
Laporan Perjalanan Rm. Nani (34)
Selanjutnya Jeyaraj membantu kami melihat lebih jauh periode usia tengahan. Dia katakan, usia 35/40-65 adalah periode transisi yang sangat signifikan dari berbagai segi. Beberapa hal dia sampaikan berkenaan dengan kehidupan biarawan/i, dan imam.
Dari perspektif psikologi perkembangan, ini adalah periode dengan tanggung jawab puncak: puncak masa kepemimpinan, puncak karya dan pelayanan dalam berbagai sektor.
Pada saat yang sama, terasa ada transisi biologis yang besar. Mulai ada masalah dengan elastisitas: kulit mulai keriput, tidak sehalus dan elastis dulu. Implikasinya besar, pencerapan indera berkurang: kemampuan penglihatan, pendengaran, kemampuan kulit mencerap rasa dingin, panas, semuanya berkurang.
Ada masalah dengan kemampuan otot untuk bergerak, masalah diet, nutrisi, vitamin, dan masalah kurang tidur karena ada banyak tanggung jawab, kecemasan, beban yang harus dipikirkan.
Ada transisi besar pada perkembangan kognitif. Dalam hal cristalized intelligence, yakni pengetahuan dan keterampilan sesuai bidang keahlian masing-masing, kemampuan ini berkembang bagus. Namun, fluid intelligence, yakni kemampuan berpikir abstrak, kemampuan menghasilkan inovasi-inovasi baru menurun.
Karena itu, kalau pada periode ini seseorang memimpin, dia sanggup menjaga, memelihara, sanggup mengurus administrasi, komunikasi, pertalian, tapi ide-ide segar dan asli muncul dari anak-anak muda.
Maka, kalau pada periode tengahan ini dia memimpin, dia harus didampingi yang muda. Dengan demikian, dalam sebuah komunitas atau institusi, ada keseimbangan antara kemampuan menjaga, merawat, meneruskan yang sudah berjalan, dan kemampuan melakukan inovasi-inovasi baru.
Sehubungan dengan transisi kognitif ini, Jeyaraj berbicara tentang tacit knowledge, yakni gudang kognitif berupa deposit pengetahuan dan skill yang tersimpan dari waktu ke waktu sepanjang pengalaman kerja dan pelayanan. Ini bisa digunakan apabila diperlukan. Masalahnya, kita tidak menyadari adanya tacit knowledge ini, padahal kita bisa menggunakannya.
Misalnya, saat mempelajari teknologi, kita cenderung berkata, “Kalau mulai teknologi saya tidak bisa. Padahal, setelah beberapa kali coba, kita ternyata bisa,” kata Jeyaraj. Dari mana kemampuan belajar seperti itu kita peroleh? Tacit knowledge!
Selain itu, dia mengatakan, ada banyak hal yang kita tahu dan kita bisa merasakannya, tapi kita tidak bisa menjelaskannya. “Itu berarti gudang tacit knowledge kita besar,” katanya.
Kecuali itu, ada pengalaman flow, pengalaman di mana seseorang begitu tenggelam dalam tanggung jawabnya, melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, dengan penuh kebahagiaan sehingga tidak terasa waktu mengalir. Ini yang membuat orang di usia tengahan terus mekar.
“Flow and flourish – mengalir dan mekar – itu terjadi beriringan. Jika ada flow, maka ada flourish. Semakin kita menikmati dan terlibat dengan jiwa raga melaksanakan tugas kita, terjadi flourish, kita terus mekar dan berkembang.
Masalahnya adalah kalau di usia tengahan kita tidak bahagia dengan tugas kita, dan tidak menikmatinya, kita tidak mengalami bahwa kita berkembang, Kita cenderung merasa tidak puas.” kata Jeyaraj meyakinkan. Semoga itu tidak terjadi.
Kalau kita dalam keadaan flow dan flourish, tambahnya, orang lain akan merasakannya, melalui kehidupan kita, interaksi kita, komitmen-komitmen kita. “You transfer your flow, your flourish to others.” Orang lain memetik buahnya. Mereka ikut diperkaya. Mereka mekar.
