
Laporan Perjalanan Rm. Nani (48)
Kapela yang biasa kami pakai untuk merayakan Ekaristi harian bernama Kapela Roh Kudus. Ukurannya kecil. Hanya bisa menampung kira-kira 25 orang.
Namun hari itu, Selasa (3/6/2025), hari kedua retret kami, ada hal yang berbeda di sana. Di depan altar sudah dibentangkan sebuah karpet warna merah. Di atasnya diletakkan sebuah gulungan kain biru. Ujung yang satu dimulai dari depan altar, membentuk dua lingkaran di tengah, mengalir ke arah ujung karpet yang lain. Mengalir tak bertepi.
Di depan lingkaran pertama dekat altar ada tulisan BUSYNESS (keserbasibukan). Pada sisi kanan, di sebelah gulungan kain ada tulisan FRUSTRATION (frustrasi).
Di tengah lingkaran pertama ada secarik kertas kuning dengan tulisan LISTENING (MENDENGAR). Pada sisi kanan di sebelah gulungan kain, ada tulisan dalam kertas kuning PEACE (kedamaian).
Di luar lingkaran pertama, di depan lingkaran kedua, ada tulisan lain lagi di secarik kertas panjang berwarna kuning pucat THE I THAT I AM IS NOT THE ME THAT I KNOW (diriku yang sebenarnya bukanlah diriku yang aku ketahui).
Pada sisi kanan bagian luar ada dua carik kertas dengan tulisan RESOURCE (sumber – warna biru) dan BLOCKS (sumbatan – kuning).
Di tengah lingkaran kedua ada tulisan berwarna hijau pucat DELETION (penghapusan). Pada sisi kanan, di luar gulungan kain ada tulisan REFORMAT (memformat ulang).
Pada sisi kiri ada tulisan vertikal, memanjang dari lingkaran pertama sampai ujung lingkaran kedua MINDFULNESS.
Simbol yang unik dan ditata indah serta-merta menarik perhatian. Seluruhnya mengungkapkan isi kotbah yang dibawakan Kulandaisamy Soosai.
Dia katakan, ada dua hal yang tanpa sadar menjadi ukuran kehebatan atau keberhasilan seseorang saat ini, yakni multitasking dan kecepatan. Orang merasa kalau bisa melakukan dua atau tiga pekerjaan sekaligus, itu luar biasa. “Bahkan, kalau bisa melakukan tujuh hal sekaligus dalam satu kesempatan, itu tanda kecerdasan yang istimewa,” katanya.
Pada sisi lain, orang maunya cepat. Segala sesuatu harus dilakukan dengan cepat. Berlari. Terburu-buru. Segera. Kalau tidak, nanti ketinggalan.
“Yang sering kali orang lupa, betapa orang terjebak dalam kedangkalan, superficiality,” keluh ahli psikologi ini. “Perhatiannya pendek, sepotong-sepotong, terbatas, dan tidak berbekas,” tambahnya. “Keserbasibukan dan kerserbatergesaan seperti ini yang mendatangkan keruwetan hidup dan frustrasi.”
Akibatnya, lanjut koordinator utama Program Tersiat Angkatan 91 ini, orang tidak punya waktu untuk berdiam diri mendengar suara kedalaman dirinya, the inner voice. Karena itu, dia tidak mengalami kedamaian.
Karena tidak terbiasa masuk ke dalam kehidupan batin, dia merasa apa yang dia ketahui tentang dirinya adalah dirinya yang sebenarnya. “He is trapped in his limiting beliefs – dia terpenjara kepercayaan-kepercayaan yang membuatnya kerdil, dan tidak bertumbuh,” katanya. Dia merasa itu dirinya yang sebenarnya. Padahal bukan. Dirinya yang sebenarnya tidak mengalir.
“Karena itu betapa pentingnya mindfulness, betapa pentingnya belajar untuk hadir secara penuh, di sini, dan kini agar kita jernih mendengar aspirasi dari inti terdalam diri kita, yakni cinta. Dari kedalaman diri kita itulah terungkap kata-kata yang didengar para murid dalam bacaan Injil hari ini: This is my Son, marked by my love, focus of my delight. Listen to him – Inilah putraKu, yang kutandai dengan cintaKu, pusat sukacitaKu. Dengarkanlah dia.”
Dengan belajar berkehadiran secara penuh, dan mendengar siapa diri kita yang mengalir dari kedalaman diri, kita bisa menghilangkan limiting beliefs, dan memprogramkan ulang diri kita.
