TRE FONTANE

Laporan Perjalanan Rm. Nani (45)

Tre Fontane. Tiga Mata Air. Apa itu?

Pada 26 Juni tahun 67 M, Santo Paulus dipenggal kepalanya. Begitu dipenggal, kepalanya terloncat dan jatuh ke tanah tiga kali. Pada tiga titik itu secara ajaib tersembur keluar tiga mata air. Itulah Tre Fontane.

Umat selalu suka mengambil air dari ketiga mata air itu karena air itu diyakini suci. Sayang sekali, tahun 1950 air itu mengalami kontaminasi dan ditutup sejak saat itu.

Saya berziarah ke Tre Fontane dengan hati penuh syukur. Sudah lama saya membaca dan mengetahui adanya Tre Fontane itu, dan seperti terselip keinginan samar-samar, apakah bisa berziarah ke sana. Bahwa itu terjadi pada kesempatan ini, tidak ada perasaan lain kecuali syukur.

Santu Paulus berkeliling tanpa henti mewartakan Tuhan yang sebelumnya dia aniaya. Dia ditangkap, dijebloskan di penjara, dilepaskan lagi. Dia berlayar. Kapalnya karam di Malta, sebelum akhirnya tiba di Roma.

Seluruh perjalanan apostoliknya, yang dia lakukan dengan semangat membara, yang tidak terpadamkan oleh penderitaan macam apa pun, bermuara di tempat yang sunyi ini, di dalam penjara. Kami mengunjungi penjara dengan terali besi itu di sebuah gereja besebelahan dengan Tre Fontane.

Di Tre Fontane itu ada inskripsi (tulisan tua) dalam bahasa Latin, “Tempat St. Paulus menjadi martir, dimana tiga mata air menyembul secara ajaib”.

Ada tiga cerukan dengan jarak yang sama. Dasarnya sudah dibentangkan  semen, tapi ada celah kecil yang ditutupi jeruji besi. Dari situ kita bisa melihat air yang mengalir. Pada dinding di atas jeruji bagian luar dibaringkan patung kepala St. Paulus.

Pada bagian kanan di samping cerukan pertama, ada pagar pelindung. Di situlah St. Paulus dipenggal.

Sejenak saya berlutut, dan kemudian duduk, lalu berdiri. Tidak tahu harus berdoa bagaimana. Kehilangan kata-kata. Hadir saja di sana dalam sunyi dengan rasa hormat, takjub, dan syukur, merupakan doa yang melampaui kata-kata.

Situs Tre Fontane adalah bagian dari sebuah kompleks pertapaan Trapis, dikenal dengan Trapis Ciscercian. Santo Bernard Clairfoux  adalah anggota Trapis ini.

Deretan pohon yang berdiri menjulang tinggi di depan gereja pertapaan ini, kompleks gereja yang kuno dengan pilar-pilar yang besar dan ikon-ikon religius yang indah, membangun atmosfir yang sunyi dan membawa hati masuk ke dalam kedamaian.

Sejenak kami berada di luar. Semilir angin memecah kesunyian. “Nani, kita jalan lebih dulu. Biarkan teman-teman di belakang,” ajak Aurelius Pati Soge, teman dari Indonesia yang bekerja di Batam.

Destinasi kami selanjutnya taman ziarah Maria, Bunda Revelasi. Letaknya di seberang jalan. Ini kegembiraan tersendiri buat saya.

Sejak menginjak Roma, saya sudah mengajak Aurelius – yang sudah beberapa kali ke Roma – mengantar saya ke Gua Maria ini. “Di mana itu?” tanyanya suatu waktu. “Di Tre Fontane!” “Ok, kita cari waktu ke sana,” janjinya.

Maka awal Mei lalu kami menelusuri Roma, mencari Tre Fontane. Kami masuk ke tempat yang salah. Fotana di Trevi, setelah gagal masuk ke Pantheon. Di Pantheon, kami hanya bisa berdiri di luar, tidak bisa masuk, karena lautan manusia tumpah ruah.

Pantheon itu bangunan purba, salah satu lambang kemuliaan dan kejayaan kota Roma. Didirikan oleh Agripa, antara tahun 25 dan 27 Sebelum Masehi, sebagai tempat pemujaan para dewa.

Bersama P. Aurel, SVD di depan Pantheon

Bangunan asli tetap bertahan kokoh. “Kalau kita masuk ke dalam, kita hanya terheran-heran, bagaimana orang zaman dulu sudah punya perhitungan matematis yang begitu canggih sampai bisa membangun gedung seistimewa itu,” jelas Aurel.

Pantheon sekarang telah menjadi Basilika yang dipersembahkan kepada Bunda Maria Ratu para Martir.

Saat itu Minggu pertama dalam bulan. Pada setiap minggu pertama dalam bulan di seluruh Roma tidak ada penjualan tiket untuk masuk tempat-tempat bersejarah. Gratis. Jadi manusia menyemut.

Kami tidak punya waktu untuk masuk Pantheon. Antrean terlalu panjang. “Lumayan, bisa mengagumi dari luar,” kata saya menghibur diri. Aurel tertawa dari kuping ke kuping.

“Mari kita ke Tre Fontane,” ajak Aurel. Wah senangnya. Mimpi jadi kenyataan. Maka berjalanlah kami. Dia sendiri sudah lupa jalurnya. Kami memakai google map menerobos hutan Kota Roma yang penuh bangunan kuno. 