Dan menariknya, jelas psikolog yang energetik ini, “semakin engkau dalam keadaan flow dan flourish, semakin banyak hal datang, semakin banyak keterampilan kita kuasai, semakin banyak terjadi pemekaran, semakin kita menjadi diri kita sendiri.”
Pada usia tengahan, terjadi pergeseran persepsi. Saat masih muda, dihitung waktu dari saat lahir. Di usia tengahan, waktu dipikirkan sebagai waktu sisa. Berapa banyak waktu untuk saya berkarya lagi? Apa yang bisa saya lakukan di waktu yang sisa? Muncul kesadaran akan kematian. Panggilan dievaluasi dan dimaknai secara baru.
Selain itu, ada juga transisi psikologis yang besar. Pada usia tengahan transisi psikologis yang paling penting adalah munculnya “pemahaman yang terintegrasi mengenai siapa dirimu, di mana dirimu berada, dan apa yang engkau lakukan. Termasuk kemampuanmu mengintegrasikan shadows of your life.”
Apa maksudnya shadows of your life? Carl Jung berbicara tentang light dan shadow dalam diri kita. Light itu segala kualitas yang bagus dalam diri kita. Shadows adalah segala yang membuat kita tidak bisa menjadi diri secara penuh, segala kegelapan yang membuat kita malu dan tidak bahagia.
“Semakin kita mengintegrasikan shadows kita, semakin kita menerimanya, semakin kita datang kepada terang,” tegas Jeyaraj.
Dalam kata-kata Thomas Heck, “Only what comes to the surface can be healed. Only what comes to light can be integrated – Hanya yang muncul ke permukaan bisa disembuhkan. Hanya yang datang kepada terang dapat diintegrasikan.”
Untuk itu, tandas Jeyaraj, betapa pentingnya kita memproses, memunculkannya ke atas kesadaran. “Kalau pemrosesan ini terjadi dengan baik dan berkelanjutan, maka pengetahuanmu, pengalamanmu menjadi insights, menjadi illumination – pencerahan. Kalau proses dijalankan baik, maka kita akan terus bertumbuh, identitas kita dimaknai baru, dilihat secara baru,” katanya.
Samy Sookai mengibaratkan pemrosesan itu seperti perusahaan ikan. “Ikan yang ditangkap boleh bagus, tapi kalau tidak diproseskan dengan baik, ikan menjadi rusak dan membusuk. Orang mencium baunya.”
Hal lain yang amat menarik sehubungan dengan transisi usia tengahan adalah dimensi spiritual dari usia tengahan atau mid-life. Jeyeraj menyebut beberapa karakteristik dimensi spiritual usia tengahan.
Pertama, deepened prayer, yakni sebuah kerohanian yang melampaui doa-doa terstruktur, sebuah kerohanian yang lebih mempribadi. Kita mempunyai doa-doa seperti Rosario, Perayaan Ekaristi, Salve, tapi sering begitu terstrukturnya sehingga orang pergi doa begitu saja, otomatis. Setelah berpuluh-puluh tahun dia tidak mengalami transformasi, perubahan diri sebagai buah dari doa.
Begitu kita masuk usia tengahan, kita mulai mencari cara berdoa kita sendiri. Doa-doa terstruktur tetap kita ikuti, tapi ada sesuatu yang lebih individual, lebih mempribadi.
Jeyaraj membuat penelitian tentang ratusan pastor paroki, imam diosesan di India pada tahun 2019, apa yang membuat seorang imam secara psikologis Lelah, burnt-out lalu tidak bahagia.
Ternyata ada tiga faktor, yakni kepribadian, hidup dengan visi (purposeful), dan spiritualitas yang tidak hanya sekadar ibadat atau doa otomatis, tapi koneksi batin yang mendalam dengan Tuhan yang membuat dia mampu mencinta dan menjadi rahmat.
Hasilnya, mereka yang mempunyai spiritualitas seperti yang dijelaskan di atas cenderung bertahan. Dari mereka yang mempunyai kerohanian seperti itu, dibuatkan pertanyaan, berapa menit mereka mempunyai kebiasaan doa pribadi. Lalu ditemukan kelompok imam yang tidak berdoa pribadi sama sekali, berdoa 15 menit sehari, berdoa pribadi 30 menit, berdoa 45 menit sehari, dan berdoa satu jam.
