KATAKOMBE DOMITILLA

Laporan Perjalanan Rm. Nani (44)

Hanya berselang 5 meter dari pintu masuk, ada tangga menurun yang cukup panjang. Lalu berbelok. Sampailah kita ke dalam basilika yang cukup luas di bawah tanah. Bisa menampung 300-500 orang. Di tempat itulah kami merayakan Ekaristi, Minggu (11/5/2025), di Katakombe Domitilla.

Basilika bawah tanah itu diperluas kemudian. Aslinya sebuah kapela tempat para jemaat Kristen perdana, sekitar tahun 64-300, mendoakan jenasah para martir, atau berkumpul untuk merayakan Ekaristi. Kapela itu sendiri adalah kubur dari Santa Petronilla, seorang perawan dan martir.

Petronilla diduga anak kandung Santo Petrus, karena kesamaan nama. Namun, ada yang mengatakan, dia disembuhkan dari kelumpuhan berkat Santo Petrus dan menjadi anak rohaninya. Dia dikuburkan di kapela asli itu.

Bersamanya, dikuburkan dua serdadu Roma yang menjadi Kristen, Nereus dan Achilleus. Mereka  serdadu yang taat pada kekaisaran Roma, tapi kemudian menjadi Kristen, melepaskan jabatannya dalam ketentaraan Roma, dan dipenggal kepalanya. Mereka dihormati sebagai orang kudus.

Basilika itu ditinggalkan sejak abad ke-9, tapi kemudian ditemukan kembali oleh para arkeolog.

Perayaan Ekaristi dipimpin Ryszard Wajda, SVD, misionaris Papua New Guinea dari Polandia. “Kita berbahagia sekali bisa merayakan Ekaristi di Basilika ini,” katanya mengawali kotbah singkat yang menarik.

“Orang-orang Kristen itu datang ke sini, mengatasi rasa takutnya, semata karena ingin mencari makna hidup yang terdalam. Bagi mereka, makna hidup itu mereka temukan ketika mendengar suara Gembala yang Baik, Tuhan kita. Bayangkan setiap hari mereka dikejar-kejar, setiap hari ada kematian, tapi mereka dikuatkan dan diteguhkan di sekeliling altar ini. Mereka tidak punya buku seperti sekarang, tapi mereka diteguhkan oleh kesaksian iman para martir,” kata Ryszard.

Perayaan Ekaristi itu sederhana, tapi sangat syahdu dan indah. Di tengah perayaan Ekaristi pengunjung Katakombe mengalir. Dengan diam, mereka berjalan di sisi kiri basilika, masuk ke dalam labirin-labirin Katakombe.

“Dari 65 Katakombe, ini yang terbesar di Roma ini. Panjang labirinnya mencapai kurang lebih 14 km. Selain itu, ini satu-satunya Katakombe yang memiliki basilika,” kata P. Thomas Kallanchira, SVD, imam asal India, rektor Katakombe Domitilla ini.

Di depan lukisan Santa Domitilla

Domitilla adalah cucu dari Kaisar Vespasianus. Dia dibuang ke salah satu pulau terpencil karena menjadi Kristen. Dia dibakar dan mati sebagai martir. Tanah warisannya dihibahkan kepada komunitas Kristen yang menjadikannya sebagai Katakombe. Katakombe itu kemudian bernama Domitilla. Di dalam Gereja Katolik dan Yunani Ortodoks, Flavia Domitilla dihormati sebagai santa.

Setelah Perayaan Ekaristi, kami menyusuri labirin-labirin Katakombe di bawah panduan P. Thomas. “Tanpa guide yang profesional orang bisa tersesat,” katanya.

Konon setelah lama ditinggalkan, arkeolog Antonio Bossio menemukan Katakombe Domitilla ini. “Dia sendiri pernah tersesat selama tiga hari,” jelas Thomas. “Waktu ditemukan, banyak kubur yang terbuka karena para pencuri berusaha mencari banyak hal yang berharga. Dalam arti tertenu, kita berterima kasih juga kepada para pencuri ini,” kelakarnya.

Masuk ke dalam labirin-labiran Katakombe terasa mengharukan. Dapat dibayangkan kehidupan orang Kristen saat itu yang penuh penganiayaan. Diam-diam mereka menggali dan menggali Katakombe ini sampai ke kedalaman 20-30 meter.

