Pelindung para pemuda calon imam
Santo Yohanes Berkhmans dilahirkan di Diest, Belgia, tanggal 13 Maret 1599, sebagai anak sulung dari 5 bersaudara.
Ketika hendak bersekolah, ia tinggal bersama Pastor Pieter van Emmerich. Ia terkenal sopan, rajin berdoa dan senang menjadi misdinar. Ia juga senang menyendiri untuk meditasi dan berdoa dan mempunyai kebaktian khusus kepada Sengsara Tuhan Yesus dan Santa Perawan Maria.
Di sekolah, Yohanes Berkhmans terkenal sebagai anak pintar dan rajin belajar. Ia bertekad untuk menjadi imam dan karena terus bertekad belajar untuk menjadi imam, ia pindah ke kota Mechelen untuk meneruskan studinya.
Di sana ia menjadi teladan dalam kebaikan dan kesucian hati, tidak hanya bagi anak-anak, tapi juga bagi orang besar. Ia mengerjakan apa saja dengan rajin dan sabar. Ia sangat bersahaja.
Yohanes Berkhmans memilih masuk Ordo Jesuit tanggal 24 September 1616 karena kerelaan hatinya berserah diri kepada Tuhan. Maxime facere minima: perhatikan dengan sungguh hal-hal kecil. Itu salah satu tulisan yang ditemukan di buku catatan Yohanes Berkhmans.
Ia mangatakan, “Kasih akan kebajikan sangat nyata dalam perhatian dan kesetiaan pada perkata-perkara kecil”. Karena kebajikan-kebajikan yang dimilikinya, ia sangat disenangi teman-temannya.
Ia suka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kotor, ia suka mengkontemplasikan salib Tuhan dan merasakan kebahagiaan dari salib. Teman-teman menganggapnya sebagai orang kudus, malaekat.
Ia pernah berkata, “Saya ingin menjadi kudus dalam waktu yang singkat”. Ia juga berkata, “Jika saya tidak dapat menjadi kudus pada masa mudaku, saya tidak akan pernah menjadi kudus”.
Namun Yohanes Berkhmans tidak menjadi kudus karena perbuatan besar, tetapi karena perbuatan biasa yang dilakukan dengan kesungguhan hati yang luarbiasa. Maka apa pun yang ditugaskan atau diperintahkan padanya, biar kecil, dilakukannya dengan sungguh-sungguh dan dengan senang hati.
Katanya, “Multum facere, parum loqui” – banyak bekerja, sedikit bicara. Dan itu dilakukannya dalam keseharian hidupnya.
Ia menjalani hidup dengan ringan, dengan keceriaan dan kegembiraan, sehingga teman-temannya menjulukinya “frater hilaris”, frater yang ceria. Motonya: Semper ridens. – Senantiasa tertawa/bergembira.Tanggal 25 September 1618 Yohanes Berkhmans mengucapkan kaul pertamanya sebagai anggota Yesuit.
Yohanes Berkhmans menjalani tugas belajar filsafat di Universitas Gregoriana Roma. Selama masa studinya, ia terkenal karena kebaktiannya yang luarbiasa kepada Sakramen maha Kudus dan Santa Maria serta para Orang Kudus.
Sapaan khasnya untuk menghormati Sakramen Mahakudus dan Bunda Maria adalah “Ave Maria, Ave venerabile Sacramentum” (Salam Maria, Salam ,o, Sakramen yang patut dihormati). Tentang Bunda Maria sendiri ia berkata, “Santa Maria dapat mengusir pikiran jahat dalam diri seseorang hanya dengan memandang wajahnya”. Ia juga sangat mencintai Santo Aloysius.
Yohanes Berkhmans juga adalah teladan dalam ketaatan. Ia sangat mencintai hidup berdasarkan kaul-kaul yang diikrarkannya. Ia juga seorang yang rendah hati. Ia akan patuh pada siapapun, betapapun orang itu sederhana.
Tentang kepatuhannya pada seorang Bruder pengurus koster yang sederhana ia berkata, “Saya taat pada bruder sebagaimana saya taat pada Kristus”.
Ia juga sangat baik dan ramah terhadap teman-temannya. Ia selalu dapat mendamaikan orang-orang atau kelompok-kelompok yang bertikai. Ia selalu menolong teman-temannya yang mengalami kesulitan dalam belajar. Ia senang membahagiakan orang lain. Ia tidak suka mencari-tahu atau membicarakan kesalahan orang lain.
Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ingatlah kesalahanmu sendiri dan jangan memperhatikan kesalahan orang. Kalau engkau melihat satu kesalahan yang dibuat orang lain, amatilah kelakuanmu sendiri dan berdoalah untuk orang tersebut, agar ia memperbaiki kesalahannya”.
Sebaliknya, ia berusaha menemukan kebaikan yang ada pada diri setiap orang. Ia menulis sekurang-kurangnya satu kebaikan yang dimiliki setiap orang dalam buku catatannya.
