ISSUM, KEVELAER, GOCH

Laporan Perjalanan Rm. Nani (21)

Kami berkumpul di depan rumah induk Steyl setelah makan pagi, Sabtu (8/3/2025). Udara dingin tapi bersih dan segar, seperti biasa. Belum jelas peralihan dari musim dingin ke semi. Kami menanti bus yang akan membawa kami berziarah ke beberapa tempat penting.

Tepat jam 09.00 bus berangkat. Destinasi ziarah pertama adalah Issum, sebuah kota di bagian utara sungai Rhine. Issum mendapat perhatian khusus karena kota ini merupakan tempat kelahiran Mother Josepha. Nama aslinya Hendrina Stenmanns. Mother Josepha bersama Mother Maria Helena adalah the founding generation dari biara SSpS.

Saya tidak terlalu mengenal Mother Josepha. Namun, ketika mendengar pemaparan tentang hidup beriman wanita yang sederhana yang luar biasa ini; ketika melihat sendiri tempat-tempat mereka dulu bekerja untuk melayani, gudang bawah tanah tempat mereka menyimpan dan membersihkan makanan, dan membayangkan saat-saat paling menderita dalam pelayanan misalnya pada musim dingin, tapi tidak pernah menyerah, bahkan dengan gembira hati menyambut momen-momen adorasi; ketika membayangkan ketahanan rohani menanti belasan tahun sampai ada kepastian model biara yang hendak didirikan; ketika menuntun sesama susternya dan tuntunan itu lebih banyak sesuatu yang keluar dari kedalaman batinnya, sesuatu yang hidup di kedalaman jiwanya,  ini orang besar yang tapak-tapaknya pantas ditelusuri dengan penuh rasa hormat.

Itu sebabnya Issum punya posisi tersendiri. Destinasi kami adalah Gereja St. Nikolas, tempat Mother Josepha dipermandikan, sebuah gereja dengan tradisi kekatolikan yang berlangsung selama ratusan tahun.

Mother Josepha sangat dihormati. Tempayan tempat permandiannya tetap dijaga dengan baik. Ada sebuah gambar besar wanita kudus ini yang terpampang di sebelah kiri gereja jika kita menghadap ke belakang.

Mother Josepha akrab dengan penderitaan sejak kecil. Orang-orang terdekatnya (bapa dan mama) meninggal sebelum dia masuk biara, karena itu dia mengambil alih peran sebagai orang tua untuk saudara-saudarinya.

Dia suka sekali menolong mereka yang berkekurangan, karena itu di desanya dia dikenal sebagai penderma. Dalam kesederhanaannya, dia memadukan kerja dan doa. Dia sangat percaya pada kasih dan penyelenggaraan Tuhan.

Dia sangat mencintai Ekaristi, dan mempunyai devosi khusus pada Allah Roh Kudus.

Sayang sekali, kami tidak bisa berkunjung ke rumahnya. Kami hanya bisa melihat sepintas rumahnya dari pinggir jalan karena penghuni rumah yang sekarang tidak mengizinkan tamu berkunjung. Bus menggelinding pelan. Di depan rumahnya terpampang sebuah plakat hitam yang menginformasikan bahwa rumah tersebut adalah tempat tinggal Mother Josepha.

Destinasi kami selanjutnya adalah Kevelaer. Kota ini merupakan salah satu pusat ziarah terbesar di Jerman. Letaknya di sebelah barat laut Jerman di pinggir Sungai Rhine. Kurang lebih 1 km dari pusat kota kendaraan tidak boleh masuk. Kami berjalan kaki menuju Basilika Bunda Maria Penghibur Orang Berduka. Mengapa jadi pusat ziarah?

Tahun 1641 seorang pedagang kecil, Hendrik Busman, mendengar suara yang berseru, “Dirikan sebuah kapela untukku!” Dua hari kemudian suara yang sama muncul lagi, Busman memutuskan untuk mengumpulkan uang untuk mendirikan kapela.

Istrinya, Mechel, mengalami penampakan. Suatu malam, dia melihat sebuah kapela dengan gambar Bunda Maria di dalamnya. Sebetulnya ada dua serdadu yang sebelumnya berusaha menjual gambar itu pada Mechel, tapi dia tidak membelinya. Namun, gambar itu muncul lagi dalam mimpi dan Mechel berusaha mencari dan akhirnya mendapatkannya. Ternyata itu adalah gambar Bunda Maria dari Luxemburg, Bunda Penghibur Orang Berdukacita.

Tahun 1642 sebuah kapela kecil didirikan dan gambar Bunda Maria Penghibur Orang Berdukacita ditahtakan di dalamnya. Sampai sekarang, kapela kecil itu dibanjiri para peziarah.

