MEMPERTANYAKAN MODEL FORMASI KITA

Laporan Perjalanan Rm. Nani (39)

“Seorang imam muda dikirim keluar negeri untuk menjadi misionaris. Namun, hanya dalam 10 bulan dia sudah minta pulang. Dia mengeluh tentang bahasa. Dia mengeluh tentang budaya. Komunitas. Banyak hal. Dia akhirnya kembali ke negara asalnya,” demikian Peter Dikos berkisah.

Peter Dikos adalah seorang imam SVD asal Slovakia. Dia meraih gelar doktor dalam bidang Hukum Gereja dari St. Paul University di Otawa, Kanada. Peter kini bekerja sebagai Prokur General di Generalat SVD, Roma.

Pada sebuah Seminari Tinggi, sejumlah besar seminaris yang hendak kaul kekal menarik diri setelah mengikuti retret menjelang kaul kekal. “Bagaimana mungkin sebuah keputusan besar dilakukan beramai-ramai hanya dalam satu momen?” tanyanya.

Pada Seminari lain, para siswa meminta nonton piala dunia tapi tidak diizinkan. Namun, seminaris biasanya lebih kreatif. Mereka bisa menyadap internet lalu menonton sembunyi-sembunyi lewat HP. Prefek mendapatkan 4 orang yang menonton.

Saat misa pagi ke-4 orang itu hadir. “Maaf, pada misa kali ini, 4 siswa yang melawan permintaan saya agar tidak menonton sepakbola tidak diperkenankan menerima Komuni,” kata prefek itu di hadapan ratusan siswa lain.

“Bagaimana mungkin bisa menciptakan iklim terbuka di Seminari seperti ini sehingga siswa dapat secara tulus bicara tentang masalahnya dan kemudian mendapatkan pendampingan yang membantunya untuk mengolah diri tanpa rasa takut dikeluarkan?” tanya Peter.

Masalah-masalah yang dia ceritakan bukan hasil tutur spontan, tapi dibacakan dari dokumen proses laisasi sejumlah imam SVD yang menarik diri.

“Bagi saya,” demikian lanjut Peter, “kita barangkali perlu dengan serius mempertanyakan model formasi yang selama ini kita jalani. Apakah semata-mata informatif atau benar-benar performatif? Jangan-jangan krisis jumlah panggilan membuat kita jatuh ke dalam krisis yang lebih besar dan berbahaya, yakni krisis kualitas panggilan,” katanya.

Kisah-kisah Peter ini meninggalkan pertanyaan-pertanyaan besar dalam diri saya. Tidak sempat saya mengajukan pertanyaan, dia sudah melanjutkan, “Saya tahu ada banyak pertanyaan besar buat model formasi kita, tapi saya sendiri tidak punya jawaban sama sekali.”

Lebih lanjut, dia katakan, “Formator itu bukan hanya mereka yang bekerja di Seminari, tapi kita semua, para misionaris, para imam. Image misionaris atau imam seperti apa yang kita hayati? Dari gaya hidup yang kita hayati seminaris memiliki gambaran hidup imamat atau misionaris seperti apa? Status sosial saja? Untuk keluar dari kemiskinan saja? Untuk senang-senang? Atau benar-benar misioner?”

Ini semua pertanyaan dahsyat yang tidak tahu jawabannya bagaimana. “Kamu jumlah seminarisnya berapa?” “Lebih dari 600 orang,” jawab saya. “Sebesar itu? Bagaimana kualitas accompaniment kamu untuk masing-masing mereka?” Diam. Tidak ada jawaban. Dalam diri saya malah timbul pertanyaan, apakah bisa maksimal melakukan pelayanan kependidikan yang tidak hanya informatif tapi performatif untuk Seminari dengan model kita? Bisakah kita benar beralih dari institutionalized education ke integral education?

Dari India, seorang teman yang bekerja di Seminari berkisah, “Kami tidak izinkan seminaris kami masuk ke sekolah negeri, tapi ke swasta yang semuanya lelaki. Namun, ada satu dua yang melamar masuk Seminari tapi sedang sekolah di sekolah negeri, campur dengan perempuan. Anak-anak Seminari sering bilang, mereka lebih beruntung.”

Peter memberikan analogi. “Kita ini mau model pendidikan seperti kandang anjing kah? Mereka dikurung, tapi begitu mereka dilepaskan, mereka tidak terkendali.”

Bersama Peter Dikos dari Generalat SVD, Roma.

