TANGGA-TANGGA COLOGNE

Laporan Perjalanan Rm. Nani (22)

“Yes, akhirnya melewati perbatasan Jerman!” teriak saya penuh gembira disambut pekikan tawa Surya, Johan, dan Vinsen, mantan siswa Seminari Mataloko yang sekarang melanjutkan studinya di Jerman. Barisan para misionaris dari Jerman yang menjejakkan kaki di tanah Flores panjang sekali.

Masih segar dalam ingatan saya Pater Engels, SVD yang nyaris serba militer saat dulu melayani. Atau Pater Kurt Bard, SVD, yang suka buat eksperimen dengan ibadat atau bahkan Perayaan Ekaristi.

Waktu kecil, saya berjumpa dengan Br. Erhard, Br. Edel dari Jerman. Saya mendengar nama-nama seperti Br. Gallus, Br. Fransiskus. Br. Marianus, untuk menyebut beberapa.

Mobil meluncur deras. “Kau lincah sekali la Johan.” Saya mengagumi Johan Paji yang gesit membawa mobil di negeri yang kendaraannya serba melaju dan jalan-jalan rayanya serba jalan tol (yang gratis). Dia sudah 5 tahun di negeri Deutche Welle ini, sebentar lagi akan ditahbiskan diakon dan imam. Semuanya akan berlangsung di Jerman.

Saya mencoba menikmati panorama Jerman, mencari-cari gunung dan bukit, hutan-hutan hijau. Kering kerontang. “Cuka minyak, ini macam di Mbay saja ko, kering kerontang.” Mereka tertawa sambil menunjuk-nunjuk Surya Gabhe dari Mbay.

“Romo, kita singgah di Sankt Augustin, tapi bukan di biara. Kita ke pastoran. Di sana ada Pater Agateus dari Wukir. Dia pastor paroki di Sankt Augustin. Sr. Yohana dan Sr. Lenny sudah ada di sana. Mereka masak makanan Indonesia,” kata Johan. “Bahasa daerah Wukir dan Riung kan mirip to? Bisa sambung-sambung,” sela Vinsen.

Wah, tidak pikir lagi panorama. Ingin segera berjumpa dengan orang-orang kita di sana.

Agateus Ngala, SVD sudah sejak 2008 berada di Jerman sebagai frater. Sudah selama hampir dua tahun belakangan ini, dia menjadi Pastor Paroki di Sankt Augustin. Sebelumnya, selama 5 tahun dia bekerja di Prokur Misi di biara Sankt Augustin.

Kami masuk ke pastoran. Suasana Flores langsung terasa. “Ai Romo, selamat datang!” sambut Sr. Yohana, CIJ dan Sr. Leny, CIJ. Keduanya para pioneer CIJ yang memulai komunitas CIJ di sana. Kami tertawa berderai-derai. Ada juga Anggraeni, gadis Maumere, yang sudah menyelesaikan studi di Jerman.

Sebentar kemudian, P. Agateus datang. Dia baru mempersiapkan sambut baru untuk anak-anak yang akan menerima Komuni Pertama. Lalu datang lagi P. Vincen Gunawan, dan P. Fidelis Regi Waton, keduanya dosen di Universitas The Cologne University of Catholic Theology, Jerman.

Tertawa tidak habis-habisnya. Kegembiraan putra-putri Flores di tanah rantau. Sementara itu di meja sudah ada nasi, nasi jagung, sup ikan, sayur-mayur hijau, ubikayu, dan (ini penting) lombok.  Makanan jenis ini spesial sekali mengingat sejak menginjak Eropa hampir tiap pagi, siang, dan malam makannya roti dan daging.

Begitu doa pembuka makan selesai, mau tunggu apa lagi, sup ikan habis dalam sekali dua teguk. Namun, bukan makanannya yang utama, energi batin dari atmosfir Flores yang tiba-tiba hadir dan percakapan mengenai macam-macam hal yang meloncat-loncat dari bibir.

Jam2.30 kami pamit menuju Cologne atau Köln yang tidak jauh dari Sankt Augustin. Yang kami tuju adalah Katedral Cologne atau Köln.

Dari jauh dua menara kembarnya menjulang tinggi sendiri. Saat tiba di pelatarannya, mama mia! Besar. Agung. Dashyat. Indah. Megah. Antik. Kita kehabisan kata melukiskan bangunan kebanggaan warga Cologne ini.

