
Laporan Perjalanan Rm. Nani (46)
Rumah yang kami kunjungi, Minggu (18/5/2025), sangat sederhana. Itu rumah batu pemberian orang untuk pasangan Luigi dan Assunta Goretti, orang tua Santa Maria Goretti. Mereka tidak punya tanah. Jadi harus bekerja sebagai penggarap di tanah orang, untuk menyambung hidup.
Rumah yang asli tetap dipertahankan. Lantai batu. Dinding yang kusam. Atap tanpa loteng.
Pada sudut belakang sebelah kanan, terbaring patung Santa Maria Goretti, persis di tempat dia ditikam 9 kali. Setelah penikaman bertubi-tubi itu, dia tidak sadarkan diri. Alessandro Serenelli, pembunuhnya, masuk ke rumahnya yang persis bersebelahan.
Tak lama kemudian, Maria Goretti sadar, lalu berusaha menarik tubuhnya ke pintu, untuk meminta pertolongan. Alessandro mendengar erangan Maria Goretti. Dia datang lagi, dan menikam 5 kali lagi, sampai usus anak gadis 11 tahun itu tersembul. Jadi semuanya ada 14 tikaman.
Secara manusiawi ketika kita berdiri terpekur di samping patung Santa yang muda belia ini, kita segera berpikir tentang kekejaman pembunuhnya. Kita tidak mengerti, bagaimana orang bisa sepenuhnya kehilangan kontrol, dan menjadi kendaraan kejahatan, yang senyata-nyatanya?
Namun, dengan mengunjungi rumah Santa Maria Goretti, mengikuti kisahnya yang menggetarkan hati, masuk ke Basilika Santa Maria Penuh Rahmat di Kota Nettuno dimana jasadnya dikuburkan di ruang bawah tanah, hati kita tertegun pada sesuatu yang jauh lebih dahsyat, yaitu keajaiban pengampunan.
Dahsyatnya keajaiban pengampunan itu yang menghisap ribuan, bahkan mungkin jutaan, umat Katolik ke alun-alun Santo Petrus pada hari kanonisasi 24 Juni 1950. Saat itu, untuk pertama kalinya misa kanonisasi orang kudus digelar di luar Basilika Santo Petrus, yakni di alun-alun.
Kisah singkatnya demikian. Setelah kematian ayahnya, Luigi Goretti, Ibunya Assunta harus mengambil alih pekerjaan di kebun. Maria Goretti tinggal di rumah, menjaga adiknya Teresa yang masih bayi, dan menggantikan ibunya menangani urusan di rumah.
Di saat sunyi seperti itulah, Alessandro datang beberapa kali menggoda. Dengan teguh Maria Goretti menolak.
Pada kesempatan ketiga, Allesandro naik pitam, dan menikam Maria Goretti berkali-kali. “Saya menghunjamkan tikaman demi tikaman secara membabi-buta, seperti mau menghancurkan sesuatu, seperti sedang menebang pohon,” demikian pengakuan Alessandro kemudian.
Gadis itu sempat dibawa ke rumah sakit di Nettuno, tapi butuh waktu 5 jam untuk sampai di sana. Darahnya banyak tertumpah di jalan.

Ketika gadis itu meminta air karena sangat kehausan, dokter tidak mengizinkannya, karena kuatir sakitnya menjadi lebih parah. Ususnya sudah terburai. Ibunya berbisik kepadanya untuk meniru Yesus yang tidak diberikan air walau kehausan saat digantung di salib. “Sejak saat itu, Maria Goretti tidak pernah meminta air. Dia tidak pernah mengeluh atau berteriak ketika dokter mengoperasi tubuhnya tanpa anestesi,” kata Thomas Heck, SVD, yang memandu kami.
Pada momen terakhir, kepada imam yang melayani pengakuannya sebelum menghembuskan napas terakhir, Maria Goretti mengatakan, bahwa dia memaafkan pembunuhnya, Allesandro. “Demi cinta pada Tuhan Yesus, saya memaafkannya, dan saya ingin agar dia datang bersamaku ke Firdaus,” katanya.
