AMSTERDAM CENTRAAL

Laporan Perjalanan Rm. Nani (12)

Usai makan pagi bersama pada Kamis (27/2/2025), Marianus menawarkan kepada Aurel dan saya makan siang di pusat keramaian Amsterdam. Sebuah tawaran yang istimewa, dan mungkin tak terulang.

Jam 11.00 kami keluar dari pastoran. “Ini kartu untuk kamu,” kata Marianus sambil memberikan kepada masing-masing kami sebuah kartu.

Pastoran dekat dengan stasiun kereta. Kartu berguna sebagai semacam check in. Begitu memasuki stasiun, kami melakukan check in dengan kartu. “Ini kartu untuk gosok masuk dan gosok keluar,” canda misionaris yang sudah 23 tahun berada di negeri kincir angin ini.

Sebagai tanda bahwa kita akan menggunakan kereta, kita menempelkan kartu pada ‘tiang’ check in. Kartu ini juga berguna saat kita membuka pagar pengaman jalur. Kartu yang sama digunakan lagi di akhir perjalanan untuk membayar ongkos transportasi.

Beberapa saat kemudian, kereta tiba dan kami segera berangkat. Tak lama setelah memasuki Lorong bawah tanah, kami tiba di Amsterdam Centraal, pusat keramaian kota Amsterdam.

Kesan pertama, pusat keramaian ini penuh bangunan tua yang menjulang tinggi dan berjejer  di kiri-kanan jalan yang telah berdiri beratus-ratus tahun lalu. Model bangunan rumah mirip Kemah Tabor, dengan jendela yang tinggi dan besar. Bedanya, di Amsterdam ini bangunan lebih megah dan menjulang. “Itulah hasil penjajahan yang mereka lakukan terhadap banyak negara, termasuk kita,” ketus Aurel.

Pengaturannya luar biasa. Jalan di tengah jejeran bangunan itu luas sekali. Orang-orang dari berbagai suku bangsa dan warna kulit hilir mudik. “Cuaca dingin bukan masalah bagi mereka,” jelas Marianus. Ratusan ekor burung merpati ikut menemani.

Gerimis turun. Kami menepi mencari tempat berteduh. Namun, orang tetap menyemut di jalan. Tidak banyak kendaraan yang lewat, tidak seperti di Jakarta. Kami menyeberang di zebra cross.

Di antara bangunan yang menjulang tinggi, terpampang nama New King. “Kita makan di restoran itu ya. Kita makan babi panggang,” ajak Marianus. New King adalah nama restoran China yang terkenal di Amsterdam. Restoran ini pemenang Time-out Amsterdam’s Best Late-Night Restaurant.

Masuk ke dalamnya, kita seperti berada di dalam bangunan kayu dengan corak khas China. Tangganya, lantai bangunan, meja-kursi, tempat soup dan piring, semuanya berwarna gelap. “Siang hari begini orang tidak banyak. Nanti malam, restoran ini ramai sekali. Kita datang lagi ya malam nanti pada jam 10.00.” Aurel dan saya mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Menu utama yang dipesan adalah babi panggang. Kata ‘babi panggang’ sudah sangat dikenal. “Banyak makanan Indonesia dikenal di sini: nasi goreng, sate, babi panggang,” kata Marianus.  Selain babi panggang, ada juga menu ikan Salmon yang dibalut terung. Minumannya teh China.

Usai makan, kami berkeliling. Kami masuk ke lorong-lorong kota. Ke pusat-pusat perbelanjaan. Ke alun-alun. Ke monumen Perang Dunia II. Ke bangunan tua tempat para raja Belanda dilantik. Di depan jejeran bangunan ada kanal yang lebar. Perahu-perahu mewah berjejeran. Itulah cara orang Belanda menarik wisatawan.

Di depan monumen perang dunia II kami berhenti sejenak. Monumen itu dibangun tahun 1956 untuk mengenang kekejian perang. Monumen itu berada di tengah Dam Square, sebuah alun-alun besar.  Ada patung empat orang yang dirantai, dan Tuhan Yesus seakan-akan disalibkan di tengahnya. Pematungnya Bernama Paul Gregorie.

Aurel dan Nani dengan latar belakang monumen nasional di Dam Square

 

Kami juga mengunjungi gereja tua, Basilika Santo Nikolas di tengah pusat keramaian. Turis-turis berdesakan. Bangunannya antik. Interiornya indah sekali. Di sekeliling dinding basilika ada gambar-gambar berukuran besar dari stasi-stasi Jalan Salib. Basilika Santo Nikolas adalah bangunan gereja Katolik terbesar di Amsterdam. Basilika ini mempunyai dua menara kembar yang menjulang tinggi dan sebuah menara dengan kubah bergaya barok yang besar di atasnya.  Di tengah menara kembar bagian depan itu berdiri sebuah jendela mawar yang besar.

“Kamu jangan hanya foto-foto di sini ko. Di depan gereja saya juga supaya ada kenangan,” pinta Marianus. Itulah hal terakhir yang kami lakukan setelah kami kembali.

Gereja Santo Urbanus, gerejanya Marianus, lebih mungil dari gereja Santo Nikolas, tapi menjulang tinggi dengan bentuk lancip yang tajam. Kami berfoto di depannya. Juga diperkenankan masuk ke dalamnya melalui pintu di samping pastoran.

Marianus dan Aurel di depan gereja Santo Urbanus, Duivendrecht, Amsterdam

Tak terasa, kami menghabiskan lima jam. Makan siang terpanjang yang pernah saya alami. Istirahat sore pulas sekali.

  • Related Posts

    TANGGA-TANGGA COLOGNE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (22) “Yes, akhirnya melewati perbatasan Jerman!” teriak saya penuh gembira disambut pekikan tawa Surya, Johan, dan Vinsen, mantan siswa Seminari Mataloko yang sekarang melanjutkan studinya di…

    ISSUM, KEVELAER, GOCH

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (21) Kami berkumpul di depan rumah induk Steyl setelah makan pagi, Sabtu (8/3/2025). Udara dingin tapi bersih dan segar, seperti biasa. Belum jelas peralihan dari musim…