St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko

Pater Fransiskus Cornelisen, SVD

Perndiri Seminari Mataloko

Pater Fransiskus Cornelisen, SVD adalah anak tunggal dari anak petani kaya. Mula-mula ditahbiskan sebagai imam praja dari keuskupan Den Bosch pada tanggal 29 Mei 1920. Beliau sudah lama bercita-cita menjadi misionaris. Namun setelah dua tahun menjadi imam, beliau mengikuti kursus guru bantu dan kursus kepala sekolah yang memberinya bekal untuk karya misionernya kelak di Flores.
Pada tahun 1925 beliau bertolak ke Flores. Ketika melaporkan diri kepada Mgr. Vestraelen, SVD, beliau serta merta ditugaskan untuk menjadi pastor kepala di Sikka dan memulai seminari baru. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya, bahwa ia harus mendirikan sebuah seminari dan memulaim pendidikan calon imam. Juga tak ada persiapan yang matang baik menyangkut program pendidikan menyangkut sarana dan prasarana pendidikan. Lokasi seminari pun terletak di daerah terpencil, jauh dari jangkauan. Lagipula sebagaian besar umat Flores masih kafir. Namun Pater Cornelisen adalah pribadi bertekad baja, tekun, pekerja keras dan pemberani. Ia tahu pendidikan calon imam itu penting bagi karya misioner betapa pun penuh tantangan dan kesulitan. Ia tahu bahwa tugas yang sedemikian berat ini dipercayakan Bapak Uskup ke atas pundaknya.
Maka berbekalkan kepercayaan yang diberikan atasnya, serta tekad baja, ketekunan, kerja keras dan keberanian besar yang dimilikinya, pater Cornelissen memulai karya yang besar ini pada tanggal 2 Februari 1926 di Sikka bersama tujuh seminaris angkatan pertama. Ia mencoba menerapkan model seminari yang pernah dialaminya di Belanda. Karena para siswa kesulitan memahami bahasa Belanda, Ia memutuskan untuk belajar sendiri bahasa Melayu dari para siswanya. Berbagai kekurangan tidak menghalangi tekad dan keberaniannya untuk memulai sesuatu. Pendopo pastoran pun ia jadikan ruangan kelas para siswanya. Sementara itu Ia tidak melalaikan tugasnya sebagai pastor paroki.
Hasil kerja yang pada awalnya penuh tantangan mulai membawa hasil. Tahun 1928 siswa semua berjumlah 26 orang. Pater Cornelissen ditemani seorang misionaris lain, yakni Pater Heerkens, SVD. Jumlah ini terlalu besar untuk ukuran pastoran Sikka yang kecil. Maka diputuskan untuk berpindah ke Mataloko. Pada bulan Agustus 1929, Pater Cornelissen, Pater Heerkens bersama para siswa bertolak ke Mataloko dan memulai proses pendidikan di tempat yang baru. Pada tanggal 15 september 1929, Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu- Mataloko diresmikan.
Perang Dunia II (1943-1945) terjadi ketika beliau memimpin lembaga pendidikan calon imam ini. Selama masa krisis ini, kehadiran Pater Cornelissen meneguhkan dan menggembirakan para siswa. Betapa pun hampir semua Pembina diinternir dan dideportasi ke Pare-Pare, Pater Cornelissen dengan tekun dan kerja keras memimpin perjalanan lembaga ini sampai lewati masa-masa krisis. Ia bahkan melayani pula beberapa paroki seperti Mataloko, Mangulewa dan Bajawa.
