
Laporan Perjalanan Rm. Nani (42)
Presentasi Stanis Lazar, Jumat (25/4/2025) membuka pikiran saya untuk sedikit memahami apa yang sekarang sedang terjadi dan kita alami.
Keluhan Pastor Paroki Issum, Jerman, saat kami berkunjung ke sana pada 8 Maret lalu, sedikit banyak mengungkapkan apa yang pada era 90-an diramalkan Samuel Huntington sebagai clash of civilization – tubrukan budaya.
Dia katakan, konflik di masa depan pertama-tama akan bersumber pada tubrukan budaya. Dalam pemaparan Stanis Lazar, misiolog SVD dari India, yang saat ini sangat terasa adalah tubrukan antara budaya modern dan budaya post modern.
Stefan Keller, Pastor Paroki St. Anna di Issum mengeluh gereja kosong. Anak-anak muda tidak suka datang karena kegiatan di gereja membosankan.
Keller sebenarnya mengartikulasi keluhan-keluhan yang terjadi di mana-mana, termasuk di Seminari kita, mengenai tingkah laku anak-anak muda para penganut budaya post modern ini, yang di mata kita orang-orang dewasa (budaya modern) tidak peduli akan banyak hal yang kita anggap penting.
Mereka sesukanya, sulit diatur. Tidak peduli disiplin. Doa asal-asalan. Kerja setengah hati. Belajar malas. Hanya mau senang-senang. Masih banyak sekali litani orang-orang dewasa kepada anak-anak post modern ini.
Sementara itu, saya menyaksikan bagaimana anak-anak muda berbondong-bondong dari berbagai belahan dunia ke Vatikan, mengikuti penguburan Paus Fransiskus. Tak sedikit membentang tikar, mendirikan kemah seadanya, tidur di alun-alun Basilika Santo Petrus, rela mengantre dari pagi sampai paginya lagi untuk mengucapkan selamat jalan, dan berdoa bagi Paus Fransiskus.
Manusia-manusia post modern ini menemukan idolanya dalam diri seorang bapak tua berusia 88 tahun, yang pada saat-saat terakhir tidak mampu berjalan, susah melambaikan tangan, hanya bisa tersenyum. Namun, kehadirannya magis. Menyihir semua, termasuk kaum muda! Mereka seakan menaruh harapan sangat besar tentang hidupnya pada diri Paus Fransikus ini.
Vatikan mempertontonkan paradoks yang penuh misteri. Sekurang-kurangnya selama sepekan terakhir sejak Paskah, Vatikan menjadi kolam perjumpaan antarbangsa, antargenerasi, antarbudaya, antarkeyakinan. Dan kelompok kaum muda jumlahnya besar sekali.
Anak-anak post modern dalam banyak hal berbeda sekali dengan orang-orang modern. Orang-orang modern, demikian Stanis, percaya akan kemajuan, akal budi, ilmu pengetahuan, industri, dan mempunyai grand narratives tertentu – marksisme, kapitalisme, kristianitas.
Anak-anak post modern mempertanyakan semuanya, meragukan semuanya, bahkan cenderung menolak semuanya. Kata Shalini, mereka generasi NONE, generasi serba tidak (saya sedikit menulisnya dalam VUCA 1, laporan 36).
Orang-orang modern percaya akan kekuatan pengetahuan yang objektif, yang memberi kepastian dan kegunaan. Bagi anak-anak post modern, pengetahuan itu tidak memberi kepastian. Tidak ada sesuatu yang objektif, semua tergantung pribadi orang, dan siapa bilang pengetahuan itu baik? Belum tentu.
Orang modern menyukai penalaran logis, dan percaya pada kekuatan kata. Anak-anak post modern menyukai gambar, imaji, lukisan, simbol. Mereka tertarik pada penafsiran masing-masing orang dan komunikasi.
Orang-orang modern suka keteraturan, ketertiban, disiplin. Anak-anak post modern pingin semuanya cair, fluid, tidak tahan dengan yang serba tertib.