“Aurel, itu kan tempat kepala St. Paulus dipenggal. Juga ada Gua Maria,” kata saya. Dia terheran-heran. “Kau omong apa? Nanti kau lihat waktu sampai di sana!”

Di Fontane di Trevi (yang saya kira Tre Fontane), kami hanya bisa beringsut sedikit demi sedikit, mendekat ke pagar di depan air mancur yang deras dengan kolam yang cukup lebar. Di dekat kolam itu orang melempar koin ke arah belakang menuju kolam air. Yang belum mendapat giliran berbaris dalam antrean yang panjang sekali.

“Kalau kau bisa lempar koin ke situ, ada kepercayaan, nanti kau akan datang lagi ke Roma,” jelas Aurel. “Eee ngero,  frek, saya tidak cari ini ko!”

Lalu saya ceritakan kepadanya kisah penampakan Bunda Maria di Tre Fontane. Dia terheran-heran. “Hah, saya baru tahu. Yang benar saja.”

Hari Minggu ini (11/5/2025) Tre Fontane yang sebenarnya kami kunjungi, setelah pagi harinya kami berada di Katakombe Domitilla. “Ini pertama kali saya ke sini, Nani!”

Gua Maria Bunda Revelasi di Tre Fontane

Masuk ke dalam kompleks Gua Maria, dari jauh sudah terdengar lantunan Salam Maria dalam bahasa Italia. Orang mengalir ke sana untuk berdoa.

12 April 1947, Bruno Cornacchiola, serdadu veteran Perang Dunia II yang sangat membenci devosi kepada Bunda Maria mampir ke tempat itu bersama ketiga anaknya.

Dia mempersiapkan sebuah pidato untuk menyerang Bunda Maria dan Gereja Katolik. Tiba-tiba anak-anaknya menghilang. Dia memanggil-manggil, tidak ada jawaban.

Di sebuah gua dekat tempat itu, anaknya yang bungsu sedang berlutut. “Wanita cantik! Wanita cantik!” serunya. Bruno berjuang menariknya. Tidak bisa. Tiba-tiba anak kedua dan pertama juga berlutut, dan dengan kepala terangkat berseru, “Wanita Cantik!”

Kepada Bruno, singkat kata, Bunda Maria pun menampakkan diri dan mengungkapkan identitasnya sebagai Bunda Revelasi. Bunda Maria juga menyatakan bahwa tubuh dan jiwanya utuh.

Peristiwa yang menggoncangkan ini Bruno laporkan pada Paus Pius XII. Bruno sendiri sudah punya rencana untuk menikam Paus ini dengan belati yang sudah disiapkan.

Sementara itu, Paus pada masa itu sedang bergulat memastikan pemakluman dogma Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan badannya. Dia berdoa mohon tanda untuk memastikan bahwa dogma tersebut sungguh kebenaran iman. Peristiwa penampakan itu bagi Paus adalah tanda yang jelas.

Maka melalui Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus, pada 1 November 1950 Paus Pius XII menetapkan dogma ini secara resmi.

Di gua tempat Bunda Maria menampakkan diri ditahtakan sebuah patung Bunda Maria dengan gaun putih dan mantel hijau, dengan Kitab Suci dalam tangannya. “Ini satu-satunya tempat dimana Bunda Maria menampakkan diri sambil memegang Kitab Suci,” kata Thomas Heck, SVD, yang mendampingi perziarahan kami.

Betapa gembiranya. Akhirnya saya sampai ke tempat ini. Kami masuk ke dalam kapela terbuka di gua itu. Kami berdoa bersama sekian banyak umat yang hadir.

Setelah berdoa, kami berkeliling di sekitar gua. Pada sebuah papan, ada kutipan para santo dan santa dan orang-orang terkenal tentang Maria. Salah satunya dari Santo Arnoldus Janssen. Dia berkata, “Maria e la pupilla della SS. Trinita – Maria itu pupil (biji) mata Allah Trinitaris”. Dia memantulkan kasih dan kemuliaan Allah Tritunggal.

Pupil mata Tuhan! Sebuah gambaran yang sangat mengena.

Dalam perjalanan pulang menuju tempat parkir, saya merasa seperti hanya bermimpi saja. Kemurahan dan kelimpahan Tuhan nyata.

Dalam bus kami bernyanyi The Goodness of God. Salah satu penggalan liriknya menyentuh sekali.

Your goodness is running after, it’s running after me. Your goodness is running after, it’s running after me
With my life laid down, I’m surrendered now. I give You everything.

KebaikanMu mengejar-ngejar daku. KebaikanMu mengejar-ngejar daku. Kuletakkan hidupku, kuberserah. Kuberikan segalanya bagiMu. 

Sebuah pengalaman renewal yang tak terlupakan.

  • Related Posts

    “TIDAK! TIDAK!” (2)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (53) Dalam penerbangan dari EuroAirport Basel, Swiss, ke Roma, Selasa (24/6/2025) saya membaca buku Paulo Coelho berjudul Like the Flowing River. Ada cerita menarik tentang pensil,…

    “TIDAK! TIDAK!” (1)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (52) Kata ini selalu diucapkan oleh keluarga-keluarga yang kami kunjungi di Eiken, Swiss, atau di paroki-paroki sekitarnya. Setelah misa sore di sebuah gereja pada Kamis (19/6/2025),…