Lalu ditanyakan siapa yang paling berbahagia dari ke-5 kelompok imam diosesan itu? Yang paling berbahagia adalah kelompok imam yang punya kebiasaan doa pribadi satu jam sehari. Dan mereka-mereka itu berusia tengahan.
Kedua, adalah authentic encounter, perjumpaan otentik dengan Tuhan yang nyata, the real God. Ini tidak gampang. Hanya orang yang benar-benar menjadi dirinya, hidup dari kedalaman dirinya, akan mempunyai perjumpaan dengan Tuhan yang nyata.
Aturan, devosi, dukungan orang-orang tidak akan mengganggunya, karena dia berjumpa dengan Tuhan yang nyata. Orang-orang ini tidak menjadi orang karena karya, jabatan, nama. Dia bisa sederhana sekali, berada di tempat terpencil, hidup biasa-biasa, tapi mendalam.
Ketiga, pergeseran dari doing ke being. Doa bukan lagi apa yang saya katakan, apa yang saya pikirkan, apa yang saya lakukan tapi koneksi yang penuh. Ada pergeseran dari spiritualitas yang activity-focused ke spiritualitas yang berfokus pada presence, kehadiran, keheningan, koneksi. Dia menghormati the loving presence of God.
Keempat, pada usia tengahan, spiritualitas mengalami kematangan, orang mempunyai kerohanian yang terintegrasi dengan identitas dirinya.
Dimensi terakhir yang mendapat perhatian dalam transisi usia tengahan adalah dimensi profesional. Imam itu tidak hanya panggilan tapi profesi. Dan sebagai sebuah profesi seorang imam harus terus meng-upgrade diri.
Maka pada usia tengahan kebutuhan akan formasi berkelanjutan yang dilakukan pribadi terasa sekali. Mereka harus berusaha terus menjadikan dirinya lebih baik. Mengapa sebagian orang usia tengahan tidak bahagia? Itu sering kali karena mereka tidak mau menjadikan diri mereka lebih baik, seperti layaknya para profesional di berbagai perusahaan atau pekerjaan.
Kesulitan dengan para imam adalah, jabatan profesional imam sering diperoleh dengan cara tidak sekeras jabatan profesional para CEO, atau para dokter, manajer-manajer perusahaan. Itu sebabnya pada usia tengahan orang sering menyerah.
Karena itu, ada tendensi untuk menjadi stagnan, jalan di tempat. Dalam beberapa kasus, tendensi ini membawa orang pada kecanduan – alkohol, rokok, internet, seks. Orang tidak mengalami kepuasan kerja, pelayanan, tidak tahu berbuat apa, lalu berlari kepada kepuasan-kepuasan semu.
Karena itu, usia tengahan sangat membutuhkan upgrading diri. Di sini, Jeyeraj secara khusus menyebut daya kuasa kebiasaan membaca.
Termasuk usaha upgrading diri adalah pembentukan jiwa kepemimpinan, yakni dengan terus-menerus berjuang menjadi yang terbaik versi diri kita sendiri. Ungkapan-ungkapan positif seperti “Every day in every way I am becoming the best version of myself”, atau “I am kind and compassionate”, atau “I am mindful and spread positivity to others” layak menjadi bagian pemrograman pribadi setiap hari.
Yang tidak kalah sebagai bagian dari upgrading diri adalah melakukan adaptasi teknologi yang sangat penting dalam dunia yang serba digital ini. Yang terakhir, terus membuka diri bagi cross-cultural skills yang sudah banyak dibahas dalam pembicaraan-pembicaraan terdahulu.
Wow! Dari awal Jeyaraj sudah meyakinkan kami, usia tengahan itu bukan anti klimaks. “Mid-life is a gift! Kalau kalian bertumbuh pada usia tengahan saat ini, berapa banyak orang yang akan mendapatkan manfaat dari kehadiran dan pelayanan setelah kalian pulang!”
Saya tidak henti-hentinya bersyukur. “As the golden stairs I climb” – seperti mendaki tangga-tangga emas, demikian lagu pembuka sesi ini.
Satu bentuk rasa syukur saya adalah membuat catatan-catatan seperti ini. Puji Tuhan.