Bagi orang-orang modern, kejelasan sangat penting agar bisa ada kepastian. Bagi anak-anak post modern segala hal bisa dinegosiasi, dan karena itu tidak pasti.
Orang-orang modern sangat memperhitungkan masa depan. Karena itu mereka serius mempersiapkan diri. Mereka bekerja dulu baru bermain. Bagi anak-anak post modern, yang paling penting adalah saat ini, karena itu karakter mereka adalah playfulness, suka bermain, dan menghabiskan.
Orang-orang modern menghormati yang sakral. Anak-anak post modern cenderung memprofanisasikan semuanya.
Penggambaran-penggambaran ini hanya sekadar upaya penyederhanaan untuk membantu pemahaman. Kenyataan mungkin jauh lebih kompleks.
Yang jauh lebih penting, mungkin, implikasi untuk kita. Melihat gejala anak-anak post modern ini, kita disadarkan, mereka sangat tidak menyukai segala yang bersifat kontrol, segala yang bersifat pendiktean. Karena itu ada distrust yang luar biasa besar terhadap segala sesuatu yang beraroma kekuasaan, kelembagaan.
Mereka memuja kemerdekaan pribadi, kemerdekaan mengungkapkan diri. Yang mereka butuhkan adalah komunikasi yang cair ketimbang mendikte, relasi setara yang bersahabat tanpa membawa-bawa power relation, telinga yang mendengarkan mereka dengan tulus, ruang untuk mereka bebas mengungkapkan diri dan bermain.
Apakah mereka membenci semua nilai yang sangat kita junjung tinggi? Mungkin tidak. Namun, ketimbang mendikte, mereka ingin mengalami, merasakan, lalu mengambil pertimbangan. Ketimbang mengajar, mereka ingin mengeksplorasi sendiri, mengungkapkannya dengan bahasa sendiri. Ketimbang serius tapi lebih banyak jiplak, mereka ingin ruang untuk bermain, untuk berdialog dan berdiskusi. Ketimbang menegakkan aturan, mereka ingin dihargai sebagai pribadi.
Pendidikan yang terinstitusionalisasi membuat mereka sangat berjarak dan penuh curiga. Benarkah yang diajarkan itu yang dilaksanakan? Karena di dunia nyata, di tengah banjir digitalisasi yang sangat dahsyat, mereka temukan everybody lies – semua orang pembohong. Setiap hari mereka disuguhi fake news – berita sampah. Apakah harus ada ruangan kelas yang kaku untuk bisa belajar?
Spiritualitas yang terinstitusionalisasi juga membuat mereka penuh curiga dan menolak. Mengapa Tuhan harus dialami di kapela saja? Mengapa pelajaran biologi atau kimia tidak dikemas sekian sehingga orang bisa menemukan Tuhan di dalam kelas? Apakah tidak bisa dibuat Perayaan Ekaristi yang berbeda, di tempat yang berbeda, pada waktu yang berbeda? Litani pertanyaan bisa banyak sekali.
Tampaknya anak-anak post modern tidak menutup hati terhadap nilai-nilai tertinggi yang kita hayati, tapi mereka menuntut perubahan yang drastis dalam cara kita menghidupi nilai-nilai itu dalam model pendidikan kita.
Pertama, selama pendiktean masih menjadi warna khas pendidikan kita (di kelas maupun di asrama) dimana kontrol memainkan peran penting, kita akan mendapatkan perlawanan yang luar biasa besar dari anak-anak post modern.
Kedua, kita harus sungguh-sungguh menguasai dan meng-update bidang keahlian kita, sehingga kita sanggup melayani dialog dan diskusi yang fair, dan tidak ‘menjinakkan’ anak-anak post modern dengan kontrol atau ancaman.
Ketiga, model-model pembelajaran yang dinamis harus benar-benar kita kuasai sehingga proses pembelajaran kita hidup dan membantu mereka mengalami. Dari jatuh bangun pengalaman itu mereka belajar. Karena itu kegiatan-kegiatan kreatif yang extra mural, keluar dari dinding-dinding kelas mau tidak mau menjadi pilihan kita.