Pada suatu kesempatan, ketika berbicara tentang Inner Life, Samy membeberkan sekian banyak limiting beliefs yang menghalangi banyak orang untuk bertumbuh menjadi dirinya.
I am not good enough. I don’t deserve success. I am not smart enough. I am too old/young. I don’t have enough talent. I am not worthy of love. I can’t trust people. I am always unlucky – Saya tidak cukup baik. Saya tidak pantas sukses. Saya tidak cukup pintar. Saya terlalu tua/muda. Saya tidak cukup berbakat. Saya tidak pantas dicintai. Saya tidak bisa mempercayai orang lain. Saya selalu sial. Masih banyak lagi daftar limiting beliefs yang menghalangi kita bertumbuh seturut siapa kita.
Kita harus bisa menyadarinya dengan tulus. Mencari akarnya pada pengalaman-pengalaman kita saat kecil. Memahami dan menemukan perspektif-perspektif baru. Berbela-rasa, menerima dengan tulus penderitaan kita. Memaafkan orang lain. Memaafkan diri kita sendiri. Belajar memulai hidup secara baru. Melakukan transformasi.
Ini Langkah-langkah yang bisa kita ambil kalau kita berlatih diri meningkatkan mindfulness. “Untuk itu betapa penting menumbuhkan perhatian yang mendalam, dan ada waktunya slow down, tidak tergesa-gesa,” imbaunya.
Singa di Tengah Domba
Saya teringat kisah seekor anak singa di tengah domba.
Ada seorang petani yang seharian berburu. Dia pulang sore hari, tidak mendapatkan apa-apa. Di tengah padang, api berkobar. Dia berlari menyelamatkan diri. Di tengah jalan, dia mendapatkan seekor anak singa yang ditinggalkan ibunya. Mungkin mereka berlari menyelamatkan diri karena kobaran api.
Dia membawa singa itu ke rumah. Diletakkannya di kandang domba. Singa kecil itu bergabung bersama anak-anak domba, dibesarkan oleh susu induk domba. Dia ikut merumput bersama, sampai menjadi besar. Kalau ada serigala datang, dia ikut berlari seperti domba-domba.
Suatu waktu, mereka pergi merumput. Sedang asyik makan, tiba-tiba mereka mendengar lolongan serigala yang begitu kuat. Mereka lari ketakutan.
Singa besar ini, saking ketakutan, berdiri terpaku menatap serigala. Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri. Dia harus menghadapi serigala itu. Lalu, untuk pertama kali dia mengeluarkan auman singa yang begitu menakutkan.
Serigala membalikkan badan, lalu lari sekencangnya. Kini pemburu menjadi yang diburu. Sejak saat itu, singa keluar dari rombongan domba. Dia masuk jauh ke dalam rimba. Ke mana dia pergi, binatang lain akan gemetaran.
Kisahnya sampai di situ, tapi gaungnya menjangkau ke mana-mana, sampai ke tengah kita. Sering kali kita terpaku pada limiting beliefs, karena pengalaman-pengalaman buruk yang pernah kita hadapi, karena luka-luka, karena mindset negatif yang ada pada kita, dan mengitari kita. Lalu kita berhenti menjadi diri kita sendiri.
Panggilan kita adalah membangkitkan singa yang terpendam dalam diri, menjadi diri kita yang sebenarnya sebagaimana kita diciptakan.
Kita membangkitkan kesadaran itu dengan belajar mengenai mindfulness, belajar berkehadiran penuh di sini dan kini.
“Deep within man dwell those slumbering powers; powers that would astonish him that he never dreamt of possessing; forces that would revolutionize his life if aroused and put into action – Jauh di kedalaman diri kita ada kekuatan yang tertidur, kekuatan yang membuat kita takjub. Kita tidak pernah bayangkan bahwa kita memilikinya. Kekuatan yang merevolusikan diri kita jika dibangkitkan dan dijalankan”. Ini kata Orison Swett Marden.
Kata-kata ini dikutip Dr. Gregory Pinto, SVD dalam bukunya berjudul Journeying into Healing and Self-Transformation.
Gregory Pinto amat percaya bahwa di dalam diri setiap orang terdapat God-Zone, – zona Tuhan – yang menjadi daya kekuatan luar biasa untuk transformasi.
Kita diajak bersentuhan dengan God-Zone itu. Ini tidak mungkin dilakukan tanpa keheningan. Orang Roma benar, hening itu emas – Silentium est Aureum.