Namun ada yang saya cari di pelataran Katedral, yang kerinduannya tak tertahankan. “Om Romooo!” Mario Lali yang kami sering panggil Iyong berlari menjumpai saya. Kami berpelukan penuh haru. Bertemu keluarga di tempat yang serba asing di tengah ribuan orang, itu sukacita tersendiri. Sayang, Mario tidak bisa lama bersama saya. Dia harus segera mengejar kereta ke tempat tinggalnya yang cukup jauh. “Iyong, om berkat kau!” Saya membubuhkan tanda salib di dahinya. Iyong menundukkan kepala, menghapus air mata dengan tangannya, lalu pamit.

Kembali ke Katedral. Berapa tahun dihabiskan untuk membangun Katedral yang magnificent ini? 632 tahun! Itu pun kalau dihitung sejak diberkatinya fundasi batu tahun 1248 oleh Uskup Agung Konrad von Hochstaden. Kalau dihitung sejak awal kekatolikan masuk, yakni sekitar tahun 313/314 berarti jejak sejarahnya panjang sekali.

Kami mencoba menelusuri bagian dalam bangunan. Bingung. Mau lihat ke depan, ke kiri-kanan, atau ke atas? Semua ditaburi ekspresi seni terbaik yang dipersembahkan untuk mengungkapkan iman. Gambar-gambar ikonik di jendela, patung-patung dan berbagai lukisan yang menghiasi tiang-tiang atau langit-langit, sejumlah jendela yang unik, altar yang beragam, kapela yang bermacam-macam.

Ada kapela Tiga Raja dari Timur lengkap dengan relikwi yang diyakini sejak lama sekali sebagai relikwi Tiga Raja dari Timur dengan relief-relief yang mengisahkan perjalanannya sampai ke Katedral Cologne; ada kapela St. Engelbert, kapela St. Maternus, St. Yohanes, St. Agnes, St. Mikael, St. Stefanus.

Ada kuburan berbagai santo dan santa, dan para uskup. Ada bermacam-macam altar untuk berbagai keperluan. Ada dua orgel pipa yang besar. Banyak sekali. Satu sore tidak cukup. Mungkin juga tidak cukup satu hari untuk sungguh menelusurinya.

Ini kedahsyatan nyala api iman, yang tidak cukup diungkapkan secara penuh hanya dalam satu abad. Selalu ada sesuatu yang baru. Itu sebabnya Katedral ini belum habis dikerjakan, selalu ada  yang ditambahkan sampai sekarang, tapi tetap simetris, tetap dalam nada iman yang indah.

Dari kaki Katedral, kalau harus melihat dua menara yang menjulang tinggi, saya harus memegang tangan salah satu siswa untuk bisa mendongak tajam ke atas. Tingginya 97 meter, hampir sepanjang satu lapangan sepakbola.

Ada tangga yang mengantar kita sampai puncak. Konon tidak semua orang bisa mencapainya. Jumlah anak tangga 533. Dari bawah kita mengambil sisi kanan, dan kalau turun sisi kiri. Perlu stamina dan sepatu yang baik. Kami lalu mencoba.

Bagi saya, ini sekaligus afirmasi keteguhan tekad dan determinasi. Saya sudah datang dari jauh, dan pertama-tama untuk ikut serta dalam program tersiat SVD, yakni pembaharuan spiritualitas misioner. Saya tidak ingin hilang fokus untuk hal ini, walaupun saya tahu ada banyak tantangan. Pendakian ini saya jadikan doa.

Spiral pertama terlewati, walaupun napas satu-satu. “Romo masih kuat?” Vinsen terus bertanya. Saya menjawabnya dengan terus berlangkah satu persatu, makin lama makin tinggi. Otot betis mulai tertarik. Paha sakit. Setelah kurang lebih setengah pendakian, ada tempat untuk beristirahat. Kami mengaso sejenak.

Pendakian dilanjutkan lagi, paruh terakhir. Spiralnya makin tajam, dan makin sempit. Kaki sudah mulai terbiasa, tapi napas yang makin susah. Udara terasa makin tipis pada lorong spiral yang makin sempit. “Yes, sampai di puncak!” seru saya.

Dari punyak melalui kisi-kisi kawat, kita bisa menikmati pemandangan Kota Cologne yang indah. Menara gereja di tempat lain. Sungai Rhine dengan kapal-kapalnya. Jembatan yang melintasinya. Kereta api. Bangunan-bangunan megah. Itu semua bisa terlihat sejauh-jauh mata memandang.

