MEMPERKENALKAN ‘GERAKAN SISWA MENULIS’ DI SEMINARI MATALOKO
Sebagai pribadi yang sering mendapat tugas berkunjung ke beberapa keuskupan di Indonesia, saya terbiasa mendokumentasikan peristiwa dalam sebuah coretan kisah harian. Dokumentasi tertulis itu menjadi alat bukti bahwa saya sudah berkunjung ke tempat itu sekaligus menjadi lampiran dari sebuah laporan kegiatan yang saya lakukan. Begitu pun ketika saya berkunjung ke Seminari Mataloko tanggal 4 Februari 2019 yang lalu, saya melakukan hal yang sama. Tulisan ini menjadi alat bukti bahwa saya pernah berkunjung ke Seminari Mataloko. Agar tulisan ini, tidak hanya menjadi milik saya, saya ingin mempublikasikan tulisan ini di Flores Pos agar para siswa seminari yang saya kunjungi saat itu dan pembaca Flores Pos, meraih makna di balik kebiasaan menulis.
Keinginan saya untuk memublikasikan peristiwa ini, berawal dari pertemuan spontan dan sederhana. Saya ingin bertemu teman kelas, Romo Nani Songkares. Pada saat yang sama, Romo Nani sedang mendampingi beberapa siswa untuk menulis. Saya diminta secara spontan menularkan semangat kepada para siswa yang sedang menulis. Para siswa diberi ruangan khusus untuk membaca dan menulis. Ruangannya persis di samping ruangan Romo Nani Songkares sehingga aktivitasnya bisa langsung terpantau. Siapapun yang masuk ke ruangan ini, aktivitas hanya satu : menulis. Ada laptop, ada meja, ada buku-buku. Ruangan yang dipenuhi beberapa siswa terasa hening karena hanya jari-jarinya yang bergerak mengikuti perpaduan antara kegiatan otak dan kegiatan hati. Hati yang menggerakkan mereka untuk menulis sesuai apa yang sedang dipikirkan.
Aktivitas mereka menggoda saya untuk menulis tentang mereka. Bahwa ada praktik baik yang sedang terjadi di sana. Para siswa harus dibiasakan untuk menulis dan menulis, itu penegasan dari Romo Nani Songkares. Ketika menyaksikan aksi mereka, pikiran saya tertuju kepada sebuah buku yang berjudul The Power of Habits. Kebiasaan baik yang diperkenalkan sejak dini, akan menjadi kekuatan maha dahsyat di kemudian hari.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Romo Sunu, Provinsial Serikat Jesus, dalam acara retret beberapa tahun yang lalu di Cepu Jawa Tengah. Beliau memperkenalkan peserta retret untuk ‘merasionalisasi rasa’ setiap hari. Apa yang kita rasakan setiap hari, harus ditulis dalam buku atau didokumentasikan secara tertulis agar rasa itu diketahui penyebabnya. Kalau kita sering menulis rasa pribadi, kebiasaan itu akan menjadi kekuatan personal yang senantiasa mengontrol seluruh aktivitas harian kita. Kita bisa hidup lebih teratur, terkontrol dan tertata. Pernyataan yang kita ungkapkan lewat kata-kata, akan tertata dengan sendirinya ketika kita terbiasa menuliskan apa yang kita rasakan. Lagi-lagi, aktivitas menulis menjadi sangat penting untuk membentuk diri.
Wajar bila ada yang mengatakan bahwa menulis ada jalan sunyi menuju pengenalan diri. Mengapa? Ketika menulis, kita memadukan beberapa kekuatan dalam satu gerakan. Ada kekuatan yang mendorong kita untuk duduk, diam dan hening. Ketika duduk, dan mulai menulis, ada keinginan-keinginan lain yang menggoda kita untuk mengabaikan kegiatan itu.
Selain itu, ada juga kegiatan mengelola informasi, pengetahuan yang terbersit di otak kita. Bagaimana kita meramu ilmu yang berseliweran dalam pikiran kita untuk dibentuk dalam dalam sebuah pernyataan tertulis yang teratur dan tersusun agar siapapun yang membacanya, dapat mengerti.
Perpaduan antara kekuatan rasa, kekuatan otak dan kehendak yang kuat menjadi ‘lahan subur’ terciptanya sebuah tulisan yang berkualitas. Bila para siswa terbiasa menulis, berarti dia sedang dilatih oleh diri sendiri untuk tertib dalam berpikir, tertib dalam merasa dan tertib dalam mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.
Wajar bila Romo Nani Songkares dan Romo Beny Lalo ingin memperkenalkan gerakan ini. Betapa pentingnya, menularkan kebiasaan untuk menulis kepada para siswa. Bagi para calon imam atau imam yang terbiasa membuat tulisan, akan mempermudah tugas dan karya mereka di kemudian hari. Apa yang diproduksi lewat mulut atau aktivitas verbal di berbagai mimbar, harus terlebih diolah secara matang, lewat proses yang diperkenalkan dalam aktivitas menulis. Wajar saat ini, sudah banyak himbauan agar para pastor yang membawakan kotbah harus disiapkan secara tertulis. Dengan demikian, apa yang dipublikasikan kepada umat secara verbal harus melalui proses pengolahan yang matang. Dengan demikian mimbar yang secara ensensial merupakan tempat mewartakan kabar gembira, benar-benar dimanfaatkan sesuai dengan intensinya.
Keterampilan dan kemampuan menulis bukan hanya bermanfaat bagi calon imam tetapi juga untuk para calon pemimpin bangsa atau pemimpin daerah. Kebiasaan untuk merumuskan secara tertulis apa yang dirasakan, dipikirkan menjadi ‘kekuatan’ maha dahsyat untuk memproduksi kebijakan publik bagi masyarakat di kemudian hari . Apa yang diketahui, dirasakan, harus dirumuskan secara jelas dalam sebuah pernyataan dokumentatif agar semua pihak bisa mempelajarinya secara baik untuk membentuk kekuatan komprehensif dalam memproduksi kebijakan publik.
Banyak pemimpin kita lebih giat memproduksi ujaran-ujaran tanpa olahan yang matang, tanpa dibekali kemampuan menulis. Ketika disandingkan dengan input-input kritis dan bermakna, mereka sering menghadapinya dengan sikap defensif yang sulit dipahami secara nalar. Terjadilah proses irasionalitas publik yang mengganggu proses berpikir masyarakat.
Pengalaman ini, nampak sederhana. Hanya soal melatih siswa untuk menulis. Namun praktik sederhana ini sebenarnya memberikan dampak visioner bagi lahirnya seorang pemimpin bangsa, pemimpin umat yang berkualitas. Mereka dididik untuk sejak awal mampu memproduksi pernyataan tertulis yang berasal dari hasil pemikiran yang matang, hasil pengolahan hati yang baik dan managemen diri yang berkualitas. Dengan demikian praktik baik ini, hendaknya tidak hanya dilakukan di Seminari Mataloko, namun di semua lembaga pendidikan tanpa terkecuali. Semoga !
Eddy Loke
Surabaya 12 Februari 2019.