Di tahun-tahun terakhir menjelang kematiannya, kehidupan Yohanes Berkhmans semakin religius. Ia menulis dalam catatannya, “Caritas; fugere otium: vivere in horas” (harafiah berarti: Cinta; berlarilah jika anda tidak berbuat sesuatu pun; hiduplah hanya untuk saat ini). Maksudnya, “kerjakan segala sesuatu dengan kepenuhan cinta, seakan-akan hidupmu hanya saat ini”. Maxime facere minima!
Ia lebih peduli pada hal-hal rohani daripada hal-hal duniawi. Ia mengerjakan hal-hal biasa, kecil dan kotor untuk melayani sesamanya. Tapi setiap kali ia mengerjakannya, ia selalu berdoa, membiarkan diri berada di hadirat Allah. Tak satu pekerjaanpun yang tidak dimulainya dengan berdoa. Karena itu ia selalu mengerjakan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan sempurna.
Ia juga sering berbuat tapa, seperti tidak makan pagi, menyesah dirinya tiga kali seminggu, tidak tidur siang, dll. Di bulan terakhir hidupnya, semakin sering ia bertapa dan berdoa. Juga semakin banyak waktu digunakannya untuk membantu sesamanya, khususnya mereka yang mengalami kesulitan dalam belajar. Ia bahkan mewakili biaranya berdebat dengan seorang ilmuwan tentang alam.
Pada pesta St. Ignasius Loyola, 31 Juli 1621, Yohanes Berkhmans mendapat satu kertas dengan nama seorang kudus yakni Santo Zephyrinus. Di kertas itu tertulis, “Videte et vigilate, nescitis enim quando tempus sit” – berjaga-jagalah dan berdoalah karena kamu tidak tahu kapan saatnya tiba (Mrk. 13:33).
Yohanes Berkhmans merasa ini merupakan peringatan dari Tuhan bahwa kematiannya makin mendekat. Ia senang akan hal itu, karena telah lama ia rindu memandang wajah Allah. Ia teringat Santo Stanislaus Kostka. Ketika Santo Petrus Canisius mengatakan kepadanya, “Hiduplah tiap-tiap bulan seakan-akan itulah bulanmu yang terakhir”, Santo Stanis merasa bahwa perkataan itu cocok untuk dirinya. Ia memang meninggal kemudian. Hal yang sama terjadi pada Santo Yohanes Berkhmans.
Hari-hari terakhir menjelang kematiannya Yohanes Berkhmans hanya bisa terbaring di kamarnya karena lemah dan tak berdaya. Namun ketika dibawakan kepadanya Sakramen Mahakudus, Yohanes Berkhmans bangun, lalu berlutut dan sambil memandang Sakramen Mahakudus ia berkata, “Saya percaya ini sungguh Putra Allah Bapa yang Maha Kuasa, Putra Santa Perawan Maria. Saya mau hidup dan mati sebagai anak yang setia dari Gereja Katolik dan Apostolik. Saya mau hidup dan mati selaku anak yang setia dari Santa Perawan Maria, saya mau hidup dan mati selaku anak yang setia dari Serikat Yesus”.
Ia pun minta agar ia diberikan Salib, Rosario dan buku Pedoman Serikat Yesus, yang dipandangnya sebagai senjata hidupnya. Di saat terakhir ketika mengalami godaan setan, ia memegang salib, rosario dan buku Pedoman tersebut dan berkata, “Inilah senjataku. Alangkah bercahayanya salibku ini, laksana emas! Alangkah bersinarnya Rosarioku ini”. Ia lalu membukakan buku Pedoman dan membaharui kaul-kaulnya.
Yohanes Berkhmans menghembuskan nafas terakhir di pagi hari, 13 Agustus 1621, sebagai frater dari Serikat Yesus.
Banyak tanda heran dialami setelah kematian pemuda kudus yang dijuluki “Santo Aloysius yang baru” ini. Tentang tanda heran ini, Pater Cepari, seorang pembinanya di Roma, mengatakan bahwa tanda heran yang lebih besar dari kekudusan Yohanes Berkhmans adalah hormat yang diberikan kepadanya sesudah kematian.
Pater Cepari berkata, “Siapakah yang mengetahui berapa banyak pemuda yang tergerak oleh teladan kesucian Yohanes Berkhmans, siapa yang mengetahui berapa banyak orang yang luput dari perbuatan cabul karena berdoa kepadanya, berapa banyak orang yang meninggalkan dunia dan masuk ke biara-biara. Barangsiapa menyaksikan semua itu, ia harus berkata: Digitus Dei est hic – Jari Tuhan ada di sini!”
Tahun 1865 ia digelari Beato dan tanggal 15 Januari 1888, ia digelari kudus bersama Santo Petrus Claver dan Santo Alphonsus Rodriquez (Nani Songkares).