Sebelum turun, kami mampir ke menara lonceng, karena salah satu menara yang menjulang tinggi itu sekaligus tempat digantungnya lonceng-lonceng raksasa berjumlah 11 buah. Beberapa di antaranya dibuat sejak abad pertengahan. Lonceng terbesar bernama “Lonceng Santo Petrus” atau Decke Pitter seberat 24 ton. Saat kami mampir, dua lonceng dibunyikan. Menggelegar sekali.

Menuruni tangga-tangga Katedral Cologne dilakukan dengan sukacita kemenangan. “Romo, itu di sana, jembatan terkenal yang melintas sungai Rhine. Kita ke sana,” ajak Surya ketika kami sudah keluar dari kompleks Katedral.

Kami berlangkah menuju jembatan Hohenzollern yang melintasi sungai Rhine. Apa daya tariknya? Konstruksi jembatan, tentu. Panjangnya juga. Namun yang unik adalah ribuan kunci gembok yang digantung di tepi jembatan oleh kaum muda yang mabuk cinta. Mereka membawa pasangan masing-masing, lalu bersama mengunci sebuah gembok sebagai ungkapan bahwa cinta mereka abadi, tak terputuskan.

Berapa jumlahnya? Wallahu ‘alam! Tahun 2011 (14 tahun lalu!) jumlahnya 40.000. Saat ini pasti sudah ratusan ribu.

Terasa ada kerinduan akan keabadian cinta. Di mana orang bisa mengalami keabadian cinta? Di hati kekasih, kata orang-orang yang mengunci cintanya di gembok di jembatan itu. Karena itu jembatan Hohenzollern dijuluki The bridge of love.

Menariknya, atau ironisnya, pencarian akan cinta yang abadi justru dilakukan di jembatan yang tak sepelempar jauhnya dari Katedral yang menjulang tinggi dengan megah.

Dulu orang membangun Katedral karena merasa cinta yang abadi itu ditemukan dalam Tuhan yang bersemayam di sana. Sekarang (sebagian) orang mencari cinta yang abadi di jembatan-jembatan yang tentu tak mungkin ditemukan.

Kata Karl Rahner sebagaimana disampaikan oleh salah seorang misionaris veteran dalam sharingnya, “Kalau orang-orang Katolik itu tidak menjadi mistik, Katolik akan musnah di Eropa!” Kalau iman Katoliknya hilang, gereja tinggal sebuah bangunan yang hanya menarik wisatawan. Nyatanya, di beberapa tempat seperti di Steyl, gereja telah berubah menjadi museum. Yang orang yakini dalam hidup bukan lagi Tuhan tapi irasionalitas baru seperti yang diperlihatkan pada kunci-kunci gembok di jembatan Hohenzollern ini. 

Ini tentu sebuah tantangan yang sangat besar, bukan hanya untuk Eropa, tapi untuk berbagai belahan dunia.

Matahari mulai tenggelam. “Romo, kalau kita ke pinggir sungai Rhine itu, pemandangannya indah sekali,” ujar Johan sambil menunjuk ke tepian sungai Rhine dimana banyak orang sudah berkumpul. “Di situ kita menikmati sunset yang indah,” tambahnya.

Jembatan dipenuhi ribuan orang hilir-mudik. Kami menyusurinya menuju tepian sungai Rhine. Cuaca sangat ramah. Cerah, segar, dan bersih. Di pinggir sungai itu, berjejer tangga tembok bersusun seperti di sebuah stadion.

Kami duduk di sana bersama ribuan orang, menikmati Katedral dengan panorama sinar matahari senja yang menawan.

“Eh, besok Romo ulang tahun to? Berarti di Indonesia mestinya sudah dirayakan ni, sudah tanggal 10. Ayo, mari kita cari restoran untuk rayakan ulang tahun,” kata Vinsen sambil menyalami saya.

Kami beruntung berjalan bersama Anggra yang pernah bekerja di restoran Thailand di Jerman. “Mari kita ke restoran Thailand, saya tahu tempatnya,” ajak Anggra.

Malam itu di restoran Thailand saya merayakan hari ulang tahun ke-60.  Puji Tuhan.

  • Related Posts

    ISSUM, KEVELAER, GOCH

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (21) Kami berkumpul di depan rumah induk Steyl setelah makan pagi, Sabtu (8/3/2025). Udara dingin tapi bersih dan segar, seperti biasa. Belum jelas peralihan dari musim…

    Testing Siswa Baru: “Minat Besar Masuk Seminari”

    Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko melangsungkan testing siswa baru untuk tahun pelajaran 2025/2026, Sabtu, 8 Maret 2025. Testing ini merupakan testing tahap kedua yang bertempat di Seminari Todabelu Mataloko…