Tahun 1643-1645 sebuah gereja didirikan di samping kapela tersebut. Nama gereja itu itu Gnakenkapelle,  Kapela Belas Kasih.  Berjuta-juta orang telah datang berziarah, dan gereja itu dipenuhi ribuan, mungkin jutaan lilin yang ditancapkan di sisi kiri, kanan, dan belakang gereja sebagai ungkapan doa.

Tahun 1890 Paus Leo XIII mengeluarkan dekrit resmi pemahkotaan gambar Bunda Maria Penghibur Orang Berdukacita itu. Sebuah Basilika didirikan berdekatan dengan Gnakenkapelle untuk menghormati Maria.

Beata Josepha dan Arnold Janssen sering berziarah ke kota ini. Mereka terbiasa berjalan kaki untuk mengikuti Perayaan Ekaristi.

Kami berbaris satu per satu masuk ke dalam kapela kecil dimana gambar Bunda Maria ditahtakan. Kami berlutut atau duduk berdiam diri sejenak. Lalu kami semua diarahkan untuk berdiri di belakang kapela dan berdoa.

Ribuan orang dari seluruh dunia, baik secara pribadi maupun dalam kelompok, anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, membanjiri pusat ziarah itu. Secara teratur mereka berbaris untuk memberikan penghormatan kepada gambar Bunda Maria.

Usai berdoa, kami dibagi dalam dua kelompok, masing-masing ditemani satu pendamping program tersiat Nemi untuk mengelilingi Kompleks Basilika. Kelompok saya dipandu Sr. Maria Cristina, SSpS. Mula-mula kami mengunjungi Kapela Adorasi. Di sana selalu ada orang yang berlutut menyembah, atau duduk membisu dalam keheningan.

 

Di belakang Kapela Adorasi ada sebuah ruang memanjang dengan dekorasi dinding yang menawan yang menggambarkan kemurahan hati Bapa. Di situ tersedia tempat pengakuan, dan selalu ada imam yang siap melayani. Di sebelahnya, ada sebuah kapela yang cukup besar, yang disebut Kapela Rekonsiliasi. Setelah pengakuan dosa, orang diperkenankan berdoa dalam kapela ini.

Di depan kapela itu, sebelum memasuki Basilika, ada sebuah wadah, semacam tabernakel, berisikan reliqwi Santo Paus Yohanes Paulus II. Saya sempatkan diri menyentuh wadah itu dan berdoa sejenak.

Dari situ kami masuk ke dalam Basilika yang megah. Di dalamnya sudah ada banyak peziarah. Dekorasi dalam dinding, langit-langit, panti imam, sungguh memesona. Ekspresi iman melalui seni nyata sekali. Iman itu nyala api penggerak kreativitas yang terungkap dalam desain bangunan, lukisan, patung-patung.

Sebuah orgel pipa dipasang di dekat altar. Saat kami masuk sedang ada orang yang memainkannya. Agung sekali.

Setiap pintu di Basilika itu dihiasi bermacam-macam relief. Ada relief yang mengungkapkan kunjungan Paus Yohanes Paulus II. Ada yang mengungkapkan barisan para kudus, di antaranya Santo Arnoldus Janssen. Ada yang berupa kisah imam yang ditahbiskan di dalam kamp konsentrasi Nazi secara sembunyi-sembunyi.

Setelah tour bersama kami mempunyai waktu dua setengah jam untuk secara pribadi berkeliling atau berdoa. Termasuk waktu untuk makan siang. Makan siang kami bawa sendiri-sendiri dari rumah induk Steyl. Saya menyiapkan tiga lempeng roti dengan seiris daging tipis di tengahnya, dan sebotol minuman mineral.

Setelah makan siang, saya mengambil waktu sejenak berdiam diri di Kapela Adorasi, lalu kembali merasakan keagungan Tuhan di dalam Basilika.

Di luar Basilika, toko-toko rohani berjejer menjual bermacam-macam barang rohani dan souvenir. Harganya dua tiga kali lipat. Harga turistik.

Destinasi kami selanjutnya adalah kota Goch, kota kelahiran Santo Arnold Janssen, SVD. Kami diterima P. Peter Heinz, SVD, pastor rekan Paroki Arnoldus Janssen di depan Gereja St. Maria Magdalena bergaya gothik yang megah yang sudah berdiri sejak abad ke-14.

Pelindung gereja ini pertama-tama Santo Gregorius, sekaligus pelindung kota Goch. Namun, pada 1324 pelindungnya berganti  ke Maria Magdalena. Di gereja inilah Santo Arnold dibaptis.

Goch itu kota yang cukup tua, berusia hampir 800 tahun. Nama Goch ditemukan pertama dalam sebuah dokumen resmi tahun 1261. Goch salah satu kota di Jerman yang menderita pada masa Perang Dunia II. Kota ini dibom kekuatan sekutu. Perang terjadi dari rumah ke rumah. Hampir 80 % bangunan di Kota Goch dihancurkan, termasuk rumah Arnold Janssen. Syukur bahwa para bruder dari Steyl kemudian membangun kembali rumah itu seperti aslinya.

