
Laporan Perjalanan Rm. Nani (6)
“Hi, Romo, kalau jam 10.00 hari ini Romo bersedia ikut melihat pelatihan mengenai caregiver dari Mutiara Kasih, nanti saya jemput ya. Saya masih di Busway sekarang.”
SMS dari Mbak Nana ini masuk ke whatsapp saya ketika saya sedang berada di depan gereja Paroki Santo Yoseph Matraman, tempat diadakan pelatihan tersebut. Saat itu saya sedang ngobrol dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang menanti kegiatan di Gereja. Komunitas Soverdi berada persis di samping gereja Matraman ini.
Paroki St. Yoseph Matraman tertua kedua setelah Paroki Katedral Jakarta. Paroki ini lahir pada 22 Juni 1909 bertepatan dengan permandian pertama. Paroki ini pertama kali dilayani para imam Jesuit. Tahun 1953 diserahkan pelayanannya kepada tarekat SVD.
Gedung gerejanya indah sekali. Pada sisi kiri kanan ada sayap yang dibatasi tirai. Kalau jumlah umat membludak tirai dibuka, dan gereja menjadi luas sekali.
Tepat jam 10.00 Mbak Nana tiba dan segera mengajak saya ke ruang pertemuan lantai 4. Berlantai 4? Ya. Gereja ini dibom tahun 2000 persis pada malam Natal, bersamaan dengan pengeboman pada 15 gereja lainnya.
Setelah itu, gereja direnovasi secara menyeluruh, dengan tetap mempertahankan arsitektur asli, karena telah menjadi warisan budaya. Pastoran dibangun baru beberapa lantai, termasuk untuk pertemuan, di lantai 4.
Saat keluar dari lift dan masuk ke dalam ruang pertemuan, para pendidik dari Mutiara Kasih sedang mengadakan pelatihan caregiver.
Caregiver ini orang yang membantu orang lain (kaum lansia dan penyandang disabilitas) dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain pelatihan untuk caregiver, Mutiara Kasih memberikan pelatihan untuk pengasuhan anak (baby-sitter).
Mutiara Kasih merupakan lembaga pendidikan caregiver terbaik. “Dalam uji kompetensi yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Lembaga kami yang terbaik,” kata Ibu Agustine Hidayati, Direktur Mutiara Kasih Karolus.
Saat itu, yang sedang beraksi itu seorang guru muslim berjilbab. Saya terkesan sekali keterbukaan Mutiara Kasih ini. Para pendidiknya tidak hanya dari kalangan Katolik. Spirit kemanusiaannya membuka sekat-sekat.
Mereka memberikan pelatihan kepada umat, khususnya anggota keluarga. Materi pelatihan saat saya masuk itu tentang tujuh langkah mencuci tangan. Kecil tindakannya tetapi berarti sekali untuk Kesehatan. Dengan sangat menarik dan cekatan, sambil memberikan pendasaran-pendasaran yang kokoh, para guru mempraktikkan tujuh langkah tersebut. Para peserta memperhatikan dengan saksama, lalu mempraktikkannya di bawah bimbingan para guru itu.
“Sudah 9 paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) ini mengundang kami,” kata Mbak Nana. “Ini memang sejalan dengan Arah Dasar (Ardas) KAJ tahun 2022-2026. Penekanan Ardas tahun 2025 adalah “Kepedulian Lebih pada yang Miskin dan Lemah,” jelas Mbak Nana. “Di antara yang lemah itu para lansia. Paroki-paroki bekerja sama dengan kami sebagai Lembaga profesional yang memberi pelatihan caregiver untuk merawat dan mendampingi, antara lain, para lansia,” tambahnya.
Di Lembaga Pendidikan Mutiara Kasih, para siswa diberi pelatihan yang amat serius. “Fokus kami itu pada karakter, karena mereka melayani manusia,” lanjut Mbak Nana. Tanpa karakter yang baik dan kokoh, pelayanan caregiver tidak akan maksimal. Pelayanan jenis ini tidak hanya membutuhkan keterampilan tapi hati yang penuh kasih, dan ini tidak akan terjadi kalau karakternya tidak baik. “Karena itu kami tegas, dan konsisten, agar dalam dua bulan sudah ada pembentukan karakter yang baik,” kata Ibu Agustin. “Saat Mgr. Sensi dirawat di RS St. Karolus, siswa kami yang mendampinginya,” tambahnya.
Para siswa/i ini tamatan SMA atau SMK. “Kami sangat hati-hati merekrutnya. Harus ada persetujuan orangtua. Harus ada persetujuan Pastor Paroki,” tandas Mbak Nana. Seluruh pembiayaan ditanggung Lembaga Mutiara Kasih, mulai dari transportasi dari tempat asalnya, sampai biaya pendidikan dan kehidupannya di Jakarta. Istilahnya, mereka meminjamkan dulu. Setelah mereka mendapatkan kerja, mereka mengembalikannya dalam jangka waktu 2 tahun. Jadi ada semacam Ikatan Dinas selama dua tahun setelah pelatihan.
