Minggu pagi yang hangat di Kelurahan Mataloko. Jarang sekali tanah berembun itu disapa oleh cahaya sang surya.
Di hari yang disebut hari Tuhan itu, burung-burung memadahkan lagu mereka, sedang para seminaris keluar dengan hening ke kamar makan.
Satu jam kemudian, komentar demi komentar mengisi atmosfer yang tadinya sunyi.
Aula dan Ruang Musik menjadi ‘saksi bisu’ perang intelektual pertama semester ini, diskusi ilmiah OSIS SMA Seminari Todabelu, Minggu (27/8).
Dalam perang ini kelas XIA menerima bola panas sebagai pemateri, yang pertama di angkatan mereka, angkatan 9 kepala alias 90 itu.
Perang alias diskusi kali ini mempersoalkan tema Human Trafficking di NTT. Dalam sengketa ini kelas XIA harus memenangkan klaim mereka atas gelar kelas unggulan.
Diskusi ilmiah hari ini terjadi di dua medan perang yang berbeda, Ruang musik dan Aula.
Penulis menaruh perhatian lebih di Aula. Aula SMA dipenuhi dengan para seminaris serta satu pembina SMA yang siap menguji daya tahan otak kubu pemateri.
Kubu penguji yang menghadiri diskusi alias perang ilmiah di medan aula ini terdiri dari aliansi siswa kelas XA, XB, XII MIA, termasuk kelas XIA sebagai pemapar materi.
Vito Dhae memimpin kubu pemateri, berdiri sebagai presenter atas materi-materi yang telah disusun oleh tim penulis XIA. Ia berhasil membawakan materi tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan piawainya. Satu per satu pilar diskusi dibangunnya dengan gagah di sekitar panggung medan itu.
Suasana pagi yang hangat menggigit itu, perlahan berubah menjadi panas dan mencekam, akibat berbagai bom pertanyaan yang dilontarkan para peserta diskusi ilmiah untuk tim pemapar materi. Kini api perang telah berkobar sepenuhnya.
Tim pemapar materi hampir sesak napas dan kewalahan menahan berbagai serangan pertanyaan yang diberikan.
Namun, anggota XIA masih mampu bertahan dan menyerang balik dengan jawaban yang cukup baik.
Kubu pemateri XIA membutuhkan penalaran yang kuat, salah satu senjata mereka untuk merilis serangan-jawaban terhadap semua lawan penguji yang bertanya.
Mau tidak mau setiap anggota kubu pemateri harus kompak dalam menyusun dan melaksanakan strategi mereka untuk menangani dan menjawab setiap pertanyaan serta bertahan dari angkara murka intelektual mereka.
Di tengah gempuran tanggapan dan situasi yang cukup menegangkan, Fr. Yuda Sihotang, OFM, tampil sebagai pahlawan mendadak untuk menetralkan suasana dengan memberi kesimpualn yang juga dapat menjadi penopang dan pelurus serta merangkum seluruh jawaban dari sekian banyak bubuk pertanyaan.
Sang Pahlawan juga mengaitkan isu perdagangan manusia dengan ensiklik kepausan, Gaudium et Spes, yang menjelaskan bahwa, Gereja mengecam berbagai bentuk pelanggaran HAM dan martabat manusia, termasuk perdagangan manusia.
Dokumen kedua kepausan yang dikaitkan adalah Caritas in Veritate yang dicetuskan oleh Paus Benediktus XVI pada tahun 2009, yang menjelaskan perlunya mengatasi ketidaksetaraan dan keadilan sosial di dunia modern yang kian menjadi-jadi ini.
Ensiklik ini menyoroti pentingnya cinta kasih dan kebenaran dalam pembangunan manusia yang berkelanjutan dan utuh.
Melalui diskusi ilmiah ini para seminaris diharapkan mengerti dan memahami secara baik tentang perdagangan manusia atau Human Trafficking serta tahu menghargai harkat dan martabat manusia yang memiliki hak untuk dilindungi dan dijaga sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak.
Wawasan baru ini dapat menjadi bekal bagi masa depan para seminaris sebelum melangkahkan kaki ke luar Seminari dan berbaur dengan masyarakat. (Bertran Odos dan Darren Gapi).
Editor: Egwin Gawe