Saat ini Kota Goch disebut Kota Arnold Janssen. Ada tiga bangunan Gereja Katolik di Goch, yakni Gereja Maria Magdalena, Gereja Bunda Kita (Liebfrauenkirche), dan Gereja Arnold Janssen. Beberapa tahun lalu, ketiga gereja ini adalah paroki yang independen. Sayang sekali Gereja Bunda Kita ditutup. Kedua gereja yang lain menjadi satu paroki dengan nama Paroki Arnold Janssen, yang dialayani para imam SVD.

Yang sangat menarik dari ziarah ke Goch adalah kunjungan ke rumah kediaman Arnold Janssen yang direnovasi sesuai rumah aslinya. Hampir tidak tersisa bangunan asli, hanya sebuah batu dari bangunan asli yang masih bisa disimpan dan sejumlah perabot di ruang depan.

Rumahnya sederhana, berukuran sedang, berlantai dua, rumah dari rakyat biasa. Di bagian tengah masih tersimpan cerek asli tempat Ibu Anna membuat kopi, sebuah ungkapan keramahan keluarga menerima tamu. Di bagian belakang ada kandang kuda. Kuda-kuda dipakai Gerald Janssen dan keluarga menyeberangi batas antara Jerman dan Belanda. Jadi sudah sejak kecil Arnold Janssen terlatih melewati batas-batas, bergaul dengan orang dari tempat lain dengan kultur dan bahasa yang berbeda.

Pada dinding rumah ada sejumlah foto yang diproduksi para bruder di Steyl. Foto Anna Katarina, foto pembukaan Rumah Induk Steyl, foto-foto Arnold Janssen dari masa muda sampai menjelang meninggalnya.

Di bagian depan, perabot asli dari rumah masih terpelihara. Menjamah perabot-perabot itu serasa menjamah peninggalan yang hidup dari orang kudus ini. Kisah iman di sekitar perabot ini hidup sekali.

Diceritakan, setiap Minggu malam, keluarga selalu berkumpul di ruang depan itu. Di situ kotbah imam diungkapkan lagi. Buku mengenai Santo-Santa dibacakan. Juga berita mengenai para misionaris mancanegara.

Kisah para misionaris disampaikan dengan rasa bangga oleh Gerald Janssen, sesuatu yang mengungkapkan kekhasan identitas Katolik. Dapat dimengerti, karena saat itu pemerintah Jerman yang Protestan makin berkuasa. Kelak, di bawah Bismark, Jerman mengumumkan Kulturkampf, perang budaya, yang praktisnya berarti perlawanan terhadap kekatolikan.

Di situ juga prolog Injil Yohanes, “Pada mulanya adalah Firman…” dibacakan sebagai doa yang didaraskan berganti-ganti. Jadi, nama Serikat Sabda Allah mempunyai hubungan dengan iman yang hidup di dalam keluarga. Keluarga sudah mengembangkan spiritualitas yang benar-benar hidup. Mengalir secara rutin dari waktu ke waktu. Dalam keluargalah benih misioner itu disemaikan.

Di ruang depan itu disimpan juga catatan Gerald Janssen saat Arnold Janssen ditahbiskan. Catatan itu adalah daftar pembelanjaan barang-barang yang dibutuhkan Arnold Janssen, dan jumlah uang yang dipakai. Gerald Janssen mengajarkan keterampilan praktis yang kelak sangat dibutuhkan Arnold Janssen.

Setelah kunjungan ke rumah Santo Arnold, kami berkendaraan ke Gereja Arnold Janssen untuk merayakan Ekaristi.

Perayaan itu sendiri dilakukan dalam bahasa Jerman, karena sekaligus merupakan perayaan Hari Minggu. Umat cukup banyak yang hadir.

Setelah Perayaan Ekaristi, kami bersantap malam bersama di pastoran. Santap malam disiapkan oleh umat. Ibu-ibu dengan penuh keramahan melayani kami.

Jam 21.00 kami kembali ke rumah induk Steyl. Capai secara fisik, tapi secara rohani terpuaskan. Puji Tuhan.

  • Related Posts

    TANGGA-TANGGA COLOGNE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (22) “Yes, akhirnya melewati perbatasan Jerman!” teriak saya penuh gembira disambut pekikan tawa Surya, Johan, dan Vinsen, mantan siswa Seminari Mataloko yang sekarang melanjutkan studinya di…

    Testing Siswa Baru: “Minat Besar Masuk Seminari”

    Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko melangsungkan testing siswa baru untuk tahun pelajaran 2025/2026, Sabtu, 8 Maret 2025. Testing ini merupakan testing tahap kedua yang bertempat di Seminari Todabelu Mataloko…