“Urat nadi pendidikan adalah karakter”, demikian penegasan Dr. Itje Chodidjah, MA, mengawali Interpersonal and Social Skills Training, sebuah pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter, kepada para formator dan guru di Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko, 15-17 Februari 2018 silam. “Karakter yang kuat bertumbuh karena penghayatan nilai-nilai, dan kitalah penumbuh-penumbuh karakter itu dalam diri anak-anak”, lanjut salah satu anggota Badan Akreditasi Nasional itu, yang memilih NTT sebagai salah satu daerah binaannya. Untuk menjadi penumbuh karakter seorang guru dituntut menghayati nilai-nilai di dalam kehidupannya secara konsisten. “Di luar kelas, di tengah masyarakat, seorang guru tetaplah guru. Karakter tidak dipelajari siswa, tapi ditangkap siswa dari perilaku guru”, tandasnya.
Pelatihan yang berlangsung dua setengah hari itu banyak memberi ilham bagi perubahan. Ada pergumulan dan refleksi mengenai roda nilai dan pemberian bintang pada penghayatan nilai sesuai indikator yang ditetapkan; ada pergumulan dan refleksi tentang kolaborasi, yang amat penting dalam kehidupan saat ini, yang memungkinkan atmosfir green zone tercipta karena ada trust, keterbukaan dan saling berbagi sehingga memungkinkan setiap orang berkembang (growth mindset); ada pergumulan dan refleksi mengenai kualitas berkomunikasi yang tidak hanya menyangkut kata (verbal) tetapi juga intonasi dan bahasa tubuh (nonverbal); ada pembelajaran dengan menggunakan quadrant; ada pembelajaran mengenai six thinking hats dari Edward de Bono yang mengasyikkan sekaligus menantang; dan pembelajaran mengenai coaching yang sungguh menyegarkan dan terasa memenuhi kebutuhan akan adanya pendampingan yang manusiawi dan menumbuh-kembangkan.
Praeses Seminari, Rm. Gabriel Idrus, Pr, menyatakan kegembiraan dan kepuasannya usai mengikuti pelatihan ini. “Bagi saya, kegiatan pelatihan singkat selama dua setengah hari adalah pintu masuk untuk banyak perubahan dari mimpi-mimpi pembenahan lembaga yang selama ini diwacanakan”, tulis Rm. Idrus dalam refleksinya. Ia juga mengungkapkan rasa harunya, karena pelatihan berkualitas internasional di lembaga pendidikan calon imam difasilitasi ibu Muslim berhati mulia. “Kekuatan ibu Itje adalah hatinya. Kekuatan hati mempertemukan jarak rasa, membuka sekat-sekat perbedaan, menyatukan cita-cita dan harapan. Kekuatan hati mengedepankan kemanusiaan lebih dari apapun lainnya”, tandasnya.
Hal senada disampaikan Rm. Benediktus Lalo, Pr, Prefek/Pamong SMA Seminari. Rm. Beny menangkap perubahan signifikan yang terjadi usai pelatihan. “Kami merasakan adanya perubahan suasana. Suasana adem dan nyaman dalam relasi antar guru dan siswa. Masalah siswa tetap ada tapi terasa tidak ‘mencekam’ lagi. Para guru membuat pendekatan baru yang membawa pertumbuhan”, ungkapnya.
Rm. Aleks Dae, Pr, guru bahasa Indonesia, menuliskan catatannya mengenai pelatihan tersebut sebagai berikut, “Latihan coaching bagi saya merupakan babak baru untuk menempatkan para siswa sebagai pihak yang lebih berhak menentukan solusi atas masalahnya sendiri. Latihan coaching sangat membantu saya mengajukan pertanyaan yang tepat dalam suasana tenang sehingga siswa dapat dengan lega menemukan pilihan yang tepat dalam mengatasi masalah”.
Diungkapan secara berbeda, Yohanes N. Koandijalo, guru Kesenian mengatakan, “Saya sangat bersyukur karena kegiatan ini menyadarkan saya dan memotivasi saya untuk membenahi diri saya dari waktu ke waktu untuk menjadi seorang pendidik yang berkompeten dan memiliki rasa tanggungjawab yang besar atas masa depan peserta didik”.
F.X. Lindawati memberikan catatannya mengenai sesi pembelajaran Six thinking hats dari Edward de Bono. Ia mengatakan, “Sesi ini menyadarkan saya, bahwa dalam situasi berbeda kita harus menggunakan pola pikir dan pendekatan yang berbeda atas masalah atau kasus yang dihadapi. Kita perlu terus berlatih agar kita semakin cerdas dan bijak dalam ‘mengganti’ topi yang kita kenakan”.
Dari Knowing ke Being
Kepala SMPS Seminari, Rm. Kristo Betu, Pr, dalam refleksinya melihat momen pelatihan bersama ibu Itje Chodidjah tepat pada waktunya. “Ibu Itje mengingatkan kembali kita semua agar proses pendidikan kita tidak hanya menjejalkan pengetahuan yang nanti habis dalam ujian, tetapi harus bermakna pada pengembangan kualitas hidup para siswa kita. Kita harus sungguh bergerak dari sekedar knowing kepada being yang berkualitas. Apa artinya pengetahuan, dikte, penghafalan, kalau semua itu menguap begitu cepat tak berbekas, sementara itu kualitas kepribadian anak dengan berbagai kemungkinannya tidak bertumbuh dan berkembang”, ujarnya.
Rm. Kristo amat terkesan dengan pergumulan mengenai guru sebagai suatu lingkaran tanpa putus. “Justru agar being, kehidupan, jati-diri anak bertumbuh dan berkembang maksimal, korps guru harus menjadi suatu lingkaran tanpa putus. Satu saja guru tidak tanggap terhadap perilakunya, dia bisa merusak karakter siswa secara keseluruhan”.
Dengan kata lain, dibutuhkan kerelaan berubah dalam diri guru. Hal tersebut disampaikan oleh Paulina Bate, guru IPA terpadu SMPS Seminari. “Saya akan berusaha memperbaiki pola relasi saya”, katanya. “Saya ingin meningkatkan cara berkomunikasi saya yang lebih efektif, lebih berempati, lebih sabar, lebih mendengarkan teman-teman guru saya, dan, terutama, siswa-siswa saya”, ungkap Bernadetha Wea, guru bahasa Inggris SMP. Artinya dibutuhkan “pertobatan pedagogis”, kata Rio Edison, OFM, agar guru sungguh dapat menjadi designer perubahan perilaku. Tentu saja, “tidak ada kata terlambat untuk orang yang mau berubah”, tulis Gaby Simatupang. “Alangkah baiknya jika setiap hari para siswa menemukan tokoh-tokoh teladan yang muncul dari guru, yang menginspirasi perubahan karakter dan perilaku”, simpul Fransiska Dhera, guru bahasa Indonesia.
Dalam evaluasi mengenai kegiatan pelatihan tersebut pada 3 Maret 2018, semua guru mengharapkan keberlanjutan pelatihan seperti ini bersama ibu Itje Chodidjah. (Nani).