“Saya tidak berkompeten dalam bidang formasi. Namun, melihat perkembangan yang akhir-akhir ini terjadi, kita perlu membahas secara serius model pendidikan Seminari ini,” tegasnya. Lalu dia membacakan surat dari seorang Uskup yang bekerja di Diskasteri bagi Klerus di Vatikan yang ditujukan kepada Generalat SVD di Roma berkenaan dengan proses laisasi seorang imam SVD.

Dalam surat itu ditegaskan harapan Vatikan agar SVD sungguh memperhatikan pentingnya model pendidikan Seminari dalam berbagai level yang betul membantu para seminaris mempunyai ketahanan, daya juang, karena motivasi misionernya kokoh. Dia tidak punya motivasi-motivasi terselubung, yang pada akhirnya mengganggu perjalanan panggilannya.

Peter tidak bisa menyebut secara jelas model pendidikan seperti apa, tapi dia mengharapkan suatu model dengan atmosfir lebih terbuka. “Bukan atmosfir yang membuat mereka takut. Sebuah atmosfir yang lebih tulus dan terbuka, yang membantu perkembangan aspek-aspek kemanusiaannya secara baik. Sebuah atmosfir yang membuat mereka not playing games, tapi yang membuat mereka nyaman mempresentasikan diri mereka,” harapnya.

“Jangan sampai yang ditahbiskan atau menjadi anggota serikat adalah formandi dengan banyak masalah serius, yang selama di Seminari tampak sopan, tidak pernah melakukan pelanggaran serius. Namun kemudian, ketika jadi imam mereka tidak punya ketahanan, gampang menyerah, atau masalahnya baru meledak atau ketahuan dan melukai Gereja. Atau jangan sampai formandi yang sebetulnya bisa menjadi imam atau anggota serikat yang tangguh harus dikeluarkan, hanya karena mereka melakukan pelanggaran atau kesalahan.”

Dia mengharapkan, Seminari memikirkan kualitas pendampingan, accompaniment, yang menyediakan secara baik sarana dan sumber-sumber untuk membantu pertumbuhkembangan formandi.

Sampai di sini, dia hanya bilang, “Saya tidak bisa mengerti kita bisa mempunyai kualitas pendampingan yang bagus untuk masing-masing seminaris dengan jumlah siswa yang besar sampai ratusan. Apalagi kalau para siswa itu harus dipingit sejak masih kecil.”

Nah, dalam rangka 100 tahun Seminari, bisakah kita mendengar jeritan-jeritan seperti ini? Kita duduk serius lalu berpikir tentang model Seminari kita ke depan.

Masih relevankah kita mengelola Seminari sekaligus sekolah? Apakah institusi sekolah harus dipisahkan dari institusi Seminari seperti yang terjadi di Seminari Wacana Bakti Jakarta, dimana sekolah dikelola Kolose Gonzaga dan para seminaris (dengan jumlah terbatas itu) menjadi sebagian (kecil) dari siswa/i Gonzaga.

“Nani, saya dosen di Universitas. Saya sering gregetan kalau mengajar. Mahasiswa/i awam sangat lincah, penuh percaya diri, bahasanya lancar, sedangkan para siswa Seminari sering menonton dari jauh, karena merasa tidak selincah teman-temannya,” bisik Jerome Montesclaros, dosen filsafat dari Filipina yang duduk di samping saya.

Kita mengharapkan, seminaris mestinya lebih lincah berdiskusi, lancar kemampuan berbahasanya, lebih percaya diri dan cair dalam interaksi, tapi itu tidak terjadi. Apa yang salah dalam pendidikan kita?

Mohon izin, saya lemparkan pertanyaan-pertanyaan ini dalam tulisan kali ini. Mari kita terus membangun harapan.

Tuhan bekerja bersama kita. Kaki dan tangan-Nya berdarah buat kita, dan Dia memperlihatkan itu buat kita sampai hari ini. Dia terus memecahkan roti di tengah kita, di Seminari kita. Kita pasti dituntun-Nya.

  • Related Posts

    KEAJAIBAN PENGAMPUNAN

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (46) Rumah yang kami kunjungi, Minggu (18/5/2025), sangat sederhana. Itu rumah batu pemberian orang untuk pasangan Luigi dan Assunta Goretti, orang tua Santa Maria Goretti. Mereka…

    TRE FONTANE

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (45) Tre Fontane. Tiga Mata Air. Apa itu? Pada 26 Juni tahun 67 M, Santo Paulus dipenggal kepalanya. Begitu dipenggal, kepalanya terloncat dan jatuh ke tanah…