WENGGO ULU EKO, MOHON KESUBURAN TANAH

St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko

Wenggo ulu eko adalah ritus adat Lio, Flores, yang di­mulai se­jak ta­hun 1800-an karena lowa moa   (kelaparan) me­­la­n­­da ka­wasan tersebut. Mosa­laki la­lu mem­­­­buat ritus ini se­ba­gai res­pons. Ke­­­­­­­giatan ini diyakini sak­­­­ral se­­­hingga la­rangan­­­nya me­ngikat.

Ritus adat bukanlah hal baru dalam kehidup­an masyarakat Lio. Da­lam menjalani kehidup­an, masyarakat Lio cen­derung berpegang teguh pada kuasa yang disebut Nggae. Mereka juga meng­akui peran leluhur da­lam sendi kehidupan­nya. Hal-hal semacam ini tercurah dalam ber­bagai aktivitas kehidup­an mereka.

Con­tohnya,  kegiatan wenggo ulu eko yang dibuat oleh ma­­syarakat Desa Tou, Ke­camatan Kotabaru, Ka­bu­paten Ende. Ritus ini me­­­reka ­­­­­­­yaki­­­ni sebagai ri­­­­­­­­tual guna memper­siap­­kan ta­­­­­­­­nah sebagai me­­­­­­dia persemaian benih, ke­tika musim tanam tiba.

Kegiatan ini dimulai ku­rang lebih pada awal ta­hun 1800-an. Kegiatan ini biasa­­­nya dibuat bu­­lan Oktober. Pemilihan bulan dimaksudkan agar dekat musim tanam.

 Latar belakang weng­go ulu eko adalah ter­­­jadinya lowa moa (ke­­­­­laparan) di Detukou dan sekitarnya ka­­­­­­­­­­rena apa pun yang mereka usa-hakan tidak mem­­­­buah­kan hasil. Masyarakat me­­­­yakini bah­­­wa hal itu terjadi karena ada pe­nga­ruh da­ri leluhur.

Me­nanggapi hal ini mosa­laki (tokoh adat) setempat melaku­kan ritual  weng­go ulu eko sebagai res­pons atas masalah ter­sebut. Hal ini membawa dam­pak positif bagi ma­sya­rakat pada masa itu. Karena itu, diputus­kan, wenggo ulu eko mesti dijadikan ke­giat­an rutin oleh masya­rakat setem­pat.

Awalnya, kegiat­an ini akan dimulai oleh ma­sya­rakat adat se­­tempat tanpa kecuali. Hal ini di­maksudkan agar tanah dan kebun yang masya­rakat miliki men­dapat­kan kesuburan.

Ma­­­sya­­­­rakat yang ha­dir dalam ritus, biasanya mewakili ke­­­luarganya. Biasa­­­­nya ter­­diri atas 6 golongan, yaitu Ata Ku­ne, Ata Tu, Ata Lo­ke, Ata Henda, Bhajo Wa­wo, Ana Mbe­­te dan Fai Walu Ana Halo (ma­­sya­­rakat biasa).

Ma­sya­­­rakat yang ber­kum­pul  meng­abdi pada satu mo­salaki yang di­sebut Tana Jogo Watu Laki Mari. Mosa­laki yang memimpin ja­lan­­­­­nya kegiatan ber­asal dari golongan Ana Mbe­te. Dapat di­­katakan, Ana Mbete adalah kepala se­mua golongan.

Dalam menjalankan tanggung ja­­wabnya sebagai pe­mim­pin, se­orang mosa­laki dibantu Ana Hage (kaki ta­­ngan mosalaki) yang ter­­­diri dari Ata Kune, Ata Tu, Ata Loke, Ata Hen­da, dan Bhajo Wa­wo.

Masyarakat yang da­tang biasanya mem­­­­­­­­­­bawa seekor ayam, se­botol mo­­ke (arak) dan be­­ras. Bawaan ini menjadi per­­­sembahan yang akan di­letakkan pada musu ma­se (batu per­sembah­­­an) dan di­masak seba­gai hi­dangan makan bersama.  