Maria Goretti meninggal pukul 3.45 sore, 6 Juli 1902, pada usia 11 tahun 9 bulan 21 hari, sehari setelah dia ditikam. Bunga kecil itu terbang menghiasi taman surgawi.
Allesandro, pembunuh Maria Goretti ditangkap dan dijebloskan dalam penjara selama 30 tahun. Selama lima tahun pertama, dia harus diisolasi karena peringainya kasar. Dia tidak pernah merasa bersalah. Dia mempersalahkan Maria Goretti. “Kalau dia menuruti apa yang saya mau, tidak mungkin sampai begini,” katanya.
Namun, pada akhir tahun ketiga Alessandro bermimpi. Dia berjumpa Maria Goretti di sebuah taman penuh bunga lili. Maria memetik 14 bunga lili dan memberikannya kepada Alessandro dengan senyum yang menawan.
Di tangan Alessandro, bunga-bunga lili itu menjadi nyala api yang menyadarkannya akan perbuatan jahat yang dilakukan. 14 bunga lili melambangkan 14 kali tikaman kepada Maria Goretti, yang dibalas 14 kali pengampunan dari kedalaman hati seorang gadis yang teguh mempertahankan kemurniannya.
Alessandro menyesali perbuatannya dan bertobat. Dia mulai hidup dalam kesucian. Dia membaca Kitab Suci, mencintai doa, dan mengajak teman-teman dalam tahanan untuk bertobat.
Lama tahanannya dipotong 3 tahun lebih cepat karena perubahan sikapnya. Itu belum pernah terjadi sebelumnya. Hal pertama yang dia lakukan setelah keluar dari tahanan adalah menjumpai Assunta, ibu dari Maria Goretti.
Setelah peristiwa pembunuhan Maria Goretti, keluarga Goretti kocar-kacir. Ibu Assunta tidak sanggup memelihara semua anaknya, maka dia merelakan kelima anaknya yang lain diadopsi. Betapa dahsyat kerusakan keluarga akibat peristiwa pembunuhan itu. Alessandro tidak hanya membunuh Maria Goretti. Dia menghancurkan seluruh keluarga.

Ketika Alessandro mengetuk pintu, dan Assunta membukanya, dia berhadapan muka dengan muka dengan pembunuh anaknya itu.
“Mama Assunta, apakah masih mengenal saya?” tanya Alessandro. Dengan tenang ibu Assunta berkata, “Ya, saya tahu siapa kamu.” “Maukah engkau memaafkan saya?” pinta Alessandro. “Alessandro, Marieta sudah memaafkanmu. Tuhan memaafkanmu. Bagaimana mungkin saya tidak memaafkanmu?”
Sejak waktu itu Assunta bahkan mengadospi Alessandro menjadi anaknya. Hari itu tanggal 24 Desember, 1934. Keduanya bersama-sama merayakan malam natal, dan menerima Komuni. Sebuah keajaiban. Semua ini terjadi karena Maria Goretti memilih untuk mengampuni. Dia memilih untuk menjadi kudus.
Karena pengampunan itulah, maka pada 24 Juni 1950 Assunta berada di samping Paus Pius ke-XII di Vatikan, di alun-alun Santo Petrus, untuk mendengar sendiri pemakluman kanonisasi yang begitu mulia dari anaknya.
Peristiwa itu disaksikan lebih dari 500 ribu umat. Pertama kali dalam sejarah umat sebanyak itu tumpah ruah di alun-alun Santo Petrus.
Alessandro menghabiskan hari-hari hidupnya dengan doa, dengan laku tapa dan pertobatan penuh kerendahan hati. Dia menjadi anggota awam ordo ketiga dari biara Kapusin. Sampai pada kematiannya tahun 1970, dia dihormati sebagai penjahat yang benar-benar bertobat. Semuanya karena gadis kecil Maria Goretti memilih untuk mengampuni.