Bentuk-bentuk baru seperti boot camp, field trip, corn gathering, English gathering mungkin perlu kita pelajari. Dengan ini, kita bergeser dari model pendidikan yang serba informatif, ke model pendidikan dan pendampingan yang lebih performatif.
Studi-studi banding mungkin jadi prioritas di tahun-tahun ini.
Keempat, ruang-ruang belajar mungkin harus kita pikirkan lebih jauh, apakah mengandalkan ruang-ruang kelas yang tradisional, atau kolam-kolam nongkrong yang baru (meeting pond) yang lebih kreatif, dan membuat anak rileks untuk bermain tapi belajar, semacam kafe-kafe bermain?
Kelima, apakah ruang doa cukup kapela itu, atau harus ditambah sejumlah ruang doa yang lain, yang melayani kegiatan-kegiatan kerohanian dalam kelompok-kelompok kecil? Di Nemi ini, ada 7 kapela kecil yang disiapkan di samping satu kapela besar, sehingga spiritualitas yang lebih customized terfasilitasi (sharing kelompok, adorasi pribadi, jalan salib di taman, patung-patung dan tempat-tempat doa di taman, meditasi yang digabungkan dengan senam, meditasi dengan latihan pernapasan dan mindfulness). Thomas Heck, SVD menggabungkan misa dengan bibliodrama, atau musik yang sangat istimewa.
Keenam, apakah kita masih tetap mau pertahankan sekolah untuk siswa saja, atau mulai memikirkan anak-anak putri? Ini sangat berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan mereka dan dinamika belajar. Akan datang waktunya dimana tidak ada lagi (atau hanya sedikit saja) seminaris yang mau menjadi calon imam dengan ‘kemurnian’ seperti yang kita nikmati di Flores. Sekurang-kurangnya ini pengalaman dunia Eropa saat ini.
Ketujuh, anak-anak post modern sangat peka terhadap segala bentuk pelabelan dan penilaian. Mereka katakan, “It is our world, don’t use it. Don’t try to define it. Above all, don’t label us with it. Even if we apply it to ourselves – Ini dunia kami, jangan gunakan. Jangan berusaha untuk mendefinisikannya. Di atas segalanya, jangan labeli kami dengan itu, walaupun – yang kamu bilang salah itu – kami terapkan untuk diri kami”. Ukuran mereka adalah diri mereka sendiri!
Karena itu betapa pentingnya kita belajar non violent communication sehingga bertumbuh compassionate connection di antara kita. Selama kita tidak peduli dengan non violent communication kita akan cepat jatuh dalam blaming dan judging.
Kedelapan, dan ini yang terpenting, apakah kita otentik dalam proses edukasi kita, kita walk the talk, menghayati apa yang kita belajarkan kepada para siswa kita? Kalau kita mengajak siswa memanfaatkan waktu, itu karena memang kita lakukan. Kalau yakin bahwa kejujuran itu penting, itu karena pertama-tama kita hayati, mereka tahu kita tidak jiplak. Kekuatan Paus Fransiskus adalah kerohaniannya yang otentik, dan kesediaannya yang luar biasa untuk mendengar.
Tantangan terbesar anak-anak post modern adalah bahwa segala sesuatu berpusat pada diri mereka. Karena itu, bagaimana membuat mereka go beyond egoism and hedonism, dua hal yang sangat berbahaya, ini tantangan pendidikan yang luar biasa besar. Bagaimana berubah dari the Big I – ego besar kepada pemberian diri, ini tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi.
Ini hanya mungkin lewat otentisitas diri kita. Kita menghidupi sendiri dengan jujur segala nilai yang kita ajarkan, life that speaks. Dan kita satu lingkaran yang tidak putus. Ini luar biasa beratnya!
Ini semua kalau kita mau tetap memelihara Seminari besar seperti ini, yang makin hari akan terasa makin sulit.
Itu sebabnya, semoga kita mendahulukan kejelasan model pendidikan Seminari yang akan kita disain 100 tahun mendatang, setelah itu baru kita pikirkan master plan yang melayani model pendidikan kita.
Ya, kita harus berubah. Itu pasti. Tapi bagaimana?