BUTIR-BUTIR HARAPAN DI AWAL ZIARAH (7)

Laporan Perjalanan Rm. Nani

“Kae, selamat datang. Mau lihat-lihat ko? Mai si.” Satpam ini pasti dari Flores, pikirku ketika saya masuk ke kompleks gereja St. Yoseph Matraman Jakarta. “Kau dari mana?” tanyaku. “Wolotopo, kae.”

Pembicaraan tidak berlanjut karena terlanjur saya disapa sekelompok ibu-ibu yang lagi nongkrong di dekat gerbang. “Ini pasti Romo ya? Lihat penampilannya.” Seorang ibu mencegatku, membuka pembicaraan. Saya segera memperkenalkan diri, bahwa saya seorang imam diosesan dari Keuskupan Agung Ende, di Flores.

Tak lama kemudian, ibu-ibu pamit untuk bergabung dengan rekan-rekannya dari satu kelompok doa. Kembali saya menghampiri satpam itu. “Kau nama siapa?” tanya saya. “Romo Levi, kae.” Saya berpikir, ini orang pasti bercanda. Dia membalikkan badan. Pada kaus di punggung tertulis, “Romo Levi”.

“Aduh, saya minta maaf ko, tadi saya kira satpam, soalnya kau punya penampilan ni macam satpam ko.” “Tidak apa kae. Di dalam ada Rm. Beny. Saya duduk di sini,” kata P. Levi, SVD.

Nama lengkapnya P. Levi Lidi, SVD. Dia pernah bertugas di beberapa tempat, termasuk di Sumatra. “Di Batak sana, dia dirangkul masuk ke dalam marga Pakpahan. Karena itu, dia sering dipanggil P. Levi Pakpahan, SVD,” kisah Pater Frans Lamuri, SVD.

Perkenalan awal yang tidak biasa ini mendatangkan faedah. Di antara para satpam saya lalu dikenal. Saya imam dari Flores. Nah, setelah mengikuti pelatihan di ruang pertemuan dan membawa pulang ole-ole dari Mbak Nana ke kamar di Soverdi, saya kembali ke gereja Matraman. Penasaran. Ingin menelusuri lebih jauh.

Begitu masuk, saya disambut para satpam. “Boleh berkeliling ga?” “Oh, silahkan Romo, ga apa-apa,” jawab seorang satpam dengan ramah. Saya masuk ke pelataran gereja, mengambil foto sejenak dan membuat video singkat. Di dalam gereja sedang ada misa dipimpin seorang imam dari Flores.

Saya bergerak ke sisi kiri gereja, masuk ke pelataran sekolah-sekolah Marsudirini yang terkenal, asuhan para suster OSF. Seorang satpam menyapa saya, “Silahkan Romo kalau mau lihat-lihat. Mari saya antarkan,” sambutnya. “Apa bisa bertemu seorang suster?” “Maaf, Romo, mesti ada janjian dulu.” Ramah tapi tertib dan tegas. Jadi saya tidak bisa masuk sampai ke dalam sekolah. Hanya di pelataran saja.

Saya kembali ke gereja Matraman. “Levi, saya ingin lihat-lihat ini gereja ko,” pinta saya. “Mari kae, saya antarkan. Kalau mau foto-foto, mari saya ambil, supaya kae ada kenangan.” P. Levi mengantar saya ke sayap-sayap gereja yang besar. Saya tidak bisa masuk ke dalam ruangan inti gereja karena masih sedang ada misa arwah.

Melalui sayap-sayap gereja saya sudah bisa membayangkan luasnya ruangan gereja ini. “Kalau terlalu penuh, ini sayap dibuka. Jadi bisa menampung banyak umat,” jelas Levi. Saya diantarnya ke belakang gereja. Lahannya sempit tapi ditata indah untuk keperluan Jalan Salib, lengkap dengan ikon setiap stasi.

Akhirnya saya diantar pulang. “Kae mau ke Soverdi to? Mari ikut saya.” Levi menuntun saya masuk ke gang sempit di samping Soverdi. Ada pagar yang membatasi, tapi ada gerbang kecil. “Ini jalan tikus,” canda Levi. Gerbang dibuka dan sebentar kemudian kami berdua sudah berada di taman bunga di samping Soverdi. Dia membuka pintu kaca, dan saya dipersilahkan masuk ke dalam ruang rekreasi. “Levi, terima kasih ee. Saya makan dulu,” kata saya sambil melambaikan tangan. “Ooo, kae pergi makan sudah. Pater-pater su di dalam.”

Butir-butir harapan yang ini beda sekali. Pelajaran untuk saya, “Don’t judge the book from its cover” – jangan cepat-cepat menilai buku dari kulitnya. Yang kelihatan buruk belum tentu jelek. Sebaliknya, yang kelihatan baik, hmmm, “Lae tetu”, kata orang Ende.

  • Related Posts

    SILENTIUM EST AUREUM (3)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (49) Pada era 1950-an sekelompok pertapa Buddha di Thailand ditugasi untuk memindahkan patung Buddha dari tanah liat. Patung itu dibiarkan begitu saja di tempat terbuka dan…

    SILENTIUM EST AUREUM (2)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (48) Kapela yang biasa kami pakai untuk merayakan Ekaristi harian bernama Kapela Roh Kudus. Ukurannya kecil. Hanya bisa menampung kira-kira 25 orang. Namun hari itu, Selasa…