Pater Cornelissen menyerahkan tongkat kepemimpinan seminari kepada P. Mathias Van Stiphout, SVD di akhir masa krisis (1946). Beliau kemudian menjalani tugas baru sebagai penilik sekolah. Tahun 1978, di senja usianya beliau masih dengan tekun dan penuh kerja keras menuliskan sebuah buku yang merekam sejarah pendirdikan imam di Flores, Timor dan Bali. Judul buku tersebut: “ 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali ”. Tanggal 13 Februari 1983 beliau menghembuskan nafas terakhir di Ende. Pater Fransiskus Cornelisen, SVD Perndiri Seminari Mataloko
Pater Fransiskus Cornelisen, SVD adalah anak tunggal dari anak petani kaya. Mula-mula ditahbiskan sebagai imam praja dari keuskupan Den Bosch pada tanggal 29 Mei 1920. Beliau sudah lama bercita-cita menjadi misionaris. Namun setelah dua tahun menjadi imam, beliau mengikuti kursus guru bantu dan kursus kepala sekolah yang memberinya bekal untuk karya misionernya kelak di Flores.
Pada tahun 1925 beliau bertolak ke Flores. Ketika melaporkan diri kepada Mgr. Vestraelen, SVD, beliau serta merta ditugaskan untuk menjadi pastor kepala di Sikka dan memulai seminari baru. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya, bahwa ia harus mendirikan sebuah seminari dan memulaim pendidikan calon imam. Juga tak ada persiapan yang matang baik menyangkut program pendidikan menyangkut sarana dan prasarana pendidikan. Lokasi seminari pun terletak di daerah terpencil, jauh dari jangkauan. Lagipula sebagaian besar umat Flores masih kafir. Namun Pater Cornelisen adalah pribadi bertekad baja, tekun, pekerja keras dan pemberani. Ia tahu pendidikan calon imam itu penting bagi karya misioner betapa pun penuh tantangan dan kesulitan. Ia tahu bahwa tugas yang sedemikian berat ini dipercayakan Bapak Uskup ke atas pundaknya.
Maka berbekalkan kepercayaan yang diberikan atasnya, serta tekad baja, ketekunan, kerja keras dan keberanian besar yang dimilikinya, pater Cornelissen memulai karya yang besar ini pada tanggal 2 Februari 1926 di Sikka bersama tujuh seminaris angkatan pertama. Ia mencoba menerapkan model seminari yang pernah dialaminya di Belanda. Karena para siswa kesulitan memahami bahasa Belanda, Ia memutuskan untuk belajar sendiri bahasa Melayu dari para siswanya. Berbagai kekurangan tidak menghalangi tekad dan keberaniannya untuk memulai sesuatu. Pendopo pastoran pun ia jadikan ruangan kelas para siswanya. Sementara itu Ia tidak melalaikan tugasnya sebagai pastor paroki.
Hasil kerja yang pada awalnya penuh tantangan mulai membawa hasil. Tahun 1928 siswa semua berjumlah 26 orang. Pater Cornelissen ditemani seorang misionaris lain, yakni Pater Heerkens, SVD. Jumlah ini terlalu besar untuk ukuran pastoran Sikka yang kecil. Maka diputuskan untuk berpindah ke Mataloko. Pada bulan Agustus 1929, Pater Cornelissen, Pater Heerkens bersama para siswa bertolak ke Mataloko dan memulai proses pendidikan di tempat yang baru. Pada tanggal 15 september 1929, Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu- Mataloko diresmikan.
Perang Dunia II (1943-1945) terjadi ketika beliau memimpin lembaga pendidikan calon imam ini. Selama masa krisis ini, kehadiran Pater Cornelissen meneguhkan dan menggembirakan para siswa. Betapa pun hampir semua Pembina diinternir dan dideportasi ke Pare-Pare, Pater Cornelissen dengan tekun dan kerja keras memimpin perjalanan lembaga ini sampai lewati masa-masa krisis. Ia bahkan melayani pula beberapa paroki seperti Mataloko, Mangulewa dan Bajawa.