Saat ini ada gerakan dari kalangan umat untuk berdoa bagi proses beatifikasi Alessandro Sereneli. Bagian dalam sebelah kanan dekat pintu masuk di ruang bawah tanah Basilika Santa Maria Bunda Segala Rahmat, ada sebuah pojok dengan sejumlah kertas dan bolpoin. Di situ kita diajak menulis permohonan kita melalui perantaraan Alessandro.
Banyak sekali doa terkabulkan melalui perantaraan Maria Goretti. Seorang tukang tertimpa sebuah balok batu saat sedang bekerja di sebuah bangunan di Roma. Kakinya remuk seketika. Tidak ada cara lain kalau mau hidup kecuali lewat amputasi.
Malam sebelum jadwal amputasi keesokan harinya, istri pekerja ini datang ke rumah sakit, dan menyisipkan kartu doa melalui perantaraan Maria Goretti. Keesokan harinya ketika hendak diamputasi, kakinya telah sembuh sempurna.
Hal yang sama terjadi pada seorang pemuda di Amerika yang terkena kanker tulang pada kakinya. Penyakit ganas itu begitu dahsyatnya sehingga tidak ada cara lain selain harus diamputasi. Pemuda 18 tahun itu mengeluhkan penderitaannya pada imam yang berkisah tentang Maria Goretti.
Anak itu kemudian meminta pertolongan Tuhan Yesus melalui Maria Goretti. Kartu doa diselipkan pada kakinya sesaat sebelum dioperasi. Saat hendak menjalani operasi, para dokter terkejut karena kakinya telah menjadi normal, dan tidak ada gejala kanker sedikit pun.
Imam yang bersangkutan juga memberi kesaksian tentang pengabulan doa-doa melalui Alessandro Sereneli, penjahat yang bertobat.
Semua ini menjadi mungkin karena gadis kecil berumur 11 tahun ini memilih untuk mengampuni, untuk menjalani hidup suci.
Perjalanan ziarah hari ini kami tutup dengan makan siang di pantai Anzio, tidak jauh dari kota Nettuno. Di sana, ada sebuah rumah milik komunitas SVD.
Setelah makan siang, banyak dari antara kami menghabiskan waktu mandi-mandi di pantai. Saya sendiri berjalan menyusuri pantai. Saya juga menjelajahi dua dermaga batu yang sengaja dibuat agar tempat pemandian di laut lebih nyaman.
Bongkah-bongkah batu putih yang besar-besar dipindahkan dan ditanam, membentuk semacam jembatan titian panjang menjorok ke laut.
Saya berjingkat-jingkat dari batu ke batu sampai ke ujung titian. Pulang lagi. Berjalan lagi menyusuri pantai. Orang-orang bertiduran, menelentang atau menelungkup, merindukan gigitan sinar mentari di sekujur tubuh.
Sekelompok anak muda bermain sepakbola, persis anak-anak Seminari kalau lagi di pantai.
Sekelompok pemuda yang lain berjoget dan bernyanyi. Membangunkan sebagian yang asyik bermandikan pasir dengan tubuh setengah telanjang.
“Katanya di Kuta orang-orang lebih banyak,” kata seorang teman dari Filipina.
“Datang saja!” jawab saya sekenanya.
Dalam perjalanan pulang dua sosok, Maria Goretti dan pembunuhnya Alessandro Serenelli, memenuhi lamunan saya.
Yang satu mempertahankan martabat dan kesucian dengan penuh iman. Yang lain berubah dari penjahat menjadi orang yang rendah hati dan saleh. Keduanya melantunkan madah pengampunan yang indah. Kekuatannya mengubah kehidupan secara dahsyat. Betapa ajaibnya pengampunan itu.
Kisah ini banyak saya ambil dari channel youtube https://youtu.be/FjuZJQdEcdg, dan buku Marietta – the Story of St. Maria Goretti.