Pada dinding-dindingnya digali kabin-kabin untuk kubur. Ada yang berukuran besar untuk menampung satu keluarga, ada yang kecil untuk anak-anak. Berderet-deret, seperti rak-rak, satu di atas yang lain. “Jumlah seluruh kubur yang ditemukan 150 ribu. Itu kubur, jenasah jauh lebih banyak dari itu karena satu kubur bisa beberapa jenasah,” kisah Thomas.

Sekarang ini, setiap lorong atau labirin yang bisa dikunjungi dilengkapi lampu. Bisa dibayangkan pada masa Gereja Perdana, lampu hanya pakai pelita. Betapa gelapnya.

Santo Hieronimus pada abad ke-4 suka mengunjungi Katakombe setiap hari Minggu. “Dinding kiri kanan penuh jenasah. Seluruhnya gelap seperti hitamnya malam, hanya ada satu dua titik terang. Ungkapan seorang penyair itu tepat, ‘Kesunyian yang sangat dalam, memenuhi jiwa dengan kengerian,” tulisnya.

Namun, di tengah kengerian yang dahsyat, mereka teguh beriman. “Simbol Kristus yang bangkit kuat sekali. Sukacita iman sangat terasa, bahkan setelah kematian ada perjamuan, karena itu terasa ada ruang-ruang yang besar di beberapa tempat,” tambah Thomas.

Selang beberapa waktu setelah menyusuri lorong-lorong yang sempit, ditemukan semacam kamar yang besar, tempat berkumpul keluarga, atau mungkin sekelompok kecil jemaat, untuk berdoa. Kalau ada altar, sangat mungkin diadakan perjamuan Ekaristi. Luar biasa!

Di sebuah lorong ada kubur yang cukup besar. “Ini asli dari abad-abad awal,” jelas Thomas. Dindingnya penuh lukisan yang mengungkapkan iman akan kebangkitan, harapan, dan perjamuan abadi. Ada gambar burung merpati, burung gagak (ingat kisah Nuh dan Air Bah), ada gambar Rasul Petrus dan Paulus yang mendampingi, dan gambar Perjamuan Akhir.

Menjelajahi Katakombe ini merupakan peneguhan iman. Orang-orang Kristen perdana sudah lenyap, tapi iman mereka hidup sekali. “Salah satu simbol yang kuat tergambar di dinding-dinding atau epitaph adalah Yesus Gembala yang Baik,” kata Thomas sebelum mengakhiri ziarah kami.

Kami naik bus lagi menuju generalat SSpS. Dalam bis tidak banyak yang berbicara. Masing-masing orang tenggelam dalam pikiran dan permenungannya.

Ini perjalanan ke labirin kematian. Di sana, tidak ada sesuatu yang bisa dibawa. Tidak sama sekali. Yang jadi pegangan di tubir kegelapan hanya iman. Iman yang menghangatkan.

Itu sebabnya Katakombe tidak dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan. Dia simbol kemenangan iman. Iman yang hidup. Dia simbol ketekunan dalam penderitaan. Dia simbol harapan. Kubur para martir itu menjadi trofi, piala kemenangan.

Kurang lebih 250 tahun mereka menderita. Namun, Gereja tidak mati. Gereja hidup. Paus pertama, Rasul Petrus menjadi martir. Sekarang baru saja terpilih Paus yang ke-267. Pengganti Petrus – Leo ke-14.

Pada masa Petrus, hanya jemaat Kristen perdana yang beriman yang memandangnya, mendengarnya, menaruh harapan padanya. Saat ini, seluruh dunia memandang Leo ke-14, pengganti Petrus. Dunia mendengarnya, menaruh harapan padanya.

Gereja yang dulu dicabik-cabik menjadi jembatan perdamaian, tanda pengharapan. Puji Tuhan.

  • Related Posts

    “TIDAK! TIDAK!” (2)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (53) Dalam penerbangan dari EuroAirport Basel, Swiss, ke Roma, Selasa (24/6/2025) saya membaca buku Paulo Coelho berjudul Like the Flowing River. Ada cerita menarik tentang pensil,…

    “TIDAK! TIDAK!” (1)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (52) Kata ini selalu diucapkan oleh keluarga-keluarga yang kami kunjungi di Eiken, Swiss, atau di paroki-paroki sekitarnya. Setelah misa sore di sebuah gereja pada Kamis (19/6/2025),…