SILENTIUM EST AUREUM (1)

Laporan Perjalanan Rm. Nani (47)

Hari ini, Sabtu (7/6/2025) kami mengakhiri retret selama seminggu di Nemi. Ini retret yang unik. Boleh dibilang ini mahkota dari seluruh perjalanan Program Tersiat yang dimulai sejak akhir Februari lalu di Steyl.

Unik karena ini silentium total. Di kamar makan, saat bebas, saat berpapasan, hening. Kecuali, tentu, di kapela saat misa dan saat perjumpaan pribadi dengan pembimbing retret.

Tidak ada renungan, hanya catatan awal pagi hari, yang disebut “impuls” sebagai semacam arahan sepanjang hari. Selebihnya, peserta mengatur sendiri irama retretnya.

Misa diadakan setiap jam 12.00 siang. Peserta hanya diminta menyiapkan satu dua lagu. Selebihnya, para pembimbing retret yang melayani, dengan segala kreativitasnya.

Pembimbing retret 5 orang: Thomas Heck, Samy Soosai, Br Michael Erti, Carlos Paniagua, Serafin. Mereka ini sekaligus mengambil alih seluruh tugas di kamar makan dan dapur, yang selama ini dilakukan peserta – mengelap, membersihkan, dan menyiapkan meja makan, dan mencuci peralatan makan.

Tema retret hari pertama adalah Nature Walk, berjalan di alam. Saat memberikan “impuls”, Thomas memutar sebuah video tentang alam yang penuh keajaiban di mata seorang yang punya hati untuk melihat.

Dia minta semua peserta punya waktu berjalan ke alam, dengan serba ingin tahu, seperti orang anak kecil yang baru melihat segala sesuatu, dan mencecapi keajaiban.

Saya keluar ke jalan. Tentu, Danau Nemi memesona. Pohon-pohon menjulang tinggi. Bunga-bunga indah di pot di depan Wisma Centro Ad Gentes.

Setelah kurang lebih 50 meter ke luar Wisma ke arah gerbang luar, di samping kapela utama saya berhenti. Di depan saya, di tengah jalan yang lebar yang terbuat dari anyaman paving, seekor semut hitam kecil sedang berjalan mengangkut beban seperti kristal putih yang besar. “Semut kecil bisa mengangkut beban yang besarnya bisa lebih dari 8 kali tubuhnya,” kata Thomas dalam percakapan pribadi.

Saya memperhatikannya dengan teliti. Dia berjalan cepat dengan arah yang tetap, ke depan. Setiap pinggiran paving terasa seperti jurang. Dia berhenti sejenak seakan berpikir untuk mengambil keputusan. Kadang dia langsung terjun, dan naik lagi, dengan beban yang sama. Kadang dia menyimpang jauh untuk menyeberang, lalu kembali ke arah yang konstan.

Begitu pula kalau ada batu atau sepotong kayu yang melintang, dia mencari jalan untuk menerobos. Dia tidak pernah melepaskan bebannya, walaupun perjalanannya panjang. Saya menjumpainya saat dia sudah berada di setengah ruas jalan. Berarti dia sudah menempuh jarak yang sangat jauh.

Saya mengikutinya sampai ke ujung jalan. Dia masuk ke tengah rerumputan.

“Semut ini berbicara apa?” tanya Thomas, memancing. Tentu banyak sekali. Kekuatannya. Kebertahanannya. Arah yang tetap ke depan. Tanggung jawab. Upaya menerobos, mencari jalan untuk terus maju. Keberanian mengambil risiko. Momen jeda untuk mengambil Keputusan. Kebijaksanaan.

Banyak hal bisa disebutkan. “Hal-hal itu ada dalam diri Nani. Alam berbicara tentang kita. Kita semua terhubung. Alam membuat kita bersyukur,” katanya.

Kami lalu berbicara tentang quantum physics, tentang keterhubungan. Energi. Tuhan yang menari di tengah alam semesta.

Hal lain yang menjadi perhatian saya adalah serumpun pohon bunga di samping kapela utama. Indah sekali. Namun, perhatian saya adalah pada tahapan-tahapan yang dilalui bunga. Bisa dilihat dengan sangat jelas.

Ada pohon yang kelopak bunganya masih terbungkus kecil, seperti hanya satu. Pada tangkai yang lain dari pohon yang sama, atau pada pohon yang lain dari bunga jenis itu kelopaknya mulai membesar. Yang mekar ternyata bukan hanya satu kelopak.

Taman Bunga di jalan menuju Paroki Nemi

Pada tangkai yang lain, puluhan atau ratusan kelopak mekar membentuk lingkaran, dengan bentuk yang kurang lebih sama, satu di atas yang lain, tapi dengan keteraturan yang indah.

