, seseorang melambaikan tangan. Rm. Anis Hami, Pr, Mbo Tuang dari Maronggela. Dia ke Jakarta untuk sebuah pertemuan. Ah, ada teman lagi yang tak terduga.
Penerbangan ke Labuan Bajo singkat saja. Jam 9.15 sudah mendarat, tapi penerbangan ke Jakarta pukul 14.00. Jadi mestinya harus menunggu berjam-jam. Namun, di luar bandara, Pak Stef Sahaba sudah menunggu. Saya dijemput ke rumah. Makan siang di rumah.
Pukul 14.00 Batik Air take off menuju Jakarta. Beberapa waktu setelah mendarat, HP berdering. “Om saya masih di dalam kereta bandara. Saya akan jemput om.” Suara Ando Lali saya dengar dalam perjalanan ke tempat bagasi. Saya gembira. Keponaan saya ini ada di luar, menemani saya ke Jakarta. Waktu itu pukul 16.00.
“Om mau coba kereta bandara? Nanti kita akan sampai ke stasiun Manggarai, lalu dari sana pakai grab ke Mataram. Lebih hemat dan efesien,” katanya.
Wah ini tawaran bagus untuk saya. Biasanya, kalau tidak ada jemputan, saya berpikir tentang taksi, atau grab. Ternyata ada moda transportasi lain, yakni kereta. Ini pasti mengasyikkan.
Ando segera mengambil bagasi saya dan berjalan di depan. Langkahnya cepat sekali. Seperti sedang terbang. “Cepat om Romo!” Kami berhenti tepat di depan pintu kereta. Orang-orang menyemut masuk kereta bandara. Gratis.
Kereta bandara itu disebut Kalayang (Kereta Melayang). Digunakan untuk perpindahan antarterminal. Kalayang atau skytrain ini sudah beroperasi sejak 2017 silam. Jadwalnya sudah baku. Jadi kalau terlambat, harus menunggu kereta lain.
Kesan pertama, kereta ini sangat modern, dan bersih. Kami masuk ke ruang lobby kereta. Indah dan bersih. Ando tidak pakai basa-basi. Dia gesit meliuk-liuk di antara orang banyak. “Kita beli tiket ke stasiun Manggarai,” jelasnya.
Saya membayangkan jendela loket penjualan tiket, dan barisan orang yang mengantre. Ternyata semuanya serba otomatis, pakai mesin. Uang untuk pembelian dihubungkan ke sistem bank. Setelah pembayaran selesai, dia mengambil tiket untuk kami berdua. “Pegang tiket ini Om, jangan hilang.” “Siap, bos!” kataku dalam hati.
Pada tiket itu ada barcode yang berfungsi untuk membuka dan menutup pintu di setiap jalur. Wah! Saya terkagum-kagum. “Om, kita istirahat dulu, minum kopi. Mau kopi apa?” “Kopi pahit!” jawabku sekenanya. Dia menghilang sejenak, entah ke mana. Lalu muncul lagi dengan dua gelas kopi.
Kami duduk di ruang tunggu yang luas, sambil menikmati kopi. Walau buru-buru, tapi menghangatkan. Aroma kopinya membuat pikiranku melayang ke pojok kamarku, tempat saya menyeduh kopi Bajawa.
“Om, mari! Bawa tiketnya!” Saya mengikuti saja. Kami masuk ke jalur tertentu dengan beberapa pintu yang buka tutupnya otomatis menggunakan barcode pada tiket. Kami masuk kereta yang panjang, bergerbong-gerbong. Kursi-kursinya berjejer teratur. Warna dominan hijau. Kerangka kursi mengkilap indah. Lorongnya cukup lebar. Enak untuk berlangkah.
Saya menatap kiri-kanan. Tidak ada sampah yang terbuang. Tak satu pun. Padahal itu tempat umum. Debu kotoran pun nyaris tidak ada. Tidak ada bau amis, apalagi bau pesing. Udaranya sejuk karena ada AC yang baik.
Ada tempat khusus untuk penyimpanan bagasi. Tempat duduk kami cukup jauh dari bagasi. “Aman, Om!” sergah Ando seakan menangkap kecemasan saya. “Yang membuat kereta menjadi seperti ini Ignas Jonan. Dia membuat orang bekerja total. Hasilnya yang kita nikmati sekarang ini.” Saya mengangguk-angguk, meneguk setiap kata yang Ando ucapkan.
Setelah kurang lebih sejam, kami tiba di stasiun Manggarai, lalu Ando memesan grab menuju Komunitas Soverdi, Matraman Raya, Jakarta. Biaya seluruhnya dari bandara ke Matraman Raya Rp120.000. Padahal dua minggu sebelumnya Bersama Rm. Yance, biaya grab Rp.350.000. Tiba malam sekali.
Kepenatan tidak terasa. Pengalaman baru dari bandara bersama Ando menutup semuanya. “Ando, Om bangga sekali,” gumam saya di lantai 2, kamar no.213, Soverdi Jakarta sebelum masuk kamar mandi untuk menyegarkan diri dan bergabung bersama para imam dan bruder SVD, di kamar makan.
“Romo Naniiii, mari, mari!” Seperti biasa, suara P. Frans Lamuri, SVD yang ramah membuat saya diterima dalam keluarga SVD. “Ayo, langsung makan!!” Ajakan yang khas Flores, di tengah Jakarta yang bising dan bisa membuat kita tersesat dan terasing. Indah sekali, merasakan keramahan orang-orang Flores ini.