
Laporan Perjalanan Rm. Nani (10)
Petualangan baru saya lakukan hari ini, Rabu 25 Februari 2025. Saya memang pernah ke Yerusalem, tapi itu tour dalam kelompok, diatur oleh orang lain, jadi segala-galanya serba enak.
Kali ini petualangan berdua bersama sahabat istimewa, P. Aurel Pati Soge, SVD, jebolan London School of Economics, dan sekarang bekerja di Bible Centre Batam.
Kami berangkat dari Wisma Soverdi pukul 14.00. Di bandara kami segera masuk ke Terminal Pemberangkatan Internasional yang amat luas dan modern. Agak ketar-ketir juga, karena barang bawaan saya raksasa – koper yang sangat besar, sementara barang bawaan P. Aurel dua koper sedang.
Dia sudah malang melintang di berbagai negara di Eropa. Dia punya banyak sahabat di benua putih itu.
Sementara saya tidak punya pengalaman apa-apa. Saya membawa apa yang saya rasa penting untuk dibawa. Untungnya ada bantuan koper raksasa dari Pater Anton. Ternyata ketika ditimbang aman. Tidak melebihi berat maksimum.
Check point sebelum masuk ke ruang tunggu modern sekali. Sudah harus pakai barcode dengan CCTV. Ada keganjilan di sana. Tas bawaan saya harus dibongkar dan diperiksa. Ternyata 3 odol besar yang saya beli sebagai bekal harus ditinggalkan. “Odol sebesar ini harus diletakkan dalam bagasi, bukan tas bawaan,” kata petugas. Peduli amat. Odol diberikan kepada mereka, dan kami jalan terus.
Dingin luar biasa di dalam bandara. Untung saya sudah berpakaian berlapis-lapis. Ada long john, ada sweater, dan baju hangat bagian luar. Ada topi dingin dan ban di sekitar leher. Syukur pada Tuhan, hasil dengar-dengar nasihat orang.
Garuda membawa kami ke Doha, Qatar. 12 jam perjalanan. Kami disuguhi makanan yang masih panas dan gurih. Minumannya? Saya memilih anggur merah. Enak sekali.
Kami tiba jauh malam di Doha, di Hamad International Airport. Ketika keluar dari pesawat dingin luar biasa menusuk. Angin padang gurun menambah kedinginan. Untung kami segera masuk ke dalam bis yang membawa kami ke dalam ruang transit.
Bandara Hamad ramai sekali. Tidak ada pengumuman penuh keributan seperti di bandara-bandara Indonesia. Informasi semuanya ada di papan digital yang terpampang di mana-mana. Kami segera mencari tahu di papan digital itu jam keberangkatan, nama pesawat yang akan kami tumpangi, gate/gerbang dimana kami harus boarding.
Kami menunggu cukup lama. Orang datang dari mana-mana. Dari seluruh dunia, dengan segala kesibukannya. Ada yang berlari. Ada yang menunggu rombongan, berdiri bersama rombongan, berjejeran di depan papan digital.
Ada hal yang menarik perhatian. Di Qatar, orang-orang yang pakai jubah putih banyak sekali. Itu masyarakat biasa di Timur Tengah. Jubah putih adalah pakaian keseharian rakyat biasa.
Setelah tahu gerbang tempat kami boarding, kami berjalan kaki cukup lama, menuruni tangga escalator, berkelok-kelok di antara ribuan orang. Akhirnya, dengan Qatar Airlines kami menuju Roma.
Kami mendarat di Bandara Internasional Leonardo da Vinci Fiumicino, Roma pagi hari, kurang lebih pukul 8.00 pagi.
Urusan yang memakan waktu lama adalah pemeriksaan keimigrasian. Bukan karena prosesnya, tapi jumlah orang yang membludak. Barisan manusia panjang dan berkelok-kelok. Semua menuju ke pintu check point.
Setelah selesai semua urusan keimigrasian, kami harus mencari lagi terminal pemberangkatan domestik untuk terbang ke Belanda. Penerbangan ke negara-negara di Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa itu melalui terminal pemberangkatan domestik.
Mencari terminal pemberangkatan domestik itu kerepotan tersendiri. Luas bandara Fiumicino ini 16 ribu hektar. Ada ratusan terminal dengan sekian banyak pintu dan Lorong yang membingungkan. Tambah lagi, banyak sekali petugas di bandara yang tidak (mau) tahu dengan bahasa Inggris. Butuh kesabaran dan ketenangan yang besar, dan butuh waktu.
Syukur pada Tuhan, saya berangkat bersama teman saya Pater Aurel yang cerdas tapi sangat rendah hati dan dermawan. Dia yang capai karena harus ke sana ke mari, berjalan ke mana-mana. Hal lain lagi, waktu transit kami panjang. Kami akan berangkat ke Amsterdam pukul 14.00. Jadi masih berjam-jam.
Lapar atau haus di bandara? Depot-depot penjualan makanan dan minuman tersedia di mana-mana. Masalahnya, pembayaran tidak lagi menggunakan uang cash. Semuanya menggunakan kartu. Uang kertas atau logam, biar pun banyak, tidak laku. Semua urusan angka itu dilakukan melalui kartu yang langsung terhubung dengan bank. Ini sangat mengejutkan saya. Bersyukur saya ditemani.
Satu waktu saya haus. Saya mencari depot penjualan makanan. Ah, ada banyak botol minuman mineral. Begitu masuk mau membelinya, lihat orang-orang membeli dengan kartu. Saya melongo. Tahan haus.
Pater Aurel rupanya tangkap kebutuhan saya. Ganti dia pergi mencari minuman. Dia pulang dengan dua botol air mineral.
Saya menghabiskan waktu di bandara dengan membuat catatan perjalanan. Di ruang tunggu tersedia satu tempat khusus dimana kita bisa mengecas HP atau laptop. Sambil mengecas kita bisa mengerjakan sesuatu. Itu yang saya lakukan.
Yang unik di bandara ini adalah sebuah piano besar yang diletakkan di tengah-tengah ruang tunggu. Siapa pun yang mau memainkan musik dipersilahkan. Biasanya, setelah sebuah lagu dimainkan orang bertepuk tangan.
Pukul 14.00 ITA Airlines membawa kami ke Amsterdam.