Pada tangkai atau pohon lain, kelopaknya makin kaya. Batang pohon makin besar, makin tinggi. Dan bunga berwarna-warni mulai kelihatan. Mula-mula warnanya putih bercampur hijau. Namun, makin bertumbuh makin kompleks, makin kaya warna, makin menawan.

Pada puncak yang paling tinggi, terbentuk mahkota bunga dengan warna yang kompleks dan kaya, yang tidak mungkin bisa ditiru manusia. “Nature is the art of God – alam itu karya seni Allah”, kata Dante.

Setelah mahkota puncak terbentuk, pada waktunya bunga itu layu, mengering, dan mati. Muncul pucuk-pucuk bunga baru yang meniti tahapan-tahapan yang sama, untuk pada waktunya menjadi mahkota.

Banyak sekali hal yang bisa dipelajari dan ditarik maknanya.

Salah satu percakapan yang sangat menarik dengan Thomas Heck sebagai pembimbing retret pribadi saya adalah percakapan mengenai The Sacrament of the Present Moment – Sakramen Kehadiran Saat ini.

Pikiran kita sering terlalu ditumpuk berbagai pola, kisi-kisi yang sering jadi tembok penghalang untuk bisa melihat realitas yang indah.

Karena itu betapa penting kita perlu menumbuhkan kembali kekaguman, rasa ingin tahu seperti baru pertama kali kita melihat sesuatu, agar kita bisa menangkap realitas yang sesungguhnya, yang jernih, yang menawan, yang indah. “Tidak ada satu waktu pun di mana Tuhan tidak hadir,” kata Jean Pierre de Caussade, mistikus Prancis abad ke-18.

Betapa penting kita merawat dan mengasah perhatian. Sayang sekali, perhatian kita sudah terpecah-pecah, tak henti-hentinya digenangi berjuta-juta kesan yang terus berganti, apalagi pada zaman turbulensi teknologi ini. Perhatian kita dikacaukan dan dilunturkan oleh web of distractions – jaringan gangguan yang sangat bising dan membingungkan. Kita rindu akan kedamaian.

Para mistikus dan orang kudus banyak berbicara tentang Sakramen kehadiran saat ini, the Sacrament of the present moment, dimulai dengan kesadaran bahwa Tuhan itu bukan “di sana” di tempat lain, tapi di sini, saat ini. “Dia lebih dekat dengan kita daripada kita dengan diri kita sendiri,” kata para mistikus itu.

Bagaimana bisa merasakannya? Mulai dengan melatih diri untuk melihat Tuhan, menangkap kehadiranNya.

Sama halnya kalau kita ke toko besar mau beli sabun luks, dan itu sudah niat kita, sudah ada di kepala dan hati kita, kita akan bisa cepat langsung melihat sabun luks di antara ribuan barang yang dipajangkan. Kita tidak peduli barang-barang lain. Kita mendapatkan apa yang kita harapkan, kita melihat apa yang kita cari.

Kalau kita memilih untuk melihat sesuatu yang baik dan indah pada sesuatu atau seseorang, biasanya hal-hal yang baik dan indah itulah yang muncul. Kalau kita memilih untuk memberi perhatian pada yang rusak, yang kotor, yang jahat, nanti hal-hal itu ada di depan mata kita.

Karena itu kita perlu berlatih untuk berniat, memilih melihat Tuhan dan merasakan kehadiranNya.

Dengan ini kita membangkitkan dalam diri kita rasa akan kehadiran Tuhan, saat ini, di momen ini, di tempat ini. Ini perlu latihan, apalagi di zaman yang penuh web of distraction ini.

Saat kita merindukan Tuhan, sadari bahwa Tuhan itu hadir di sini, di tempat ini, dan beri perhatian pada kehadiranNya. Dia akan mengungkapkan diriNya dengan satu dan lain cara.

Ah. The Sacrament of the present moment. Ini salah satu buah terindah dari bukit Centro Ad Gentes di Nemi. Di depannya pemandangan Danau Nemi, Speculum Dianae, Cermin Diana, menawan sekali.

Tentu, ini tidak pernah akan terjadi tanpa keheningan. Orang Roma benar, hening itu emas – Silentium est aureum.

  • Related Posts

    “TIDAK! TIDAK!” (2)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (53) Dalam penerbangan dari EuroAirport Basel, Swiss, ke Roma, Selasa (24/6/2025) saya membaca buku Paulo Coelho berjudul Like the Flowing River. Ada cerita menarik tentang pensil,…

    “TIDAK! TIDAK!” (1)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (52) Kata ini selalu diucapkan oleh keluarga-keluarga yang kami kunjungi di Eiken, Swiss, atau di paroki-paroki sekitarnya. Setelah misa sore di sebuah gereja pada Kamis (19/6/2025),…