“Gaji para caregiver level 2 (setelah dua bulan pelatihan) Rp2.500.000. Itu di luar makan minum dan tempat tinggal, yang memang disiapkan para pengguna jasa. Dari uang sejumlah itu, selama satu tahun caregiver memberikan satu juta setiap bulan kepada Mutiara Kasih sebagai pengembalian biaya Pendidikan, sedangkan satu setengah juta milik caregiver. Namun, uangnya itu tidak dipegang caregiver tapi disimpan di bank atau koperasi atas namanya sendiri. Yang mereka pegang setiap bulan paling rendah Rp300.000 sebagai uang pengganti libur. Setelah dua tahun mereka boleh mengambil uang yang mereka tabung untuk keperluan keluarga mereka sendiri atau biaya Pendidikan lanjut kalau mereka mau kuliah. Rata-rata setelah 2 tahun tabungannya sekitar 50 juta sebab ada kenaikan gaji dan uang THR,” urai Mbak Nana.
Pada umumnya pengguna jasa menyatakan puas dengan pelayanan caregiver tamatan Mutiara Kasih yang sudah berkiprah selama 18 tahun ini. Mereka bahkan memperlakukan caregiver sebagai anggota keluarga. “Kadang kalau kami telpon, mereka katakan sedang di mall bersama keluarga, atau bahkan sedang di luar negeri. Tapi kami memantau juga setelah caregiver bekerja. Kalau selama dua bulan mereka tidak diberi gaji, kami akan mempertanyakannya kepada pengguna jasa caregiver,” sambung Ibu Agustin.
Tamatan Mutiara Kasih banyak menorehkan kisah sukses. Tidak sedikit yang terus bekerja sebagai caregiver. Ada yang melanjutkan kuliah di berbagai bidang setelah mandiri. Ada yang kuliah visio terapi, ada yang kuliah ekonomi lalu bekerja di administrasi kantor, ada yang jadi pramugari, ada yang bahkan membangun bisnis sendiri.
Tidak heran, Mutiara Kasih mendapat apresiasi besar dari Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo sendiri.
Menariknya, ketika berkunjung ke tempat pelatihan, sebagian besar para siswa adalah anak-anak NTT. “Anak-anak itu pada awalnya tidak gampang mengikuti, tapi kemudian mereka bisa dan berkembang. Iman yang ditanam dalam keluarga dan lingkungan di NTT ikut membantu,” kata Mbak Nana.
Setelah pelatihan dua bulan, mereka diwajibkan bekerja dua tahun. Setelah itu, mereka boleh kembali ke Mutiara Kasih untuk mendapatkan pelatihan lagi, Kalau tamat, mereka naik ke level 3. Biasanya gajinya lebih besar. “Ada yang mendapatkan 4 juta,” kata Mbak Nana.
Sayang sekali saya tidak bisa terlalu lama di ruang pelatihan itu. Saya harus segera pulang ke Soverdi, karena sudah janjian dengan tamu lain. Namun, saya merasakan kegembiraan besar. Saya menyaksikan sendiri cara kerja Mutiara Kasih. Saya menjumpai anak-anak hasil didikan mereka. Saya berpikir, mungkin ini juga bisa menjadi peluang bagi anak-anak tamatan SMA atau SMK di daerah kita yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Mereka bisa juga diberi kesempatan mendapatkan pelatihan dan pendidikan di Mutiara Kasih.
Kalau ada persetujuan orang tua, persetujuan pastor paroki, keluarga bisa menghubungi Mutiara Kasih. Seluruh biaya transportasi dan jaminan kehidupan di Jakarta selama masa pendidikan ditanggung Mutiara Kasih sebagai pinjaman, yang akan mereka kembalikan setelah mereka bekerja.
Harus dicatat. lembaga pelatihan ini resmi. Ini bukan kedok untuk merekrut tenaga kerja, atau migran, untuk ‘dijual’. Izin operasinya jelas. Hasilnya pun nyata. Banyak anak muda sukses. Ini kabar gembira luar biasa di tengah pengangguran tingkat sarjana yang sangat tinggi. Kompas Minggu (23/2/2025) melaporkan, Indonesia menduduki peringkat pertama pengangguran sarjana di Asia Tenggara. Fakta yang miris.
Kehadiran lembaga pendidikan dan pelatihan seperti Mutiara Kasih adalah kabar gembira bagi anak-anak muda kita.
Kegembiraan lain adalah jejaring yang semakin luas. Kurasakan benar butir-butir harapan menjelang perjalanan saya ke Eropa. Semoga perjalanan ini menjadi “pereginantes in spem”- perziarahan dalam pengharapan, tema Tahun Yubileum 2025 ini.