Pater Cornelissen menyerahkan tongkat kepemimpinan seminari kepada P. Mathias Van Stiphout, SVD di akhir masa krisis (1946). Beliau kemudian menjalani tugas baru sebagai penilik sekolah. Tahun 1978, di senja usianya beliau masih dengan tekun dan penuh kerja keras menuliskan sebuah buku yang merekam sejarah pendirdikan imam di Flores, Timor dan Bali. Judul buku tersebut: “ 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali ”. Tanggal 13 Februari 1983 beliau menghembuskan nafas terakhir di Ende.  Pater Fransiskus Cornelisen, SVD Perndiri Seminari Mataloko
Pater Fransiskus Cornelisen, SVD adalah anak tunggal dari anak petani kaya. Mula-mula ditahbiskan sebagai imam praja dari keuskupan Den Bosch pada tanggal 29 Mei 1920. Beliau sudah lama bercita-cita menjadi misionaris. Namun setelah dua tahun menjadi imam, beliau mengikuti kursus guru bantu dan kursus kepala sekolah yang memberinya bekal untuk karya misionernya kelak di Flores.
Pada tahun 1925 beliau bertolak ke Flores. Ketika melaporkan diri kepada Mgr. Vestraelen, SVD, beliau serta merta ditugaskan untuk menjadi pastor kepala di Sikka dan memulai seminari baru. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya, bahwa ia harus mendirikan sebuah seminari dan memulaim pendidikan calon imam. Juga tak ada persiapan yang matang baik menyangkut program pendidikan menyangkut sarana dan prasarana pendidikan. Lokasi seminari pun terletak di daerah terpencil, jauh dari jangkauan. Lagipula sebagaian besar umat Flores masih kafir. Namun Pater Cornelisen adalah pribadi bertekad baja, tekun, pekerja keras dan pemberani. Ia tahu pendidikan calon imam itu penting bagi karya misioner betapa pun penuh tantangan dan kesulitan. Ia tahu bahwa tugas yang sedemikian berat ini dipercayakan Bapak Uskup ke atas pundaknya.
Maka berbekalkan kepercayaan yang diberikan atasnya, serta tekad baja, ketekunan, kerja keras dan keberanian besar yang dimilikinya, pater Cornelissen memulai karya yang besar ini pada tanggal 2 Februari 1926 di Sikka bersama tujuh seminaris angkatan pertama. Ia mencoba menerapkan model seminari yang pernah dialaminya di Belanda. Karena para siswa kesulitan memahami bahasa Belanda, Ia memutuskan untuk belajar sendiri bahasa Melayu dari para siswanya. Berbagai kekurangan tidak menghalangi tekad dan keberaniannya untuk memulai sesuatu. Pendopo pastoran pun ia jadikan ruangan kelas para siswanya. Sementara itu Ia tidak melalaikan tugasnya sebagai pastor paroki.
Hasil kerja yang pada awalnya penuh tantangan mulai membawa hasil. Tahun 1928 siswa semua berjumlah 26 orang. Pater Cornelissen ditemani seorang misionaris lain, yakni Pater Heerkens, SVD. Jumlah ini terlalu besar untuk ukuran pastoran Sikka yang kecil. Maka diputuskan untuk berpindah ke Mataloko. Pada bulan Agustus 1929, Pater Cornelissen, Pater Heerkens bersama para siswa bertolak ke Mataloko dan memulai proses pendidikan di tempat yang baru. Pada tanggal 15 september 1929, Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu- Mataloko diresmikan.
Perang Dunia II (1943-1945) terjadi ketika beliau memimpin lembaga pendidikan calon imam ini. Selama masa krisis ini, kehadiran Pater Cornelissen meneguhkan dan menggembirakan para siswa. Betapa pun hampir semua Pembina diinternir dan dideportasi ke Pare-Pare, Pater Cornelissen dengan tekun dan kerja keras memimpin perjalanan lembaga ini sampai lewati masa-masa krisis. Ia bahkan melayani pula beberapa paroki seperti Mataloko, Mangulewa dan Bajawa.
Pater Cornelissen menyerahkan tongkat kepemimpinan seminari kepada P. Mathias Van Stiphout, SVD di akhir masa krisis (1946). Beliau kemudian menjalani tugas baru sebagai penilik sekolah. Tahun 1978, di senja usianya beliau masih dengan tekun dan penuh kerja keras menuliskan sebuah buku yang merekam sejarah pendirdikan imam di Flores, Timor dan Bali. Judul buku tersebut: “ 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali ”. Tanggal 13 Februari 1983 beliau menghembuskan nafas terakhir di Ende.