Acara ini akan di­mulai de­ngan pe­mang­gil­an ma­syarakat ber­­­­­­dasarkan kampung. Saat dipanggil, biasa­­­­­­nya be­ras yang di­bawa akan dikula (di­­ukur). Kemu­di­an di­­masak oleh Fai Gamo Lima (istri dan ke­luarga besar mosala­ki).

Setelah dipanggil, se­mua golongan masya­rakat berkumpul di de­pan rumah adat induk. Setelah berkumpul, mo­sa­­laki akan melakukan ri­tual riwu rera (mem­beri sesajian kepada le­lu­hur). Hidangan seba­gai sajian mesti sesuai dengan apa yang diwa­riskan le­luhur, yakni are manu nagi dan are kola kedhe.

Sajian kola kedhe yang dibuat mesti me­­ngan­dung bahan udang. Selama pro­­­­­ses riwu re­ra, semua orang tidak di­perkenan­kan mem­buat ke­gaduhan. Hal ini me­nunjuk­­­kan, ke­giat­an ini sakral. Mereka juga me­yakini bahwa ke­gaduh­an dapat menyebab­­kan per­mohonan tidak di­ka­bul­­­­kan.

 Setelah riwu rera, ke­giatan ritual dilan­jut­kan de­ngan makan bersama. Saat makan, ma­sya­­­­rakat tidak memakai peralatan modern, tapi  menggu­na­­kan per­­alatan tradi­sional yang disebut pene ha’i. Hidangan makan bersama yang di­se­dia­kan dimasak oleh Fai Gamo Lima.

Proses memasak hi­dang­an dimulai dengan nga­ki loka (mem­bersih­kan lokasi masak). Hal ini biasanya dibuat  go­long­an Bhajo Wawo dan Ata Henda.

Setelah nga­ki loka, kegiatan di­lan­jutkan dengan tabha are tana nasu nake wa­tu (me­­masak), baik se­saji­an maupun hidangan ka bou pesa mondo (ma­­­kan bersama).

Setelah kegiatan ritu­al ber­langsung, ma­sya­rakat, ba­ik yang hadir maupun yang berada di rumah, diminta untuk me­naati larangan, seper­ti, tidak menyisir ram­but, tidak menyapu ru­mah, tidak ga­duh, dan tidak mem­bawa tum­buh­an hijau masuk kam­pung selama satu hari.

Larangan yang dibuat akan berlanjut hingga ha­ri yang ditentukan. Larangan paling akhir biasa­nya berlaku pada hari sebelum mosalaki me­laku­kan pa­ki (pena­nam­­an benih), ma­sya­rakat di­larang me­laku­kannya­ lebih dahu­lu.

Jika larangan ti­dak dit­aati, den­da akan dike­nakan. Sanksi yang di­se­but seliwu se’eko ter­diri atas seekor babi dan sejumlah uang. Dulu, se­­belum menggunakan uang, denda dibayar de­ngan emas.

 Namun, denda ini ha­nya dike­nakan kepada me­reka yang kedapatan me­­nyimpang. Bila mela­kukan penyimpangan, ta­pi tidak kedapatan, ru­saknya struk­tur tanah dan gagal panen diya­kini sebagai sanksi yang diberikan le­luhur. Setelah selesai, bia­sa­nya akan dilanjutkan de­ngan gawi bersama jika memungkinkan.

Saat ini, wisatawan asing bo­leh menghadiri kegiatan, tapi harus atas izin mosa­laki. Me­reka ini di­­­sebut se­bagai kura fangga no’o lo­­wo lowo ro’a loka no’o keli keli (pendatang). Jika wisa­ta­wan melakukan pe­lang­­garan pertama kali, mereka akan ditegur.

Bayu Putra

Siswa kelas XI SMA Seminari Todabelu, Mataloko